Home / Romansa / Menaklukkan Duda Dingin / 4. Kau Adalah Makananku

Share

4. Kau Adalah Makananku

Author: Pixie
last update Huling Na-update: 2022-06-27 11:07:11

“Bukankah tadi kau bilang masih ingin hidup?” gumam Tuan Dingin seraya mengelus pergelangan tangan Amber dengan ibu jari. Kini ia yakin bahwa garis cokelat di sana benar-benar nyata.

Mendapat pertanyaan semacam itu, sang wanita pun bergeming. Dengan alis berkerut, ia mengamati situasi. “Aku memang masih ingin hidup,” ucapnya di sela gemuruh napas.

“Lalu, kenapa kau punya bekas luka seperti ini?” tanya Tuan Dingin seraya memutar pergelangan tangan sang wanita. Sebelah alisnya terangkat sedikit lebih tinggi.

Melihat jejak torehan pisau di kulitnya, Amber pun terkesiap. Ia tidak menduga bahwa orang pertama yang berhasil menemukan rahasianya adalah laki-laki dingin yang sama sekali tidak dikenal.

“Itu bukan urusanmu,” jawabnya sambil menyentak tangan.

Alih-alih melepaskan, Tuan Dingin malah mencengkeram lebih erat. “Daripada kau mati sia-sia, bukankah akan lebih baik jika kau menyerahkan diri kepadaku?”

Sambil menggertakkan geraham, Amber mulai mempertajam tatapan. “Aku belum mau mati,” tegas wanita itu geram. Ia mendadak lupa dengan ketakutannya tadi.

“Kenapa? Bukankah kau pernah ingin bunuh diri?”

“Itu masa lalu. Sekarang ada janji yang harus kutepati,” jawab sang wanita sigap.

Tuan Dingin spontan mendengus remeh. “Bukankah janji dibuat untuk diingkari?”

“Kau salah. Janji dibuat untuk menuntun hidup. Itu juga yang membuatku sanggup bertahan hingga hari ini,” sanggah Amber tanpa berpikir panjang.

Mendengar jawaban spontan itu, raut wajah sang pria mendadak beku. Dengan tatapan yang lebih dingin, ia bertanya, “Memangnya, janji apa yang harus kau tepati?”

“Kalau aku mengatakannya, apakah kau akan membebaskanku?” balas Amber dengan ekspresi yang sama.

Tiba-tiba, Tuan Dingin menggeser posisi. Secepat kilat, sang wanita menarik selimut menutupi tubuh dan bangkit duduk.

“Katakan!” ucap pria itu tegas.

“Aku sudah berjanji kepada teman-temanku untuk memberi bayi mereka perhiasan buatanku sendiri,” jawab Amber dengan nada sinis. Ia tidak suka berbagi informasi dengan orang asing. “Karena itulah, aku datang jauh-jauh ke negara ini untuk menemui Adam Smith.”

Mendengar nama itu, Tuan Dingin sontak mengeraskan rahang. “Kenapa kau mencari orang itu?” tanyanya tanpa menatap.

“Tentu saja untuk belajar. Dia adalah desainer perhiasan terbaik di dunia,” jawab Amber setengah menggerutu. “Manusia gua sepertimu pasti tidak tahu.”

Mengabaikan gumaman sang wanita, Tuan Dingin berkata, “Berhentilah mengejar laki-laki itu. Dia tidak akan mau mengajari perempuan bodoh sepertimu.”

“Tidak, dia pasti mau. Temanku berkata kalau Adam Smith adalah laki-laki baik hati yang ramah kepada semua orang. Meskipun dua tahun belakangan ini, dia menutup diri, aku yakin dia tetap mau membantuku,” jelas Amber penuh percaya diri. Ia seolah lupa bahwa laki-laki di hadapannya itu sempat ingin melahapnya.

“Kenapa kau yakin sekali pada laki-laki yang belum kau kenal?” cibir si Kanibal seraya melirik dengan sorot mata dingin.

“Karena aku suka mata hijaunya yang teduh itu. Pertama kali melihatnya di majalah, aku langsung jatuh cinta. Tampak jelas bahwa Adam Smith adalah pria baik dan hangat, tidak sepertimu,” tutur Amber dengan suara rendah di akhir kalimat. 

Setelah memutar bola mata, Tuan Dingin beranjak dari lantai. “Dasar perempuan! Gampang sekali jatuh cinta.” Sedetik kemudian, ia berjalan menuju dapur. Niatnya untuk bermain-main dengan ketakutan Amber telah lenyap.

Melihat respon pria itu, Amber pun berkedip-kedip heran. Setelah menggeleng singkat, ia menyusul.

“Terima kasih sudah membiarkanku hidup,” ucap wanita itu kaku.

Seraya membuka lemari, Tuan Dingin berkata, “Kita belum selesai membicarakan itu.”

“Bukankah kau sudah sepakat untuk membebaskanku jika aku menjawab pertanyaanmu?” protes Amber sambil sesekali melirik ke isi lemari dengan jijik.

Setelah menenggak cairan merah dari salah satu botol, barulah sang pria lanjut bicara. “Aku tidak mungkin merelakan makananku secara cuma-cuma.”

