Di sebuah hotel mewah di pusat kota Levin…
Tommy tertidur lelap di atas ranjang empuk suite presiden. Ranjang itu terlalu besar, terlalu hangat, dan terlalu asing. Dalam tidurnya yang gelisah, ia seperti terjebak dalam mimpi aneh—mimpi yang menekan dadanya, menyesakkan, seolah ada beban tak kasatmata yang menghimpit dari segala arah. Tiba-tiba— “Huh!” Ia terbangun dengan napas memburu, peluh dingin membasahi pelipisnya. Ruangan itu sunyi… terlalu sunyi. Namun, matanya langsung membelalak. Di ujung ruangan, seorang pria paruh baya bersetelan jas abu gelap duduk anggun di kursi berlapis kulit. Wajahnya tenang, bersih, dan menyiratkan wibawa. Di belakangnya berdiri dua pria kekar bersetelan hitam, diam bagai bayangan kelam—pengawal pribadi, jelas bukan orang sembarangan. “Siapa… siapa kalian?” suara Tommy serak, penuh waspada. Matanya bergerak cepat, mencari ponsel, pintu, atau benda apapun yang bisa digunakan untuk bertahan. Pria itu tersenyum tipis, menundukkan kepala dengan sikap hormat yang nyaris aristokratik. “Selamat malam, Tuan Muda. Anda sudah sadar.” “Tuan Muda?” Tommy menyipitkan mata. “Apa maksudmu memanggilku begitu?” Pria itu bangkit perlahan. Gerakannya penuh tata krama, seperti pelayan istana masa lalu. Ia membungkuk. “Maafkan ketidaksopanan kami. Izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Jonathan Hawkins. Saya kepala pelayan utama keluarga Justine—salah satu keluarga paling terpandang dan paling berpengaruh di negeri ini.” Tommy merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Ia duduk perlahan di tepi ranjang. “Apa-apaan ini? Kenapa aku dibawa ke sini? Dan kenapa kau memanggilku ‘Tuan Muda’?” Jonathan menunduk dalam. “Kami mohon maaf atas cara kami membawa Anda. Kami menggunakan cairan khusus yang disematkan dalam tisu basah. Obat tidur ringan—efektif dalam 15 detik. Kami… terpaksa, Tuan. Ini demi keselamatan Anda.” “Gila… kalian semua gila…” Tommy menggeram pelan, meski pikirannya terlalu kacau untuk marah. Jonathan menatapnya lurus. “Nama asli Anda adalah Tommy Justine. Anda adalah cucu dari keluarga Justine—klan elit dari Highland. Tempat tinggal para konglomerat, politikus, dan pengendali kekuasaan negeri ini.” Tommy menghela napas tak percaya, menertawakan absurditas itu. “Cucu keluarga top? Aku pikir kalian salah orang.” Jonathan melangkah pelan ke arah jendela besar, menarik tirai sedikit. Kota Levin membentang megah dalam kelap-kelip lampu malam. “Saat Anda berusia tujuh tahun, ayah dan ibu Anda—Clive dan Debora Justine—memutuskan meninggalkan Highland. Mereka berselisih dengan patriark keluarga, dan memilih hidup sederhana di Levin. Jauh dari intrik, jauh dari bahaya.” Tommy meneguk ludah. “Ayah dan ibuku…” Jonathan mengangguk. “Dua bulan setelah mereka pindah… terjadi kecelakaan di jalan tol. Mobil mereka hancur. Keduanya meninggal di tempat.” Tommy membeku. “Anda… satu-satunya yang selamat. Tertidur di kursi belakang. Namun, kepala Anda mengalami benturan parah. Akibatnya, seluruh ingatan masa kecil Anda hilang. Dan karena tak ada dokumen resmi yang menyebutkan identitas Anda—keluarga Justine mengira Anda ikut tewas.” Tommy menunduk. Tangannya mengepal. Napasnya tercekat. “Kalau begitu… siapa yang membesarkanku selama ini?” Jonathan menatapnya dengan tatapan iba yang tertahan. “Saya, Tuan. Secara diam-diam. Saya pastikan Anda tetap hidup… aman… jauh dari bahaya. Saya menitipkan Anda di Yayasan Levin Care—panti asuhan yang saya dirikan secara rahasia. Di sanalah Anda tumbuh. Bebas dari bayang-bayang keluarga Justine… yang tidak semuanya menginginkan Anda hidup.” Tommy mengangkat kepala, matanya kini tajam. “Kenapa baru sekarang? Setelah dua puluh tahun?” Jonathan menarik napas dalam, suaranya menjadi berat. “Karena saya menunggu Anda cukup dewasa untuk memahami kenyataan. Dan cukup