Share

4. Kau Adalah Makananku

“Bukankah tadi kau bilang masih ingin hidup?” gumam Tuan Dingin seraya mengelus pergelangan tangan Amber dengan ibu jari. Kini ia yakin bahwa garis cokelat di sana benar-benar nyata.

Mendapat pertanyaan semacam itu, sang wanita pun bergeming. Dengan alis berkerut, ia mengamati situasi. “Aku memang masih ingin hidup,” ucapnya di sela gemuruh napas.

“Lalu, kenapa kau punya bekas luka seperti ini?” tanya Tuan Dingin seraya memutar pergelangan tangan sang wanita. Sebelah alisnya terangkat sedikit lebih tinggi.

Melihat jejak torehan pisau di kulitnya, Amber pun terkesiap. Ia tidak menduga bahwa orang pertama yang berhasil menemukan rahasianya adalah laki-laki dingin yang sama sekali tidak dikenal.

“Itu bukan urusanmu,” jawabnya sambil menyentak tangan.

Alih-alih melepaskan, Tuan Dingin malah mencengkeram lebih erat. “Daripada kau mati sia-sia, bukankah akan lebih baik jika kau menyerahkan diri kepadaku?”

Sambil menggertakkan geraham, Amber mulai mempertajam tatapan. “Aku belum mau mati,” tegas wanita itu geram. Ia mendadak lupa dengan ketakutannya tadi.

“Kenapa? Bukankah kau pernah ingin bunuh diri?”

“Itu masa lalu. Sekarang ada janji yang harus kutepati,” jawab sang wanita sigap.

Tuan Dingin spontan mendengus remeh. “Bukankah janji dibuat untuk diingkari?”

“Kau salah. Janji dibuat untuk menuntun hidup. Itu juga yang membuatku sanggup bertahan hingga hari ini,” sanggah Amber tanpa berpikir panjang.

Mendengar jawaban spontan itu, raut wajah sang pria mendadak beku. Dengan tatapan yang lebih dingin, ia bertanya, “Memangnya, janji apa yang harus kau tepati?”

“Kalau aku mengatakannya, apakah kau akan membebaskanku?” balas Amber dengan ekspresi yang sama.

Tiba-tiba, Tuan Dingin menggeser posisi. Secepat kilat, sang wanita menarik selimut menutupi tubuh dan bangkit duduk.

“Katakan!” ucap pria itu tegas.

“Aku sudah berjanji kepada teman-temanku untuk memberi bayi mereka perhiasan buatanku sendiri,” jawab Amber dengan nada sinis. Ia tidak suka berbagi informasi dengan orang asing. “Karena itulah, aku datang jauh-jauh ke negara ini untuk menemui Adam Smith.”

Mendengar nama itu, Tuan Dingin sontak mengeraskan rahang. “Kenapa kau mencari orang itu?” tanyanya tanpa menatap.

“Tentu saja untuk belajar. Dia adalah desainer perhiasan terbaik di dunia,” jawab Amber setengah menggerutu. “Manusia gua sepertimu pasti tidak tahu.”

Mengabaikan gumaman sang wanita, Tuan Dingin berkata, “Berhentilah mengejar laki-laki itu. Dia tidak akan mau mengajari perempuan bodoh sepertimu.”

“Tidak, dia pasti mau. Temanku berkata kalau Adam Smith adalah laki-laki baik hati yang ramah kepada semua orang. Meskipun dua tahun belakangan ini, dia menutup diri, aku yakin dia tetap mau membantuku,” jelas Amber penuh percaya diri. Ia seolah lupa bahwa laki-laki di hadapannya itu sempat ingin melahapnya.

“Kenapa kau yakin sekali pada laki-laki yang belum kau kenal?” cibir si Kanibal seraya melirik dengan sorot mata dingin.

“Karena aku suka mata hijaunya yang teduh itu. Pertama kali melihatnya di majalah, aku langsung jatuh cinta. Tampak jelas bahwa Adam Smith adalah pria baik dan hangat, tidak sepertimu,” tutur Amber dengan suara rendah di akhir kalimat. 

Setelah memutar bola mata, Tuan Dingin beranjak dari lantai. “Dasar perempuan! Gampang sekali jatuh cinta.” Sedetik kemudian, ia berjalan menuju dapur. Niatnya untuk bermain-main dengan ketakutan Amber telah lenyap.

Melihat respon pria itu, Amber pun berkedip-kedip heran. Setelah menggeleng singkat, ia menyusul.

“Terima kasih sudah membiarkanku hidup,” ucap wanita itu kaku.

Seraya membuka lemari, Tuan Dingin berkata, “Kita belum selesai membicarakan itu.”

“Bukankah kau sudah sepakat untuk membebaskanku jika aku menjawab pertanyaanmu?” protes Amber sambil sesekali melirik ke isi lemari dengan jijik.

