Share

02. Kebencian

Untuk sejenak, Helenina merasa seolah semua kecamuk pikiran dan emosi di dalam dirinya ditarik keluar, lenyap membawa kekosongan. Histeria itu dia rasakan singkat dalam sepersekian detik setelah namanya disebut.

Dan tidak sampai di sana, saking terhenyaknya, Helenina dengan tatapan kosong mengulang nama itu di lidahnya sendiri. “Helenina ... Rutherford?” bisiknya, dengan nada yang terdengar seperti sebuah pertanyaan alih-alih pernyataan, seolah itu bukan namanya sendiri.

Bagaimana pria ini bisa tahu ...?

Kemudian Helenina menggeleng, melepaskan cengkeraman tangan pria itu di dagunya. Veil yang Helenina kenakan belum dilepas, jadi pastinya pria ini belum mengenali siapa dirinya bukan?

“Kenapa? Apakah itu bukan namamu?”

 Terdengar nada sarkas di suara pria itu.

Helenina menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri mendongakkan pandangannya dan menatap kembali wajah suaminya—yang sebenarnya tidak terlalu tampak jelas dalam pandangannya.

Helenina berkata dengan segenap keberaniannya, “K-kau ... kenapa kau menyebut nama wanita lain di kamar pengantinmu sendiri, T-Tuan Rutherford?”

Ah, Helenina ingin mengutuk dirinya sendiri karena berbicara dengan terbata-bata, tapi berharap bahwa ucapannya terdengar cukup meyakinkan.

Satu-satunya yang membuat Helenina berkata demikian adalah keyakinan bahwa saat ini keluarganya pasti sudah menemukan Rosaline. Dan dalam beberapa jam, kalau Helenina berhasil mempertahankan sandiwara ini, dia akan segera ditukar dengan Rosaline, dan semuanya pasti akan baik-baik saja—kembali seperti semula seolah tidak ada hal buruk yang pernah terjadi.

Namun sepertinya, Helenina terlalu optimis dalam hal tersebut.

Sebelah ujung bibir Arthur Rutherford terangkat sedikit, membentuk sebuah senyum sinis yang sama sekali tidak menyampaikan humor di matanya.

“Wah! Aku tidak pernah menyangka bahwa Keluarga Baron akan mengkhianatiku sampai sejauh ini. Kalian berpikir terlalu rendah padaku, bukan? Ataukah kau ... Helenina, yang menghinaku terlalu bodoh sekarang sehingga kau bisa berpikir bahwa akan mudah untuk menipuku?”

“A-ah, tidak. Siapa ... siapa yang—”

“Cukup!”

Helenina berjengit. Bersamaan dengan itu veilnya disingkap, ditarik ke belakang sehingga kepalanya tersentak dengan napas yang ikut tercekat. Helenina dipaksa untuk mendongak dengan kasar, menatap api kemarahan di mata kelam milik pria itu yang seolah menyala.

Keputusasaan mulai merayap membungkus Helenina. Dia tidak tahan dengan semua tekanan yang pria ini berikan padanya, sehingga tanpa bisa dikontrol air matanya jatuh berlinang begitu saja.

Tapi bahkan dengan itu, ekspresi keras di wajah Arthur Rutherford tidak berubah. Air mata wanita ini tidak cukup membuatnya bersimpati atau meredakan sedikit amarahnya.

Memang apa yang Helenina harapkan? Semua pria juga pasti akan bereaksi sama. Siapa yang mau istri cantiknya yang bak bidadari ditukar dengan wanita jelek sepertinya?

Kalau saja pernikahan ini berjalan lancar, dan yang ada di posisinya sekarang adalah Rosaline, pastinya Arthur Rutherford akan dilingkupi kebahagiaan dan senyuman alih-alih kemarahan yang membara seperti sekarang.

Helenina sudah sering menghadapi amarah seseorang yang ditujukan padanya. Selama hidupnya, ayahnya tidak sekali pun menganggap Helenina pantas menerima kasih sayang. Pada hari-hari tertentu, Helenina akan dipanggil dan dimarahi habis-habisan tanpa alasan yang jelas. Tidak segan-segan ayahnya juga akan memukulnya, lalu mengatakan hal-hal yang membuat Helenina sakit hati.

