Home / Urban / Menantu Kuli / VII. Mengantar ke kampus

Share

VII. Mengantar ke kampus

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2025-01-04 09:15:54

Sebelum membersihkan diri, Willy memutuskan untuk menemui Haldi, kepala keluarga yang memiliki aura tenang namun tegas. Willy tahu bahwa bekerja di rumah ini membutuhkan kedisiplinan dan transparansi. Permintaan Delia tadi membuatnya sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, sebaiknya disampaikan kepada Haldi agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

Willy berjalan menuju ruang kerja Haldi, ruangan besar dengan jendela besar yang menghadap taman. Ia mengetuk pintu pelan.

"Masuk," terdengar suara berat dari dalam.

Willy membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Haldi sedang duduk di meja kayu besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Di depannya, ada beberapa dokumen yang sedang diperiksa.

"Selamat pagi, Pak Haldi," sapa Willy dengan sopan.

Haldi mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Pagi, Willy. Ada apa?"

"Begini, Pak," Willy mulai berbicara, meskipun ada sedikit gugup di nada suaranya. "Baru saja Nona Delia meminta saya untuk mengantarnya ke kampus jam delapan menggunakan mobilnya. Setelah itu, saya diminta mencuci mobilnya dan menjemputnya lagi sore nanti."

Haldi menatap Willy dengan pandangan yang sulit ditebak. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. "Baik. Saya senang kamu melapor. Itu hal yang tepat untuk dilakukan."

Willy menghela napas lega. "Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin memastikan semuanya sesuai aturan."

"Itu bagus," kata Haldi sambil bersandar di kursinya. "Didikan Mira mungkin terasa keras, tapi ada tujuannya. Kalau kamu terus belajar, kamu akan menemukan ritme yang pas di rumah ini."

Willy mengangguk mantap. "Saya akan berusaha, Pak."

Haldi tersenyum kecil. "Kalau begitu, siapkan dirimu. Ini tugas pertama yang cukup besar. Pastikan Delia merasa nyaman selama perjalanan."

"Baik, Pak." Willy pamit dan menutup pintu ruang kerja dengan hati yang lebih tenang.

---

Setelah melapor, Willy kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri. Ia mandi dengan cepat, mencoba menghilangkan rasa lelah dari pekerjaan pagi tadi. Air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan kesegaran, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang tugasnya mengantar Delia.

Selesai mandi, Willy mengenakan pakaian bersih, kaos putih sederhana dan celana jeans biru gelap. Ia ingin tampil rapi namun tetap nyaman.

Ketika ia keluar dari kamarnya, aroma masakan yang sedap langsung menyambutnya. Di meja dapur, sudah tersedia nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya, ditemani segelas teh hangat.

"Nak, sarapan dulu sebelum bekerja. Kamu harus membiasakan teratur makan agar kerjanya tidak keteteran," ucap Bu Din, kepala asisten rumah tangga.

"Terimakasih, Bu Din. Ibu sudah makan?" tanya Willy basa-basi.

Bu Din mengangguk, "Sudah semua. Majikan sudah, para asisten rumah tangga juga sudah. Hanya tinggal kamu yang belum,"

Willy duduk dengan tenang dan mulai makan. Sarapan sederhana itu terasa lebih nikmat setelah pagi yang penuh tekanan.

"Setidaknya, aku punya energi untuk menjalani hari ini," pikir Willy sambil menyeruput teh.

---

Jam menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit ketika Willy selesai makan. Ia segera menuju halaman depan untuk bersiap. Mini Cooper biru milik Delia sudah terparkir rapi di dekat taman. Mobil itu terlihat manis namun elegan, dengan bodi yang berkilau seakan baru keluar dari showroom. Willy menatap mobil itu dengan sedikit rasa kagum.

Ia membuka pintu mobil, memeriksa bagian dalamnya untuk memastikan semuanya dalam keadaan rapi dan bersih. Jok kulit putih dan dashboard minimalis memberikan kesan mewah tanpa berlebihan. Willy duduk di kursi pengemudi sebentar, merasakan kenyamanan mobil itu.

"Mobil ini pasti favorit Delia," gumamnya sambil tersenyum kecil.

Willy keluar dari mobil dan berdiri di sampingnya, menunggu Delia. Ia melirik jam tangan, mencoba memastikan semuanya sesuai jadwal.

