“Bukankah tadi kau bilang masih ingin hidup?” gumam Tuan Dingin seraya mengelus pergelangan tangan Amber dengan ibu jari. Kini ia yakin bahwa garis cokelat di sana benar-benar nyata.
Mendapat pertanyaan semacam itu, sang wanita pun bergeming. Dengan alis berkerut, ia mengamati situasi. “Aku memang masih ingin hidup,” ucapnya di sela gemuruh napas.
“Lalu, kenapa kau punya bekas luka seperti ini?” tanya Tuan Dingin seraya memutar pergelangan tangan sang wanita. Sebelah alisnya terangkat sedikit lebih tinggi.
Melihat jejak torehan pisau di kulitnya, Amber pun terkesiap. Ia tidak menduga bahwa orang pertama yang berhasil menemukan rahasianya adalah laki-laki dingin yang sama sekali tidak dikenal.
“Itu bukan urusanmu,” jawabnya sambil menyentak tangan.
Alih-alih melepaskan, Tuan Dingin malah mencengkeram lebih erat. “Daripada kau mati sia-sia, bukankah akan lebih baik jika kau menyerahkan diri kepadaku?”
Sambil menggertakkan geraham, Amber mulai mempertajam tatapan. “Aku belum mau mati,” tegas wanita itu geram. Ia mendadak lupa dengan ketakutannya tadi.
“Kenapa? Bukankah kau pernah ingin bunuh diri?”
“Itu masa lalu. Sekarang ada janji yang harus kutepati,” jawab sang wanita sigap.
Tuan Dingin spontan mendengus remeh. “Bukankah janji dibuat untuk diingkari?”
“Kau salah. Janji dibuat untuk menuntun hidup. Itu juga yang membuatku sanggup bertahan hingga hari ini,” sanggah Amber tanpa berpikir panjang.
Mendengar jawaban spontan itu, raut wajah sang pria mendadak beku. Dengan tatapan yang lebih dingin, ia bertanya, “Memangnya, janji apa yang harus kau tepati?”
“Kalau aku mengatakannya, apakah kau akan membebaskanku?” balas Amber dengan ekspresi yang sama.
Tiba-tiba, Tuan Dingin menggeser posisi. Secepat kilat, sang wanita menarik selimut menutupi tubuh dan bangkit duduk.
“Katakan!” ucap pria itu tegas.
“Aku sudah berjanji kepada teman-temanku untuk memberi bayi mereka perhiasan buatanku sendiri,” jawab Amber dengan nada sinis. Ia tidak suka berbagi informasi dengan orang asing. “Karena itulah, aku datang jauh-jauh ke negara ini untuk menemui Adam Smith.”
Mendengar nama itu, Tuan Dingin sontak mengeraskan rahang. “Kenapa kau mencari orang itu?” tanyanya tanpa menatap.
“Tentu saja untuk belajar. Dia adalah desainer perhiasan terbaik di dunia,” jawab Amber setengah menggerutu. “Manusia gua sepertimu pasti tidak tahu.”
Mengabaikan gumaman sang wanita, Tuan Dingin berkata, “Berhentilah mengejar laki-laki itu. Dia tidak akan mau mengajari perempuan bodoh sepertimu.”
“Tidak, dia pasti mau. Temanku berkata kalau Adam Smith adalah laki-laki baik hati yang ramah kepada semua orang. Meskipun dua tahun belakangan ini, dia menutup diri, aku yakin dia tetap mau membantuku,” jelas Amber penuh percaya diri. Ia seolah lupa bahwa laki-laki di hadapannya itu sempat ingin melahapnya.
“Kenapa kau yakin sekali pada laki-laki yang belum kau kenal?” cibir si Kanibal seraya melirik dengan sorot mata dingin.
“Karena aku suka mata hijaunya yang teduh itu. Pertama kali melihatnya di majalah, aku langsung jatuh cinta. Tampak jelas bahwa Adam Smith adalah pria baik dan hangat, tidak sepertimu,” tutur Amber dengan suara rendah di akhir kalimat.
