Pagi masih muda ketika matahari baru saja menyembul malu-malu dari balik tirai awan. Di rumah keluarga Lewis, aroma harum masakan mulai menguar dari dapur, memenuhi seluruh sudut rumah dengan kehangatan. Tommy Justine sudah bangun sejak fajar, mengenakan celemek lusuh berwarna cokelat, sibuk di dapur meracik menu sarapan.
Ia menggoreng telur, mengukus nasi, dan membuat sup ayam kesukaan istrinya. Sesekali ia mencicipi masakan dengan hati-hati, memastikan rasanya sempurna. Wajahnya tampak tenang dan penuh perhatian. Setelah selesai memasak, Tommy menata semua makanan dengan rapi di atas meja makan: semangkuk sup hangat, telur dadar yang digulung rapi, nasi putih, serta teh melati hangat dalam teko kaca. Pukul tujuh pagi, Tiffany bangun dari tidurnya. Dengan langkah ringan ia menyusuri lorong menuju dapur, lalu menghentikan langkahnya begitu mencium aroma yang begitu dikenalnya. “Mmm… harum sekali,” gumamnya sambil tersenyum. “Selamat pagi,” sapa Tommy sambil membalikkan badan, wajahnya cerah. Tiffany tersenyum dan menatap meja makan. “Tommy… kamu masak makanan favoritku?” Tommy mengangguk pelan. “Ya. bukankah kamu memberitahu aku kemarin bahwa ada meeting penting hari ini? jadi aku ingin kamu bisa sarapan dengan tenang. Supaya fokus dan energimu penuh untuk meeting hari ini.” Tiffany mendekat dan mengucapkan terimakasih yang tulus. “Terima kasih ya, kamu selalu perhatian.” Meskipun pernikahan mereka hanyalah pernikahan yang di atur oleh Kakeknya Tiffany,tapi Tiffany menerima dengan ikhlas dan percaya ini semua adalah sebuah takdir untuk hidupnya. Tak lama, Nathalia dan Gerald keluar dari kamar mereka. Nathalia sudah berdandan lengkap, mengenakan setelan formal dan tas tangan mahal, sementara Gerald hanya memakai sweater dan celana kain, tampak masih mengantuk. “Pagi,” ucap Gerald singkat. “Pagi, Ayah, Ibu,” sahut Tommy dan Tiffany bersamaan. “Ibu mau ke mana pagi-pagi seperti ini?” tanya Tiffany ketika melihat sang ibu tampak begitu siap keluar rumah. Nathalia meletakkan tasnya di kursi dan menjawab dengan nada tinggi, “Karena aku yang mengatur keuangan di rumah ini, aku akan pergi ke bank pagi ini dan menyetorkan uang dari keluarga Nubia. Setelah itu mampir ke salon langganan ku,tentu saja.” Tiffany mengernyit. “Salon lagi? Bukankah Ibu baru ke salon minggu lalu?” Nathalia mendengus kecil. “Sayang, ibu memang sudah tua, tapi bukan berarti ingin terlihat seperti nenek umur 70 tahun. Ibu ingin tetap menjaga kulit ibu. Kamu mau kan, ibumu tetap terlihat segar dan cantik?” Tiffany menarik napas. “Ibu… kita tau uang dari keluarga Nubia itu banyak, tetap saja kita harus hemat. Itu uangnya Tommy. Ibu seharusnya tanya dulu sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu pada uang itu.” Gerald mengangguk setuju. “Aku setuju dengan putri kita. Itu milik Tommy. Biarkan dia yang mengelola.” Namun Nathalia langsung menoleh tajam. “Kamu diam saja, Gerald Lewis. Kalau kamu bisa menghasilkan uang lebih banyak dari sekadar menjual barang-barang antik yang tak laku itu, mungkin aku tak perlu repot mengurus semua ini.” Gerald wajahnya mendadak memerah karena emosi, tapi dia hanya memilih diam. Suasana mendadak kaku. Tommy menunduk sebentar, lalu angkat bicara dengan tenang. “Ayah, tidak apa. Ibu mungkin tahu mana yang terbaik untuk keluarga. Biarkan saja uang itu dikelola ibu. Aku percaya ibu akan menggunakannya dengan bijak.” Tiffany menatap Tommy tak percaya. “Tom…” Namun Tommy hanya tersenyum tenang. Tommy tau persis ibu mertuanya sangat materialistis, karena itu untuk menghindari perdebatan di pagi hari dia mengalah. Tiffany menghela napas panjang. “Baiklah… tapi Ibu janji ya, harus hati-hati dan bijak membelanjakan