Setelah menenggak cairan merah dari salah satu botol, barulah sang pria lanjut bicara. “Aku tidak mungkin merelakan makananku secara cuma-cuma.”

“Apakah kau mengharapkan bayaran?” terka Amber seraya menaikkan alis. Ia seperti baru saja melihat peluang. “Kau tahu? Itu sama sekali bukan masalah. Aku punya banyak uang. Berapa pun yang kau minta, aku pasti bayar.”

“Aku tidak butuh uang,” gumam Tuan Dingin seraya duduk di kursi dekat jendela.

“Lalu, apa yang kau inginkan? Kau tidak mungkin memintaku mendatangkan manusia lain, bukan?”

Sambil mengerutkan sebelah alis, sang pria menatap perempuan yang membungkuk di sampingnya. “Bisakah kau menyajikannya kepadaku?”

Seraya menutup mulut dengan sebelah tangan, Amber melangkah mundur. “Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan diri. Aku bukan pembunuh.”

“Lalu, apa yang bisa kau tawarkan kepadaku?” tanya Tuan Dingin sembari mengangkat dagu.

“Kau sungguh tidak butuh uang?” tanya sang wanita, mengharapkan jawaban yang berbeda.

Akan tetapi, sang pria tetap menggeleng tegas. “Aku tidak butuh uangmu.”

Sedetik kemudian, Amber berdecak cemas. “Lalu apa yang harus kuberikan kepadanya?” gumam wanita itu sambil menatap ke luar jendela.

“Kenapa kau bingung? Apakah hanya uang yang kau punya?” sindir Tuan Dingin seraya melipat tangan di depan dada.

“Hei, apa kau kira hidupku hanya berkutat pada uang? Aku juga punya kecantikan dan semangat yang bisa dibanggakan. Orang-orang mengagumiku karena dua hal itu,” sanggah Amber sigap.

Tiba-tiba, sang pria tersenyum miring. Niat untuk mempermainkan Amber telah kembali terbit. “Kalau begitu, berikan itu saja kepadaku.”

“Apa? Kecantikan? Bagaimana caranya memberikan hal itu kepadamu? Ingat! Kau sudah berjanji untuk membiarkanku hidup. Itu berarti, kau tidak boleh mengelupas wajahku.”

Sambil menyipitkan mata, Tuan Dingin memperhatikan selimut yang membungkus tubuh sang wanita. “Kau tahu? Meskipun aku kanibal, aku tetaplah seorang pria,” ucapnya dengan nada mengintimidasi.

Mendapat pesan tersirat semacam itu, raut Amber sontak berubah kaku. “Kau bilang, kau tidak tertarik padaku,” ujarnya datar. Otaknya lagi-lagi mendeteksi ancaman.

“Ya, memang. Tapi ..., di tengah hutan seperti ini, apakah aku punya banyak pilihan? Pria tetaplah pria dan wanita tetaplah wanita. Kalau kau bukan wanita, maka kau adalah makanan.”

Selagi ketegangan merambat dalam nadinya, Amber menelan ludah dengan susah payah. “Tapi, bukankah kau impoten?”

Mendengar kata itu lagi, napas Tuan Dingin sontak menderu. Emosinya kembali tersulut. Dengan geram, laki-laki itu bangkit dari kursi dan mulai melepas mantel. “Haruskah aku membuktikannya kepadamu?”

Terkejut, sang wanita spontan menjauh. Ia tidak menduga bahwa si Kanibal bisa senekat itu. “Apakah kau sudah gila? Tidak mungkin aku mau disentuh oleh kanibal sepertimu.”

“Kalau begitu, kau adalah makananku,” balas si Kanibal, bersiap menerkam.

Merasa terdesak, Amber segera berlari menuju jalan keluar. Malangnya, tepat ketika ia hampir meraih gagang pintu, sang pria sudah lebih dulu merengkuh pinggangnya. Sedetik kemudian, wanita itu terbanting di sofa. Begitu membuka mata, Tuan Dingin sudah berada di atasnya.

“Kau harus memilih. Nyawamu atau tubuhmu?”

Sambil berusaha meloloskan diri, sang wanita berteriak, “Kau sudah sepakat untuk membebaskanku.”

“Tidak tanpa upah yang setimpal,” tegas si Kanibal sambil menangkap kedua tangan Amber.

Tak berdaya, wanita itu pun meringis kesal. “Tunggu dulu! Beri aku waktu untuk berpikir,” pintanya mengharapkan iba. “Pasti ada cara lain untuk membayar.”

“Sudah berulang kali aku bertanya, tapi kau tidak menawarkan solusi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Sekarang, kau harus tahu bahwa aku tidak impoten,” desah Tuan Dingin membuat bulu kuduk meremang. Amber benar-benar menyesal telah mengungkit isu itu lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Amber benar benar menyesal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status