Share

Bab 3

Penulis: Beatarisa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-12 00:42:35

Pagi masih muda ketika matahari baru saja menyembul malu-malu dari balik tirai awan. Di rumah keluarga Lewis, aroma harum masakan mulai menguar dari dapur, memenuhi seluruh sudut rumah dengan kehangatan. Tommy Justine sudah bangun sejak fajar, mengenakan celemek lusuh berwarna cokelat, sibuk di dapur meracik menu sarapan.

Ia menggoreng telur, mengukus nasi, dan membuat sup ayam kesukaan istrinya. Sesekali ia mencicipi masakan dengan hati-hati, memastikan rasanya sempurna. Wajahnya tampak tenang dan penuh perhatian. Setelah selesai memasak, Tommy menata semua makanan dengan rapi di atas meja makan: semangkuk sup hangat, telur dadar yang digulung rapi, nasi putih, serta teh melati hangat dalam teko kaca.

Pukul tujuh pagi, Tiffany bangun dari tidurnya. Dengan langkah ringan ia menyusuri lorong menuju dapur, lalu menghentikan langkahnya begitu mencium aroma yang begitu dikenalnya.

“Mmm… harum sekali,” gumamnya sambil tersenyum.

“Selamat pagi,” sapa Tommy sambil membalikkan badan, wajahnya cerah.

Tiffany tersenyum dan menatap meja makan. “Tommy… kamu masak makanan favoritku?”

Tommy mengangguk pelan. “Ya. bukankah kamu memberitahu aku kemarin bahwa ada meeting penting hari ini? jadi aku ingin kamu bisa sarapan dengan tenang. Supaya fokus dan energimu penuh untuk meeting hari ini.”

Tiffany mendekat dan mengucapkan terimakasih yang tulus. “Terima kasih ya, kamu selalu perhatian.”

Meskipun pernikahan mereka hanyalah pernikahan yang di atur oleh Kakeknya Tiffany,tapi Tiffany menerima dengan ikhlas dan percaya ini semua adalah sebuah takdir untuk hidupnya.

Tak lama, Nathalia dan Gerald keluar dari kamar mereka. Nathalia sudah berdandan lengkap, mengenakan setelan formal dan tas tangan mahal, sementara Gerald hanya memakai sweater dan celana kain, tampak masih mengantuk.

“Pagi,” ucap Gerald singkat.

“Pagi, Ayah, Ibu,” sahut Tommy dan Tiffany bersamaan.

“Ibu mau ke mana pagi-pagi seperti ini?” tanya Tiffany ketika melihat sang ibu tampak begitu siap keluar rumah.

Nathalia meletakkan tasnya di kursi dan menjawab dengan nada tinggi, “Karena aku yang mengatur keuangan di rumah ini, aku akan pergi ke bank pagi ini dan menyetorkan uang dari keluarga Nubia. Setelah itu mampir ke salon langganan ku,tentu saja.”

Tiffany mengernyit. “Salon lagi? Bukankah Ibu baru ke salon minggu lalu?”

Nathalia mendengus kecil. “Sayang, ibu memang sudah tua, tapi bukan berarti ingin terlihat seperti nenek umur 70 tahun. Ibu ingin tetap menjaga kulit ibu. Kamu mau kan, ibumu tetap terlihat segar dan cantik?”

Tiffany menarik napas. “Ibu… kita tau uang dari keluarga Nubia itu banyak, tetap saja kita harus hemat. Itu uangnya Tommy. Ibu seharusnya tanya dulu sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu pada uang itu.”

Gerald mengangguk setuju. “Aku setuju dengan putri kita. Itu milik Tommy. Biarkan dia yang mengelola.”

Namun Nathalia langsung menoleh tajam. “Kamu diam saja, Gerald Lewis. Kalau kamu bisa menghasilkan uang lebih banyak dari sekadar menjual barang-barang antik yang tak laku itu, mungkin aku tak perlu repot mengurus semua ini.”

Gerald wajahnya mendadak memerah karena emosi, tapi dia hanya memilih diam. Suasana mendadak kaku.

Tommy menunduk sebentar, lalu angkat bicara dengan tenang. “Ayah, tidak apa. Ibu mungkin tahu mana yang terbaik untuk keluarga. Biarkan saja uang itu dikelola ibu. Aku percaya ibu akan menggunakannya dengan bijak.”

Tiffany menatap Tommy tak percaya. “Tom…”

Namun Tommy hanya tersenyum tenang. Tommy tau persis ibu mertuanya sangat materialistis, karena itu untuk menghindari perdebatan di pagi hari dia mengalah.

