Alih-alih membantah, Adam malah membalikkan halaman. Sedetik kemudian, ia mengangkat buku itu ke hadapan Tuan Lim. “Jika saya memberikan pengaruh buruk kepada Amber, apa mungkin dia bisa menggambar ini?” Langkah pria tua itu sontak terhenti. Dari bawah kernyitan dahi, ia memeriksa apa yang dimaksud oleh Adam. Ternyata, sebuah bros dan penjepit dasi berinisial A tergambar di sana. “Apa kau sedang memamerkan besarnya cinta Amber terhadapmu?” tanya Tuan Lim seraya menaikkan alis. Sebelum sang duda sempat menjawab, ia mendengus remeh. “Aku tidak peduli tentang hal itu, Tuan Smith. Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah mendapat restu dari kami.” “Apakah Anda mengira bros dan penjepit dasi ini untuk kami?” sela Adam dengan nada mengejek. Sambil mengulum senyum, ia menggeleng. “Maaf mengecewakan Anda, Tuan Lim. Tapi saya tidak pernah mengenakan penjepit dasi dan Amber pun tidak pernah menceritakan tentang koleksi brosnya. Dia pasti menggambar ini karena teringat tentang kalian.” Selang
“Adam,” panggil Amber sebelum tersedak oleh ketakutan, “putar balik!” Bukannya menuruti perintah, Adam malah terpaku pada wajah bengis para pria yang mendekat. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Mampukah ia mengalahkan dua tukang pukul itu? “Adam!” Amber mengguncang lengan sang kekasih hingga pria itu tersentak. “Cepat putar arah! Papa pasti memerintahkan mereka untuk menyeretku pulang.” Selang satu embusan cepat, Adam bergegas mengganti gigi. Namun, tepat ketika ia memeriksa spion, matanya terbelalak maksimal dan tubuhnya menegang. Dua mobil lain juga telah menghalangi arah sebaliknya. “Gawat,” batinnya sambil menahan gemuruh napas. Melihat sang kekasih mendadak bergeming, Amber pun menoleh ke belakang. Begitu mendapati empat orang telah bersiaga di balik mobilnya, keringat dingin mulai membutir. “Adam, bagaimana ini?” desah wanita itu panik. Napasnya mulai memendek. Secepat kilat, Adam meraih jemari Amber. Sembari menggenggamnya erat, ia menyejajarkan pandangan. “Tenang saja. Aku
“Hei,” desah Adam sembari mengelus pipi sang kekasih dan memajukan wajahnya. “Lihat aku, Amber ... lihat aku!” Di bawah alis yang berkerut tipis, mata sang wanita kembali terbuka. Tatapannya lemah dan tampak sangat lelah. “Kau tidak perlu panik lagi. Aku sudah di sini, bersamamu,” bisik sang pria sembari memberikan senyum terbaik semampunya. Selang satu kedipan, tangan Amber terangkat mencengkeram mantel kekasihnya. “Adam ....” “Benar, ini aku. Sekarang kendalikan dirimu! Atur napasmu!” Adam menggenggam jemari dingin sang wanita untuk memberinya kekuatan. “Ayo, Precious. Kau pasti bisa.” Sambil mengangguk samar, Amber mencoba untuk menarik napas lebih panjang. Malangnya, desakan dalam dada terlalu besar untuk dikalahkan. “Tidak bisa,” desahnya sebelum menjatuhkan lebih banyak air mata. Sedetik kemudian, Adam memindahkan tangan sang kekasih ke perut. “Coba pikirkan bayi kita! Dia juga ingin bernapas. Kau tidak boleh menyerah.” Tiba-tiba, Amber balik mencengkeram tangan Adam. Sam
Dari kursi di samping tempat tidur, Amber terus menggenggam tangan Adam. Sesekali, ia mengangkat telapak besar itu dan menempelkannya di pipi. Namun, bukannya menjadi tenang, hatinya malah semakin gundah. Melihat kegelisahan wanita itu, Tuan Berg pun membuka pintu lebih lebar dan berjalan masuk. "Tak usah khawatir, Nona. Kakakku adalah dokter terhebat di daerah sini. Jadi, analisisnya tidak mungkin salah. Tuan Smith baik-baik saja." "Tapi kenapa dia belum bangun juga? Ini sudah lebih dari tiga jam," timpal Amber dengan suara serak dan kerut alis yang dalam. Merasa iba, Tuan Berg duduk di sampingnya. "Meskipun Tuan Smith adalah laki-laki yang kuat, dia tetap butuh waktu untuk pemulihan. Jadi, biarkan saja dia beristirahat. Yang penting, lukanya sudah diobati dan tanda vitalnya aman." "Dia pasti bangun, bukan?" tanya Amber lirih. "Tentu saja. Sekarang, bagaimana kalau kau ikut makan bersama kami? Putri dan keponakanku sudah datang. Mereka menunggumu di ruang makan." Dalam sekeja
