LOGINSirene tidak pernah berbunyi.Yang ada hanya suara langkah kaki berlari, desis senjata yang ditarik setengah, dan raungan mesin kapal cepat yang sudah siap melesat—seperti binatang buas yang menunggu dilepas.Lampu dermaga menyala temaram. Angin laut memukul wajah. Bau solar menyesakkan.“ANGKAT DIA! SEKARANG!” teriak seseorang.Tubuh Keinarra yang setengah sadar diangkat—satu tangan memegang bahunya, satu lagi di lututnya. Kakinya terayun lemah. Kepalanya terkulai. Matanya terbuka setipis benang.Satu langkah lagi.Satu langkah lagi, dan papan kayu dermaga akan berakhir—digantikan dek kapal cepat yang bergetar.BRAK!Pintu gudang tua di belakang dermaga mendadak terbuka lebar.“POLISI—ANGKAT TANGAN!”Teriakan itu bercampur tembakan peringatan ke udara. Kacau. Orang-orang berhamburan. Ada yang menjatuhkan barang. Ada yang lari. Ada yang membalas dengan pukulan, bukan peluru.Chaotic. Dekat. Brutal.Gunawan Anggoro maju paling depan.Tidak berteriak. Tidak mengancam.Tata
Langit Jakarta berubah kelabu menjelang senja.Awan rendah menggantung seperti pertanda buruk—seolah kota itu sendiri menahan napas.Dan di balik layar-layar radar, peta digital, serta suara komunikasi yang saling bersahutan, operasi pengejaran dimulai.Di ruang krisis AGN Corp, layar raksasa terbagi menjadi dua:jalur bandara dan jalur laut.Argo berdiri di tengah ruangan, headset menempel di telinga, jarinya bergerak cepat di tablet.“Semua penerbangan malam ke luar negeri ditandai,” lapornya cepat.“Kita kunci jalur Asia Tenggara dulu. Nama Keinarra belum muncul di manifest, artinya—”“Dia belum terbang,” potong Reyhan.Suara Reyhan rendah. Tenang.Terlalu tenang untuk pria yang jantungnya seperti diremas tangan tak kasatmata.Argo mengangguk.“Berarti opsi kedua: laut.”Di layar, titik-titik merah muncul di sepanjang pesisir—pelabuhan kecil, dermaga ilegal, jalur kapal cepat.“Ini sindikat lintas negara,” lanjut Argo. “Mereka suka pakai kapal cepat non-manifest, pind
Gelap.Bukan gelap seperti malam—tapi gelap yang tidak punya arah.Keinarra sadar perlahan, seperti seseorang yang berenang ke permukaan air setelah tenggelam terlalu lama.Kepalanya berat. Tenggorokannya kering. Tubuhnya terasa dingin dan ringan sekaligus, seolah tidak sepenuhnya milik dirinya.Bau logam dan lembap menusuk hidungnya.Ia membuka mata.Langit-langit tinggi. Lampu neon berkedip lemah. Dinding beton kasar. Tidak ada jendela.Gudang.Tangannya terikat di depan—bukan dengan borgol, tapi tali plastik yang cukup longgar untuk tidak melukai, tapi cukup kuat untuk membuatnya tidak bisa bergerak bebas.Kakinya bebas. Tapi tubuhnya lemas.Perutnya.Keinarra refleks menunduk.Perutnya masih ada. Masih utuh. Masih hangat.“Tenang… tenang…,” bisiknya gemetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada bayi di dalamnya. “Bunda di sini….”Napasnya bergetar. Dadanya naik turun terlalu cepat.Ia mencoba mengingat.Kampus.Perempuan dari administrasi.Mobil hitam.A
Reyhan : Sayang … kalau sudah enggak ada keperluan di kampus, langsung pulang ya. Aku enggak bisa jemput, ada meeting sampai malam.Keinarra tersenyum membaca pesan suaminya, dia mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit sembari membalas pesan Reyhan : Iya, sayang.Setelah itu menyimpan ponsel di atas meja beton.Sedari tadi Keinarra duduk di bangku kayu dekat taman fakultas dengan laptop terbuka sambil menunggu dosen pembimbingnya datang.Angin kampus berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan kopi dari kantin. Tangannya refleks mengelus perutnya lagi—gerakan kecil yang kini sudah menjadi kebiasaan.“Bentar lagi selesai, Nak,” gumamnya lembut.“Lalu kita pulang dan siapin makan malam untuk ayah ya.” Menjadi seorang istri dan calon ibu yang sebentar lagi lulus kuliah membuat Keinarra sangat bersemangat menjalani hari.Apalagi suami Keinarra yang dulu dingin dan ketus sekarang terkenal bucin.Suara langkah tergesa terdengar dari belakang.“Permisi, Mbak Keinarra?”Ke
Mall itu gemerlap seperti biasa. Lampu-lampu butik memantul di lantai marmer, musik lembut mengalun, dan aroma kopi mahal bercampur dengan parfum para pengunjung yang berlalu-lalang.Di salah satu sudut lantai dua, Nadya berdiri mematung.Ia baru saja keluar dari butik diskon—satu dari sedikit tempat yang kini masih berani ia masuki—ketika pandangannya tersangkut pada sebuah pemandangan yang membuat darahnya berhenti mengalir.Gunawan Anggoro.Dan… Keinarra.Nadya reflek menarik napas tajam, lalu bersembunyi di balik tiang besar. Jantungnya berdentam keras. Tidak salah lagi. Pria itu—mantan bosnya. Pria yang pernah ia goda, cintai, benci, dan sesali—sedang berjalan berdampingan dengan perempuan yang ia buang dua puluh tiga tahun lalu.Keinarra tertawa.Bukan tertawa sopan. Bukan tertawa basa-basi.Tertawa lepas. Hangat. Seperti anak kecil yang sedang diajak ayahnya jalan-jalan.Gunawan mencondongkan tubuh, berkata sesuatu yang membuat Keinarra menepuk lengannya ringan—gestur
Keinarra baru saja keluar dari ruang administrasi fakultas setelah menyerahkan revisi proposal skripsi ketika suara berat namun familiar memanggil namanya dari arah taman kampus.“Keinarra.”Langkahnya terhenti.Keinarra menoleh perlahan—dan membeku.“Pak Gunawan…?”Gunawan Anggoro berdiri di bawah pohon ketapang besar, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana gelap. Tidak ada jas mahal, tidak ada aura dingin Presdir perusahaan raksasa. Hanya seorang pria paruh baya dengan senyum tipis yang entah kenapa terlihat gugup.“Bapak… ke kampus?” Keinarra mendekat, bingung tapi sopan. “Ada perlu apa, Pak?”Gunawan tertawa kecil, menggaruk tengkuknya—gerakan canggung yang sama sekali tidak mencerminkan penguasa AGN Corp.“Ah… enggak ada. Aku lagi bosan di rumah,” katanya santai. “Reyhan sibuk, aku enggak punya kerjaan. Terus kepikiran… kamu kuliah di sini, kan?”Keinarra terdiam sepersekian detik.Bos… bosan?Pemilik AGN Corp?Datang ke kampus hanya karena bosan?Keinarra tert







