LOGINUdara Lembang malam itu dingin—dingin yang halus, membungkus kulit seperti kabut lembut yang malas turun dari pegunungan.Villa mewah dua lantai itu berdiri di lereng bukit, dinding kaca lebar menghadap hamparan lampu-lampu Bandung yang berkelip seperti lautan bintang yang tersesat ke bumi.Keinarra melangkah masuk pertama kali. Aroma kayu manis dari diffuser menyambutnya. Reyhan menyusul di belakang—membawa dua koper sekaligus seolah bobotnya tak ada apa-apanya.Widhy sibuk melongok tiap sudut ruangan dengan mata berbinar, sementara Argo mengikutinya dengan langkah pelan—seperti bodyguard yang tidak resmi tapi juga seperti lelaki yang sedang diam-diam jatuh hati.“Gila… tempat ini aesthetic banget,” gumam Widhy sambil memotret view balkon.“Kalau mau foto di luar jangan sendirian, jalannya licin,” ucap Argo otomatis. Romantis sekali.Widhy menatapnya. “Kamu selalu ngomong kayak gitu ke semua perempuan?”“Enggak.” Argo langsung menyahut.“Kok lancar banget, kaya sudah biasa gi
Setelah hampir dua jam berendam di kolam air panas Ciater—bau belerang, uap hangat, dan sedikit kekacauan kecil akibat dua pria iseng yang mencoba mendekati Keinarra—rombongan kecil itu akhirnya bersiap keluar.Keinarra menyampirkan handuk, pipinya hangat karena air panas dan sedikit karena tatapan Reyhan yang belum berhenti memeluknya sejak kejadian “dua pria tadi”.“Mas enggak usah peluk-peluk gini, Mas posesif banget,” gumam Keinarra sambil berjalan ke arah meja dengan empat kursi tempat mereka meletakkan barang.“Punya alasan jelas,” balas Reyhan santai. “Ada dua orang yang hampir kehilangan giginya tadi,” kata Reyhan lagi setengah mengancam.“Mas, sumpah ya. Aku enggak akan nolongin Mas kalau Mas kenapa-kenapa sama mereka.”Reyhan menahan tawa—senyum miringnya muncul, berbahaya dan manis sekaligus.Dari belakang, Widhy dan Argo datang, mereka baru selesai berganti pakaian juga.Senyum di bibir Widhy belum juga hilang, wajahnya pun merah tapi karena air hangat sementara Arg
Pagi buta Jakarta masih sejuk ketika suara klakson pendek terdengar di depan gedung kos Widhy.“Keiii! Aku bawah koper kecil aja ya, takut Mas Reyhan kira aku mau kabur nikah sama idol Korea,” seru Widhy sambil menyeret koper mini bermotif awan.Argo turun dari sisi kemudi, langsung menyambut koper itu. “Saya bawakan.”Widhy mengerjap. “Eh iya makasih … Mas Argo.”“Sama-sama.” Pria itu tersenyum manis,Rasanya Widhy kehilangan gravitasi sedetik.Reyhan menyandar di samping mobil SUV mewah warna hitamnya, celana chino krem, hoodie charcoal, sneaker putih; kasual tapi kelihatan mahal. Keinarra berdiri di samping pria itu, long cardigan coklat muda, jeans, kacamata hitam nertemgger di hidung mancungnya di.“Wuiiih, Pak Reyhan keren juga pakaian casual-nya.” Widhy memuji.Cari muka, karena trip ini disponsori pria itu.“Cari mukaaaa,” timpal Keinarra.Widhy mendekat sambil tertawa lalu memeluk Keinarra.“Akhirnya kita liburan.” Dia berbisik.“Siap?” tanya Reyhan.“Siap banget
Perjalanan pulang terasa seperti duduk di dalam gelembung kaca—sunyi, rapuh, hanya ada suara mesin dan lampu kota yang bergeser cepat di kaca jendela.Keinarra menatap ke luar mobil.Jakarta malam hari seharusnya indah, tapi pandangannya kabur—bukan karena hujan, melainkan air mata yang ia tahan sejak pintu besar rumah Ridwan Mahendra tertutup.Ia menang.Ia berdiri tegak.Ia tidak jatuh.Tapi kemenangan seperti itu … berat.Setiap napas terasa seperti menarik seluruh luka masa lalu keluar permukaan.Tanpa suara, air mata akhirnya jatuh.Dipungut oleh sunyi.Bayangan tentang kejadian di meja makan tadi masih menempel di benak Keinarra.Wanita yang telah melahirkannya, dengan tega memojokkannya setelah semua fitnah keji yang membuat Keinarra frustrasi.Alih-alih meminta maaf, Nadya malah terus ingin menjatuhkannya.Demi Tuhan, Keinarra tidak pernah minta dilahirkan di dunia ini.Dan kalaupun boleh memilih, Keinarra tidak akan memilih Nadya menjadi ibunya.Reyhan sekilas
Arya menatap Reyhan.“Jadi… cinta karena Award… Kamu jatuh cinta karena kecerdasannya?”Reyhan tersenyum, tidak membenarkan juga tidak menyangkal karena sesungguhnya Nadya dan Darmawan tahu niat awal Reyhan memperistri Keinarra.Alvaro ikut bersuara—lebih blak-blakan.“Yang ini jauh lebih elegan dari… yah, masa lalu keluarga yang kita semua tahu.” Matanya melirik Nadya.Nadya meremas napkin di pangkuannya.Mulutnya melengkung sinis.“Elegan? Elegan dari mana? Karena dia banyak diam? Diam juga bisa jadi kepura-puraan, bisa jadi dia hanya pintar main peran.”Kalimat itu halus dan mengandung racun.Suasana membeku.Reyhan hendak bicara—namun Keinarra menatapnya sekilas memberi sinyal biarkan aku.Senyum manis Keinarra berikan untuk Nadya.Suaranya pelan, sedingin es.“Benar, Bu. Diam bisa bentuk dari kepura-puraan.”Tatapan masih terpaku pada Nadya—lurus, lembut dan menusuk.“Tapi… kadang diam juga tanda seseorang tidak perlu menjelaskan apa pun pada dunia. Karena kebenara
Rumah kolonial menteng itu berdiri dalam cahaya lampu kuning hangat, jendela tinggi, batu putih, pilar kokoh.Bukan megah yang ingin dipuji—melainkan megah yang memaksa hormat.Reyhan turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk istrinya.Keinarra melangkah gontai dan setiap langkah turun dari mobil seperti mengetuk udara—membelah sunyi halaman rumah keluarga Ridwan Mahendra.Reyhan tidak memberikan tangan—dia menunggu Keinarra mengambilnya.Keinarra membenarkan scarf hitam lembut di bahunya, menarik napas.Lalu menyambut genggaman itu.Warm. Stabil. Tepat.Pintu besar terbuka bahkan sebelum mereka sampai.Pelayan menunduk.Dan dari kejauhan, ruang tamu telah dipenuhi keluarga besar—gaun satin, rambut disanggul, jas mahal, perhiasan mewah.Semua kepala menoleh.Sunyi.Dan Keinarra merasakan pandangan itu—bukan sekadar menilai pakaian atau kecantikan.Tapi membaca jiwa. Jantungnya mulai berdetak tidak karuan, nafasnya pendek-pendek, wajahnya pucat, Reyhan meremas lembut