Jadi sekarang, ketika dia menghadapi amarah dari seseorang selain ayahnya, tentu ini bukanlah apa-apa bukan? Helenina memejamkan mata lebih erat dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak harus takut. Dia sudah pernah menghadapi yang terburuk dari luapan kemarahan seseorang, jadi kali ini bukanlah apa-apa. Dia juga bisa menghadapi yang satu ini.

Helenina siap merasakan sengatan rasa sakit dari pukulan yang mungkin akan dilayangkan kepadanya, seperti yang sering kali ayahnya lakukan. Dan bayangan tersebut terus berputar dalam benaknya. Helenina tidak ingin apa pun selain untuk lenyap saat ini juga.

“Ma-maafkan aku, T-tuan. Ku-kumohon ... maaf.” Dengan mata terpejam erat, Helenina tidak henti-hentinya menggumamkan kata maaf dengan suara terbata, karena hanya itulah yang bisa dia katakan.

“Buka matamu!”

Helenina tidak sadar bahwa napasnya telah memburu dan air matanya mengalir terlalu deras sehingga sesekali suara sesenggukan terdengar. Bayangan yang terbentuk di benaknya langsung buyar.

Tidak ada rasa sakit. Tidak ada suara pukulan atau bentakan menggelegar yang membuat telinganya berdengung.

Tidak ada.

Saat Helenina perlahan membuka mata, pandangannya belum beradaptasi dengan minimnya cahaya sehingga yang dia lihat hanya siluet seorang pria bertubuh besar dan kokoh berdiri di hadapannya. Di tangan pria itu, terdapat kain putih yang tampaknya adalah veil yang sebelumnya Helenina kenakan.

Sekarang, sudah tidak ada alasan bagi Helenina untuk menyembunyikan semuanya.

“Jelaskan dirimu!”

Nada memerintah itu terlalu kuat sehingga tanpa pikir panjang Helenina langsung menurut.

“Ro-Rosaline pergi. Dia menghilang dari kamarnya pagi ini.” Helenina masih sesenggukan sehingga ucapannya terjeda. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan untuk menenangkan diri, kemudian dia melanjutkan, “A-ayah ... ayah memintaku untuk menggantikan Rosaline di altar. Aku tidak tahu apa-apa, su-sungguh! Aku hanya menurut apa yang ... apa yang Ayah perintahkan.”

“....”

Keheningan yang menyertai penjelasan payah itu semakin membuat Helenina cemas.

Sekarang dia telah membuka mata lebar-lebar, tapi tetap tidak bisa melihat ekspresi apa yang kiranya terpasang di wajah pria di hadapannya ini. Jadi Helenina menunduk. Kalau dia tidak bisa melihat dengan jelas, lebih baik orang juga tidak perlu melihatnya.

“Maafkan aku, Tuan Rutherford. Aku benar-benar tidak bermaksud menipumu,” ucap Helenina lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan dan hati-hati.

Setelah itu, dia mendengar suara langkah. Arthur Rutherford berjalan menjauh dan berhenti di dekat jendela.

Kemudian dia berkata, “Kuakui, bahwa kejadian ini benar-benar di luar dugaan dan cukup memancing amarahku.”

Helenina mengangkat pandangannya sedikit, mengintip sosok pria itu dari balik bulu matanya yang basah. Tubuh Arthur dibasuh cahaya bulan yang masuk melalui jendela, tangannya yang tadi mencengkeram Helenina dengan kasar bergerak menyugar rambutnya yang Helenina yakin berwarna hitam legam bahkan ketika berada di bawah cahaya.

“Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Tidak ada yang bisa dilakukan dengan itu,” Arthur melanjutkan.

Helenina mengernyit tidak mengerti.

Arthur Rutherford menoleh sedikit ke belakang, saat itulah Helenina bisa melihat sedikit wajahnya. Hanya hidung mancung dan bentuk rahang yang tajam. Kemudian pria itu berkata lagi dengan nada tenang, “Kau tetap adalah istriku.”

“A-apa ...!” Helenina menatapnya dengan ekspresi terkejut.

