ログインMini Market 24 Jam — Jl. Margasari, Jakarta Selatan, pukul 22.47 WIB
Brukkk! Bunyi botol minuman soda berkarbonasi pecah di lantai berkeramik putih mengagetkan dua pengunjung yang masih memilih camilan di rak sebelah. Sirup merah manis itu mengalir cepat ke kolong freezer, menyisakan ceceran yang lengket dan licin. “Keinarra!” teriak suara nyaring dari balik meja kasir. Keinarra tersentak. Tangannya yang masih memegang botol kedua gemetar. Pikirannya seketika kembali ke realita. “S-Sorry, Kak … aku enggak sengaja …,” ucapnya panik, buru-buru meletakkan botol yang satu lagi dan mengambil pel lantai dari pojok rak penyimpanan. Kak Rima, senior shift-nya, sudah melangkah cepat ke arahnya dengan wajah merah padam. “Ini udah yang ketiga minggu ini, Kei! Kamu mau bikin bangkrut minimarket ini?!” “Aku enggak sengaja, Kak. Tadi—” “Ngelamun! Ya kan?” potong Rima tajam. “Dari tadi aku lihat kamu kerja setengah sadar. Barang disusun ngaco, salah ngisi form penerimaan barang dan sekarang minuman pecah!” Keinarra diam. Ia tahu semua itu benar. Tapi apa Rima tahu kalau pikirannya sejak tadi hanya berkutat pada angka 5 miliar rupiah? Iklan itu. Email misterius itu. Tawaran sebagai istri kontrak selama satu tahun. Satu tahun untuk menjual hidupnya. “Maaf, Kak … beneran, aku akan ganti rugi.” “Ya iyalah! Kamu pikir barang rusak bisa dibayar pakai air mata?” Rima menunjuk lantai. “Bersihin sekarang, terus buat laporan ke admin. Potong gaji bulan ini, paham?!” Keinarra mengangguk, bibirnya menggigit dalam, menahan bulir air mata yang mulai menumpuk di kelopaknya. Rima berdecak kesal dan berbalik sambil bergumam, “Anak orang miskin kok gaya ngelamunnya kayak putri raja .…” Keinarra mendengar itu. Ia menunduk, mulai membersihkan pecahan botol dan genangan manis berbau soda yang lengket di sepatunya sendiri. “Maaf ya, Ayah … seharusnya Kei kuat. Tapi Kei benar-benar lelah.” Suaranya lirih. Setelah lantai bersih dan laporan kerusakan selesai ditulis, Keinarra duduk di bangku plastik di balik kasir. Tangannya merogoh kantong celana yang sama yang dia pakai ketika kuliah siang tadi, jempolnya mulai bergerak ke buku telepon dan mencari nama ‘Iklan Misterius’ lalu muncul nomor itu. Nomor itu mengintimidasinya. Tapi juga … menggoda. Ponselnya masih di tangan. Layar sudah menyala. Tinggal menekan angka itu … dan mungkin, semua penderitaannya akan berakhir. Atau justru dimulai? Ia menatap jari telunjuknya yang gemetar. “Cuma nanya … kan enggak dosa kalau cuma nanya?” Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Tidak ada pelanggan karena jam menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh menit. Rima juga tadi pamit untuk beristirahat di dalam. Lalu jempol Keinarra menyentuh ikon telepon. Nomor itu tertulis jelas di layar. Lalu— 📞 Calling… Jantung Keinarra berdetak tak karuan. Satu dering… Dua dering… Tiga— Klik. Panggilan tersambung. Namun suara yang terdengar justru dingin dan tak berperasaan. “Selamat malam. Anda menghubungi hotline layanan kontrak eksklusif. Untuk verifikasi data dan kelanjutan penawaran, sebutkan kode yang Anda temukan di email.” Keinarra terdiam. Suara pria itu terlalu tenang. Terlalu profesional. Seolah ini bukan soal menjual diri… melainkan menjual saham. “K-Kode? Uh….” Dia