Share

Salah Didik!

Mega masuk ke dalam rumah, hatinya masih bergemuruh dengan apa yang baru saja terjadi. Ia terduduk di tepian ranjang, menatap nanar rumahnya yang masih begitu sederhana, menatap tembok yang masih terlihat batu bata, hingga lantai tempatnya berpijak yang masih berupa semen kasar yang sebagian di tutup karpet plastik. Memang benar mereka bilang, keluarga kecilnya masihlah jauh dari kata mewah dan berlimpah.

"Salahkah jadi orang tak punya?" Mega bertanya dalam hati, begitu  banyak kepahitan ia dapat hanya karena cap miskin yang mungkin bagi mereka tertulis jelas di depan jidatnya kini.

Ia tidak berasal dari keluarga kaya, bahkan lima tahun menikah Mega harus kehilangan kedua orang tunya karena sakit. Ibunya berpulang lebih dulu dan berselang satu tahun, Bapaknya juga ikut menyusul. Sejak saat itulah perangai ibu mertuanya berubah, merasa tak ada lagi  yang harus di sungkani dari Mega, toh dia tak lagi memiliki orang tua.

Air mata membasahi pipinya, entah mengapa orang menilainya salah, padahal ia tak merasa pernah berbuat jahat. Mereka bilang dirinya angkuh, begitu congkak dan sombongnya, padahal apa yang mau ia sombongkan, bahkan untuk makan dengan layak saja ia harus ikut memutar otaknya.

"Ga, Mega!" Suara ibu mertuanya membuyarkan lamunan. Mega menyeka cepat air mata di pipi, ia segera keluar mendengar namamya di sebut.

"Iya bu, ada apa?"

Ibunya sudah berdiri di ambang pintu, mengandeng  Alika di sisi kirinya. "Nih anakmu buang air besar, segitu gedenya bilang eek saja nggak mau! Ajarin apa susahnya?"

Mega terpaku melihat Alika terdiam dengan wajah tertunduk. Ia mengambil anak empat tahun itu dan membawanya ke kamar mandi.

"Alika biasanya bilang kalau mau eek, kenapa sekarang diam saja?"

Gadis kecil itu berbisik di telinga. "Takut bude Iska buk."

Mega terdiam, mencoba mencerna kalimat dari putrinya. Tak biasanya dia berbisik untuk cerita, apakah Alika juga takut pada neneknya?

Selesai membersihkan Alika, Mega kembali ke depan, ia memastikan ibu mertuanya sudah pulang ke rumah. Setelah di rasa mertuanya tak ada, Mega kembali masuk dan mendudukan Alika di atas tempat tidur.

"Tadi maen apa di rumah Nenek?" Mega memancing gadis kecil itu sambil memakaikannya celana pendek.

"Nggak maen."

Mega terdiam kembali mencerna kalimat anak perempuannya. "Bude bobok buk, Ika lihat HP sendili."

Mega terdiam, kakak iparnya itu memang unik bin ajaib. Ia selalu ingin dekat dengan anak-anak nya, namun hanya untuk mengajaknya ke kamar, mengunci pintu kamar ibu mertuanya dan memberikan dua keponaknnya ponsel dengan video kartun, sementara Siska akan tidur hingga mendengkur keras.

"Jadi Alika eek ngak bilang karena takut bude Siska bangun?"

Gadis itu menganggukkan kepala. Usianya baru empat tahun, tapi ia bahkan sudah bisa berfikir sejauh itu.

"Buk, mau nonton baby sak." Alika bicara dengan polosnya.

"Baby shark?" Mega membetulkan kalimat anaknya.

Alika menganggukkan kepala. "Nonton baby sak buk." Gadis kecil itu mulai kembali merengek.

Beginilah jika ia sudah bersama Siska, Alika akan kembali meminta menonton video saat kembali ke rumah. Sementara Mega bahkan tak pernah membiarkan anaknya melihat Video bila di rumah.

"Tadi sudah lihat kan?" Gadis kecil itu mengangguk lagi. " kan sudah lihat, Ya beranti besok lagi lihatnya!"

Mega mencoba memberikan Alika pengertian. Bagaimanapun  dirinya tak boleh terlalu memberi anaknya kebebasan dalam memegang ponsel, Alika harus tau batasan dan larangan saat ibunya memberikan perintah. Masih banyak juga permainan yang bisa di mainkan bersama Alika.

"Mau HP buk! Ibuk nakal, ibuk nakal." Alika terduduk di lantai, kakinya menendang-nendang ke depan.

"Jangan begitu nak, besok lagi lihat HPnya ya?" Mega menyentuh kepala Alika, namun gadis itu justeru mengamuknya.

"Nggak mau, mau lihat HP ibuk, lihat HP!" Gadis kecil itu kini meraung, berguling dan berteriak di atas tikar.