Pintu depan rumah terbuka, dan Delia muncul dengan penampilan yang memukau. Ia mengenakan blus putih dengan rok hitam selutut, ditambah tas selempang kecil yang tergantung di bahunya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan wajahnya tampak segar dengan riasan tipis yang mempertegas kecantikannya.

Willy hanya bisa menatapnya beberapa detik, merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Ia segera menundukkan kepala untuk menyembunyikan rasa gugup.

Delia berjalan mendekat dengan langkah ringan. "Sudah siap, Willy?" tanyanya dengan senyum ceria.

"Sudah, Delia," jawab Willy sambil membuka pintu mobil untuknya.

"Terima kasih," kata Delia sambil masuk ke mobil. Ia duduk di kursi penumpang depan dan meletakkan tasnya di pangkuan.

Willy menutup pintu dengan hati-hati sebelum masuk ke kursi pengemudi. Ia menghidupkan mesin, dan suara lembut mobil itu terdengar.

"Ke kampus, ya?" tanya Willy memastikan.

Delia mengangguk. "Iya, kampusku ada di jalan utama. Aku yakin kamu tahu rutenya."

"Baik," kata Willy sambil memasukkan gigi dan mulai melajukan mobil.

---

Perjalanan menuju kampus terasa cukup tenang, meskipun Willy masih merasa gugup. Sesekali, Delia mengajaknya bicara, membahas hal-hal ringan seperti cuaca dan keadaan jalan. Percakapan itu membantu Willy sedikit lebih rileks.

"Aku suka cara kamu mengemudi, Willy. Tenang tapi pasti," komentar Delia sambil tersenyum.

"Terima kasih, Delia. Saya hanya berusaha memastikan perjalananmu nyaman," jawab Willy dengan nada rendah hati.

Delia tertawa kecil. "Kamu ini sopan sekali. Tidak seperti beberapa sopir yang pernah kami punya."

Willy hanya tersenyum, meskipun di dalam hatinya ia merasa bangga mendapat pujian.

"Oya, bukankah ada driver yang namanya Pak Deny, kan?" Willy mencoba mengingat apa yang disampaikan Bu Din kemarin.

Delia mengiyakan, "Tapi itu sopir, Ayah atau Ibu. Untuk anak-anaknya, tidak ada jatah sopir pribadi. Untungnya kamu melamar kerja di saat yang tepat,"

Willy berasa senang bisa membuat Delia terbantu, tapi benaknya masih berpikir, "Tugas saya sebenarnya adalah kuli tetap. Membantu bagian lain jika dalam waktu senggang, atau ada permintaan khusus,"

Delia tak mempedulikan itu. Dengan santai berkata, "Dan ini adalah permintaan khusus."

---

Ketika mereka tiba di kampus, Delia memberikan arahan ke tempat parkir. Mobil berhenti dengan mulus di depan gedung utama.

"Terima kasih, Willy," kata Delia sambil membuka pintu.

"Sama-sama, Delia. Saya akan mencuci mobil ini seperti yang kamu minta," kata Willy sambil keluar dari mobil untuk membukakan pintu bagasi.

Delia mengambil tas kuliah dari bagasi dan kembali tersenyum. "Kamu benar-benar bisa diandalkan, ya."

Willy hanya mengangguk sambil menahan rasa canggung.

"Sampai nanti sore, ya. Jangan lupa jemput aku tepat waktu," kata Delia sebelum melambaikan tangan dan berjalan masuk ke gedung kampus.

Willy menatap punggung Delia yang perlahan menghilang di keramaian mahasiswa. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Ada sesuatu tentang Delia yang sulit dijelaskan, yakni kehangatan, keceriaan, atau mungkin kecantikannya yang membuat Willy merasa gugup sekaligus bersemangat.

Sambil menghela napas, Willy menghidupkan mesin mobil dan bersiap kembali ke rumah untuk melanjutkan tugas berikutnya, mencuci mobil Delia.

"Semoga saja saat mencuci nanti Nyonya Mira sudah berangkat," gumam Willy dengan wajah risau.

###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Kuli   XLV. Harta Karun

    Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s

  • Menantu Kuli   XLIV. Sia-sia yang beruntung

    Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s

  • Menantu Kuli   XLIII. Raysa oh Raysa

    Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per

  • Menantu Kuli   XLII. Berpikir keras

    Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu

  • Menantu Kuli   XLI. Perubahan rencana

    [Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi

  • Menantu Kuli   XL. Mereka juga kaget

    Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status