mengingat-ngingetin angka yang tertera di email selain nomor telepon ini. “9981A-P,” jawab Keinarra terbata, tidak yakin. “Terima kasih. Data Anda sudah diverifikasi. Anda telah menyetujui kontak awal. Layanan ini bersifat rahasia dan kontrak tidak bisa dibatalkan setelah Anda menyatakan konfirmasi.” “W-wait. Aku belum—” “Pertemuan akan dijadwalkan besok pukul 20.00. Lokasi akan dikirim 3 jam sebelum pertemuan via pesan terenkripsi. Jangan hubungi kembali. Tunggu instruksi.” Tuut… Tuut… Tuut… Panggilan terputus. Keinarra menatap layar ponselnya dengan wajah pucat. Punggungnya bersandar lemas di dinding belakang kasir. Hatinya tak tahu harus takut, lega, atau justru ingin menangis. Hanya saja satu hal yang dia tahu kalau setelah malam ini… hidupnya benar-benar telah berubah. Dia tidak akan dikejar hutang lagi, dia akan belajar dengan tenang sampai lulus nanti. *** Penthouse Mahendra Residence – Pagi Hari, 06.38 WIB Matahari baru menyembul dari balik gedung-gedung tinggi Jakarta saat Argo menekan bel pintu otomatis di lantai teratas Mahendra Residence. Interior penthouse itu masih redup, hanya cahaya oranye hangat dari tirai otomatis yang perlahan membuka memberi kesan tenang dan mewah. Pintu perlahan terbuka otomatis. “Masuk.” Suara Reyhan terdengar dari dalam, dingin namun jernih. Argo melangkah dengan tenang, sudah terbiasa dengan suasana penuh ketertiban dan aroma kopi hitam yang selalu menyambut pagi-pagi milik Reyhan Mahendra. Tuan muda itu tengah duduk membelakanginya di kursi tinggi meja bar, mengenakan kaus hitam tipis dan celana olahraga gelap. Wajahnya segar meski berkeringat namun ekspresinya tetap tak bisa ditebak. Di depannya, setangkup roti panggang dan satu gelas kopi yang tampaknya belum disentuh. “Apa ada kabar baik?” Reyhan membuka percakapan tanpa basa-basi. Dan Argo tahu maksud dari pertanyaan tersebut. Pria sekretaris itu mengeluarkan ponselnya, membuka satu file terenkripsi, lalu menatap Reyhan dengan sedikit senyum profesional. “Nona Keinarra menghubungi nomor yang kita siapkan, tepat pukul 00.30 semalam.” Reyhan menegakkan badan. “Dan?” Satu alisnya terangkat. “Dia menyebutkan kode yang kita masukkan di email dummy. Verifikasi berhasil, dan sistem otomatis mengirimkan jadwal pertemuan seperti rencana awal.” Reyhan tersenyum miring, dingin. “Jadi gadis itu akhirnya menyerah juga .…” Argo mengangguk. “Sepertinya hari kemarin banyak masalah muncul yang menekan secara psikologis. Saya juga sudah hubungi pihak rumah sakit untuk mulai ‘menggoyang’ deadline pembayaran tagihannya minggu ini.” “Kita buat dia tidak punya tempat lain untuk berpaling,” ucap Reyhan sambil menyentuh pinggir cangkir kopinya. Namun ia masih belum meminumnya. “Lokasi pertemuan?” Reyhan bertanya. “Suite pribadi di lantai tujuh hotel Le Revé, sudah disiapkan. Keamanan terjamin, akses terbatas, dan staf dibayar untuk tutup mulut.” Reyhan bangkit berdiri. Tubuh tingginya tampak makin mengintimidasi saat ia berjalan ke arah jendela besar yang menampilkan panorama kota Jakarta yang masih berkabut. Tatapannya kosong. Tapi di balik itu, ada rencana yang berjalan persis seperti yang ia inginkan. “Pastikan ruangan itu diberi kamera tersembunyi tapi hanya aku yang bisa mengaksesnya.” Argo sempat terdiam. “Apakah Tuan ingin