Share

Siap Tidak Siap

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-08-17 13:00:52

Keinarra kembali ke kossannya yang sempit di lingkungan kumuh.

Langit malam telah lama berganti dengan bintang-bintang yang redup. Namun Keinarra masih duduk di ujung ranjang, memeluk lutut dengan sweater abu yang sudah dua hari tidak dicuci.

Rambutnya dibiarkan tergerai, kusut dan lepek oleh keringat dingin yang tak kunjung berhenti. Lampu kamar menyala temaram, menyisakan bayangan di dinding yang membuat suasana makin mencekam.

Ia memandangi tangannya sendiri—tangan yang tadi malam menandatangani begitu banyak lembaran perjanjian.

Perjanjian jadi istri.

Perjanjian untuk menjual dirinya.

Perjanjian untuk tidak mencintai.

“Besok malam … kamu akan membuktikan bahwa tandatanganmu punya harga.”

Suara pria bertopeng yang katanya adalah suaminya itu terngiang begitu nyata, seolah masih berdiri di hadapannya, menatapnya dengan mata dingin yang tertutup topeng.

Keinarra menengadahkan kepala, menahan napas. Ia belum tidur sejak pulang dari Le Revé. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya menolak diam.

Dia bahkan belum tahu nama pria itu. Tapi dia sudah menjadi istrinya. Sudah sah.

“Gila… ini gila … tapi seenggaknya dia bukan pria tua menjijikan …” bisiknya pelan, setengah tertawa sendiri.

Namun tawanya terhenti ketika ia mengingat mata ayahnya di balik kaca ruang ICU—mata yang tertutup rapat karena koma panjang.

“Kei melakukan ini untuk Ayah .…” air mata kembali mengalir. “Maafkan, Kei … Ayah.”

Keesokan Paginya – Kampus, 09.12 WIB

Keinarra duduk di bangku barisan tengah kelas Ekonomi Mikro. Dosennya, Pak Raditya, sedang menjelaskan konsep elastisitas permintaan dengan penuh semangat, namun suara itu hanya seperti dengungan samar di telinganya.

Buku catatan terbuka di depannya, tapi kosong. Pulpennya hanya digenggam, tidak bergerak.

Mata Keinarra merah. Kantung matanya hitam pekat. Kepalanya berdenyut ringan, tapi tak cukup untuk membuatnya pingsan. Sayangnya.

“Keinarra.”

Suara Pak Raditya menggema di seisi kelas.

“Keinarra Athaletha!”

Keinarra tersentak. “Ya, Pak?”

Beberapa mahasiswa menoleh dengan tawa tertahan. Pak Raditya mendengus. “Saya tanya, dalam kondisi elastis sempurna, bagaimana bentuk kurva permintaan?”

Keinarra menatap papan tulis seperti melihat simbol alien.

“E-e… horizontal, Pak,” jawabnya pelan.

Pak Raditya mengangguk setengah enggan. “Tolong fokus. Jangan datang ke kelas hanya karena absensi.”

Keinarra mengangguk. “Maaf, Pak.”

Widhy yang duduk di sampingnya mengusap lengan Keinarra, tatapannya tampak iba.

“Aku enggak bisa tidur semalam,” kata Keinarra memberitahu kenapa dia tidak fokus.

Widhy menganggukan kepalanya mengerti dan mereka berdua kembali memperhatikan apa yang disampaikan pak Raditya.

***

Usai mata kuliah kedua, Widhy menyeret Keinarra ke kantin kampus.

“Duduk di sini, aku pesen dulu,” kata Widhy lalu beberapa menit kemudian gadis cantik itu kembali.

Widhy meletakkan nampan makanan di hadapan Keinarra dengan dramatis.

“Mulai sekarang, kamu enggak boleh menghindar dari aku lagi pas makan siang, kamu harus makan,” ucapnya sambil menyeruput es teh manis.

Keinarra tersenyum lemah. “Aku cuma lagi enggak laper.”

“Bohong. Terus mata kamu kayak panda insomnia. Enggak tidur semalem ya?” Widhy mencolek pipinya.

Keinarra tertawa kecil, tapi tidak menjawab.

Widhy makin serius. “Hei… ayah kamu gimana?”

Pertanyaan itu membuat tawa Keinarra langsung lenyap. Tapi ia buru-buru mengganti ekspresinya.

