Langit senja merambat perlahan saat Keinarra berdiri canggung di depan cermin panjang kamar mandi kosannya. Sweater abu favoritnya tergantung di belakang pintu, sementara tubuhnya kini dibungkus blouse putih bersih dan celana bahan hitam—pakaian paling rapi yang ia miliki.
Keinarra menatap bayangan dirinya. Mata bulatnya tampak ragu. Bibirnya bergetar. “Ini bukan aku…,” bisiknya pelan. Namun begitu ia menunduk, melihat ponselnya yang menampilkan notifikasi pesan terenkripsi dari nomor asing bertuliskan: ‘Le Revé Hotel. Lantai 7. Suite 703. Jam 20.00. Bawa KTP. Jangan ajak siapapun.’ Jantung Keinarra berdetak cepat. Tangannya gemetar saat ia memasukkan KTP ke dalam dompet lusuhnya. Jam di dinding menunjukkan pukul 18.32. Waktu yang tersisa terasa begitu pendek tapi juga menyiksa. Keinarra bergegas keluar dari kossan, menyusuri gang untuk sampai di jalan raya. Dia harus menunggu bus yang akan membawanya ke tempat tujuan. 19.55 WIB – Le Revé Hotel, Jakarta Pusat Lampu gantung kristal menyambut Keinarra ketika ia masuk ke lobi hotel yang mewah dan terlalu senyap untuk ukuran publik. Lantainya berkilau seperti cermin. Aroma white tea diffuser menguar lembut, menyamarkan kecemasan yang mulai menggrogoti pikirannya. Keinarra celingukan dengan ekspresi melongo. Petugas resepsionis menyambut tanpa bertanya nama. “Selamat malam, Nona Keinarra. Silakan naik. Lift kiri sudah diprogram otomatis.” Keinarra menelan ludah. “Hah?” Keinarra bergumam tapi sebelum sang resepsionis menjelaskan ulang, dia buru-buru pergi ke area lift. Keinarra tidak menyangka kalau iklan ini benar-benar direncanakan begitu matang dan serius sampai sang resepsionis mengetahui siapa namanya. Memangnya dia akan menikah kontrak dengan siapa? Pastinya bukan pria single dan bukan pria biasa saja, pasti pria beristri dan tua yang memiliki fetis seks mengerikan. Keinarra sampai bergidik ngeri membayangkannya namun tak urung membuat kakinya tetap melangkah karena dia sangat membutuh Lima Milyar. Lift menuju lantai tujuh terbuka begitu ia mendekat. Di dalamnya, hanya ada satu tombol yang bisa ditekan, angka tujuh. Dan saat pintu terbuka kembali, seorang pria berpakaian hitam formal, lengkap dengan penutup wajah semi transparan berdiri di depan suite. “Silakan masuk,” kata Argo. Suara pria itu rendah, dalam, dan tanpa emosi. Tapi entah kenapa—membuat bulu kuduk Keinarra berdiri. Dengan langkah ragu, Keinarra masuk ke dalam Suite bernomor tujuh ratus tiga. Ruangan itu terasa sunyi. Mewah, tapi sunyi. Dindingnya berlapis motif krem elegan, jendela besar menghadap lampu kota dan di tengah ruangan ada meja kaca dengan dua kursi. Di balik meja itu duduklah pria bertopeng lainnya. Masker hitam yang membatasi setengah wajahnya tidak menghalangi aura dominan yang memancar dari sikap duduknya. Tegak. Tenang. Penuh kendali. Kemeja garis-garis yang dikenakan pria itu memeluk tubuhnya secara sempurna, seolah kemeja itu memang dibuat khusus untuknya sampai Keinarra bisa mengetahui kalau ada otot indah di balik kemeja itu yang gagal disembunyikan. Dan Keinarra tidak pernah mengira apalagi berharap kalau pria itu lah yang akan menjadi suami kontraknya. Bahkan hingga detik ini Keinarra masih bertanya-tanya, siapa dua pria tersebut? Di atas meja, terbentang sebuah map hitam tebal dan sebuah pena perak. “Silakan duduk, Nona Keinarra.” Pria bertopeng yang menyambutnya