kuat untuk kembali—mengambil tempat yang seharusnya menjadi milik Anda.” Tommy bergumam, “Tempat? Maksudmu… warisan?” Jonathan mengangguk pelan. “Anda adalah ahli waris utama. Putra satu-satunya dari Clive Justine, anak sulung dari keluarga Justine. Warisan itu sekarang diperebutkan—dan Anda… adalah ancaman terbesar bagi mereka yang mengincarnya.” Tommy mencengkeram seprai. “Siapa mereka? Siapa yang ingin aku… disingkirkan?” Jonathan berjalan ke meja kecil. Ia mengambil sebuah foto tua, lalu menyerahkannya dengan kedua tangan. “Lihatlah. Ini foto Anda, bersama ayah dan ibu Anda… saat Anda masih bayi.” Tommy menatap foto itu dengan gemetar. Ada sesuatu yang dalam. Hangat. Dan menyakitkan. Tertulis tanggal di belakang foto. Sebuah tanggal yang entah kenapa… terasa akrab, meski pikirannya menyangkal. Air mata perlahan jatuh dari sudut matanya. “T-tidak mungkin…” Jonathan menatapnya penuh simpati… Jonathan berdiri tegak di depan Tommy. Sorot matanya serius, namun tetap tenang seperti biasa. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya—sebuah amplop hitam elegan dengan lambang keluarga Justine yang terukir halus di bagian depan. “Tuan Muda,” ujarnya perlahan. “Tuan Besar Justine—kakek Anda—mengirim saya ke sini bukan hanya untuk menyampaikan niat baiknya untuk meminta anda kembali. Tapi juga… agar Anda pulang ke Highland. Hidup lebih baik. Dan…” Jonathan menundukkan pandangan, “…meninggalkan pernikahan Anda.” Tommy membeku. “Apa maksudmu… meninggalkan pernikahan?” “Saya tahu ini terdengar kasar, Tuan Muda,” jawab Jonathan, suara berat. “Tuan Besar menganggap pernikahan Anda saat ini menghambat masa depan Anda sebagai seorang dari keluarga terpandang seperti keluarga Justine. Ia ingin Anda melepaskan semuanya… dan kembali sebagai bagian penuh dari keluarga Justine.” Tommy berdiri, matanya menyala. “Tidak. Aku tidak akan menceraikan istriku. Tak peduli siapa aku atau berapa banyak uang yang ditawarkan. Aku tidak menjual kehidupan yang sudah kubangun… demi gelar atau kekuasaan.Lagi pula, istriku yang selalu ada saat aku menderita. Tidak dengan kalian semua.” Jonathan tidak terkejut. Ia hanya menghela napas perlahan. “Dan jawaban anda… adalah jawaban yang juga telah beliau perkirakan.” Ia kembali mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya. Sebuah kartu logam hitam, berat dan berkilau, diletakkan perlahan di meja di hadapan Tommy. “Ini… adalah kartu hitam eksklusif dari Citibank. Saldo aktif: tiga miliar dolar. Sebagai kompensasi pribadi dari Tuan Besar atas kesalahan masa lalu. Dengan kata sandi tanggal lahir anda,Tuan Muda. Hadiah ini karena Tuan Besar merasa bersalah telah meninggalkan Anda sejak kecil…Dan karena membiarkan Anda tumbuh tanpa pendidikan yang memadahi, tanpa perlindungan keluarga, dan tanpa harta yang memadahi.” Tommy mengerjap, menatap kartu itu seolah benda asing dari dunia lain. “Dan bukan hanya itu,” Jonathan melanjutkan. “Anda akan diberikan kendali penuh atas Jowstone Group—perusahaan terbesar di kota Levin. Nilainya… lebih dari dua puluh lima miliar dolar.Perusahaan ini sudah resmi di akuisisi oleh Tuan Besar dan menjadi atas nama anda,Tuan Muda.Perusahaan ini memang harganya tidak seberapa bagi keluarga Justine. Tapi anda akan dapat belajar tentang bisnis dan juga tanggung jawab mengelola sebuah perusahaan raksasa.” “Maaf,aku tidak tertarik…” bisik Tommy. “Aku… aku tak butuh semua itu.” Jonathan menunduk dalam. “Saya tahu Anda akan menolak. Tapi mohon… terimalah. Anggap ini bukan hadiah… tapi penebusan dosa dan kompensasi dari Tuan Besar untuk Anda Tuan Muda. Anda tidak perlu kembali ke Highland saat ini. Tidak perlu meninggalkan istri Anda. Tidak sekarang. Tapi Anda harus belajar. Mengambil peran Anda. Dunia keluarga Justine bukan hanya tentang kemewahan—ini juga tentang pengaruh dan gurita