“Sudah lebih baik. Perawat bilang semalam tekanan darahnya stabil. Mungkin sebentar lagi sadar,” katanya sambil menyuap nasi pelan, padahal perutnya lapar sejak tadi.

Widhy tersenyum lega. “Syukurlah… aku sempat khawatir banget. Kamu enggak cerita-cerita, enggak angkat telpon, enggak balas chat.”

“Sorry… aku cuma lagi pengen tenangin diri. Banyak tugas juga,” ujar Keinarra berdusta, lagi.

Widhy menatapnya sejenak. “Kamu yakin kamu baik-baik aja?”

Keinarra mengangguk cepat. Terlalu cepat.

“Ya udah, nanti malam nginep di kosanku, ya? Kita maskeran sambil nonton drama Korea.”

Keinarra tersenyum. “Kamu tahu ‘kan aku kerja shift malam, aku enggak bisa.”

“Oh iya ya ….” Widhy cemberut.

“Ehm… mungkin lain kali ya, Wid… aku janji.”

Bohong lagi. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan?

Keinarra menunduk dalam. Hari ini, dia belajar satu hal penting yang mana berbohong itu melelahkan. Tapi lebih melelahkan lagi menjelaskan kebenaran yang tidak akan pernah bisa dimengerti siapa pun.

***

Sore Hari – Kampus Universitas Pertiwi, Pukul 16.13 WIB

Langit mendung, gerimis turun perlahan membasahi pekarangan kampus saat Keinarra keluar dari gedung fakultas dengan langkah berat. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam mewah berhenti perlahan di pinggir trotoar.

Seorang pria berbadan tegap turun dari kursi kemudi, mengenakan jas hitam dan kacamata hitam meski matahari nyaris tenggelam.

“Nona Keinarra Athaletha?”

Keinarra mengangguk pelan. Pria itu membuka pintu belakang, mempersilakannya masuk tanpa sepatah kata.

Mobil melaju diam-diam, membelah kemacetan Jakarta dengan sirene samar yang membuka jalan.

Keinarra hanya bisa menatap keluar jendela. Dada sesak. Tenggorokan kering. Ini bukan mimpi. Ia benar-benar dibawa ke tempat di mana “pernikahan” yang sah di atas kertas akan berubah menjadi nyata.

“Duuuuh, ciuman saja belum pernah ini disuruh malam pertama … kuatkan, Kei .., Tuhan.” Keinarra membatin.

Satu jam kemudian, sang driver berhasil membelah kemacetan jam pulang kerja.

Mobil berhenti di depan gedung yang merupakan kawasan hunian mewah.

Driver turun lebih dulu membukakan pintu untuk Keinarra yang diam saja karena tidak tahu bagaimana cara membuka pintu mobilnya yang di buka terbalik tidak seperti pintu mobil kebanyakan.

“Silahkan Nyonya, Anda bisa langsung masuk ke lift dan menekan tombol tujuh … Penthouse Anda nomor 701.” Sang driver memberitahu.

“Terimakasih.” Keinarra turun lalu melangkah pelan, ragu, canggung dan cemas masuk ke dalam gedung.

Mahendra Residence – Lantai 7, Penthouse 701

Begitu pintu terbuka, Keinarra tertegun. Ia belum pernah melihat ruangan seindah ini seumur hidupnya. Lantai marmer putih. Sofa krem elegan. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal yang menciptakan bayangan indah di dinding.

Dua orang wanita berpenampilan profesional tadi menyambutnya di depan pintu, sementara satu lagi sudah menunggu di ruang spa pribadi dengan peralatan lengkap.

“Selamat malam, Nyonya Keinarra. Kami dari Lotus & Amara Spa. Tugas kami adalah mempersiapkan Anda.”

“Mempersiapkan?” Keinarra mengulang pelan.

Salah satu dari mereka tersenyum lembut. “Treatment sebelum malam pertama, Nyonya.”

Keinarra tak menjawab. Tapi tubuhnya menurut saat mereka menuntunnya masuk ke ruang spa, membuka sweater lusuhnya, dan menggantinya dengan kimono satin berwarna ivory.

Ia dibiarkan telanjang tubuh dan hati yang kini sudah bukan menjadi kendalinya lagi.

Tiga Jam Kemudian.

Tubuh Keinarra kini sudah bersih, harum, dan ringan. Kulitnya lembut karena lulur susu, rambutnya sedikit dipangkas lalu ditata rapi sebahu dengan sentuhan blow natural, wajahnya dirias tipis—hanya bedak ringan, blush lembut, lip tint, dan alis halus yang dibingkai dengan elegan.

