ログインKeinarra kembali dari jam makan siang tepat waktu tapi semua penghuni lantai sudah duduk di tempatnya.Beberapa karyawan melirik penuh rasa ingin tahu kepada Keinarra.Bagi Keinarra, suasana terasa tegang selama beberapa detik—hingga suara Naya memecah hening.“Kei…,” bisik gadis itu sambil menatap Keinarra yang baru saja kembali duduk di kubikelnya. “Tadi itu, seriusan … pak Reyhan nyamperin kamu buat ngajak makan siang?”Keinarra menatap layar laptop, pura-pura sibuk. “Dia cuma Presdir. Mungkin kebetulan aja dia lagi inspeksi ke divisi ini.”Naya memajukan wajah, menatap Keinarra dengan ekspresi menyelidik.“Inspeksi kok ngajak kamu makan siang?”Keinarra menahan napas, kemudian menjawab pelan, “Mungkin dia cuma … ramah sama intern.”“Ramah?” Naya mencondongkan tubuh. “Kei, aku udah kerja di MHN Group tiga tahun, dan selama itu enggak pernah ada Presdir ngajak intern makan siang berdua aja.”Keinarra menggigit bibir bawahnya, enggan men
Akhirnya Keinarra duduk di kursi ruang pemeriksaan tapi dengan wajah masam, sementara Reyhan berdiri bersedekap di samping meja dokter, seperti bodyguard yang setia dan overprotective.Dokter perempuan paruh baya dengan name tag bertuliskan Dr. Sinta, Sp.OG menatap hasil pemeriksaan di tangannya.“Baik, Ibu Keinarra…,” katanya lembut. “Tidak ada hal serius. Ini hanya kram perut akibat kontraksi ringan pada rahim di hari pertama menstruasi. Sangat normal, apalagi jika disertai stres dan kelelahan.”Keinarra mengangguk, senyum tipisnya lebih banyak dipaksakan.“Jadi sebenarnya enggak perlu pemeriksaan ke dokter spesialis apalagi rawat inap ‘kan, ya, Dok?”Dr. Sinta menatap sekilas ke arah Reyhan, lalu tersenyum samar. “Ya … kalau saja suami Ibu tidak sekhawatir ini, kram di perut normal terjadi.”Reyhan menegakkan tubuh, seolah baru disorot lampu spotlight.“Dok, saya cuma ingin memastikan dia enggak kenapa-kenapa,” katanya dengan nada terlalu serius
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai gorden Penthouse lantai tujuh tapi tidak dengan lembut seperti biasanya. Sinarnya terasa menusuk mata Keinarra.Dia menggeliat malas di tempat tidur, meraih ponsel di nakas, dan baru menyadari jam digital menunjukkan pukul 07.32.“Ya Tuhan…,” gumamnya dengan suara serak. “Kesiangan.”Namun belum sempat beranjak, sesuatu yang lengket dan hangat terasa di antara kedua pahanya. Keinarra menoleh ke bawah dan mendapati noda merah menyebar di sprei linen putih yang melapisi kasur.“Ya ampun…,” desisnya frustrasi. “Bener kata mas Reyhan, ternyata kemarin itu aku lagi PMS, pantesan kok emsional banget.” Keinarra mengesah.Dia bangkit tergesa, berjalan setengah pincang menuju kamar mandi.Setelah membersihkan diri, Keinarra menatap wajahnya di cermin—pucat, kantung mata menghitam, dan rambut berantakan seperti habis perang dunia.Mood-nya langsung jatuh ke titik nol.“Baru bangun aja udah drama,” gumamnya getir
Mall tempat mereka menonton ramai oleh pasangan muda dan keluarga kecil.Widhy sedang membeli popcorn rasa karamel dan dua gelas cola besar, sementara Keinarra menunggu di depan pintu teater.Sweater rajut pink dengan pita besar di dada dan rok putih model balon yang panjangnya hanya sampai di atas lutut serta kitten heels membuat Keinarra tampak girly.“Ayo Kei,” kata Widhy.Mereka masuk ke dalam bioskop.Filmnya dimulai dengan kisah dua orang yang berpisah karena kesalahpahaman dan mencoba memperbaiki hubungan setelah bertahun-tahun.Setiap adegan terasa seperti tamparan lembut di hati Keinarra.Ketika pemeran utama pria berkata,“Aku bukan ingin menebus masa lalu. Aku cuma ingin kamu tahu, aku enggak pernah berhenti mencintaimu.”Keinarra spontan menghela napas panjang.Matanya terasa panas.Widhy menatapnya dari samping sambil menahan tawa kecil.“Duh, kamu jadi sensitif banget, Kei,” bisiknya.“Filmnya aja yang lebay.” “Filmnya atau hidup kamu?” goda Widhy.Keinar
Kalau tidak salah, Keinarra pernah melihat ada kolam renang di Penthouse ini.Jadi dia memakai baju renangnya dan pergi ke area kolam renang.Banyak orang memenuhi area tersebut padahal hari masih pagi, mungkin karena weekend.Ada keluarga-ayah ibu bersama anak-anaknya, ada yang hanya sendiri, dan juga ada pasangan yang sangat mesra tapi prianya tampak jauh lebih tua dari wanitanya.Keinarra menyimpan handuk di daybed dan mulai berenang dari ujung kolam ke ujung lainnya.Kesegaran segera saja dia rasakan.Kadang Keinarra berpikir untuk pergi saja dari Penthouse ini dan mengembalikan semua uang Reyhan tapi bagaimana dia akan hidup?Dan Reyhan pasti menyeretnya kembali ke sini.Setelah setengah jam bolak balik tanpa henti. Keinarra hendak naik ke darat.Tapi berhubung tangganya jauh jadi memaksakan diri naik dengan menekan tangannya pada permukaan sisi kolam.Sekali dua kali dia mencoba ternyata sulit namun ketika dia mencoba yang ketiga, ada tangan besar mendorong bokongnya d
“Kei, kamu harus traktiran!” seru Naya begitu mereka keluar dari ruang rapat.Nada suaranya setengah berbisik, setengah memaksa.Keinarra tertawa kecil sambil merapikan map presentasinya. “Traktir? Aku bahkan masih intern, Kak Nay.”“Justru itu! Intern paling keren di MHN Group. Presentasimu tadi bikin semua orang diem. Bahkan pak Adrian sampai senyum terus dari awal sampai akhir.”Keinarra menggeleng, menatap layar ponselnya sekilas.Entah pesan dari siapa yang dia tunggu.Tidak ada pesan baru dari siapapun, dan juga kenapa justru itu yang membuat hatinya mencelos seketika.Mungkin Keinarra berharap Reyhan mengirimnya pesan, memberinya selamat dan semangat seperti tadi di ruangan rapat tapi lebih personal.“Ya udah deh, aku traktir tapi jangan resto yang mahal ya,” kata Keinarra. Meski di tabungannya masih bermilyar-milyar—karena Reyhan menepati janji dengan mentransfer jumlah yang tertera di kontrak setelah memutuskan untuk membatalkan kontr







