Di dalam mobil hitam yang melaju pelan menuju pusat kota Levin...
Tommy membuka ponselnya. Puluhan notifikasi masuk—pesan singkat, panggilan tak terjawab, dan voice note. Semua dari orang yang sama: Tiffany, istrinya. Ia tersenyum. Senyum yang dalam dan penuh rasa syukur. Tiffany... pikirnya. Perempuan yang menerima diriku saat aku bukan siapa-siapa. Yang tetap berdiri di sisiku bahkan ketika seluruh dunia memandangku rendah. Dengan cepat, ia mengetik balasan singkat: "Aku aman. Maaf membuatmu khawatir. Aku akan pulang sampai rumah sebelum jamuan makan malam selesai. Aku janji." Beberapa detik kemudian, panggilan masuk. Tiffany. Suaranya di ujung telepon terdengar lega—nyaris menangis. "Aku kira terjadi sesuatu… Kau pergi tanpa kabar, aku takut terjadi sesuatu kepadamu,Tommy.." "Maafkan aku," balas Tommy lembut. "Ada hal penting yang harus aku urus. Tapi sekarang aku baik-baik saja. Setelah ini selesai aku akan segera pulang." Sementara itu, di Villa Bukit Timur... Acara ulang tahun Nyonya Margaretha berlangsung megah. Tamu-tamu berdatangan dengan mobil-mobil mewah, mengenakan gaun dan jas mahal. Musik klasik lembut mengalun, dan meja-meja berlapis satin putih penuh dengan makanan istimewa dari koki kelas dunia. Kado demi kado mulai diberikan. Namun satu per satu mulai mengejutkan para tamu, bukan karena bungkusnya—melainkan nilainya. Seorang anak muda tampan dengan jas hitam elegan maju ke depan. Andreas Hubner. Ia membungkuk sopan ke arah Nyonya Margaretha yang duduk di singgasana tengah ruangan, tersenyum ramah. "Nyonya Margaretha," katanya lantang namun penuh hormat. "Ini hadiah dariku. Nilainya mungkin tidak seberapa dibanding yang lain, tapi aku harap Anda berkenan menerimanya." Ia menyerahkan sebuah kotak beludru hijau zamrud. Saat dibuka, tampaklah sebuah kalung giok berkilau—hijau bening sempurna, seperti tetesan embun di pagi hari. “Kalung giok murni berwarna zamrud. Nilainya sekitar 400 ribu dolar.” Terdengar gumaman dari para tamu. Beberapa bahkan menoleh dengan ekspresi kaget. “Anak muda ini... 400 ribu dolar hanya untuk kalung?” Senyum Nyonya Margaretha melebar. Tapi sebelum ia sempat berkomentar, seorang pria lain maju. Mikey—putra dari keluarga Rois yang ternama. “Ny. Margaretha,” ucap Mikey dengan suara yang lebih keras, “saya mewakili ayah saya, Tuan Rois, yang tak bisa hadir hari ini. Sebagai gantinya, saya membawa hadiah khusus untuk Anda.” Dua orang pelayan muncul dari balik panggung, membawa peti kayu elegan yang dibuka perlahan di hadapan para tamu. “Ini adalah guci dari zaman Dinasti Fong, salah satu koleksi langka yang hanya ada tiga di dunia. Harganya mencapai 830 ribu dolar.” Nyonya Margaretha menatap guci itu dengan mata berbinar. Tertarik. Kagum. Bahkan sedikit terharu. Sebagai pecinta barang antik, ia tahu betul nilai benda seperti itu. Ia bahkan menyimpan koleksi pribadi peninggalan mendiang suaminya—terkunci rapi dalam gudang bawah tanah. Mimpi terbesarnya adalah melihat nilai benda-benda itu melonjak dan menjadi warisan berharga bagi keluarga. “Indah sekali…” bisiknya. Tapi belum selesai decak kagum bergema, semua orang menoleh ke arah pintu besar. Pintu utama villa terbuka perlahan, dan sosok pria muda melangkah masuk. Ia mengenakan jas berpotongan rapi berwarna abu gelap, wajahnya tenang namun penuh wibawa. Langkah kakinya mantap, menimbulkan kesan bahwa ia bukan sembarang tamu. Dia adalah Vasco Ribbon. Cucu tertua dari keluarga Ribbon—salah satu keluarga kelas atas yang berpengaruh di Levin. Nama Ribbon identik dengan jaringan properti mewah, pusat perbelanjaan, dan saham pertambangan di beberapa negara tetangga. Kehadiran Vasco tentu bukan hal biasa. Di belakangnya, tiga bodyguard