Tak tahan menyaksikan kehebohan keluarga besarnya, Tuan Berg pun mengangkat tangan. “Perhatian, perhatian! Bukankah kita baru saja mendapat pelajaran berharga dari Ella dan Freja? Kenapa kalian malah melakukan kesalahan mereka sekarang?” Dalam sekejap, orang-orang di meja makan itu terdiam. Tidak ada lagi yang berani membicarakan tentang kanibal. Mereka sadar bahwa hal itu belum tentu benar. Mereka telah terhasut oleh kabar yang beredar. “Sepertinya, Anda harus menjelaskan tentang julukan itu, Tuan Smith. Mengapa Anda dipanggil kanibal?” Mendengar usulan Ella tersebut, Amber spontan menggoyangkan tangan yang menggenggamnya. “Adam, apa kau mau aku yang menceritakannya?” bisik wanita itu cemas. Sambil tersenyum kecil, sang pria menggeleng. “Tetaplah di sampingku. Itu saja sudah lebih dari cukup.” Sedetik kemudian, ia menarik napas dalam-dalam dan melebarkan lengkung bibir. “Sejujurnya, aku mengalami depresi berat setelah bercerai. Demi menyembuhkan diri, aku menyendiri di sebuah po
Adam dan Amber terbelalak ketika telinga mereka menangkap suara ketukan. Tidak ada lagi gerakan yang berani mereka lakukan. Napas pun mereka embuskan dengan sangat hati-hati. "Kau dengar itu?" bisik Amber seraya melirik ke arah pintu. Belum sempat Adam menjawab, suara ketukan kembali terulang. "Maaf, Nona Lim, apakah kalian sedang sibuk?" "Ada hal penting yang ingin kami sampaikan." Dalam sekejap, pasangan itu sama-sama melangkah mundur. Tanpa aba-aba, mereka beradu untuk membetulkan pakaian. "Kenapa gadis-gadis itu datang di saat seperti ini?" gerutu Adam sambil menutupi kekacauan di balik sweater besarnya. Sambil menahan tawa, Amber mengangkat pundak. "Entahlah. Kau tunggu di sini saja. Biar aku mengajak mereka bicara di luar." "Jangan lama-lama," pinta Adam dengan tampang memelas. Sang wanita otomatis mendengus gemas. Usai mengangguk, ia berjalan keluar, meninggalkan sang kekasih dengan tampang kusut. "Aku seharusnya menunggu lebih malam," sesal pria itu sebelum menggar
Lengkung alis Adam otomatis mendesak dahi. Napasnya tertahan sedangkan mulutnya terkatup rapat. Bagaimana mungkin ia lupa mengubah ponselnya ke mode senyap? “Sejak kapan kau membagikan kontakmu kepada orang lain? Kenapa aku tidak pernah tahu?” tanya Amber dengan nada heran. Setelah mengerjap, sang pria bergegas membentuk lengkung kecil dengan bibirnya. “Aku juga terkejut ponselku tiba-tiba bergetar. Ini pasti salah sambung. Hanya kau dan Tuan Berg yang menyimpan kontakku,” terang Adam sebelum menolak panggilan. Sambil mengerucutkan bibir, Amber mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, ia mengubah ekspresi kembali ramah lalu menoleh ke kanan dan kiri. "Freja, Ella, aku harus pulang sekarang. Kupercayakan kepada kalian untuk memilih foto mana yang terbaik. Aku yakin, kalian punya selera tinggi. Dan ingat! Jangan sebar foto-foto kami ke mana pun. Jagalah rahasia kami seperti Tuan Berg menyimpan video kami!" "Tenang saja, Amber. Kami bisa diandalkan," timpal Freja sambil menaikkan sebela
“Maafkan aku, Amber. Aku hanya tidak ingin kau terbebani oleh masalah baru,” desah Adam sambil meraih pundak di hadapannya. “Tapi kenyataannya, kau malah membuat masalah yang lebih besar!” pekik Amber seraya menepis tangan sang pria. Air mata kini mengalir deras di wajahnya. Pemandangan itu sukses memperluas luka di hati Adam. Sambil tertunduk, laki-laki itu menggenggam penyesalan. “Aku tahu. Ini salahku.” “Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan? Pergi menemui orang tuaku? Berlutut di hadapan mereka dan membiarkan orang-orang itu menghajarmu lagi? Atau berlutut di depan gedung badan administrasi?” sindir Amber dengan suara tersedak. Tak sanggup memikul rasa bersalah, Adam terpejam dan mendesah pasrah. “Aku tidak tahu ....” “Lakukan saja! Bukankah kau selalu gegabah? Kau selalu berpikir dari sudut pandangmu saja, tanpa memperhitungkan akibat dari sisi lain. Kenapa tidak sekalian saja kau bakar gedung itu?” “Tidak, Amber,” sanggah sang pria diiringi gelengan pelan. “Kau adalah d