Share

2. Jangan Menguji Kesabaranku

Sambil tersenyum miring, Tuan Dingin menuangkan teh dari panci ke dalam cangkir. Sama sekali tidak ada penyesalan pada raut wajahnya. Sorot mata pria itu malah tampak puas.

“Dasar perempuan bodoh,” gumamnya samar. “Tidak ada satu orang pun yang bisa mengusik ketenanganku. Kau harus tahu itu.”

Setelah menyeruput sedikit, Tuan Dingin membawa cangkirnya menuju sebuah kursi di dekat jendela. Dari situ, ia dapat melihat salju turun dari langit dan angin kencang mulai menggerakkan puncak pinus.

“Hm? Apakah malam ini akan ada badai lagi?”

Seraya mengangkat alis, pria itu menikmati tehnya. Ia senang telah berhasil mengembalikan kedamaian. Namun, semakin banyak salju yang turun, semakin jauh tatapannya menerawang. Hingga pada satu titik, desah cemas berembus dari mulutnya.

“Perempuan itu ... mampukah dia bertahan?”

Selang perenungan singkat, Tuan Dingin menggeleng cepat. Tidak seharusnya bayangan Amber menetap lama dalam benaknya.

“Kenapa aku memikirkan perempuan itu? Dia bukan siapa-siapa.”

Sambil mengangguk-angguk, pria itu kembali mengangkat cangkir. Namun, belum sempat teh mengenai bibirnya, ia bergeming.

“Tapi, kalau perempuan itu mati, aku juga yang akan repot,” pikirnya sebelum meletakkan cangkir di pinggir jendela. Setelah mengetuk-ngetukkan jari, Tuan Dingin akhirnya beranjak mengambil mantel dan senter.

“Ck, kenapa perempuan selalu menyusahkan?” gerutunya sambil membuka pintu. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menelusuri jejak Amber.

“Hm? Ke mana perginya perempuan itu?” batin Tuan Dingin saat melihat tidak ada yang berdiri di pinggir jalan. Sambil mengerutkan alis, ia mempercepat lajunya.

Lima meter dari bahu jalan, langkah pria itu mendadak terhenti. Selang satu kedipan tegas, ia menoleh ke kanan. Sedetik kemudian, ekspresi datarnya berubah tegang. Seseorang bermantel putih telah terbaring dikelilingi timbunan salju.

“Gawat!” desah Tuan Dingin sambil memasukkan senter ke dalam saku. Secepat kilat, ia memeriksa keadaan sang wanita. “Nona? Nona!”

Meskipun pipinya ditepuk beberapa kali, Amber tidak menjawab. Sekujur badannya yang dingin pun diam. Tak ingin dituduh sebagai pembunuh, sang pria bergegas mengangkat wanita itu. Dengan susah payah, ia membawanya berjalan menembus salju.

Setibanya di pondok, Tuan Dingin langsung membaringkan Amber di dekat pemanas. Kini ia dapat melihat betapa birunya bibir wanita itu. Sekali lagi, sang pria mencoba untuk membangunkan Amber.

“Nona? Nona!”

Sayangnya, guncangan yang ia berikan tidak cukup untuk mendatangkan kesadaran. Merasa putus asa, Tuan Dingin pun berdecak kesal. “Tidak seharusnya aku melewati batas. Lihatlah akibatnya! Dia hipotermia.”

Setelah mengomeli diri sendiri, sang pria menarik sarung tangan Amber. Sambil meremas jemari pucat yang sedingin es itu, ia mengharapkan perubahan.

“Ayo, Nona ... bangunlah! Jangan membuatku dicap sebagai pembunuh! Salahmu sendiri telah menggangguku di malam musim dingin.”

Detik demi detik berlalu, Amber tidak juga bergerak. Napasnya bahkan hampir tidak terdeteksi. Tak ingin terlambat, Tuan Dingin bergegas melucuti pakaiannya.

“Tidak ada cara lain. Aku terpaksa melakukannya. Jangan menyalahkanku, Nona. Ini demi keselamatanmu.”

Selang beberapa saat, kedua orang itu tidak lagi mengenakan busana. Tanpa ragu, Tuan Dingin menarik selimut dari sofa. Sembari membentang kain tebal itu, ia menangkup punggung Amber dengan tubuhnya. Sedetik kemudian, pria itu mulai mendekap erat sang wanita dan menjalarkan tangan menebar kehangatan.

***

Begitu membuka mata, Amber langsung disambut oleh percikan api di balik kaca pemanas. Mendapati pemandangan yang tidak biasa itu, ia pun tersentak. Sambil terbelalak, wanita itu mengingat-ingat kejadian semalam.

“Aku masih hidup?” simpulnya setengah percaya. Setelah berkedip-kedip cepat, barulah ia mendesah lega. “Syukurlah .... Siapa yang menyelamatkanku?”

Sambil menahan rasa berat dalam kepala, Amber menegakkan badan. Tepat pada saat itu pula, kain yang menutupi tubuhnya tersingkap. Dalam sekejap, keceriaan di wajahnya memudar. Secepat kilat, wanita itu kembali membungkus diri dengan selimut.