menyebarluaskan hasil rekaman itu?” Mengingat Reyhan sepertinya sangat membenci Keinarra. Reyhan menyeringai tipis. “Aku belum memikirkannya aku ingin membiarkan dia bermain dalam ketidaktahuan dulu … seperti bidak yang belum sadar siapa lawannya.” Ia memutar tubuh perlahan, menatap Argo. “Dan pastikan, apa yang dia lakukan setelah menerima kontrak itu terpantau.” Argo mengangguk patuh. “Siap, Tuan.” Reyhan meneguk kopinya untuk pertama kalinya pagi itu. Suam, pahit, dan persis seperti yang ia sukai—seperti rasa yang akan ia berikan pada Keinarra. “Permainan sudah dimulai,” ucapnya lirih, hampir seperti gumaman… tapi tajam seperti pisau.Pagi itu, langit Jakarta terlihat bersih—entah karena matahari sedang ramah… atau karena hati Keinarra sedang bahagia sekali.Untuk pertama kalinya setelah kehamilan dan segala kejutan hidupnya, Keinarra kembali mengenakan ransel kampus. Dress kasual longgar warna pastel dan cardigan tipis membalut tubuhnya yang mulai tampak lebih lembut, lebih berisi akibat awal kehamilan.Dari meja makan, Reyhan memperhatikan istrinya menyiapkan buku catatan dan laptop.“Kamu yakin kuat kuliah hari ini?” tanya Reyhan sambil merapikan dasinya.“Iyalah Mas… aku sudah istirahat beberapa hari. Lagi pula semester delapan itu tinggal bimbingan dan revisi proposal. Aku enggak bakal capek.” Keinarra tersenyum manis, penuh tekad.Reyhan berjalan mendekat, menangkup pipi istrinya.“Kalau kamu pusing sedikit saja, langsung kabarin Mas, ya?”“Siap, Ayahnya dede bayi,” Keinarra terkekeh.Reyhan memeluk pinggangnya pelan, berhati-hati agar tidak menekan perut.“Mas antar sampai gerbang, ya.”Keinarra me
Malam turun perlahan di Jakarta Selatan, menyelimuti kota dengan cahaya kuning yang memantul dari jalanan basah. Di sebuah kawasan elite, pintu gerbang besar rumah Gunawan Anggoro terbuka otomatis—menyambut tiga tamu yang tak disangka akan menjadi pusat takdir baru keluarga itu.Mobil mewah baru Reyhan yang berwarna hitam melaju perlahan memasuki halaman rumah yang besar.Keinarra menggenggam tangan Reyhan lebih erat dari biasanya.“Mas… deg-degan banget,” gumamnya.Reyhan menoleh sebentar, tersenyum menenangkan.“Tenang, sayang. Kamu hanya akan bertemu orang tua yang baik dan ramah.”Kalimat itu hampir membuat Reyhan tersedak oleh rahasianya sendiri.Di kursi belakang, menundukkan kepala, mengelus dadanya pelan—menyimpan rahasia yang lebih berat dari seluruh isi dunia.Reyhan memarkirkan mobilnya, membantu Keinarra turun dari mobil.Pintu depan terbuka sebelum Reyhan sempat mengetuk.Gunawan berdiri di sana.Bukan dengan wajah kejam, bukan dengan aura dingin seorang pengua
Siang itu, ruang kerja pribadi Clarissa di lantai tiga puluh dua kantor pusat Gading Lestari dipenuhi aroma parfum mahal yang menyengat dan denting gelang emas di pergelangan tangannya.Ia duduk di belakang meja kaca besar, menandatangani dokumen sambil sesekali melihat pantulan wajahnya sendiri di permukaan meja—kebiasaan lama untuk memastikan bahwa dunia masih melihatnya sempurna.Assistant pribadinya, Mila, mengetuk pintu dengan ragu.“Bu… sepertinya Anda perlu melihat ini.”Clarissa tidak suka nada itu.Ia menurunkan penanya. “Apa lagi?”Mila menyerahkan tablet yang menampilkan berita terbaru dunia bisnis.Judulnya terpampang besar, lengkap dengan foto Reyhan dalam setelan jas hitam:REYHAN, MANTAN PRESDIR MHN GROUP, RESMI DITUNJUK MENJADI PRESIDENT DIRECTOR AGN CORPAGN CORP.Perusahaan multinasional raksasa.Asetnya bahkan sepuluh kali lipat Gading Lestari.Lima belas kali lipat MHN Group.Clarissa membeku.Lalu tablet itu nyaris terlempar dari tangannya.“APA INI
