Malam yang ramai belum juga surut. Langit Levin masih ditaburi gemintang, namun hawa panas perdebatan yang membekas di rumah keluarga Lewis belum juga sirna. Di balik dinding rumah sederhana itu, ketegangan masih terasa, seolah sisa-sisa amarah masih bergelayut di udara.
Namun perhatian semua orang segera teralihkan oleh suara ketukan keras yang datang dari pintu depan. Tok... Tok... Tok! Gerald Lewis berdiri perlahan dari kursi ruang tamu, meletakkan koran yang sempat ia baca untuk meredam kepalanya yang berdenyut akibat keributan di dapur. Dengan langkah berat, ia menuju pintu. Wajahnya berusaha tetap tenang, walau napasnya mulai tak teratur. Ketika daun pintu terbuka, tampak sosok pria besar berseragam hitam rapi berdiri di ambang. Dua pria lain berdiri di belakangnya, sama-sama berpakaian identik—formal, tajam, dan membawa aura kekuasaan. "Selamat malam," ucap pria di depan, matanya tajam menembus suasana. "Apa benar ini rumah keluarga Lewis?" Gerald mengangguk, dahi berkerut. “Benar, saya Gerald Lewis. Kepala keluarga di sini. Ada keperluan apa malam-malam begini ke rumah kami?” “Kami adalah utusan dari keluarga Nubia,” jawab pria itu, suaranya dalam dan berat. “Kami datang untuk mencari menantu Anda, bernama Tommy Justine. Untuk menyampaikan rasa terima kasih karena beberapa hari lalu beliau telah menyelamatkan cucu keluarga kami dari upaya bunuh diri.” Seketika ruang tamu itu membeku. Suara televisi yang menyala di sudut ruangan seperti lenyap ditelan ketegangan. Nathalia Lewis yang semula masih duduk sambil merapikan gulungan selimut, terdiam, mulutnya terbuka separuh. Tiffany langsung menoleh ke arah Tommy, matanya membulat. Sedangkan Tommy sendiri terlihat terkejut, bahkan seperti tidak paham dengan apa yang sedang terjadi. “Nubia? Bukankah mereka keluarga terkaya nomor empat di tangga sosial Levin?” gumam Nathalia dengan nada tak percaya. “Tommy?” tanya Tiffany pelan, mendekat. “Apa benar kamu menyelamatkan cucu dari keluarga Nubia?” Tommy mengerutkan kening. “Nubia?” ulangnya pelan. “Aku... aku tidak tahu siapa dia. Tapi beberapa hari lalu, waktu aku pulang dari pasar, aku lihat seorang gadis berdiri di tengah rel kereta. Dia... sepertinya seumuran kita. Aku nggak sempat berpikir, aku langsung lari dan menariknya sebelum kereta datang. Mungkin jika terlambat satu detik saja, gadis itu sudah ada di surga.” Tiffany menatapnya dengan campuran kagum dan bingung. “Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya?” Tommy menunduk, menggaruk belakang kepalanya. “Karena... aku takut kamu dan ibu marah padaku. Waktu itu beberapa telur belanjaan pecah. Aku melempar tas belanjaan dan langsung lari. Lalu aku bilang saja kalau aku jatuh terpeleset di pasar...” “Jadi karena itu telurnya pecah?!” Nathalia langsung berseru. “Kamu memang sialan, Tommy! Kamu membohongi aku! Kamu pikir aku bodoh, hah?! Kenapa aku mendapatkan menantu tidak berguna dan selalu berbohong sepertimu? Apa kesalahanku di masa lalu, Tuhan?!” “Ibu, tolong... berhentilah menyalahkan Tommy terus... Bagaimanapun juga dia telah menyelamatkan nyawa seseorang,” ujar Tiffany cepat, suaranya bergetar, matanya mulai memerah. “Itu jauh lebih penting daripada telur-telur itu.” “TERUS SAJA MEMBELA PECUNDANG INI!” bentak Nathalia. “Sejak kamu menikah dengan pecundang ini, kamu berubah! Kamu sudah nggak sayang sama ibu lagi! Kamu nggak tahu, berapa banyak air mata yang ibu tumpahkan karena kamu selalu membela suamimu yang nggak berguna ini?!” “Sudah cukup, Nathalia,” potong Gerald, kali ini suaranya lebih dalam dan berwibawa. Ia menatap istrinya tajam. “Kapan kalian bisa tenang dan bicara seperti manusia berakal? Sehari saja... sehari tanpa drama.” “Berhenti menasihatiku! Kamu juga sama tidak bergunanya dengan Tommy! Bahkan kamu tidak bisa mendapatkan uang yang cukup untuk keluarga ini! Dan hanya sibuk dengan barang-barang sampahmu itu!” “Hey! Berhenti mengatakan barang-barang antikku sebagai sampah! Mereka memiliki nilai sejarah yang tinggi. Di tangan orang yang tepat, itu bisa bernilai jutaan dolar!” balas Gerald, matanya membara. “Berhentilah membual di depanku!” bentak Nathalia lagi, nyaris meludah karena emosi. Suasana semakin panas, hingga bodyguard dari keluarga Nubia mengangkat tangannya