uang itu.” Nathalia tersenyum puas. “Tentu saja. Kamu pikir ibu ini siapa? Aku tahu persis bagaimana cara management keuangan keluarga ini dengan baik. Dan kamu, Tommy…” Ia menatap menantunya sambil tersenyum sinis. “Uang belanja akan aku tambahkan jadi buatlah masakan lebih bergizi malam ini.” "Baik Bu." Sambil menganggukkan kepalanya. Setelah sarapan selesai, suasana di meja makan mulai sedikit mencair. Tommy membereskan piring dan mencuci sebagian besar peralatan makan yang digunakan, meskipun Tiffany sudah menawarkan diri untuk membersihkan itu semua. Ia tetap ingin membersihkan semuanya dan membuat rumah dalam keadaan rapi, seperti biasanya. Pukul delapan kurang lima, ia melirik jam dinding dan menghela napas. "Aku harus berangkat sekarang, meeting jam sembilan. Kalau telat, bisa dimarahi Nenek." Tommy menghampirinya sambil membawa tas kerja milik Tiffany. "Aku sudah pesan taksi online. Lima menit lagi sampai." Tiffany mengambil tas itu dan tersenyum tipis. "Makasih, Tom. Aku benar-benar nggak ngerti kamu bisa sepeduli ini, padahal Ibu baru saja... kamu tahu." Tommy hanya tersenyum. “Sudahlah. Kamu fokus saja kerja. Kalau ada apa-apa kabari aku.” Tiffany melangkah ke depan pintu. Sesaat ia menoleh dan berkata pelan, “Kalau bisa… jangan terlalu membiarkan Ibu mengatur semuanya. Aku tahu kamu baik, tapi jangan sampai kebaikanmu dimanfaatkan.” Tommy mengangguk pelan. “Aku tahu batasnya.” Sebuah klakson pendek terdengar dari luar pagar rumah. Taksi yang mereka pesan sudah datang. Tiffany membuka pintu dan melangkah keluar, disambut udara pagi yang masih sejuk. Ia menaiki taksi dan menatap rumah kecil mereka dari balik jendela yang mulai berembun. Rumah itu sederhana, berada di pinggiran kota Levin, rumah sederhana dan hangat untuk di tinggali bersama keluarga. Taksi perlahan meninggalkan halaman rumah, membawa Tiffany menuju kantor tempat dia bekerja. Dari dalam rumah, Tommy masih berdiri di ambang pintu, memperhatikan kepergian istrinya. Lalu ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke ruang tamu tempat Nathalia sedang memeriksa koper berisi uang sambil bergumam sendiri. "Aku harap,suatu hari nanti semua akan jauh lebih baik lagi.." Tak lama setelah Tiffany berangkat, Nathalia juga bersiap pergi. Ia sudah merapikan rambutnya yang disanggul rapi dan mengenakan setelan elegan yang sedikit mencolok untuk wanita seusianya. Dengan koper uang berisi jutaan dollar dari keluarga Nubia yang kini disimpan dalam tas tangan besar berwarna merah marun, Nathalia tampak seperti bangsawan kaya baru. "Tommy! Jangan lupa bersihkan lantai depan, banyak jejak lumpur semalam!" serunya sambil berjalan cepat menuju pintu. Tommy menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. "Baik, Bu." "Jangan lupa juga lap jendela ruang tamu. Aku tak ingin tamu datang dan melihat kaca rumah seperti rumah hantu!" lanjut Nathalia. "Iya, Bu. Hati-hati di jalan." Tepat saat itu, klakson taksi online yang dipesan Nathalia berbunyi. Wanita itu melangkah keluar tanpa menoleh lagi, menyembunyikan senyum bangganya di balik kacamata hitam. Ia merasa hidupnya baru saja berubah. Dari istri kepala keluarga sederhana, menjadi seseorang yang kini memegang kendali atas jumlah uang yang tak pernah ia bayangkan. Setelah kepergian Nathalia, Gerald bersiap dengan barang-barang antiknya—lukisan tua, jam kuno, dan satu set cangkir porselen dari zaman kolonial—yang ia bawa dengan hati-hati dalam kotak kayu kecil. "Aku akan ke Roselvet, Tom. Aku juga sudah memesan taksi. Siapa tahu ada kolektor yang tertarik hari ini. Kalau bisa laku satu-dua barang saja, kita punya cukup untuk bayar listrik dan air bulan depan tanpa menyentuh uang itu." "Hati-hati