"Halo, Mirah!" jumawa, Mourin menyambutku di depan rumah mewah tiga lantai bercat putih melati dengan taman kecil di samping garasi mobil. Satu paket lengkap dengan air mancur buatan di tengah-tengah kolam yang berisi banyak ikan mas. "Emh, akhirnya kamu datang ke sini juga. Gimana, kamu pasti mau membujuk aku kan, biar secepatnya membebaskan Mas Arfen?"Aku tersenyum masam plus getir. Bukan hanya karena sapaan Pak dan Bu yang sesuai lenyap dalam diri Mourin. Tetapi lebih cenderung ke persoalan kendali. Mourin pasti memegang kuat kendali atas diri Mas Arfen kan, selama ini? Ah! Jadi semakin sadar, bagaimana bisa Mas Arden diam di saat Mourin menjajah smartphone-nya. Aduh, walaupun belum seratus persen yakin kalau kasus ini adalah skandal Mourin, rasanya menyesal juga pernah cemburu. Bukan hanya cemburu, tetapi curiga dua puluh empat jam penuh. Nyaris paranoid dan lebih gilanya lagi, pernah menantang Mas Arfen untuk berpisah. Memangnya Mourin ini siapa, sih? Kontribusi apa yang suda
"Aku nggak percaya, kamu punya sisi kasar, Mirah!""Semut pun akan berontak kalau tersakiti, apalagi aku?""Hemh, ck … Kasihan kamu, Mirah, seperti apa sih cara Mas Arfen mencintai kamu? Dia temperamental banget, ya?" "Hei, jaga ucapan kamu, ya?" tanpa sadar aku berteriak. "Jangan macam-macam kamu di sini! Jangan mentang-mentang masa kecil kamu di sini, oke?"Harum mencebik. "Kamu cemburu, ya? Kasihan, kasihan!""Kalau memang semua yang kamu katakan itu benar, buktikan!" kataku tanpa memperdulikan bagaimana dia menjerit-jerit memanggil Mama, meminta bantuan. Aku sudah terlanjur mencengkeram lehernya. "Lagian, kok bisa sih, kamu ngelakuin hal yang serendah dan sehina itu? Terlihat cantik dan berkelas tapi nggak punya harga diri. Percuma saja kamu cumlaude atau apalah di universitas ternama Eropa kalau menjaga kehormatan diri saja nggak becus!" Entah bagaimana tiba-tiba-tiba sesuatu yang buruk menimpaku dengan sempurna. Napasku tersengal-sengal, tubuh gemetar dan lambung. Hampir saja
"Mas Arfen kenapa, Mama?" spontan aku membalikkan pertanyaan. "Ada apa, Mama?""Ada apa, Mbak Menur?" Mommy ikut panik. Melompat turun dari tempat tidur. "Ada apa dengan Arfen?"Mama tidak langsung menjawab, sekujur tubuhnya gemetar. Bersyukur masih bisa mengacungkan smartphone, memberi isyarat kalau masih terhubung dengan seseorang. Secepat mungkin, aku mengambil alih, mencoba berbicara. "Halo!""Ya, halo. Apa benar ini dengan Mbak Mirah?""Betul."Laki-laki di seberang sana memberi kabar kalau Mas Arfen dirawat di rumah sakit karena sudah menyayat pergelangan tangannya dengan pecahan kaca. Pendarahan yang dialami cukup parah, sehingga memerlukan transfusi darah. Jadi, keluarganya yang berarti aku dan Mama harus segera ke rumah sakit, sekarang juga. Sebelum semuanya terlambat, tentu saja. "Ba---Baik, Pak. Kami akan segera ke sana. Terima kasih.""Baik, Mbak Mirah. Sama-sama."Tanpa berkata-kata lagi, aku menubruk Mommy dan memeluknya erat-erat. Tangisku benar-benar pecah sekarang
"Kamu sih, nggak ikhlas!" Mourin baru sampai di taman bunga belakang ruang ICU dan sudah langsung memaki. "Begini kan, jadinya?"Aku diam. Untuk apa menangkap bola api? Tidak berguna sama sekali. Bisa-bisa aku yang hangus terbakar. Apa pun yang terjadi, jangan sampai diri ini semakin terluka. Aduh, bagaimana ya, membahasakannya? Bukan berarti aku menari-nari di atas kritisnya Mas Arfen."Kok, kamu diam?" bentak Mourin sambil merapatkan rahang. Memandang super tajam dan dalam. "Mirah!"Aku jelas terpancing. Dia tidak berhak bersikap seperti ini terhadapku. "Ya. Saya!""Kok kamu malah diam kayak gini, sih?" Mourin mulai menangis, lalu sambil terisak-isak memberikan penjelasan, "Ternyata salah satu unsur darahku nggak cocok sama Mas Arfen. Kita harus secepatnya nyari darah golongan AB, Mirah. Kalau nggak …?""Apa? Kalau nggak, apa?" aku sengaja menajamkan tone suara. Tidak perlu tinggi atau keras karena kami di tempat umum. "Kamu bukan Tuhan, Mourin. Jadi, nggak usah sok tahu! Hanya Tuha