“Apakah kau mengharapkan bayaran?” terka Amber seraya menaikkan alis. Ia seperti baru saja melihat peluang. “Kau tahu? Itu sama sekali bukan masalah. Aku punya banyak uang. Berapa pun yang kau minta, aku pasti bayar.”

“Aku tidak butuh uang,” gumam Tuan Dingin seraya duduk di kursi dekat jendela.

“Lalu, apa yang kau inginkan? Kau tidak mungkin memintaku mendatangkan manusia lain, bukan?”

Sambil mengerutkan sebelah alis, sang pria menatap perempuan yang membungkuk di sampingnya. “Bisakah kau menyajikannya kepadaku?”

Seraya menutup mulut dengan sebelah tangan, Amber melangkah mundur. “Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan diri. Aku bukan pembunuh.”

“Lalu, apa yang bisa kau tawarkan kepadaku?” tanya Tuan Dingin sembari mengangkat dagu.

“Kau sungguh tidak butuh uang?” tanya sang wanita, mengharapkan jawaban yang berbeda.

Akan tetapi, sang pria tetap menggeleng tegas. “Aku tidak butuh uangmu.”

Sedetik kemudian, Amber berdecak cemas. “Lalu apa yang harus kuberikan kepadanya?” gumam wanita itu sambil menatap ke luar jendela.

“Kenapa kau bingung? Apakah hanya uang yang kau punya?” sindir Tuan Dingin seraya melipat tangan di depan dada.

“Hei, apa kau kira hidupku hanya berkutat pada uang? Aku juga punya kecantikan dan semangat yang bisa dibanggakan. Orang-orang mengagumiku karena dua hal itu,” sanggah Amber sigap.

Tiba-tiba, sang pria tersenyum miring. Niat untuk mempermainkan Amber telah kembali terbit. “Kalau begitu, berikan itu saja kepadaku.”

“Apa? Kecantikan? Bagaimana caranya memberikan hal itu kepadamu? Ingat! Kau sudah berjanji untuk membiarkanku hidup. Itu berarti, kau tidak boleh mengelupas wajahku.”

Sambil menyipitkan mata, Tuan Dingin memperhatikan selimut yang membungkus tubuh sang wanita. “Kau tahu? Meskipun aku kanibal, aku tetaplah seorang pria,” ucapnya dengan nada mengintimidasi.

Mendapat pesan tersirat semacam itu, raut Amber sontak berubah kaku. “Kau bilang, kau tidak tertarik padaku,” ujarnya datar. Otaknya lagi-lagi mendeteksi ancaman.

“Ya, memang. Tapi ..., di tengah hutan seperti ini, apakah aku punya banyak pilihan? Pria tetaplah pria dan wanita tetaplah wanita. Kalau kau bukan wanita, maka kau adalah makanan.”

Selagi ketegangan merambat dalam nadinya, Amber menelan ludah dengan susah payah. “Tapi, bukankah kau impoten?”

Mendengar kata itu lagi, napas Tuan Dingin sontak menderu. Emosinya kembali tersulut. Dengan geram, laki-laki itu bangkit dari kursi dan mulai melepas mantel. “Haruskah aku membuktikannya kepadamu?”

Terkejut, sang wanita spontan menjauh. Ia tidak menduga bahwa si Kanibal bisa senekat itu. “Apakah kau sudah gila? Tidak mungkin aku mau disentuh oleh kanibal sepertimu.”

“Kalau begitu, kau adalah makananku,” balas si Kanibal, bersiap menerkam.

Merasa terdesak, Amber segera berlari menuju jalan keluar. Malangnya, tepat ketika ia hampir meraih gagang pintu, sang pria sudah lebih dulu merengkuh pinggangnya. Sedetik kemudian, wanita itu terbanting di sofa. Begitu membuka mata, Tuan Dingin sudah berada di atasnya.

“Kau harus memilih. Nyawamu atau tubuhmu?”

Sambil berusaha meloloskan diri, sang wanita berteriak, “Kau sudah sepakat untuk membebaskanku.”

“Tidak tanpa upah yang setimpal,” tegas si Kanibal sambil menangkap kedua tangan Amber.

Tak berdaya, wanita itu pun meringis kesal. “Tunggu dulu! Beri aku waktu untuk berpikir,” pintanya mengharapkan iba. “Pasti ada cara lain untuk membayar.”

“Sudah berulang kali aku bertanya, tapi kau tidak menawarkan solusi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Sekarang, kau harus tahu bahwa aku tidak impoten,” desah Tuan Dingin membuat bulu kuduk meremang. Amber benar-benar menyesal telah mengungkit isu itu lagi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Amber benar benar menyesal
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 52. Jangan Makan Aku, Tuan Smith (TAMAT)

    Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 51. Bagian dari Sejarah

    "Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 50. Ketulusan

    Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 49. Bayi Mungil

    Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 48. Tak Tahan Lagi

    “Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 47. Waktunya Sudah Dekat

    "Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 46. Tak Sesuai Harapan

    "Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 45. Ikhlas

    "Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 44. Babak Baru

    "Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status