Bahkan dirinya sendiri tak mengenali bayangan di cermin besar kamar mandi itu.

“Silakan ganti dengan ini,” ujar salah satu terapis, menyerahkan sebuah dress tidur transparan berwarna lilac dengan jubah satin senada.

Dress itu terlalu pendek. Terlalu tipis. Terlalu… mengundang.

Namun Keinarra tak berkata apa-apa. Ia mengenakannya dengan tangan gemetar.

Setelah para wanita itu pamit dan meninggalkannya sendiri di dalam kamar besar beraroma white musk, Keinarra berdiri kaku di tengah ruangan.

Di hadapannya, tempat tidur megah dengan seprai putih yang terlalu bersih untuk dilumuri dosa. Tirai jendela masih terbuka, memperlihatkan siluet kota Jakarta yang menyala dalam kabut malam.

Ia melangkah perlahan ke tepi ranjang, duduk lalu menarik napas panjang.

Keheningan menyergap. Detik jam terdengar jelas.

Keinarra merapatkan jubahnya, memeluk tubuh sendiri. Tubuh yang kini terlihat mewah tapi masih dihuni oleh jiwa yang gemetar.

“Apakah aku masih Keinarra … atau hanya properti sewaan malam ini?”

Tak ada jawaban.

Hanya pantulan dirinya sendiri di kaca lemari. Cantik. Rapuh. Siap. Dan tidak siap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Melyani Suwandi
Kasihan...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Kembali ke Realita

    Villa itu kembali hangat begitu Reyhan dan Keinarra masuk. Setelah seharian penuh aktivitas, tubuh mereka sama-sama letih. Keinarra lebih dulu masuk kamar mandi, sementara Reyhan melepaskan kemejanya lalu duduk di tepi ranjang, menyalakan lampu tidur yang temaram. Suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi, membuat suasana semakin terasa damai.Ketika Keinarra keluar dengan rambut basah dan piyama tipis, Reyhan sudah berganti dengan celana santai. Keinarra naik ke ranjang, menarik selimut lalu merebahkan tubuhnya dengan wajah lega. Akhirnya bisa bertemu kasur.Reyhan baru saja hendak ikut berbaring ketika ponselnya bergetar. Nama Argo tertera di layar. Ia menjawab sambil berjalan ke arah teras belakang.“Ya, Argo?”Suara tenang sekretarisnya terdengar. “Tuan, laporan yang Anda minta sudah saya terima. Orang suruhan Nona Clarissa sudah menyampaikan semua informasi tentang Nyonya Keinarra kepada beliau. Sepertinya proses itu berjalan sesuai dugaan Anda.”Mata Reyhan

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Awal Dari Badai

    Angin sore mulai berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan suara deburan ombak yang tak pernah lelah menyapa pasir putih Pulau Seribu. Setelah seharian dipenuhi dengan berbagai aktivitas seru yang diarahkan tim EO, wajah setiap orang terlihat sedikit lelah, namun senyum masih terus merekah.“Semua kumpul, ya! Kita mau sesi foto bareng sebelum sunset!” seru salah satu panitia, membuat rombongan mahasiswa dan bergerak menuju spot yang sudah dipilih.Sebuah gazebo bambu dihias dengan kain putih dan rangkaian bunga tropis berdiri megah di tepi pantai. Di belakangnya, langit mulai berubah warna menjadi jingga, keemasan, dan semburat ungu yang indah.Seseorang dari EO mengarahkan mereka untuk berfoto. Suasana penuh tawa, ada yang saling merangkul, ada yang berpose konyol sambil mengangkat tangan.Setelah foto bersama, ada foto per-seksi di ulai dari panitia inti, seksi acara, perlengkapan dan lain-lain.“Ada lagi yang mau foto?” Sang phographer bertanya sebelum dia menyelesaikan pe