Setelah memutar bola mata, Tuan Dingin beranjak dari lantai. “Dasar perempuan! Gampang sekali jatuh cinta.” Sedetik kemudian, ia berjalan menuju dapur. Niatnya untuk bermain-main dengan ketakutan Amber telah lenyap.
Melihat respon pria itu, Amber pun berkedip-kedip heran. Setelah menggeleng singkat, ia menyusul.
“Terima kasih sudah membiarkanku hidup,” ucap wanita itu kaku.
Seraya membuka lemari, Tuan Dingin berkata, “Kita belum selesai membicarakan itu.”
“Bukankah kau sudah sepakat untuk membebaskanku jika aku menjawab pertanyaanmu?” protes Amber sambil sesekali melirik ke isi lemari dengan jijik.
Setelah menenggak cairan merah dari salah satu botol, barulah sang pria lanjut bicara. “Aku tidak mungkin merelakan makananku secara cuma-cuma.”
“Apakah kau mengharapkan bayaran?” terka Amber seraya menaikkan alis. Ia seperti baru saja melihat peluang. “Kau tahu? Itu sama sekali bukan masalah. Aku punya banyak uang. Berapa pun yang kau minta, aku pasti bayar.”
“Aku tidak butuh uang,” gumam Tuan Dingin seraya duduk di kursi dekat jendela.
“Lalu, apa yang kau inginkan? Kau tidak mungkin memintaku mendatangkan manusia lain, bukan?”
Sambil mengerutkan sebelah alis, sang pria menatap perempuan yang membungkuk di sampingnya. “Bisakah kau menyajikannya kepadaku?”
Seraya menutup mulut dengan sebelah tangan, Amber melangkah mundur. “Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan diri. Aku bukan pembunuh.”
“Lalu, apa yang bisa kau tawarkan kepadaku?” tanya Tuan Dingin sembari mengangkat dagu.
“Kau sungguh tidak butuh uang?” tanya sang wanita, mengharapkan jawaban yang berbeda.
Akan tetapi, sang pria tetap menggeleng tegas. “Aku tidak butuh uangmu.”
Sedetik kemudian, Amber berdecak cemas. “Lalu apa yang harus kuberikan kepadanya?” gumam wanita itu sambil menatap ke luar jendela.
“Kenapa kau bingung? Apakah hanya uang yang kau punya?” sindir Tuan Dingin seraya melipat tangan di depan dada.
“Hei, apa kau kira hidupku hanya berkutat pada uang? Aku juga punya kecantikan dan semangat yang bisa dibanggakan. Orang-orang mengagumiku karena dua hal itu,” sanggah Amber sigap.
Tiba-tiba, sang pria tersenyum miring. Niat untuk mempermainkan Amber telah kembali terbit. “Kalau begitu, berikan itu saja kepadaku.”
“Apa? Kecantikan? Bagaimana caranya memberikan hal itu kepadamu? Ingat! Kau sudah berjanji untuk membiarkanku hidup. Itu berarti, kau tidak boleh mengelupas wajahku.”
Sambil menyipitkan mata, Tuan Dingin memperhatikan selimut yang membungkus tubuh sang wanita. “Kau tahu? Meskipun aku kanibal, aku tetaplah seorang pria,” ucapnya dengan nada mengintimidasi.
Mendapat pesan tersirat semacam itu, raut Amber sontak berubah kaku. “Kau bilang, kau tidak tertarik padaku,” ujarnya datar. Otaknya lagi-lagi mendeteksi ancaman.
“Ya, memang. Tapi ..., di tengah hutan seperti ini, apakah aku punya banyak pilihan? Pria tetaplah pria dan wanita tetaplah wanita. Kalau kau bukan wanita, maka kau adalah makanan.”
Selagi ketegangan merambat dalam nadinya, Amber menelan ludah dengan susah payah. “Tapi, bukankah kau impoten?”