tadi menarik kursi di depan pria bertopeng yang duduk di belakang meja. Keinarra menurut meski jantungnya berdebar sangat kencang. Ia merasa seperti masuk ke dunia lain. Dunia yang tidak lagi punya hukum normal—hanya perintah dan larangan. “Ini adalah kontrak satu tahun. Anda akan menjadi istri secara hukum, dengan syarat-syarat yang telah dikirimkan sebelumnya. Saya akan membacakannya kembali.” Keinarra menggenggam lututnya di bawah meja. Ia tidak sanggup menatap langsung kedua pria itu. “Pertama: Anda tidak boleh mencari tahu siapa suami Anda. Kedua: Anda tidak boleh bertanya tentang kehidupan pribadi suami Anda. Ketiga: Anda tidak boleh membicarakan kontrak ini ke siapapun, termasuk teman atau keluarga Anda. Keempat: Anda tidak boleh jatuh cinta kepada suami Anda. Kelima: Anda wajib melayani kebutuhan suami kontrak Anda kapan pun ketika diminta. Dan terakhir—Anda tidak boleh pergi tanpa izin suami Anda.” Suara pria itu stabil. Tidak ada ancaman, tapi justru karena terlalu tenang, membuatnya menakutkan. Keinarra mengangguk perlahan. Jantungnya berdentum keras, tapi ia tak berani bersuara. “Sesuai dengan kesepakatan,” lanjut pria itu, “transfer lima miliar akan dilakukan setelah malam pertama diselesaikan. Tidak ada uang muka.” Keinarra meneguk ludah. Ia tahu ini gila. Ia tahu ia sedang menjual seluruh kendalinya. Tapi ia juga tahu, tak ada jalan kembali. Tangannya mengambil pena. Ia menandatangani halaman pertama … kedua … dan ketiga …. Setiap halaman terasa seperti menjual jiwanya. Tapi tangannya tetap bergerak. “Setelah ini Anda akan tinggal di sebuah Penthouse, Mahendra Residence di lantai tujuh dan Andra harus selalu ada di tempat setiap malam karena bisa jadi suami Anda akan datang.” Keinarra menganggukan kepalanya. Reyhan yang duduk di depannya terus menatap Keinarra tanpa suara. Tidak bisa Reyhan pungkiri kalau anak dari ibu tirinya itu memiliki paras cantik dengan mata bulat dan bulu mata yang tebal dan lentik. Hidungnya mancung dengan pipi tirus dan bibir mungil yang tebal di depan. Tanpa sadar Reyhan menelan ludah seakan tidak sabar merasakan bibir itu, merusak masa depan Keinarra seperti Nadya yang menghancurkan hidupnya. Setelah semua informasi telah disampaikan Argo, Reyhan mengetuk meja dua kali. Pintu belakang terbuka. Seorang pria berseragam Kantor Urusan Agama masuk dengan koper penuh berkas. “Selamat malam. Saya diminta untuk mengurus akad nikah secara resmi. Data sudah kami terima. Tinggal tanda tangan sebagai administrasi.” Keinarra nyaris tersedak. “A-apa? Hari ini?” “Kontrak sebagai istri harus sah secara hukum negara,” ucap Reyhan datar. Bingung, panik, terpojok—Keinarra tetap mengangguk. Dia butuh uang itu. Ia menandatangani satu demi satu dokumen dari KUA tanpa membaca. Tangan yang biasa mengisi lembar jawaban ujian kini menggoreskan tanda tangan untuk menyerahkan hidupnya. Lima belas menit kemudian, pria dari KUA itu pamit pergi. Keinarra masih terduduk di kursinya. Nafasnya pendek. Dunia seperti bergerak lambat. “Selamat,” kata pria bertopeng yang duduk di depan Kinara. “Sekarang … Kamu adalah istri saya.” Keinarra mengangkat kepalanya, mata bulat itu menatap lekat si pria bertopeng yang sedari tadi duduk di depannya. “Siapa kamu?” Pria itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri perlahan dan berjalan ke arah pintu kamar tidur suite. “Persiapkan dirimu. Besok