bersetelan hitam mengikuti dengan langkah sigap. Mereka membawa sebuah kotak besar—dibungkus kain merah marun, dihiasi ukiran emas khas istana kuno. Kerumunan tamu langsung membuka jalan. Beberapa bahkan menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Tak sedikit yang berbisik, bertanya-tanya hadiah macam apa yang Vasco bawa. Vasco berhenti tepat di hadapan Nyonya Margaretha. Ia menunduk sedikit, lalu berkata dengan nada tenang dan penuh penghargaan: "Nyonya Margaretha, selamat ulang tahun. Keluarga Ribbon sangat menghormati Anda sebagai wanita bijak yang telah berjasa besar bagi banyak keluarga di kota ini, termasuk kami." Ia memberi isyarat halus dengan tangan. Salah satu bodyguard maju dan membuka penutup kotak besar itu. Tampaklah sebuah patung burung phoenix yang terbuat dari emas murni, dengan mata berlian biru dan sayap dihiasi rubi kecil. “Ini adalah Golden Phoenix of Xing Dynasty—simbol kebangkitan dan keabadian. Nilainya diperkirakan... 1,6 juta dolar." Suara berbisik berubah menjadi sorakan pelan. Para tamu terdiam beberapa detik, lalu terdengar tepuk tangan bergemuruh. Hadiah yang dibawa Vasco benar-benar tak masuk akal. Nyonya Margaretha tertegun. Ia berdiri perlahan dari kursinya, mendekat ke patung tersebut dengan tangan sedikit gemetar. "Ini... luar biasa indah," ucapnya lirih.Pagi itu, aroma sarapan yang disiapkan Tommy memenuhi seisi rumah. Tommy dengan cekatan menata piring-piring di meja makan ketika Sabrina muncul dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya, sebuah blazer abu-abu gelap yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem, dan celana bahan yang presisi. Namun, yang membuat Tommy mengerutkan kening adalah koper berukuran sedang yang ia seret di belakangnya. "Sabrina? Mau ke mana kamu? Kenapa bawa koper?" tanya Tommy, tangannya berhenti sejenak di atas tumpukan roti panggang. Sabrina tersenyum tipis. "Selamat pagi, Tom. Ya, aku rasa sudah cukup tinggal di sini." Ia menghela napas ringan. "Keluargaku sudah memesan sebuah kamar di Golden Gate Hotel. Dan mulai hari ini, aku akan tinggal di sana." Mendengar nama Golden Gate Hotel, Tommy mengangguk mengerti. Ia tahu, sebagai keluarga terkaya nomor tiga di Highland, harga sebuah kamar di hotel bintang lima itu bukanlah masalah bagi keluarga Sabrina. Tommy juga tahu sedikit banyak tentang
Deru mesin halus BMW Seri 3 memecah keheningan sore di Levin, sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran. Jalanan yang tadinya lebar dan ramai di pusat kota kini berganti menjadi jalanan aspal yang lebih sempit, diapit oleh rumah-rumah dengan halaman berumput dan pagar kayu sederhana. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari lanskap beton dan kaca tempat penthouse Tommy berada. Namun, bagi Tommy, suasana ini membawa kedamaian yang aneh, rasa 'pulang' yang tulus. Ini adalah dunia Tiffany, istrinya. Ia membelokkan mobil hitam metalik itu ke halaman sebuah rumah yang rapi dan bersahaja. Cat putihnya sedikit mengelupas di beberapa bagian, tetapi taman di depannya dirawat dengan cermat, penuh dengan bunga-bunga mawar dan melati yang sedang mekar. Ini adalah rumah keluarga Tiffany, tempat istrinya tumbuh dewasa. Tommy mematikan mesin. Sejenak ia hanya duduk di sana, memandangi teras tempat ia sering duduk berbincang dengan ayah mertuanya. Ia tidak melakukan ini untuk pamer. Ia melakukan