"Gimana, Mirah?" Mourin semakin memojokkanku. Memain-mainkan ujung rambut panjang sebahunya yang ikal dan pirang. Memandang dengan sorot mata setajam duri bunga mawar. "Kalau kamu setuju, aku akan segera membebaskan Mas Arfen!" Negosiasi yang sempurna. Sangat sempurna. Mourin memintaku merestui pernikahannya dengan Mas Arfen. Itu kalau aku mau Mas Arfen bebas. Bagaimana caranya, Mourin mengatakan aku tak perlu tahu. Cukup menyetujui permintaannya dan beres. "Jadi benar, selama ini kalian selingkuh?" aku jelas meradang dan tak sedikit pun berusaha untuk menutupinya. Terus terang aku tak mau berpura-pura lagi. Pura-pura kuat, pura-pura bahagia, pura-pura baik-baik saja dan semua kepura-puraan yang lain. "Tolong jelaskan, Mourin!"Prok, prok, prok!Mourin bertepuk tangan riang sekaligus sinis. "Menurut kamu? Hahahaha, Mirah, Mirah! Harus berapa kali kukatakan, Mas Arfen itu sudah jatuh cinta sama sejak pertama kali kami bertemu.""Kapan itu?" "Sehari setelah dia melamar kamu!"Ha, apa
Aku memilih duduk di bangku taman bunga samping klinik, membaca buku sambil menunggu Mama selesai terapi. Takdir memang misterius. Mama yang terlihat sekuat baja pun akhirnya tumbang juga. Memang bukan kenyataan yang manis, bukan perkara yang mudah, Mas Arfen harus mendekam di balik jeruk besi. Aku sendiri mengakuinya, kok. Ini berat sekali, pahit sekali. Tetapi jujur, rasanya tak percaya, Mama bisa menjadi selemah ini sekarang. Miss Clara menjatuhkan diagnosa depresi berat. Jadi, harus menjalani psikoterapi secara rutin supaya lekas pulih. Bersyukur, Mama menurut, tidak melakukan perlawanan yang berarti walau kadang-kadang rewel juga. "Non Mirah!" suara khas Mbak Sri menarikku keluar dari ruang pemikiran tentang Mama yang membuat pusing. "Ibu gimana, Non?"Kami sudah membuat kesepakatan tadi, Mbak Sri akan menyusul ke klinik kalau pekerjaan di rumah sudah beres. Aku sendiri sengaja datang lebih pagi ke rumah Mama, agar tidak tergesa-gesa. Maklum, perut sudah semakin berat dan tida
Aku menyambut kedatangan bestie, 4 Little Stars di teras. Serta merta keharuan menyelimuti hatiku, begitu juga dengan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Dalam rintik hujan yang cukup deras seperti ini, mereka tetap datang sesuai rencana semula. Tak seorang pun absen, bahkan masing-masing orang membawa oleh-oleh untukku. Bukan oleh-olehnya lho, yang penting tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Wah, istimewa sekali! "Thanks banget, Bestie!" riang gembira aku berseru. "Serius nih, aku terharu banget." Satu per satu Bella, Brilliant dan Rafael menyalami aku lalu beriringan masuk ke ruang tamu. Suasana malam ini benar-benar hangat. "Mir, sorry banget ya, kami baru bisa datang jenguk kamu?" Rafael membuka pembicaraan. "Sorry juga, nggak bisa ikut bantu pindahan kemarin." Brilliant mengulum senyum, menimpali permintaan maaf Rafael. "Sebenarnya kami sudah berusaha sih, Mir. Tapi, yaaah, tabrakan sama jadwal kerja. As you know lah, Mir." Bella nyengir kuda poni. Memandang kami sa
Mommy tersenyum sedih. Meletakkan jari-jemari tanganku ke dalam genggaman hangat. Tersendat-sendat menahan tangis Mommy bertanya, "Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Mommy, Mirah?" "Mirah minta maaf, Mommy." "Ya, Mommy sudah maafkan kamu. Tapi kenapa, Mirah, kamu pikul beban yang seberat ini sendiri? Kamu tahu kan, Mirah, Mommy selalu ada buat kamu?" Sedih, aku mengangguk dan hanya itu yang bisa aku lakukan. Dalam hal ini, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kelu. Terlalu bisu untuk mengucapkan sesuatu. Ya Tuhan! "Mirah …!" Mommy mempererat genggaman tangannya. Tak pelak, air mata menetes juga. Aku yakin, Mommy juga tak pernah menyangka, puteri semata wayangnya akan mengalami nasib yang seburuk ini. Kelam. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Oh, nggak mungkin kamu keluar dari rumah ini, sebelum bayi kalian lahir. Emh, biar Mommy saja yang di sini ya, temani kamu?" Tanpa berkata-kata, hanya dengan air mata yang kian deras mengalir, aku memeluk Mommy. Erat dan hangat. Kini, Mo