Share

Mba Hasna Berulah

Mataku melotot memandang tas belanja yang kini mendarat di pahaku. Tidak sopannya orang tua ini. 

Susah payah aku mengontrol emosi, dan sepertinya saat ini aku harus lebih bersusah payah lagi.

Ya Allah, berilah hamba Mu ini kesabaran seluas samudera. Jangan setipis tisu.

Dengan terpaksa pisau di tangan kuletakkan dengan kasar.

“Aku bisa masak daging kok, Mba,” ujarku sambil meletakkan tas belanjanya di atas lantai.

“Aku aja, masakanmu tidak cocok di lidahku,” balasnya sambil menjulurkan lidah.

“Tidak cocok apanya? Kemarin aku masak telur balado di rumah ibu aja, hampir mba angkut semua,” ucapku sambil tersenyum miring mengingat kerakusan iparku ini. Hampir saja mertuaku tidak kebagian.

Iparku yang sukses menjadi ASN ini mengibaskan tangannya, “a-ah itu karena di rumahku lagi tidak ada lauk saja. Aslinya aku sih ogah,” bantahnya.

Aku tau ia berbohong dan hanya gengsi saja. Memang tidak mudah merendah untuk orang setinggi kakak iparku itu.

“Aku bawa dagingnya,” ucap mba Hasna sambil berlari hendak ke luar pintu.

Belum sempat aku menyadari bahwa mba Hasna sudah mengambil daging yang tersimpan di dalam kulkas imutku, ia telah lebih dulu melesat pergi.

“Loh, mba, itu dagingku!” seruku sambil mengejar wanita bongsor yang hampir mencapai sepeda motornya.

Mba Hasna menghentikan langkah lalu berbalik, “ribut amat kamu, Laras. Biar aku aja yang masak kenapa sih! Ni daging juga punya ibuk!” sentak mba Hasna sambil mendorong tubuhku pelan.

“Tapi, tapi itu bukan... “ Ucapanku terhenti kala menyadari bahwa ibu-ibu rempong mulai mendekati halaman kontrakanku.

“Apa? Enak saja kamu yang masak, bisa habis tidak tersisa buat yang lainnya. Kamu sama anak-anakmu ‘kan rakus,”  ucapnya  lagi yang sudah duduk di atas motor.

Para tetangga berbisik-bisik, entah apa yang ada di mulut dan otak mereka.

Ingin sekali aku berteriak bahwa daging tersebut milikku.

Tapi aku tidak mau bu Mita dan bu Nanik mengetahui bahwa apa yang aku ucapkan pagi tadi, hanyalah bualan.

Ya, daging sapi dan ayam yang kubeli atas nama ibu tadi pagi, dibeli menggunakan uangku sendiri. Uang sebesar 185.000 rupiah yang biasanya kuhabiskan untuk makan keluargaku selama 3 hari.

Dan ibu sama sekali tidak menyuruhku untuk membelinya.

Tentang umroh juga, ibu tidak mempunya tabungan untuk umroh. Semuanya aku karang, hanya untuk menutup mulut mereka berdua.

Saat ini, dua wanita itu pun tengah berada di halaman rumahku menyaksikan keributan yang memalukan ini.

“Minggir, Laras!” pekik mba Hasna sambil menyalakan motor.

Aku menyingkir untuk memberikan jalan kepada mba Hasna yang sedang bahagia karena hari ini akan melakukan perbaikan gizi.

Setelah mba Hasna pergi dengan motornya, aku buru-buru masuk ke dalam rumah sebelum tetangga yang haus akan informasi menanyaiku macam-macam.

Di balik pintu aku memejamkan mata dan mengatur nafas, sekaligus meredakan emosi.

Meski mulutku berucap istigfar berjuta kali, berusaha ikhlas ratusan kali. Tapi tetap saja hatiku sakit.

Kenapa hatiku sakit?

Mungkin karena hakku diambil orang.

Atau karena cara mengambilnya yang salah.

Mungkin aku akan memberikannya secara sukarela jika mba Hasna berbicara baik-baik.

Apa mba Hasna tadi jangan-jangan sudah bicara baik-baik? Hanya aku saja yang pada dasarnya tidak mau menyerahkan daging itu.

Ah kepalaku pusing, dadaku seperti mau meledak.

Kulirik jam dinding yang sudah berkali-kali diganti baterainya. Barang antik itu telah menunjukkan pukul sebelas, waktunya aku menjemput anak-anak sekolah.

***

“Enak rendangnya, Dek,” ujar suamiku sambil menepuk perutnya yang sedikit membuncit.

