Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan.
Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. --- Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambutan, hingga durian, taman itu terlihat seperti versi kecil dari kebun raya kota. Pepohonan yang rimbun memberikan suasana teduh meskipun matahari sedang terik-teriknya. Willy menghirup udara segar sambil melangkah santai, merasa lebih rileks. "Ini seperti surga kecil," gumam Willy sambil memandangi area luas yang tertata rapi. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu ketika sebuah mangga besar jatuh dari pohon di dekatnya. Mangga itu meluncur dengan kecepatan tinggi, hampir mengenai kepalanya. Refleks, Willy melompat mundur dan mengayunkan tangan kanannya. Pukulan itu mengenai mangga yang sedang jatuh, menghancurkannya menjadi serpihan sebelum menyentuh tanah. Willy berdiri terpaku, menatap tangan dan sisa buah yang bertebaran di tanah. "Apa barusan?" bisiknya, bingung. --- Willy teringat pada perasaan aneh yang beberapa hari terakhir ini muncul di tubuhnya. Ia sering mendapati dirinya melakukan gerakan yang seolah-olah dipandu oleh naluri. Kecepatan dan kekuatan tubuhnya seperti meningkat, meskipun ia tidak pernah melakukan latihan khusus. Iseng, Willy mencoba meniru gerakan yang tadi dilakukannya. Ia mengayunkan tangan, menendang udara, dan bergerak seperti sedang mempraktikkan beladiri. Hasilnya membuatnya tercengang. Gerakan-gerakannya terasa begitu alami, seolah tubuhnya sudah terlatih selama bertahun-tahun. Willy berhenti sejenak, merenungkan apa yang sebenarnya terjadi padanya. "Padahal aku tidak pernah belajar beladiri," pikirnya sambil memandangi tangannya sendiri. Rasa penasaran mendorong Willy untuk mencoba lebih jauh. Ia mulai mencari tantangan kecil di sekitarnya. Sebuah batu besar di sudut taman menarik perhatiannya. Willy mendekat, merasakan permukaan batu yang keras dan kasar. "Apakah aku bisa menghancurkan ini?" tanyanya pada diri sendiri. Dengan sedikit ragu, Willy menarik napas dalam, mengepalkan tangan, lalu mengayunkan pukulannya ke arah batu itu. Suara keras terdengar, dan batu itu pecah menjadi beberapa bagian. Willy terdiam, matanya melebar. "Apa-apaan ini?" bisiknya lagi, kali ini dengan nada lebih bingung. Namun, rasa ingin tahunya belum terpuaskan. Willy mulai membuat tantangan-tantangan lain untuk menguji batas kemampuannya. Ia mencoba melompat ke dahan pohon yang tinggi, dan berhasil melakukannya dengan mudah. Ia meninju tanah keras hingga menciptakan lubang kecil. Semua itu ia lakukan tanpa merasa lelah atau kesakitan. Setelah beberapa percobaan, Willy duduk di bawah pohon, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Kenapa aku bisa melakukan semua ini? Dari mana datangnya kekuatan ini?" pikirnya sambil memandang kedua tangannya. Keringat mengalir di dahinya, bukan karena lelah, tetapi karena bingung. Willy tahu bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang tidak wajar. Namun, ia tidak tahu harus berbuat apa dengan kekuatan ini atau apa yang akan terjadi selanjutnya. --- Setelah puas mencoba berbagai gerakan aneh di taman belakang, Willy kembali ke rumah keluarga Haldi. Ia berjalan dengan langkah ringan, tidak merasa lelah meskipun sudah melakukan hal-hal yang cukup menguras tenaga. Ada perasaan aneh dalam tubuhnya, staminanya terasa meningkat, dan rasa capek seperti menghilang begitu saja. Begitu masuk ke halaman samping rumah, pandangan Willy tertuju ke garasi yang tadi pagi ia gunakan untuk mencuci SUV keluarga. Ia teringat pesan Haldi beberapa hari lalu, "Jangan pernah menganggur, Willy. Kalau tidak ada tugas, cari sesuatu yang bisa kamu kerjakan." Willy merasa pesan itu sangat masuk akal. Selain membuatnya tetap sibuk, inisiatif seperti ini juga bisa meningkatkan kepercayaan keluarga Haldi terhadap