dan berkata dengan nada tegas, “Maaf, kami tidak datang untuk mendengar pertengkaran internal keluarga Anda. Kami hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih dari Tuan Nubia.” Salah satu dari mereka maju dan meletakkan koper besar di meja ruang tamu. Bunyi ‘klik’ terdengar saat koper dibuka. Di dalamnya, tumpukan uang tunai yang tersusun rapi tampak berkilau di bawah lampu gantung. “Ini adalah bentuk penghargaan dari Tuan Nubia kepada Tuan Tommy Justine,” ucapnya. “Sebagai ucapan terima kasih karena telah menyelamatkan Nona Angelina Nubia.” Beberapa detik berlalu dalam diam. Bahkan suara detik jam dinding terasa begitu nyaring. Lalu... “TERIMA KASIH ATAS PENGHARGAANNYA!” Nathalia tiba-tiba melesat seperti dibakar antusiasme, memeluk koper itu seolah menemukan harta karun. “Kami sangat menghargai kemurahan hati keluarga Nubia. Tolong sampaikan rasa terima kasih kami kepada Tuan Nubia. Kami... sangat tersentuh... sangat!” “Ibu...” Tiffany mendesah berat. “Ibu selalu saja materialistis.” Tommy menghela napas. “Setidaknya, itu bisa sedikit meredakan emosi ibu,” gumamnya. “Kamu tau kan, Tommy. Ibu sangat materialistis,” timpal Tiffany sambil menggeleng. Gerald menatap koper itu tanpa ekspresi, lalu beralih pada Tommy. “Apa kamu ingat betul wajah gadis itu?” Tommy mengangguk. “Rambut panjang, pakai gaun putih. Wajahnya pucat banget. Kenapa memangnya, Yah?” Bodyguard yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Tuan Tommy, Nona Angelina saat ini sedang dalam perawatan intensif. Secara psikologis, ia belum stabil. Namun sejak kejadian itu, dia terus menyebut satu hal... bahwa Anda adalah orang yang sangat baik.’” Tommy tersenyum. “ Terimakasih” “Setelah kejadian itu, aku memang sempat mengajaknya duduk di taman. Dia tampak sangat tertekan. Jadi aku ajak dia bicara... hanya itu,” ujar Tommy. “Bukankah Nona Angelina baru saja kehilangan ibunya?” tanya Tommy. “Dan ayahnya dikenal sangat sibuk. Tidak heran kalau dia merasa benar-benar sendirian.” Bodyguard mengangguk pelan. “Itu sebabnya keluarga Nubia sangat berterima kasih kepada anda.” Setelah itu, ketiga pria berseragam itu membungkuk sopan dan berpamitan. Mereka keluar dengan langkah tenang, meninggalkan koper di atas meja dan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Gerald menutup pintu perlahan, lalu menoleh ke seluruh anggota keluarga yang masih tidak percaya mereka mendapat uang sepuluh juta dollar. Ini nominal yang sangat besar dan fantastis. Bagi keluarga Lewis nominal ini sangat besar,tapi bagi keluarga kaya dengan aset milyaran dollar,uang ini hanya sekedar tip belaka.Justru itu," jawab Tuan Lewis, matanya berkilat penuh makna, seolah tahu rahasia alam semesta. "Mereka semua hanya melihat uang dan koneksi, hanya peduli pada status dan keuntungan pribadi. Aku ingin seseorang yang berbeda untuk Tiffany. Seseorang yang kakinya menjejak tanah, yang tahu arti kerja keras, yang tidak akan pernah meninggalkannya dalam kesulitan. Aku ingin seorang suami yang bisa melindungi Tiffany, bukan hanya memanfaatkan nama keluarganya. Dan aku percaya, itu adalah dirimu, Tommy. Aku punya firasat kuat tentang dirimu." Tuan Lewis kemudian mendorong sebuah amplop tebal di atas meja. "Di dalamnya ada semua dokumen dan persiapan yang kau butuhkan. Pernikahan akan dilangsungkan minggu depan. Aku sudah mengatur semuanya. Tiffany akan menyetujuinya, aku yakin dia akan memahami keputusanku." Tommy memegang amplop itu, tangannya sedikit gemetar. Beratnya amplop itu terasa seperti beratnya nasib yang kini berada di tang
Setelah panggilan singkat namun penuh instruksi kepada Zhuxin Wang, Tommy merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. Permainan telah dimulai, bidak-bidak catur sudah digerakkan. Namun, di balik semua intrik bisnis dan strategi rahasia yang rumit, ada hal lain yang jauh lebih penting baginya. Tiga hari ke depan adalah hari istimewa: ulang tahun pernikahan ketiga Tommy dan Tiffany. Dia melirik jam dinding, pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu sebelum Tiffany pulang. Dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan di hadapan orang lain, Tommy meraih ponselnya lagi—bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk memesan taksi daring. Tujuannya adalah toko perhiasan ternama di pusat kota, sebuah tempat yang tak pernah ia sangka akan ia datangi. Di perjalanan, saat taksi melaju membelah ramainya jalanan kota Levin, pikiran Tommy melayang jauh. Jendela mobil membiarkan pemandangan gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan yang ramai, dan hiruk pikuk kot