Mentari pagi baru saja merangkak naik, memandikan kota dengan cahaya keemasannya. Di ruang makan sebuah penthouse mewah yang menghadap ke lanskap kota, Tommy menyeruput kopi paginya. Aroma kopi arabika yang kental berpadu dengan keheningan yang menenangkan. Di seberang meja, istrinya, Tiffany , tersenyum sambil mengagumi kunci mobil baru yang tergeletak di samping piringnya."Kau benar-benar melakukannya," ujar Tiffany, matanya berbinar. "BMW Seri 5 ini... seperti mimpi."Tommy tersenyum. "Hanya yang terbaik untukmu, sayang. Lagipula, pramuniaga di sana sangat profesional. Pengalaman yang menyenangkan.""Lalu, apa rencanamu hari ini? Bukankah kau bilang akan membelikan mobil untuk Ayah?""Benar," kata Tommy sambil meletakkan cangkirnya. "Aku akan kembali ke area showroom itu. Ada urusan yang belum selesai." Ada kilatan samar di matanya yang tidak bisa dibaca Tiffany, perpaduan antara geli dan sebuah prinsip yang tak tergoyahkan.Beberapa jam kemudian, Tommy tiba di kawasan otomotif pr
Suasana makan malam terasa hangat malam itu, jauh berbeda dari biasanya. Nathalia, yang biasanya menunjukkan sikap ketus dan tak jarang melontarkan sindiran, kini tampak jauh lebih melunak. Tommy tahu betul sifat mertuanya; Nathalia adalah tipe wanita yang materialistis, dan "sentuhan uang" yang diberikannya mampu meluluhkan kekerasannya."Apakah Sabrina belum kembali dari Jowstone Group?" tanya Gerald, memecah keheningan yang nyaman."Belum, Ayah," jawab Tiffany. "Sabrina bilang dia akan lembur di hari pertamanya bekerja. Katanya banyak tugas yang harus dibenahi. Karena dia cukup baru di perusahaan itu, dia harus lebih ekstra bekerja agar semuanya stabil di awal."Nathalia menghela napas. "Aku pikir dengan status dari keluarga kaya Sabrina di Highland, dia tidak akan bekerja keras sama sekali." Ada nada kejutan dalam suaranya.Tiffany tersenyum tipis. "Bukankah dari dulu memang Sabrina sangat mandiri, Bu? Dia hampir tidak pernah mengandalkan kemampuan keluarganya dan selalu fokus pad
Mobil BMW Seri 7 yang emblemnya sudah diganti menjadi Seri 5 itu melaju mulus memasuki pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Tiffany, dengan senyum merekah, memarkirkan mobil. Rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia tak pernah menyangka, hadiah "kecil" yang ia berikan pada Tommy akan membawa dampak sebesar ini pada hubungan mereka, terutama pada pandangan keluarga terhadap Tommy.Suara deru mesin mobil yang asing segera menarik perhatian Nathalia dan Gerald. Mereka bergegas keluar, rasa penasaran tergambar jelas di wajah mereka. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Mata mereka membulat saat melihat Tiffany yang turun dari kursi pengemudi BMW tersebut, diikuti Tommy yang tersenyum simpul."Ya ampun, Tiffany! Apa ini mobil barumu?!" seru Nathalia, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang meluap-luap.Tiffany mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Bu."Nathalia mendekat, matanya menelusuri setiap lekuk bodi mobil mewah itu. "Ya ampun... Jadi ini mobil direk
Tommy mematikan ponselnya dengan senyum tipis. Rencananya berjalan sempurna. Tiffany, yang awam soal kendaraan, pasti akan percaya bahwa BMW Seri 7 yang sudah disulapnya menjadi Seri 5 itu memang benar-benar Seri 5. Ia tahu Tiffany tak akan curiga, karena baginya, semua BMW terlihat mahal. Ia hanya ingin Tiffany merasa nyaman, bukan terbebani oleh harga sebuah mobil.Perjalanan Tommy terasa lebih ringan. Sebentar lagi, ia akan melihat ekspresi terkejut istrinya. Itu adalah hadiah kecil yang ia siapkan untuk sang istri yang selama ini selalu mendukungnya. Dalam hatinya, ia membayangkan bagaimana Tiffany akan merengek tentang betapa borosnya dia, tapi ia tahu itu hanya bentuk perhatian Tiffany.Setibanya di depan lobi Lewis Group, Tommy bersandar santai di pilar, sesekali menyeruput rokoknya. Tak lama, sosok Tiffany muncul dari pintu kaca, memancarkan aura profesionalisme yang selalu membuatnya bangga."Tom, apa kamu sudah memesan taksi untuk kita pulang?" t