dirinya. “Baiklah, garasi ini perlu dirapikan,” gumam Willy sambil melangkah mendekat. Garasi itu besar, cukup untuk menampung lima mobil sekaligus. Di sudut-sudutnya terdapat tumpukan alat-alat bengkel, ban cadangan, dan beberapa kotak yang berisi perlengkapan lain. Willy memutuskan untuk membersihkan area itu terlebih dahulu. Ia mulai dengan menyapu lantai, mengelap rak-rak besi, lalu mengatur ulang alat-alat yang berserakan. Semua itu ia lakukan dengan cekatan dan tanpa merasa lelah. Bahkan, ia merasa energinya semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu. "Apa ini efek dari latihan tadi?" pikir Willy, sambil menyeka peluh di dahinya. Dalam waktu kurang dari satu jam, garasi itu terlihat jauh lebih rapi. Willy merasa puas dengan hasilnya dan kembali merenungkan kondisi fisiknya yang tiba-tiba berubah drastis. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara panggilan dari arah dapur mengejutkannya. "Willy! Ayo makan siang dulu, Nak!" Willy menoleh dan melihat Bu Din, kepala asisten rumah tangga, melambai dari pintu dapur. Wanita paruh baya itu adalah sosok yang ramah, tapi juga tegas dalam menjalankan tugasnya. Willy segera meletakkan kain lap yang ia gunakan dan berjalan mendekat. --- Di ruang makan para asisten rumah tangga, aroma masakan sederhana namun lezat memenuhi udara. Di meja makan, sudah tersaji sepiring nasi, semangkuk sayur, ikan yang wangi, dan segelas air es. Willy duduk di salah satu kursi sambil mengucapkan terima kasih kepada Bu Din. "Makannya yang banyak, Willy. Kamu kerja dari pagi, pasti lapar," kata Bu Din sambil duduk di kursi seberang. "Terima kasih, Bu Din," jawab Willy sambil mulai menyendok nasi ke piringnya. Suasana makan siang itu terasa santai. Bu Din, seperti biasa, tidak bisa menahan diri untuk mengobrol. Kali ini, ia menatap Willy dengan senyum menggoda. "Willy, aku lihat tadi pagi kamu mengantar Nona Delia ke kampus, ya?" tanyanya dengan nada bercanda. "Iya, Bu," jawab Willy sambil tetap makan. "Ah, Nona Delia memang ramah orangnya. Tapi hati-hati, Willy," kata Bu Din sambil menunjuk dengan sendok. "Hati-hati kenapa, Bu?" tanya Willy sambil mengangkat alis. Bu Din tertawa kecil. "Jangan sampai kamu tergoda, Nak. Itu anak majikan kita. Cantik, ramah, iya. Tapi tetap saja, dia itu dari keluarga kaya. Kita ini hanya serpihan kapas, bukan kelas mereka." Willy terdiam sejenak, mencerna kata-kata Bu Din. Ia tahu wanita itu tidak bermaksud jahat, hanya mencoba mengingatkan. "Saya tahu, Bu. Saya hanya bekerja di sini," jawab Willy akhirnya, mencoba bersikap tenang. "Bagus kalau kamu sadar. Kadang, yang muda-muda ini gampang terlena. Nona Delia memang baik, tapi jangan sampai lupa diri," kata Bu Din lagi, kali ini dengan nada lebih serius. Willy mengangguk sambil melanjutkan makannya. Dalam hati, ia tidak bisa mengabaikan rasa kagum yang ia rasakan pada Delia. Gadis itu memang berbeda, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga sikapnya yang ramah dan hangat. Namun, Willy sadar betul bahwa ia hanyalah seorang karyawan di rumah ini. Setelah makan siang selesai, Willy mengucapkan terima kasih lagi kepada Bu Din dan membantu membereskan meja makan. Sambil mencuci piring, ia merenungkan ucapannya. "Aku harus tetap fokus pada pekerjaanku. Ini semua hanya kekaguman biasa," pikirnya, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu perasaan itu mungkin lebih dari sekedar kagum. Tiba-tiba Willy terpikir sesuatu, "Tapi bagaimana kalau aku benar-benar jatuh cinta?" ###Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s
Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s
Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per
Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu
[Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi
Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be