Banyak ibu mertua merasa khawatir kehilangan peran dan pengaruhnya terhadap anak laki-lakinya setelah menikah. Hal ini bisa memicu persaingan tersembunyi dengan menantu untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari sang anak. Menantu pun merasa cemburu jika pasangannya terlalu dekat atau lebih memprioritaskan orang tuanya.
“Hai… siapa di sana?”
Suara Sekar terdengar lembut, seperti selimut tipis yang menenangkan malam. Tangannya menggenggam erat headset, dan matanya berbinar, penuh semangat. Ia tahu, setiap sambungan adalah cerita. Dan setiap cerita, selalu layak didengar.
“Halo... aku Niko,” jawab suara laki-laki dari seberang. Suaranya pelan, tapi berat. Seperti seseorang yang menyimpan beban, namun tak ingin menjatuhkannya sembarangan.
Sekar tersenyum, meski tahu lawan bicaranya tak bisa meli
Pagi itu seharusnya biasa saja.Setelah sholat Subuh, Sekar seperti biasa akan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan kesukaan suaminya, Arya—nasi goreng kampung dengan telur mata sapi setengah matang. Tapi pagi ini, ada yang berbeda. Sangat berbeda.Langkahnya terhenti di ambang pintu dapur.Matanya membulat, alisnya terangkat.“Lho… Ibu?”Di dapur, ibu mertuanya sudah lebih dulu berdiri tegak—bukan hanya dengan apron bermotif bunga kecil yang khas itu, tapi juga dengan segunung bahan makanan yang memenuhi meja. Ada ayam utuh, udang segar, aneka sayuran dari ladang, bahkan beberapa bumbu rempah yang biasanya hanya dipakai kalau ada acara khusus.Sekar menelan ludah.“Wah, ini sih bukan masak sarapan. Ini mau buka warung nasi padang apa gimana…”Ia mundur pelan, nyaris tanpa suara. Lalu buru-buru menuju kamar. Ada yang aneh. Sangat aneh. Dan ia tahu hanya satu orang yang bisa menjawab semua ini: suaminya.Arya masih mengenakan koko putihnya, dengan rambut setengah basah yang acak-acaka
Banyak ibu mertua merasa khawatir kehilangan peran dan pengaruhnya terhadap anak laki-lakinya setelah menikah. Hal ini bisa memicu persaingan tersembunyi dengan menantu untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari sang anak. Menantu pun merasa cemburu jika pasangannya terlalu dekat atau lebih memprioritaskan orang tuanya.“Hai… siapa di sana?”Suara Sekar terdengar lembut, seperti selimut tipis yang menenangkan malam. Tangannya menggenggam erat headset, dan matanya berbinar, penuh semangat. Ia tahu, setiap sambungan adalah cerita. Dan setiap cerita, selalu layak didengar.“Halo... aku Niko,” jawab suara laki-laki dari seberang. Suaranya pelan, tapi berat. Seperti seseorang yang menyimpan beban, namun tak ingin menjatuhkannya sembarangan.Sekar tersenyum, meski tahu lawan bicaranya tak bisa meli
Pagi merekah pelan-pelan, seperti daun teh yang mengembang dalam air hangat. Sekar menarik napas dalam-dalam sambil berdiri di depan cermin kecil di kamar. Rambutnya diikat seadanya, tak ada make-up, hanya bedak tipis dan senyum yang entah mengapa tetap menawan.“Sekar…” panggil Arya dari ruang makan. “Sarapanmu hampir dingin. Jangan sampai nasi goreng buatan Ibu jadi korban kelupaan.”Sekar nyengir kecil. “Tenang, aku nggak sepelupa itu. Cuma... hari ini rasanya pengin cepat-cepat ke langit.”Arya mengangkat alis. “Langit? Jangan bilang kamu mau naik balon udara.”“Langit loteng, maksudku,” bisik Sekar, mendekat dan mencubit lengan suaminya pelan. “Ada jadwal siaran, ingat?”“Ah ya, dunia rahasiamu itu.” Arya terkekeh. “Penyiar misterius yang bahkan tetangga sebelah belum curiga identitasnya.”Sekar tersenyum. Ada kenyamanan dalam rutinitas ini. Bangun pagi, mengantar Arya ke tempat kerja, lalu kembali membantu mertuanya membersihkan halaman rumah. Gaji? Tidak seberapa. Tapi hati Seka
Sekar mulai belajar membiarkan pikirannya tenang. Tak semua hal harus dipahami saat itu juga, termasuk kamar yang selalu terkunci di ujung lorong rumah mertuanya. Ia memutuskan untuk menyimpan semua pertanyaan itu dalam laci kecil di sudut hatinya. Untuk sekarang, fokusnya adalah rutinitas sebagai istri rumah tangga dan penyiar radio paruh waktu—dua peran yang cukup menyita tenaga dan pikiran.Pagi itu, langit begitu bersih, seperti baru saja dicuci hujan malam tadi. Cahaya matahari jatuh lembut ke dapur, menari di atas piring-piring putih yang sudah tertata rapi. Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang sedikit. Aroma nasi goreng dan telur dadar keju memenuhi udara, berpadu dengan wangi teh melati yang baru diseduh.Arya, suaminya, masih bergelung di kasur seperti bayi berusia tiga puluh tahun."Sayang..." sua
Hari ini Menantu On Air sedang libur. Tapi jangan buru-buru mikir Sekar bisa leyeh-leyeh sambil sheet mask-an nonton drama Korea. Justru, saat mikrofon dimatikan, pekerjaan rumah hidup-hidup datang menagih janji: dari cucian baju yang melambai minta disentuh, sampai sapu lantai yang kayaknya udah ngegerundel di pojokan karena dicuekin.“Enak ya jadi ibu rumah tangga, di rumah terus…” Ucapan klasik dari umat yang belum tahu kerasnya hidup bareng ember cucian dan nyetrika baju suami sambil nahan lapar karena belum sempat sarapan.Sekar sering pengen bales, “Betul, di rumah terus... bareng cucian, kompor, dan setrikaan. Kita tim Hore Hore Habis Lelah.”Tapi yaudah lah, cukup senyum kecut yang mewakili segalanya.Hari ini Kamis.Seperti biasa, Sekar bangun sebelum subuh. Sentuhan lembut di pundak Arya jadi alarm manusia paling romantis sejagat.“sayang, subuh…” bisiknya sambil menahan ngantuk level tujuh.Arya mengangguk pelan, bangkit. Mereka shalat berjamaah. Romantis ya? Coba dilihat
“Dia anak tunggal dari keluarga kaya. Ibunya udah meninggal lama, lima tahun sebelum aku masuk ke rumah mereka. Aku... anak yatim piatu. Jadi waktu nikah sama Rendi, aku ngerasa hidupku lengkap banget. Kami bahagia, punya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dunia tuh rasanya indah banget, Mbak…”Sekar bisa mendengar senyum yang terselip di balik sedihnya.“Lalu?” bisiknya.“Lalu… Rendi kecelakaan. Meninggal seketika. Aku masih dua puluh tahun. Anakku masih bayi.”Sekar menutup mulutnya, terkejut.“Ya Allah, Rania… aku ikut berduka. Kamu pasti kuat banget selama ini.”