Sebuah kekehan tanpa humor terdengar. “Yah, sejak awal ... aku tidak peduli siapa di antara kedua putri Thomas Baron yang harus kunikahi, selama dia berasal dari Keluarga Baron, selama dia sanggup memberikanku keturunan. Aku tidak masalah.”

Helenina tahu bahwa pernikahan antara Arthur Rutherford dan Rosaline Baron adalah sebuah pernikahan yang dilandasi perjodohan, tapi dengan pria itu berkata seperti ini, Helenina dibuat terkejut dan ... sedih.

“Ah, tapi ... tapi janji pernikahannya—” Helenina terbata, mencoba mengingat kembali prosesi pernikahan tadi.

“Kenapa dengan janji pernikahannya?”

“Nama. Itu tidak sah!” Helenina langsung terdiam dan menunduk takut saat menyadari bahwa nada suaranya meninggi.

Arthur berbalik, suara langkah kakinya yang mendekat menggema di telinga Helenina. Pria itu kembali berdiri tepat di hadapan Helenina. Auranya yang kuat dan gelap oleh kemarahannya yang tersisa, membuat Helenina menciut dan berharap bahwa dia bisa bersembunyi saat itu juga.

“Ah, jadi kau tidak memperhatikan sama sekali. Kau tidak mendengar nama siapa yang kusebut?”

Helenina tidak menjawab. Dia yakin bahwa tentu saja nama adiknya yang tersebut, namun ucapan pria itu membuat Helenina meragu. Dia pun menggeleng. “Si-siapa?” tanyanya balik.

Jemari yang panjang menyentuh dagu Helenina lagi, kali ini tidak sekasar sentuhan sebelumnya. “Helenina Baron. Aku tahu itu dirimu sejak pertama kali kakimu menyentuh altar. Kau pikir dengan berdandan seperti adikmu membuatmu berpikir bahwa kau bisa mengelabuiku?”

“...!”

Napas Helenina tercekat. Tidak hanya fakta bahwa sejak awal Arthur Rutherford mengenalinya, namun kalimat terakhir pria ini juga cukup menusuk Helenina. Ah, ya, tentu saja. Mau bagaimana pun dia berdandan untuk menyerupai Rosaline, tentu tidak akan bisa. Si itik buruk rupa mustahil bisa menjelma menjadi angsa yang cantik, bulu-bulunya yang kotor tidak mungkin bisa disembunyikan.

“Dan ya, aku menyebut namamu, bukan nama adikmu.”

“...!”

“Tidak seperti kau maupun keluargamu, aku cukup memandang tinggi sebuah sumpah yang kuucapkan di hadapan Tuhan, jadi tidak ada alasan bagiku untuk menutupinya.”

“A-ah ... aku—”

Arthur tiba-tiba saja menunduk, mensesejajarkan wajahnya dengan Helenina, membuat napas Helenina tercekat di tenggorokan.

“Berapa kali harus kukatakan bahwa kau harus menatap mata suamimu saat kau berbicara dengannya.”

“Su-suami?” Helenina merasakan otaknya kembali kosong saat mencoba untuk mencerna semua ucapan yang dia dengar.

Sebuah senyum terbit di bibir Arthur. “Ya, suamimu,” sahutnya.

Helenina mengerjap, tidak tahu harus mengatakan apa.

Sentuhan yang Helenina rasakan pada dagunya kini beralih menyusuri rahang dan tepat berhenti di bawah telinganya. Helenina melihat bagaimana tangan itu kemudian bermain di untaian rambutnya—lebih tepatnya adalah rambut hitam bergelombang palsu yang dia kenakan.

Mendadak, aura kemarahan yang sebelumnya sempat mereda, kembali terasa pekat.

Hal selanjutnya yang Helenina rasakan adalah tarikan lembut di rambutnya, tapi gerakan itu mengejutkan Helenina sehingga dia refleks mengaduh.

Tatapan Arthur Rutherford mendingin. “Sekarang setelah semuanya cukup jelas, bisakah kau melepas rambut palsu sialan ini supaya aku bisa melihat rambut merahmu yang indah itu? Hm, Istriku?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status