“Di mana pakaianku?” desahnya seraya celingak-celinguk. Tak mendapati apa yang ia cari, Amber spontan meringis. “Astaga. Apa yang telah terjadi padaku?”

Selagi wanita itu kebingungan, seseorang meletakkan piring ke dalam wastafel. Suara dentingnya terdengar hingga ke ruang depan. Mengetahui keberadaan “sang pelaku”, Amber pun bangkit. Sambil menyeret selimut yang melilit di tubuhnya, ia berjalan menuju dapur.

Begitu melihat si Tuan Dingin, Amber spontan ternganga lebar. Rasa syukur yang sempat tumbuh mendadak lenyap. Yang tersisa hanyalah kejengkelan dan kemarahan yang teramat besar.

“Kau ...!” serunya seraya meruncingkan telunjuk. Mata wanita itu telah memerah dan berair. “Aku mengerti sekarang. Pantas saja kau membiarkanku kedinginan di luar sana. Kau pasti berharap aku pingsan, sehingga kau bisa melakukan apa saja terhadapku!”

Mendengar suara Amber yang begitu kencang, sang pria sontak mengernyit. “Kau tidak tahu terima kasih, rupanya. Aku sudah menyelamatkanmu, tapi kau malah meneriakiku?”

Dengan sebelah tangan dan napas menderu, Amber mencengkeram baju laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya itu. “Kau kira aku tidak tahu? Kau sudah meniduriku!”

Bukannya takut, Tuan Dingin malah meninggikan dagu. “Berhentilah mengada-ada,” ucapnya dengan nada rendah dan datar.

“Mengada-ada?” tanya Amber dengan suara bergetar. “Bukankah buktinya sudah jelas? Aku terbangun tanpa sehelai benang!”

Tiba-tiba, sang pria mendengus sinis. “Memangnya kenapa kalau aku menyingkirkan pakaianmu? Bukankah kau ingin selamat? Kau tidak akan mampu bertahan dengan mantel basah itu.”

Setelah mendekatkan kepalanya dengan sang wanita, Tuan Dingin memperdalam suara. “Kau mengalami hipotermia semalam. Satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu adalah dengan berbagi kehangatan ... dari kulit ke kulit. Karena itulah, aku melepas pakaianmu,” terangnya dengan ekspresi dingin.

“Lalu, kau menjadikan itu alasan untuk meniduriku? Begitu?” sela Amber sambil mendongakkan wajah. Tangannya yang mencengkeram baju sang pria kini bertambah erat.

Tanpa terduga, sebelah sudut bibir Tuan Dingin terangkat lebih tinggi. “Kau kira aku tertarik padamu?” Sembari menggeleng, pria itu menyipitkan mata. “Sama sekali tidak, Nona. Aku justru terpaksa menyentuh tubuhmu yang kotor itu.”

Helaan napas sontak lolos dari mulut Amber. “Kotor? Kau menyebutku kotor?”

“Tolong jangan bersikap seperti gadis yang masih suci. Aku tahu, perempuan sepertimu pasti sudah tidur dengan banyak laki-laki.”

Sebuah tamparan pun mendarat di pipi Tuan Dingin. Dengan mata yang membara, Amber kembali meruncingkan telunjuk. “Jaga mulutmu! Aku bukan perempuan semacam itu. Kau tidak boleh seenaknya menyentuhku, apalagi meniduriku!”

Sambil menekan bagian dalam pipi dengan lidah, Tuan Dingin membalas tatapan Amber dingin. “Sudah kubilang, aku tidak menidurimu.”

“Kau kira aku percaya? Mana ada laki-laki normal yang tidak melakukan itu ketika bersama perempuan tanpa busana? Memangnya kau impoten, hah?”

Dalam sekejap, mata sang pria terisi oleh kebencian. Sambil menggertakkan geraham, ia mendorong pundak Amber hingga tersudut di salah satu dinding. Tanpa sedikit pun iba, Tuan Dingin mencengkeram dagu sang wanita.

“Mulutmulah yang seharusnya dijaga! Kalau saja aku tahu kau seberisik ini, aku pasti sudah membiarkanmu mati di luar sana.”

Meski takut, Amber tetap mempertahankan ekspresi kesalnya. Dengan agak tertunduk, ia menatap Tuan Dingin tajam.

“Ternyata benar. Kau impoten,” gumam wanita itu tanpa berpikir panjang.

Sedetik kemudian, sebuah tinju mendarat di dinding, tepat di samping kepala Amber. Menyaksikan tindakan spontan itu, sang wanita spontan memekik. Sambil memejamkan mata rapat-rapat, ia menggenggam selimut dengan erat.

“Jangan menguji kesabaranku,” tegas Tuan Dingin dengan suara rendah yang membuat Amber bergidik ngeri. “Kau seharusnya bersyukur aku tidak memakanmu bulat-bulat.”

Usai memberi peringatan, pria itu pergi dari hadapan Amber. Sesaat kemudian, terdengar suara pintu dibanting dari arah depan. Mengetahui Tuan Dingin tidak lagi bersamanya, sang wanita langsung menjatuhkan diri di atas lantai. Sudah sejak tadi ia menahan gemetar di kedua lututnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
mayang wijaya
Mantap kk ceritanyaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status