Tiffany menghela napas panjang. “Baiklah… tapi Ibu janji ya, harus hati-hati dan bijak membelanjakan uang itu.”

Nathalia tersenyum puas. “Tentu saja. Kamu pikir ibu ini siapa? Aku tahu persis bagaimana cara management keuangan keluarga ini dengan baik. Dan kamu, Tommy…” Ia menatap menantunya sambil tersenyum sinis. “Uang belanja akan aku tambahkan jadi buatlah masakan lebih bergizi malam ini.”

"Baik Bu." Sambil menganggukkan kepalanya.

Setelah sarapan selesai, suasana di meja makan mulai sedikit mencair. Tommy membereskan piring dan mencuci sebagian besar peralatan makan yang digunakan, meskipun Tiffany sudah menawarkan diri untuk membersihkan itu semua. Ia tetap ingin membersihkan semuanya dan membuat rumah dalam keadaan rapi, seperti biasanya.

Pukul delapan kurang lima, ia melirik jam dinding dan menghela napas. "Aku harus berangkat sekarang, meeting jam sembilan. Kalau telat, bisa dimarahi Nenek."

Tommy menghampirinya sambil membawa tas kerja milik Tiffany. "Aku sudah pesan taksi online. Lima menit lagi sampai."

Tiffany mengambil tas itu dan tersenyum tipis. "Makasih, Tom. Aku benar-benar nggak ngerti kamu bisa sepeduli ini, padahal Ibu baru saja... kamu tahu."

Tommy hanya tersenyum. “Sudahlah. Kamu fokus saja kerja. Kalau ada apa-apa kabari aku.”

Tiffany melangkah ke depan pintu. Sesaat ia menoleh dan berkata pelan, “Kalau bisa… jangan terlalu membiarkan Ibu mengatur semuanya. Aku tahu kamu baik, tapi jangan sampai kebaikanmu dimanfaatkan.”

Tommy mengangguk pelan. “Aku tahu batasnya.”

Sebuah klakson pendek terdengar dari luar pagar rumah. Taksi yang mereka pesan sudah datang.

Tiffany membuka pintu dan melangkah keluar, disambut udara pagi yang masih sejuk. Ia menaiki taksi dan menatap rumah kecil mereka dari balik jendela yang mulai berembun. Rumah itu sederhana, berada di pinggiran kota Levin, rumah sederhana dan hangat untuk di tinggali bersama keluarga.

Taksi perlahan meninggalkan halaman rumah, membawa Tiffany menuju kantor tempat dia bekerja.

Dari dalam rumah, Tommy masih berdiri di ambang pintu, memperhatikan kepergian istrinya. Lalu ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke ruang tamu tempat Nathalia sedang memeriksa koper berisi uang sambil bergumam sendiri.

"Aku harap,suatu hari nanti semua akan jauh lebih baik lagi.."

Tak lama setelah Tiffany berangkat, Nathalia juga bersiap pergi. Ia sudah merapikan rambutnya yang disanggul rapi dan mengenakan setelan elegan yang sedikit mencolok untuk wanita seusianya. Dengan koper uang berisi jutaan dollar dari keluarga Nubia yang kini disimpan dalam tas tangan besar berwarna merah marun, Nathalia tampak seperti bangsawan kaya baru.

"Tommy! Jangan lupa bersihkan lantai depan, banyak jejak lumpur semalam!" serunya sambil berjalan cepat menuju pintu.

Tommy menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. "Baik, Bu."

"Jangan lupa juga lap jendela ruang tamu. Aku tak ingin tamu datang dan melihat kaca rumah seperti rumah hantu!" lanjut Nathalia.

"Iya, Bu. Hati-hati di jalan."

Tepat saat itu, klakson taksi online yang dipesan Nathalia berbunyi. Wanita itu melangkah keluar tanpa menoleh lagi, menyembunyikan senyum bangganya di balik kacamata hitam. Ia merasa hidupnya baru saja berubah. Dari istri kepala keluarga sederhana, menjadi seseorang yang kini memegang kendali atas jumlah uang yang tak pernah ia bayangkan.

Setelah kepergian Nathalia, Gerald bersiap dengan barang-barang antiknya—lukisan tua, jam kuno, dan satu set cangkir porselen dari zaman kolonial—yang ia bawa dengan hati-hati dalam kotak kayu kecil.