Hari itu, Reyhan tidak bekerja dari kantor. Sesuai permintaan Gunawan, ia datang hanya sebentar untuk menyerahkan beberapa berkas penting pada Bramantyo. Sisanya—hari ini ditetapkan sebagai hari berpindah rumah.Meski hati Reyhan gelisah, ada semangat berbeda di dalam dadanya.Semangat seorang pria yang siap memberikan kehidupan lebih baik bagi keluarganya.“Pak Reyhan, mobil Bapak sudah menunggu di depan loby.” Bramantyo memberitahu.“Terimakasih ….” Reyhan beranjak dari kursi kebesarannya lalu diantar Bramantyo hingga lift.Reyhan pulang saat hari masih siang dengan mobil AGN Corp yang baru saja dibeli khusus untuknya.Sebuah SUV hitam mewah, lengkap dengan sopir pribadi yang barusan ia minta untuk cuti agar bisa menyetir sendiri.Ketika mobil berhenti di basement apartemen kecil itu, Keinarra sudah berdiri di depan pintu lift.Ia mengenakan dress sederhana warna biru muda, rambut digelung santai, wajahnya terlihat lebih segar berkat hormon kehamilan yang mulai stabil.“Mas
Pagi itu, Jakarta seolah punya detak jantung sendiri. Bukan karena langit berwarna keemasan yang merekah, tetapi karena dunia bisnis sedang menunggu satu nama yang akan kembali muncul ke permukaan.REYHAN.Di apartemen kecil itu, Keinarra masih tidur pulas, wajahnya tenang dengan selimut menutupi perutnya yang belum tampak membesar. Sesekali ia mengerang manja, seperti bayi yang merasa kehilangan guling saat tidur.Reyhan sudah berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas pertama sejak kejatuhannya dari MHN Group.Bukan jas mahal buatan khusus.Hanya jas lama—satu-satunya yang masih ia simpan.Namun cara Reyhan mengenakannya tetap seperti seorang pemimpin.Ia merapikan dasi sambil menatap pantulan dirinya.“Aku akan lakukan ini untuk kalian berdua.”Perut Keinarra dan wajah tidur istrinya sejenak terbayang.Waktu menunjukkan pukul enam pagi.Reyhan menoleh ke arah ranjang.Keinarra tidur miring, memeluk bantal—kebiasaan barunya sejak hamil.Dengan langkah perlahan, Rey
Pintu lift AGN Corp menutup perlahan, memantulkan bayangan Reyhan yang berdiri tegak dengan raut wajah yang sulit dibaca.Hari ini, ia baru saja mengambil keputusan yang akan mengubah seluruh garis hidupnya.Keputusan yang mungkin akan mengguncang Keinarra.Keputusan yang mungkin akan menampar takdir kembali ke arah Nadya dan Darmawan.Dan keputusan yang… entah bagaimana… membuat dada Reyhan terasa berat sekaligus lapang.Di parkiran AGN Corp, Reyhan duduk di dalam mobil sewaan itu selama hampir lima menit tanpa menyalakan mesin.Tangannya memegang setir, tapi pikirannya berkelana ke wajah Keinarra yang pagi tadi ia tinggalkan di rumah.Apa yang harus aku katakan padanya?Haruskah aku memberitahu Keinarra?Atau… haruskah aku mengikuti permintaan Gunawan dulu?Ia memejamkan mata.Tekanan terbesar bukan pada jabatan Presdir.Bukan pada tanggung jawab memimpin raksasa bisnis sebesar AGN Corp.Tekanan terdalam adalah…Menyimpan rahasia bahwa pria yang barusan memintanya dudu