malam … Kamu akan membuktikan bahwa tandatanganmu punya harga.” Klik. Pintu kamar tertutup. “Besok sore, ada mobil yang akan menjemput Anda ke kampus … Anda akan langsung tinggal di Penthouse Mahendra Residence.” Keinarra mendongak menatap pria bertopeng satunya yang masih tinggal di suite itu. “Eeerr … jadi enggak sekarang malam pertamanya? Enggak di sini? Sayang sekali ….” Maksud Keinarra, sayang sekali mereka menyewa suite semewah ini hanya untuk tanda tangan yang bisa dilakukan di restoran biasa. Argo terkekeh sembari meraih berkas yang sudah Keinarra tanda tangani. “Sabar Nona … persiapkan saja diri Anda besok.” Argo pergi setelah berkata demikian meninggalkan Keinarra yang masih terduduk dengan tampang melengo mencerna apa yang baru saja terjadi.Villa itu kembali hangat begitu Reyhan dan Keinarra masuk. Setelah seharian penuh aktivitas, tubuh mereka sama-sama letih. Keinarra lebih dulu masuk kamar mandi, sementara Reyhan melepaskan kemejanya lalu duduk di tepi ranjang, menyalakan lampu tidur yang temaram. Suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi, membuat suasana semakin terasa damai.Ketika Keinarra keluar dengan rambut basah dan piyama tipis, Reyhan sudah berganti dengan celana santai. Keinarra naik ke ranjang, menarik selimut lalu merebahkan tubuhnya dengan wajah lega. Akhirnya bisa bertemu kasur.Reyhan baru saja hendak ikut berbaring ketika ponselnya bergetar. Nama Argo tertera di layar. Ia menjawab sambil berjalan ke arah teras belakang.“Ya, Argo?”Suara tenang sekretarisnya terdengar. “Tuan, laporan yang Anda minta sudah saya terima. Orang suruhan Nona Clarissa sudah menyampaikan semua informasi tentang Nyonya Keinarra kepada beliau. Sepertinya proses itu berjalan sesuai dugaan Anda.”Mata Reyhan
Angin sore mulai berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan suara deburan ombak yang tak pernah lelah menyapa pasir putih Pulau Seribu. Setelah seharian dipenuhi dengan berbagai aktivitas seru yang diarahkan tim EO, wajah setiap orang terlihat sedikit lelah, namun senyum masih terus merekah.“Semua kumpul, ya! Kita mau sesi foto bareng sebelum sunset!” seru salah satu panitia, membuat rombongan mahasiswa dan bergerak menuju spot yang sudah dipilih.Sebuah gazebo bambu dihias dengan kain putih dan rangkaian bunga tropis berdiri megah di tepi pantai. Di belakangnya, langit mulai berubah warna menjadi jingga, keemasan, dan semburat ungu yang indah.Seseorang dari EO mengarahkan mereka untuk berfoto. Suasana penuh tawa, ada yang saling merangkul, ada yang berpose konyol sambil mengangkat tangan.Setelah foto bersama, ada foto per-seksi di ulai dari panitia inti, seksi acara, perlengkapan dan lain-lain.“Ada lagi yang mau foto?” Sang phographer bertanya sebelum dia menyelesaikan pe
Cahaya keemasan pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis, membias di lantai marmer dan menari lembut di dinding villa. Suara ombak terdengar lirih, berpadu dengan kicauan burung yang hinggap di pohon kelapa.Keinarra terbangun lebih dulu. Matanya masih setengah berat, seberat tubuhnya yang lemas digempur Reyhan.Keinarra benar-benar merasakan momen bulan madu yang sebenarnya.Matanya kembali terpejam kemudian tersenyum, senyum bahagia yang tengah melingkupi hatinya dan Keinarra berharap kebahagiaan ini tidak cepat berakhir. Ia lantas menoleh ke samping.Reyhan masih tertidur. Wajahnya tenang, rahang tegasnya yang ditumbuhi bulu halus terlihat lebih lembut tanpa ekspresi dingin. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan lengannya terlipat santai di atas selimut tipis yang menutupi pinggangnya.Keinarra terdiam. Ada sesuatu yang menyesakkan sekaligus indah melihat Reyhan dalam keadaan seperti itu—tanpa topeng dingin, tanpa wibawa bisnis, hanya … seorang pria yang kini jadi milikny