"Aku akan ke Roselvet, Tom. Aku juga sudah memesan taksi. Siapa tahu ada kolektor yang tertarik hari ini. Kalau bisa laku satu-dua barang saja, kita punya cukup untuk bayar listrik dan air bulan depan tanpa menyentuh uang itu."

"Hati-hati di jalan, Yah. Semoga berhasil," ucap Tommy tulus.

Gerald menepuk pundak menantunya. "Kamu anak baik, Tom. Jangan berubah, ya. Walau dunia menginjakmu, jangan pernah jadi seperti mereka."

Beberapa menit kemudian, rumah itu menjadi sunyi.

Tommy berdiri di ambang pintu, menatap halaman yang kosong, lalu menarik napas panjang. Ia kembali masuk, menggulung lengan bajunya, dan mulai membersihkan rumah tua itu dari debu dan kotoran yang menumpuk.

Ruang tamu menjadi sasaran pertamanya. Ia membuka jendela, membiarkan cahaya pagi masuk dan menggantikan aroma lembap yang biasa menempel di dinding rumah tua. Ia mengepel lantai, menyapu karpet, dan membersihkan kaca jendela hingga bening kembali.

Walaupun Tommy hanya seorang menantu yang dianggap pecundang, rumah ini tetap rumahnya juga. Dan selama ia tinggal di dalamnya, ia ingin menjaganya tetap layak, tetap bersih, dan tetap menjadi tempat di mana kedamaian masih bisa dicari...

Setelah hampir dua jam membersihkan rumah, Tommy menuangkan segelas air dingin dan duduk di kursi ruang makan, mengusap keringat di dahinya. Suasana sunyi benar-benar menenangkan—tanpa bentakan, tanpa sindiran. Hanya suara burung di luar jendela dan desiran angin pagi.

Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya melayang.

Namun, ketenangan itu segera buyar saat terdengar suara dering nyaring dari ponsel tua miliknya yang tergeletak di meja dapur.

Tring... Tring... Tring...

Suara panggilan di ponselnya memecah keheningan..

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 59

    Pagi itu, aroma sarapan yang disiapkan Tommy memenuhi seisi rumah. Tommy dengan cekatan menata piring-piring di meja makan ketika Sabrina muncul dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya, sebuah blazer abu-abu gelap yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem, dan celana bahan yang presisi. Namun, yang membuat Tommy mengerutkan kening adalah koper berukuran sedang yang ia seret di belakangnya. "Sabrina? Mau ke mana kamu? Kenapa bawa koper?" tanya Tommy, tangannya berhenti sejenak di atas tumpukan roti panggang. Sabrina tersenyum tipis. "Selamat pagi, Tom. Ya, aku rasa sudah cukup tinggal di sini." Ia menghela napas ringan. "Keluargaku sudah memesan sebuah kamar di Golden Gate Hotel. Dan mulai hari ini, aku akan tinggal di sana." Mendengar nama Golden Gate Hotel, Tommy mengangguk mengerti. Ia tahu, sebagai keluarga terkaya nomor tiga di Highland, harga sebuah kamar di hotel bintang lima itu bukanlah masalah bagi keluarga Sabrina. Tommy juga tahu sedikit banyak tentang

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 58

    Deru mesin halus BMW Seri 3 memecah keheningan sore di Levin, sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran. Jalanan yang tadinya lebar dan ramai di pusat kota kini berganti menjadi jalanan aspal yang lebih sempit, diapit oleh rumah-rumah dengan halaman berumput dan pagar kayu sederhana. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari lanskap beton dan kaca tempat penthouse Tommy berada. Namun, bagi Tommy, suasana ini membawa kedamaian yang aneh, rasa 'pulang' yang tulus. Ini adalah dunia Tiffany, istrinya. Ia membelokkan mobil hitam metalik itu ke halaman sebuah rumah yang rapi dan bersahaja. Cat putihnya sedikit mengelupas di beberapa bagian, tetapi taman di depannya dirawat dengan cermat, penuh dengan bunga-bunga mawar dan melati yang sedang mekar. Ini adalah rumah keluarga Tiffany, tempat istrinya tumbuh dewasa. Tommy mematikan mesin. Sejenak ia hanya duduk di sana, memandangi teras tempat ia sering duduk berbincang dengan ayah mertuanya. Ia tidak melakukan ini untuk pamer. Ia melakukan