di jalan, Yah. Semoga berhasil," ucap Tommy tulus. Gerald menepuk pundak menantunya. "Kamu anak baik, Tom. Jangan berubah, ya. Walau dunia menginjakmu, jangan pernah jadi seperti mereka." Beberapa menit kemudian, rumah itu menjadi sunyi. Tommy berdiri di ambang pintu, menatap halaman yang kosong, lalu menarik napas panjang. Ia kembali masuk, menggulung lengan bajunya, dan mulai membersihkan rumah tua itu dari debu dan kotoran yang menumpuk. Ruang tamu menjadi sasaran pertamanya. Ia membuka jendela, membiarkan cahaya pagi masuk dan menggantikan aroma lembap yang biasa menempel di dinding rumah tua. Ia mengepel lantai, menyapu karpet, dan membersihkan kaca jendela hingga bening kembali. Walaupun Tommy hanya seorang menantu yang dianggap pecundang, rumah ini tetap rumahnya juga. Dan selama ia tinggal di dalamnya, ia ingin menjaganya tetap layak, tetap bersih, dan tetap menjadi tempat di mana kedamaian masih bisa dicari... Setelah hampir dua jam membersihkan rumah, Tommy menuangkan segelas air dingin dan duduk di kursi ruang makan, mengusap keringat di dahinya. Suasana sunyi benar-benar menenangkan—tanpa bentakan, tanpa sindiran. Hanya suara burung di luar jendela dan desiran angin pagi. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya melayang. Namun, ketenangan itu segera buyar saat terdengar suara dering nyaring dari ponsel tua miliknya yang tergeletak di meja dapur. Tring... Tring... Tring... Suara panggilan di ponselnya memecah keheningan..Justru itu," jawab Tuan Lewis, matanya berkilat penuh makna, seolah tahu rahasia alam semesta. "Mereka semua hanya melihat uang dan koneksi, hanya peduli pada status dan keuntungan pribadi. Aku ingin seseorang yang berbeda untuk Tiffany. Seseorang yang kakinya menjejak tanah, yang tahu arti kerja keras, yang tidak akan pernah meninggalkannya dalam kesulitan. Aku ingin seorang suami yang bisa melindungi Tiffany, bukan hanya memanfaatkan nama keluarganya. Dan aku percaya, itu adalah dirimu, Tommy. Aku punya firasat kuat tentang dirimu." Tuan Lewis kemudian mendorong sebuah amplop tebal di atas meja. "Di dalamnya ada semua dokumen dan persiapan yang kau butuhkan. Pernikahan akan dilangsungkan minggu depan. Aku sudah mengatur semuanya. Tiffany akan menyetujuinya, aku yakin dia akan memahami keputusanku." Tommy memegang amplop itu, tangannya sedikit gemetar. Beratnya amplop itu terasa seperti beratnya nasib yang kini berada di tang
Setelah panggilan singkat namun penuh instruksi kepada Zhuxin Wang, Tommy merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. Permainan telah dimulai, bidak-bidak catur sudah digerakkan. Namun, di balik semua intrik bisnis dan strategi rahasia yang rumit, ada hal lain yang jauh lebih penting baginya. Tiga hari ke depan adalah hari istimewa: ulang tahun pernikahan ketiga Tommy dan Tiffany. Dia melirik jam dinding, pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu sebelum Tiffany pulang. Dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan di hadapan orang lain, Tommy meraih ponselnya lagi—bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk memesan taksi daring. Tujuannya adalah toko perhiasan ternama di pusat kota, sebuah tempat yang tak pernah ia sangka akan ia datangi. Di perjalanan, saat taksi melaju membelah ramainya jalanan kota Levin, pikiran Tommy melayang jauh. Jendela mobil membiarkan pemandangan gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan yang ramai, dan hiruk pikuk kot