Aku tersentak mendengarnya dan segera  berlari ke dapur.

Tudung saji yang terletak di atas meja makan kecil kami segera kubuka.

Mataku melotot melihat tidak ada lagi daging rendang yang tersisa, padahal tadi masih ada lima potong.

“Kenapa buru-buru gitu sih? Mau nangkep tikus di dapur?” tanya suamiku dengan wajah penasaran ikut menyusul ke dapur.

“Ini, kok habis?” tanyaku balik sambil menunjuk piring kosong dengan sedikit bumbu rendang di atasnya.

“’Kan aku makan,” jawab suamiku santai.

Ia terlihat mengambil tusuk gigi dan memainkannya di dalam mulut.

“Aku belum makan, Mas. Hanum dan Haidar juga!” seruku yang kemudian terduduk lemas di lantai.

Meja makan kami tidak dilengkapi dengan kursi, hanya meja bundar pendek saja. Jadi jika sedang makan kami tetap duduk di lantai.

“Ya aku mana tau. Lagian tinggal sedikit, kupikir kalian sudah makan,” balasnya santai. “Emang dari siapa itu daging? Tumben-tumbenan ada daging,”

“Dari mba Hasna,” ujarku sambil membersihkan piring kotor bekas makan suamiku.

“Wah, ada angin apa dia mau berbagi?” tanya mas Handi heran.

Ia membuang tusuk gigi yang ujungnya sudah tidak lancip lagi ke tong sampah.

Sebelum menjawab, kuhela napas kasar.

“Dagingnya dari aku,”

“Hah? Terus kenapa bisa mba Hasna yang masak? Kamu ‘kan bisa masak sendiri?”

“Mbamu itu yang mengambil secara paksa dagingnya dari dalam kulkas. Untung saja dia tidak mengambil ayam yang akan kujadikan opor besok,” jawabku lesu.

Kemudian kuceritakanlah awal mulai terbelinya bahan makanan mahal itu.

Setelah mendengar cerita secara keseluruhan, samiku terdiam. Ia memandangku dengan kasihan.

Aku pura-pura tidak tau dan tetap melap meja makan.

Tanpa bersuara, suamiku tiba-tiba menyambar kunci motornya dan langsung pergi entah kemana.

Belum sempat aku mengejar ia telah hilang dari pandanganku.

Masa mas Handi hendak melabrak kakaknya karena sudah mengambil dagingku?

Sepertinya tidak mungkin. Dia tidak berani dengan wanita-wanita itu.

Sambil menunggu Hanum dan Haidar belajar, aku menyelesaikan rekapan barang pesanan hari ini. Setelah anak-anak belajar, aku akan mengajak mereka mencari makan di luar.

Kira-kira lima belas menit setelah kepergiannya, suara mesin motor mas Handi terdengar memasuki halaman kontrakan.

Aku segera mematikan ponsel dan menyambut kedatangan mas Handi, sekaligus menanyakan dari mana ia pergi.

Kala mas Handi memasuki rumah, kulihat di tangannya tergantung sebuah bungkusan bening.

Dari luar aku bisa melihat dengan jelas bahwa isinya adalah sate.

“Sate?” Entah pertanyaan atau seruan, aku segera berlari mendekati suamiku.

Mas Handi tersenyum lalu menyodorkan kepadaku.

Dengan mata berbinar aku menerimanya.

“Kenapa beli sate, Mas? ‘Kan Mas sudah makan,” tanyaku sambil menyiapkan sate di atas piring.

“Buat kamu sama anak-anak,” jawabnya sambil memiringkan ponsel. Pasti dia akan bermain game. “Kalau nunggu ayam beku itu mencair, bakal lama,”

“Alhamdulillah, terimakasih, Mas,” ujarku.

Mas Handi mengangguk, “terimakasih juga sudah mau membela ibuku, dan maafkan mba Hasna karena lancang mengambil dagingmu. Maafkan aku juga yang tidak menyisakan makanan untukmu,” ujarnya sambil menatapku sebentar lalu kembali lagi menatap ponsel.

Aku sempat ragu dengan pendengaranku barusan. Tapi aku yakin telingaku sedang  baik-baik saja.

Oh suamiku, rupanya ia bisa romantis juga. Walau kutahu berat sekali kalimat itu ia ucapkan. Tapi aku bahagia.

Entahlah ia kesambet setan apa. Kalau begini sering-sering kesambet sepertinya boleh juga, hehe. 

Langsung kupeluk ia. Seandainya hari ini tidak bertepatan dengan masa periodku, tentulah akan kuberi ia malam yang panjang dan berkeringat.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status