Kini Mega hanya duduk melihat anaknya berteriak, percuma juga memaksa Alika mimahami maksudnya, biarkan saja bila ia ingin marah, mengeluarkan semua yang ia rasakan, Mega tetap pada pendiriannya.

Hingga teriakan Alika semakin kencang, ia bahkan sempat mengamuk dan memukul Mega beberapa kali.

"Ibuk tunggu sampai Alika tenang ya, tapi ibuk tidak akan merubah keputusan, Alika harus tau, lihat HP itu ada waktunya, kalau sudah lihat HP berarti besok lagi lihatnya." Mega berdiri mengambil baju bersih di atas meja ruang tengah, sembari menunggu anaknya diam, ia bisa melipat baju yang mulai menggunung.

Tak berselang lama, setelah tangisan Alika mengema, ibu mertuanya datang dengan wajah tak suka.

"Mega! Ibu macam apa kamu ini, anak nangis bukannya di diamkan malah sibuk ngurus gunungan baju!"

Mega terdiam, melihat mertuanya kini mengambil Alika yang masih terus meronta. 

"Taruh saja Alika mak, biarkan saja kalau dia menangis, nanti kalau sudah tenang Mega akan pegang dia."

"Taruh bagaimana, anak nangis begini masih bisa kamu minta ibu taruh dia, terlalu kamu!" Siti membujuk cucuknya untuk duduk, namun Alika masih terus meminta apa yang jadi keinginannya 

"Mau HP nek, mau HP!"

"Oh, Alika mau nonton HP? Kita ke rumah nenek yuk, kita nonton di sana saja!" Siti menggendong Alika.

"Taruh  Alika mak, biar dia di rumah dulu!"

Siti mendengus kesal, ia melihat tajam ke arah menantunya. " Kamu melarang Emak menyentuh cucu sediri Mega?"

"Bukan begitu Mak, tapi  biarkan dia tenang dulu. Jangan selalu membela anak hanya karena dia menagis mak, biarkan Mega yang urus dulu."

"Eh, kamu saja nggak bisa urus dan memenuhi kemauanya. Nih anak sapai nangis begini kamu masih saja nggak perduli!"

"Dia nangis minta HP mak, jangan terus di kasih begitu."

"Ya kalau minta HP kasih lah, sama anak pelitmu nggak ketulung. Hari-hari juga kerjamu hanya rebahan di depan HP, giliran anak minta pinjam nggak di kasih!"

"Bukan begitu mak, hanya saja-"

"Alah sudah, nggak perlu banyak bicara kamu ini. Bagus juga Siska itu asuh anak, anakmu sama dia nggak pernah tu nangis begini!"

Siti berlalu sambil membawa Alika dalam gendongan. Sementara Mega yang mengejar, berhenti saat motor Ridho memasuki pekarangan rumah mereka.

"Lho Mak, mau di bawa kemana Alika?" Ridho yang baru pulang  dari sawah merasa heran dengan ibunya yang berjalan tergesa-gesa.

"Bilang sama istrimu itu, jangan sok tau soal ngurus anak, aku lebih punya pengalaman membesarkan anak dari pada dia!" Siti berlalu begitu saja, bahkn Ridho belum sempat bertanya lebih jelas, namun saat dia masuk Mega sudah berdiri di ambang pintu.

"Mas-" Ucapanya tercekat, ia ingin menyusul Alika namun juga tak bisa meninggalkan suaminya yang baru pulang dari sawah.

"Alika tantrum lagi?" Ridho tau hanya dari tatapan mata istrinya. Bukan kali pertama memang Ibu datang saat Alika menangis, menyalahkan cara mendidik Mega dan menuruti semua yang Alika Mau.

"Tolong bilang Emak mas, tolong jangan ikut campur caraku mendidik anak-anak. Jangan terus membela Alika begini!" Kalimat Mega melemah, ada rasa kecewa yang dalam di sana.

"Jika aku ambil anak-anak dirumah Emak sekarang mas, mbak Siska pasti akan sangat membenciku dan kamu mas. Bagaiman mas, apa yang harus aku lakukan?"

Ridho membelai punggung istrinya. "Mas saja yang ambil, mas mandi sebentar boleh?"

Mega menganggukkan kepala, ia masuk mengikuti Ridho. Ridho langsung menuju kamar mandi sementara Mega menyiapkan makan suaminya. Bulir bening kembali menetes, ia harus bersabar lebih luas untuk tetap menjaga sikap dan lisannya, bagaimapaun ibu mertuanya adalah orang tua kandung suaminya yang harus di hormati.

"Berilah kekuatan ya Allah, berilah kemudahan dan kelapangan. Mampukanlah diri kami menerima setiap ujianmu sebagai pendewasaan diri agar lebih baik,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status