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 57

    Mentari pagi baru saja merangkak naik, memandikan kota dengan cahaya keemasannya. Di ruang makan sebuah penthouse mewah yang menghadap ke lanskap kota, Tommy menyeruput kopi paginya. Aroma kopi arabika yang kental berpadu dengan keheningan yang menenangkan. Di seberang meja, istrinya, Tiffany , tersenyum sambil mengagumi kunci mobil baru yang tergeletak di samping piringnya."Kau benar-benar melakukannya," ujar Tiffany, matanya berbinar. "BMW Seri 5 ini... seperti mimpi."Tommy tersenyum. "Hanya yang terbaik untukmu, sayang. Lagipula, pramuniaga di sana sangat profesional. Pengalaman yang menyenangkan.""Lalu, apa rencanamu hari ini? Bukankah kau bilang akan membelikan mobil untuk Ayah?""Benar," kata Tommy sambil meletakkan cangkirnya. "Aku akan kembali ke area showroom itu. Ada urusan yang belum selesai." Ada kilatan samar di matanya yang tidak bisa dibaca Tiffany, perpaduan antara geli dan sebuah prinsip yang tak tergoyahkan.Beberapa jam kemudian, Tommy tiba di kawasan otomotif pr

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 56

    Suasana makan malam terasa hangat malam itu, jauh berbeda dari biasanya. Nathalia, yang biasanya menunjukkan sikap ketus dan tak jarang melontarkan sindiran, kini tampak jauh lebih melunak. Tommy tahu betul sifat mertuanya; Nathalia adalah tipe wanita yang materialistis, dan "sentuhan uang" yang diberikannya mampu meluluhkan kekerasannya."Apakah Sabrina belum kembali dari Jowstone Group?" tanya Gerald, memecah keheningan yang nyaman."Belum, Ayah," jawab Tiffany. "Sabrina bilang dia akan lembur di hari pertamanya bekerja. Katanya banyak tugas yang harus dibenahi. Karena dia cukup baru di perusahaan itu, dia harus lebih ekstra bekerja agar semuanya stabil di awal."Nathalia menghela napas. "Aku pikir dengan status dari keluarga kaya Sabrina di Highland, dia tidak akan bekerja keras sama sekali." Ada nada kejutan dalam suaranya.Tiffany tersenyum tipis. "Bukankah dari dulu memang Sabrina sangat mandiri, Bu? Dia hampir tidak pernah mengandalkan kemampuan keluarganya dan selalu fokus pad

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 55

    Mobil BMW Seri 7 yang emblemnya sudah diganti menjadi Seri 5 itu melaju mulus memasuki pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Tiffany, dengan senyum merekah, memarkirkan mobil. Rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia tak pernah menyangka, hadiah "kecil" yang ia berikan pada Tommy akan membawa dampak sebesar ini pada hubungan mereka, terutama pada pandangan keluarga terhadap Tommy.Suara deru mesin mobil yang asing segera menarik perhatian Nathalia dan Gerald. Mereka bergegas keluar, rasa penasaran tergambar jelas di wajah mereka. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Mata mereka membulat saat melihat Tiffany yang turun dari kursi pengemudi BMW tersebut, diikuti Tommy yang tersenyum simpul."Ya ampun, Tiffany! Apa ini mobil barumu?!" seru Nathalia, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang meluap-luap.Tiffany mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Bu."Nathalia mendekat, matanya menelusuri setiap lekuk bodi mobil mewah itu. "Ya ampun... Jadi ini mobil direk

  • Menantu Paling Luar Biasa   Bab 54

    Tommy mematikan ponselnya dengan senyum tipis. Rencananya berjalan sempurna. Tiffany, yang awam soal kendaraan, pasti akan percaya bahwa BMW Seri 7 yang sudah disulapnya menjadi Seri 5 itu memang benar-benar Seri 5. Ia tahu Tiffany tak akan curiga, karena baginya, semua BMW terlihat mahal. Ia hanya ingin Tiffany merasa nyaman, bukan terbebani oleh harga sebuah mobil.Perjalanan Tommy terasa lebih ringan. Sebentar lagi, ia akan melihat ekspresi terkejut istrinya. Itu adalah hadiah kecil yang ia siapkan untuk sang istri yang selama ini selalu mendukungnya. Dalam hatinya, ia membayangkan bagaimana Tiffany akan merengek tentang betapa borosnya dia, tapi ia tahu itu hanya bentuk perhatian Tiffany.Setibanya di depan lobi Lewis Group, Tommy bersandar santai di pilar, sesekali menyeruput rokoknya. Tak lama, sosok Tiffany muncul dari pintu kaca, memancarkan aura profesionalisme yang selalu membuatnya bangga."Tom, apa kamu sudah memesan taksi untuk kita pulang?" t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status