Malam sudah jauh melewati tengah, riuh pesta pantai perlahan mereda. Beberapa mahasiswa sudah kembali ke villa masing-masing, sementara sebagian kecil masih bertahan di depan api unggun, melantunkan lagu dengan gitar dan tawa ringan. Namun, semua menoleh ketika Reyhan menggandeng Keinarra menjauh.Siulan nakal dan celetukan menggoda terdengar.“Cieee, pengantin baru!”“Eh hati-hati, jangan keras-kerasan desahannya ya Kei!”Widhy bahkan sempat melambaikan tangan disertai ekspresi jahil.Keinarra malu sekali, dia menundukan kepala, pipinya panas menahan malu, sementara Reyhan tetap melangkah tenang, wajahnya dingin tapi genggaman tangannya pada Keinarra semakin erat.Semua mahasiswi terpesona kepada Reyhan, mereka semua iri dan ingin memiliki suami seperti Reyhan.Begitu sampai di suite, suasana berubah. Senyap, hanya suara laut berdebur dari kejauhan. Lampu di sekitar private pool memantulkan cahaya lembut ke permukaan air, menciptakan kilau seperti permata.Reyhan melepas keme
Selesai makan siang, rombongan diarahkan menuju area lapangan rumput luas di tepi pantai. Pohon kelapa berderet rapi, angin laut semilir membuat suasana tidak terlalu panas. Semua mahasiswa masih riuh membicarakan villa mewah yang mereka tempati, terutama suite Reyhan dan Keinarra yang jadi bahan gosip paling hangat.Tiba-tiba, beberapa orang dengan seragam kaus putih dan celana pendek khaki muncul dari arah gazebo. Mereka membawa pengeras suara, papan skor, dan beberapa kotak hadiah berbalut kertas warna-warni.“Selamat siang semuanya! Kami dari tim event organizer yang akan menemani kegiatan kalian selama di sini!” seru salah satu pemandu dengan semangat.Mahasiswa saling pandang. “Hah, ada EO?” bisik Widhy heran.Arya tampak sama terkejutnya, ia menoleh ke arah Reyhan yang berdiri santai dengan tangan di saku. “Pak Reyhan … ini maksudnya apa?”Reyhan menoleh sekilas, suaranya datar namun tegas. “Aku enggak suka liburan yang berantakan. Jadi aku percayakan sama tim EO untuk atu
“Oke, silahkan menyimpan koper dan istirahat sebentar di kamar setelah itu kita berkumpul di restoran satu jam lagi,” kata Arya memberi arahan.Mereka pun bubar menuju kamar masing-masing.“Wid, kamu enggak apa-apa ‘kan sama yang lain dulu?” Keinarra tampak tidak enak hati.“Enggap apa-apa lah, ya masa aku ikut kamu … nanti kita bertiga donk, ya Pak Reyhan?” Widhy menggoda suami sahabatnya.Reyhan tersenyum tipis sementara Keinarra mengerucutkan bibirnya.“Dah lah enggak mikirin aku, teman aku bukan kamu aja … Kamu fokus sama honeymoon kamu, oke?” Keinarra memeluk Widya sekilas.“Nov, titip Widhy ya.” Keinarra berpesan kepada teman sekamar Widhy.Mereka berpisah di sana.Reyhan menggenggam tangan Keinarra menyusuri jalan setapak menuju kamar mereka.Villa suite itu berdiri sedikit terpisah dari deretan villa lain. Bangunannya dua lantai dengan fasad putih modern minimalis yang berpadu dengan aksen kayu tropis. Halaman depannya dipenuhi tanaman hijau rapi, dan suara deburan