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Karena Sayang

    Cahaya keemasan pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis, membias di lantai marmer dan menari lembut di dinding villa. Suara ombak terdengar lirih, berpadu dengan kicauan burung yang hinggap di pohon kelapa.Keinarra terbangun lebih dulu. Matanya masih setengah berat, seberat tubuhnya yang lemas digempur Reyhan.Keinarra benar-benar merasakan momen bulan madu yang sebenarnya.Matanya kembali terpejam kemudian tersenyum, senyum bahagia yang tengah melingkupi hatinya dan Keinarra berharap kebahagiaan ini tidak cepat berakhir. Ia lantas menoleh ke samping.Reyhan masih tertidur. Wajahnya tenang, rahang tegasnya yang ditumbuhi bulu halus terlihat lebih lembut tanpa ekspresi dingin. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan lengannya terlipat santai di atas selimut tipis yang menutupi pinggangnya.Keinarra terdiam. Ada sesuatu yang menyesakkan sekaligus indah melihat Reyhan dalam keadaan seperti itu—tanpa topeng dingin, tanpa wibawa bisnis, hanya … seorang pria yang kini jadi milikny

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   After Care

    Malam sudah jauh melewati tengah, riuh pesta pantai perlahan mereda. Beberapa mahasiswa sudah kembali ke villa masing-masing, sementara sebagian kecil masih bertahan di depan api unggun, melantunkan lagu dengan gitar dan tawa ringan. Namun, semua menoleh ketika Reyhan menggandeng Keinarra menjauh.Siulan nakal dan celetukan menggoda terdengar.“Cieee, pengantin baru!”“Eh hati-hati, jangan keras-kerasan desahannya ya Kei!”Widhy bahkan sempat melambaikan tangan disertai ekspresi jahil.Keinarra malu sekali, dia menundukan kepala, pipinya panas menahan malu, sementara Reyhan tetap melangkah tenang, wajahnya dingin tapi genggaman tangannya pada Keinarra semakin erat.Semua mahasiswi terpesona kepada Reyhan, mereka semua iri dan ingin memiliki suami seperti Reyhan.Begitu sampai di suite, suasana berubah. Senyap, hanya suara laut berdebur dari kejauhan. Lampu di sekitar private pool memantulkan cahaya lembut ke permukaan air, menciptakan kilau seperti permata.Reyhan melepas keme

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Hadiah Untuk Yang Spesial

    Selesai makan siang, rombongan diarahkan menuju area lapangan rumput luas di tepi pantai. Pohon kelapa berderet rapi, angin laut semilir membuat suasana tidak terlalu panas. Semua mahasiswa masih riuh membicarakan villa mewah yang mereka tempati, terutama suite Reyhan dan Keinarra yang jadi bahan gosip paling hangat.Tiba-tiba, beberapa orang dengan seragam kaus putih dan celana pendek khaki muncul dari arah gazebo. Mereka membawa pengeras suara, papan skor, dan beberapa kotak hadiah berbalut kertas warna-warni.“Selamat siang semuanya! Kami dari tim event organizer yang akan menemani kegiatan kalian selama di sini!” seru salah satu pemandu dengan semangat.Mahasiswa saling pandang. “Hah, ada EO?” bisik Widhy heran.Arya tampak sama terkejutnya, ia menoleh ke arah Reyhan yang berdiri santai dengan tangan di saku. “Pak Reyhan … ini maksudnya apa?”Reyhan menoleh sekilas, suaranya datar namun tegas. “Aku enggak suka liburan yang berantakan. Jadi aku percayakan sama tim EO untuk atu

  • Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi   Pusat Gravitasi

    “Oke, silahkan menyimpan koper dan istirahat sebentar di kamar setelah itu kita berkumpul di restoran satu jam lagi,” kata Arya memberi arahan.Mereka pun bubar menuju kamar masing-masing.“Wid, kamu enggak apa-apa ‘kan sama yang lain dulu?” Keinarra tampak tidak enak hati.“Enggap apa-apa lah, ya masa aku ikut kamu … nanti kita bertiga donk, ya Pak Reyhan?” Widhy menggoda suami sahabatnya.Reyhan tersenyum tipis sementara Keinarra mengerucutkan bibirnya.“Dah lah enggak mikirin aku, teman aku bukan kamu aja … Kamu fokus sama honeymoon kamu, oke?” Keinarra memeluk Widya sekilas.“Nov, titip Widhy ya.” Keinarra berpesan kepada teman sekamar Widhy.Mereka berpisah di sana.Reyhan menggenggam tangan Keinarra menyusuri jalan setapak menuju kamar mereka.Villa suite itu berdiri sedikit terpisah dari deretan villa lain. Bangunannya dua lantai dengan fasad putih modern minimalis yang berpadu dengan aksen kayu tropis. Halaman depannya dipenuhi tanaman hijau rapi, dan suara deburan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status