Keesokan paginya, rutinitas yang membosankan dan penuh hinaan kembali terulang di kediaman rumah yang terletak di pinggir kota Levin itu. Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, namun Tommy sudah berada di dapur, seperti biasa. Aroma kopi arabika yang baru digiling dan roti panggang yang renyah menyebar, seharusnya menciptakan suasana hangat yang nyaman, namun di rumah keluarga Lewis, kehangatan semacam itu adalah kemewahan yang langka. Di meja makan, piring-piring porselen putih sudah tertata rapi, siap menyambut anggota keluarga lainnya. Tiffany, yang pertama muncul keluar dari pintu kamarnya, wajahnya masih memancarkan kelelahan sisa badai rapat kemarin. Ia mengenakan setelan kantor berwarna krem yang rapi, namun sorot matanya yang sayu tak bisa menyembunyikan beban pikirannya. Ia mengambil tempat duduk, secangkir teh hijau hangat di tangannya, berusaha mengumpulkan sedikit kekuatan untuk menghadapi hari yang panjang di Lewis C
Keesokan paginya, tepat pukul delapan, udara di lantai tertinggi kantor pusat Lewis Company terasa membeku. Bukan karena pendingin ruangan yang berlebihan, melainkan ketegangan yang merayap di antara para petinggi. Semua kepala divisi, dari keuangan yang kaku hingga pemasaran yang flamboyan, telah berkumpul di ruang rapat utama. Panggilan darurat itu datang langsung dari Nyonya Martha Lewis, sang matriark keluarga, wanita tua dengan cengkeraman baja yang tak terbantahkan atas perusahaan. Begitu pintu mahoni itu tertutup dengan suara klik yang mematikan, dan setiap kursi terisi, suara ketukan pelan tongkat kayu Nyonya Lewis menggema. Wanita itu berdiri tegak di depan layar proyektor raksasa, setelan biru gelapnya memancarkan aura kekuasaan yang tak bisa diganggu gugat. Raut wajahnya kaku, matanya tajam. "Aku mengumpulkan kalian semua pagi ini bukan tanpa alasan," ucapnya, suaranya dingin dan menusuk. "Ada sesuatu yang sangat besar… dan me
Setelah diskusi panjang seputar struktur internal dan arah bisnis Jowstone Group, Tommy memandang ke luar jendela. Langit kota Levin tampak mulai mendung, awan kelabu perlahan menggulung, membawa hawa sejuk yang menusuk masuk melalui celah kaca besar ruangan direktur utama. Suasana ruangan itu sempat hening. Tommy menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka suara. "Aku ingin kamu yang menangani perusahaan ini, Nona Zhuxin," ucapnya tenang namun penuh ketegasan. "Aku tidak punya cukup waktu untuk datang ke kantor setiap hari. Kirimkan laporan harian kepadaku secara rutin, dan aku akan meninjaunya di waktu senggang." Zhuxin Wang mengangguk pelan, tetap menunjukkan wajah profesional yang anggun. “Baik, Tuan Muda. Saya akan pastikan semua berjalan sesuai arahan Anda,” ucapnya tegas namun sopan. Tommy menoleh ke arahnya, suara dan ekspresinya mulai lebih serius. “Dan satu hal lagi. Aku ingin identitasku dirahasiakan. Jangan biarkan siapa pun tahu siapa pemilik sebenarnya dari J
Pagi yang cerah menyelimuti pusat kota Levin. Langit biru bersih terbentang di atas gedung-gedung tinggi, dan lalu lintas mulai menggeliat dengan ritme sibuk khas kota besar. Di dalam taksi yang meluncur menyusuri jalanan utama, Tiffany duduk di sebelah Tommy dengan raut wajah yang tenang. Mereka tak banyak bicara selama perjalanan, hanya membiarkan suasana pagi menemani pikiran masing-masing. “Kamu ingin turun di mana, Tom?” tanya Tiffany dengan lembut, memecah keheningan saat taksi mulai memasuki kawasan pusat kota. Tommy menoleh ke arah jendela, lalu menjawab pelan, “Aku turun di taman pusat kota saja.” Tiffany menatapnya sejenak, heran. “Kamu mau ke taman?” “Aku ingin mencari pekerjaan hari ini,bukankah aku mendapatkan tawaran sebagai office boy kemarin?” jawab Tommy, suaranya tegas namun tetap tenang. “Aku ingin mulai berkontribusi untuk keuangan keluarga kita. Sudah terlalu lama aku jadi beban.” Tiffany mengangguk. Meskipun tahu betul beban yang Tommy pikul tidak ringa