Mendengar kata itu lagi, napas Tuan Dingin sontak menderu. Emosinya kembali tersulut. Dengan geram, laki-laki itu bangkit dari kursi dan mulai melepas mantel. “Haruskah aku membuktikannya kepadamu?”
Terkejut, sang wanita spontan menjauh. Ia tidak menduga bahwa si Kanibal bisa senekat itu. “Apakah kau sudah gila? Tidak mungkin aku mau disentuh oleh kanibal sepertimu.”
“Kalau begitu, kau adalah makananku,” balas si Kanibal, bersiap menerkam.
Merasa terdesak, Amber segera berlari menuju jalan keluar. Malangnya, tepat ketika ia hampir meraih gagang pintu, sang pria sudah lebih dulu merengkuh pinggangnya. Sedetik kemudian, wanita itu terbanting di sofa. Begitu membuka mata, Tuan Dingin sudah berada di atasnya.
“Kau harus memilih. Nyawamu atau tubuhmu?”
Sambil berusaha meloloskan diri, sang wanita berteriak, “Kau sudah sepakat untuk membebaskanku.”
“Tidak tanpa upah yang setimpal,” tegas si Kanibal sambil menangkap kedua tangan Amber.
Tak berdaya, wanita itu pun meringis kesal. “Tunggu dulu! Beri aku waktu untuk berpikir,” pintanya mengharapkan iba. “Pasti ada cara lain untuk membayar.”
“Sudah berulang kali aku bertanya, tapi kau tidak menawarkan solusi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Sekarang, kau harus tahu bahwa aku tidak impoten,” desah Tuan Dingin membuat bulu kuduk meremang. Amber benar-benar menyesal telah mengungkit isu itu lagi.
“Baiklah! Aku minta maaf. Aku percaya kalau kau tidak impoten. Kau tidak perlu membuktikannya,” ujar Amber sambil memaksakan otak untuk menemukan solusi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu semangatku?” “Semangat?” tanya Tuan Dingin seraya menyipitkan mata. Tanpa berpikir ulang, sang wanita mengangguk tegas. “Ya. Jika sudah bertekad, aku bisa melakukan apa saja, seperti mengurus rumahmu. Apakah kau tidak lelah mengurus pondok ini seorang diri?” “Jadi maksudmu, kau mau menjadi pelayan di rumah ini?” selidik sang pria, meragukan. Meski sempat ragu, Amber akhirnya melebarkan senyuman. “Ya, tentu saja. Aku bisa menyingkirkan semua debu dari perabotan, mencuci piring-piring kotor, dan ...” wanita itu berkedip-kedip mencari ide, “memasak makanan.” “Kau bisa memasak?” “Ya! Tentu saja. Aku tahu banyak resep makanan enak,” angguk Amber, berharap kebohongannya tidak terdeteksi. Selang perenungan sesaat, Tuan Dingin beranjak dari sang wanita. “Kalau begitu, buatkan aku makan sian
Sambil mengelus perut, Amber menyandarkan diri di sofa. Wajah pucatnya tidak lagi bersemangat, sementara matanya yang redup tampak begitu putus asa. “Ini sudah lewat beberapa jam, tapi kenapa efeknya belum hilang juga?” gerutu wanita itu sebelum terpejam menahan mual. Malangnya, bayangan sup gagal tadi siang malah terlintas semakin jelas. “Ck, membuatku semakin pusing saja,” lanjutnya seraya memijat pelipis. “Kenapa kau pusing? Apakah karena sup lumpurmu itu?” Mendengar suara Tuan Dingin, Amber sontak menegakkan badan dan membuka mata. Dengan tampang datar, ia menjawab, “Ya, tapi bukan karena rasanya. Sup tomat kentang tadi sangat enak. Hanya saja, aku tidak bisa makan terlalu banyak.” Sambil menaikkan alis, pria yang muncul dari dapur itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat lakukan tugas selanjutnya!” “Tugas apa lagi? Aku sudah merapikan dapurmu dan lemari tulang itu. Aku juga sudah menyingkirkan semua debu dari ruang ini. Tidak bisakah kau memberikan aku waktu istirahat?” p
Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin. “Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan. “Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.” Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya. “Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.” Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak
Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega. “Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar. Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak. “Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita. Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber. “Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?” Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah. Selesai memakaika
Ketika mobil berhenti, Amber langsung memajukan kepala dan celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya. Namun, dari ujung ke ujung, tidak ada satu pun bangunan yang tertangkap oleh matanya. Yang ada hanyalah bayangan pepohonan di bawah langit biru gelap. “Apakah kita sudah sampai? Mana toko grosir yang kau tuju?” Setelah menarik rem tangan, Adam menoleh ke kanan. Ekspresinya datar. Mustahil bagi sang wanita untuk mengetahui isi hatinya. “Masih beberapa puluh meter di depan. Tapi aku tidak mau ada orang yang melihatmu turun dari mobilku.” “Baiklah, itu berarti kita berpisah sekarang,” gumam Amber seraya mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, wanita itu memasang senyum kecil yang sulit diartikan. “Terima kasih, Tuan Dingin. Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan bersabar menghadapiku.” Tak tahu harus menjawab apa, Adam mengangkat bahu sekilas. Tatapannya kemudian beralih ke kaca depan. Sementara itu, Amber mulai melepas anting-anting di telinganya. “Seperti yang sudah kubilang,
“Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa
Dengan raut datar, Adam mengamati barang-barang yang tergeletak di lantai. Sebotol susu yang masih berada dalam kantong belanjaan, roti yang tersisa setengah, dan sebuah buku yang terjungkal. Tak satu pun dari mereka bersih dari noda merah. Setelah termenung sejenak, sang pria menekuk lutut. Sambil berkedip lambat, ia memeriksa apa yang tertulis pada halaman pertama buku itu. “Kepada siapa pun yang menemukan buku ini, tolong kirimkan ke alamat berikut.” Membaca dua potong kalimat itu, Adam tertegun. “Apakah dia menuliskan pesan wasiat?” Seraya mengerutkan alis, ia memeriksa halaman selanjutnya. “Kepada Mia, Julian, Gaby, dan Max. Sesuatu yang buruk sedang menimpaku. Sepertinya, ini karma buruk yang harus kuterima akibat kejahatanku dulu. Tapi kalian jangan khawatir. Amber Lim tidak pernah menyerah. Aku pasti berusaha untuk menepati janjiku kepada kalian.” Setelah menyimak paragraf pertama, Adam mengerutkan alis. Sembari menggeleng samar, ia melirik ke arah yang ditempuh sang wan
Tanpa sadar, Amber menelan ludah. Setelah menarik napas berat, ia berkata dengan suara dalam. “Sudah kubilang, aku bukan perempuan seperti itu.” “Begitukah?” gumam Adam sambil menyipitkan mata. Sedetik kemudian, ibu jarinya bergerak pelan mengelus bibir sang wanita. “Bukankah kau sudah terbiasa menawarkan tubuhmu kepada laki-laki yang ingin kau rebut? Gadis-gadis tadi bahkan menyebutmu pelakor internasional.” Setelah menepis tangan sang pria dari wajahnya, Amber meruncingkan tatapan. “Tutup mulutmu. Kau tidak mengerti dengan apa yang kau sebut.” “Bagian mana yang tidak kumengerti?” selidik Tuan Dingin seraya memiringkan kepala. “Cara kau menawarkan tubuhmu? Atau bagaimana asal mula kau mendapat julukan itu?” “Aku bukan perebut suami orang,” tegas Amber dengan mata yang telah kembali berkaca-kaca. “Kau tidak berhak mencapku dengan sebutan itu.” Selang keheningan sesaat, Adam mulai mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku tidak peduli dengan latar belakangmu. Sekarang, yang harus kita pik