Keesokan paginya, rutinitas yang membosankan dan penuh hinaan kembali terulang di kediaman rumah yang terletak di pinggir kota Levin itu. Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, namun Tommy sudah berada di dapur, seperti biasa. Aroma kopi arabika yang baru digiling dan roti panggang yang renyah menyebar, seharusnya menciptakan suasana hangat yang nyaman, namun di rumah keluarga Lewis, kehangatan semacam itu adalah kemewahan yang langka. Di meja makan, piring-piring porselen putih sudah tertata rapi, siap menyambut anggota keluarga lainnya. Tiffany, yang pertama muncul keluar dari pintu kamarnya, wajahnya masih memancarkan kelelahan sisa badai rapat kemarin. Ia mengenakan setelan kantor berwarna krem yang rapi, namun sorot matanya yang sayu tak bisa menyembunyikan beban pikirannya. Ia mengambil tempat duduk, secangkir teh hijau hangat di tangannya, berusaha mengumpulkan sedikit kekuatan untuk menghadapi hari yang panjang di Lewis C
Keesokan paginya, tepat pukul delapan, udara di lantai tertinggi kantor pusat Lewis Company terasa membeku. Bukan karena pendingin ruangan yang berlebihan, melainkan ketegangan yang merayap di antara para petinggi. Semua kepala divisi, dari keuangan yang kaku hingga pemasaran yang flamboyan, telah berkumpul di ruang rapat utama. Panggilan darurat itu datang langsung dari Nyonya Martha Lewis, sang matriark keluarga, wanita tua dengan cengkeraman baja yang tak terbantahkan atas perusahaan. Begitu pintu mahoni itu tertutup dengan suara klik yang mematikan, dan setiap kursi terisi, suara ketukan pelan tongkat kayu Nyonya Lewis menggema. Wanita itu berdiri tegak di depan layar proyektor raksasa, setelan biru gelapnya memancarkan aura kekuasaan yang tak bisa diganggu gugat. Raut wajahnya kaku, matanya tajam. "Aku mengumpulkan kalian semua pagi ini bukan tanpa alasan," ucapnya, suaranya dingin dan menusuk. "Ada sesuatu yang sangat besar… dan me
Setelah diskusi panjang seputar struktur internal dan arah bisnis Jowstone Group, Tommy memandang ke luar jendela. Langit kota Levin tampak mulai mendung, awan kelabu perlahan menggulung, membawa hawa sejuk yang menusuk masuk melalui celah kaca besar ruangan direktur utama. Suasana ruangan itu sempat hening. Tommy menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka suara. "Aku ingin kamu yang menangani perusahaan ini, Nona Zhuxin," ucapnya tenang namun penuh ketegasan. "Aku tidak punya cukup waktu untuk datang ke kantor setiap hari. Kirimkan laporan harian kepadaku secara rutin, dan aku akan meninjaunya di waktu senggang." Zhuxin Wang mengangguk pelan, tetap menunjukkan wajah profesional yang anggun. “Baik, Tuan Muda. Saya akan pastikan semua berjalan sesuai arahan Anda,” ucapnya tegas namun sopan. Tommy menoleh ke arahnya, suara dan ekspresinya mulai lebih serius. “Dan satu hal lagi. Aku ingin identitasku dirahasiakan. Jangan biarkan siapa pun tahu siapa pemilik sebenarnya dari J
Pagi yang cerah menyelimuti pusat kota Levin. Langit biru bersih terbentang di atas gedung-gedung tinggi, dan lalu lintas mulai menggeliat dengan ritme sibuk khas kota besar. Di dalam taksi yang meluncur menyusuri jalanan utama, Tiffany duduk di sebelah Tommy dengan raut wajah yang tenang. Mereka tak banyak bicara selama perjalanan, hanya membiarkan suasana pagi menemani pikiran masing-masing. “Kamu ingin turun di mana, Tom?” tanya Tiffany dengan lembut, memecah keheningan saat taksi mulai memasuki kawasan pusat kota. Tommy menoleh ke arah jendela, lalu menjawab pelan, “Aku turun di taman pusat kota saja.” Tiffany menatapnya sejenak, heran. “Kamu mau ke taman?” “Aku ingin mencari pekerjaan hari ini,bukankah aku mendapatkan tawaran sebagai office boy kemarin?” jawab Tommy, suaranya tegas namun tetap tenang. “Aku ingin mulai berkontribusi untuk keuangan keluarga kita. Sudah terlalu lama aku jadi beban.” Tiffany mengangguk. Meskipun tahu betul beban yang Tommy pikul tidak ringa