bisnis yang banyak ragamnya.” Tommy terdiam cukup lama. Kartu hitam itu terasa seperti simbol kekuasaan. Akhirnya, ia menarik napas panjang. “Baiklah. Aku akan terima… bukan karena aku menginginkannya. Tapi karena aku ingin mempelajari semuanya… Dan aku ingin mengetahui alasan pasti kenapa kedua orang ku meninggal. Ini cukup janggal bagiku.” Jonathan menatapnya penuh hormat. “Keputusan bijak, Tuan Muda.” Perlahan, malam pun kembali sunyi. Tapi bagi Tommy… Mulai saat ini hidupnya akan berubah. Tapi dia akan tetap menjadi Tommy Justine yang biasanya tanpa merubah apapun pada dirinya. Ia berhenti sejenak. Ruangan terasa lebih dinginJustru itu," jawab Tuan Lewis, matanya berkilat penuh makna, seolah tahu rahasia alam semesta. "Mereka semua hanya melihat uang dan koneksi, hanya peduli pada status dan keuntungan pribadi. Aku ingin seseorang yang berbeda untuk Tiffany. Seseorang yang kakinya menjejak tanah, yang tahu arti kerja keras, yang tidak akan pernah meninggalkannya dalam kesulitan. Aku ingin seorang suami yang bisa melindungi Tiffany, bukan hanya memanfaatkan nama keluarganya. Dan aku percaya, itu adalah dirimu, Tommy. Aku punya firasat kuat tentang dirimu." Tuan Lewis kemudian mendorong sebuah amplop tebal di atas meja. "Di dalamnya ada semua dokumen dan persiapan yang kau butuhkan. Pernikahan akan dilangsungkan minggu depan. Aku sudah mengatur semuanya. Tiffany akan menyetujuinya, aku yakin dia akan memahami keputusanku." Tommy memegang amplop itu, tangannya sedikit gemetar. Beratnya amplop itu terasa seperti beratnya nasib yang kini berada di tang
Setelah panggilan singkat namun penuh instruksi kepada Zhuxin Wang, Tommy merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. Permainan telah dimulai, bidak-bidak catur sudah digerakkan. Namun, di balik semua intrik bisnis dan strategi rahasia yang rumit, ada hal lain yang jauh lebih penting baginya. Tiga hari ke depan adalah hari istimewa: ulang tahun pernikahan ketiga Tommy dan Tiffany. Dia melirik jam dinding, pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu sebelum Tiffany pulang. Dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan di hadapan orang lain, Tommy meraih ponselnya lagi—bukan untuk urusan bisnis, melainkan untuk memesan taksi daring. Tujuannya adalah toko perhiasan ternama di pusat kota, sebuah tempat yang tak pernah ia sangka akan ia datangi. Di perjalanan, saat taksi melaju membelah ramainya jalanan kota Levin, pikiran Tommy melayang jauh. Jendela mobil membiarkan pemandangan gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan yang ramai, dan hiruk pikuk kot
Keesokan paginya, rutinitas yang membosankan dan penuh hinaan kembali terulang di kediaman rumah yang terletak di pinggir kota Levin itu. Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, namun Tommy sudah berada di dapur, seperti biasa. Aroma kopi arabika yang baru digiling dan roti panggang yang renyah menyebar, seharusnya menciptakan suasana hangat yang nyaman, namun di rumah keluarga Lewis, kehangatan semacam itu adalah kemewahan yang langka. Di meja makan, piring-piring porselen putih sudah tertata rapi, siap menyambut anggota keluarga lainnya. Tiffany, yang pertama muncul keluar dari pintu kamarnya, wajahnya masih memancarkan kelelahan sisa badai rapat kemarin. Ia mengenakan setelan kantor berwarna krem yang rapi, namun sorot matanya yang sayu tak bisa menyembunyikan beban pikirannya. Ia mengambil tempat duduk, secangkir teh hijau hangat di tangannya, berusaha mengumpulkan sedikit kekuatan untuk menghadapi hari yang panjang di Lewis C
Keesokan paginya, tepat pukul delapan, udara di lantai tertinggi kantor pusat Lewis Company terasa membeku. Bukan karena pendingin ruangan yang berlebihan, melainkan ketegangan yang merayap di antara para petinggi. Semua kepala divisi, dari keuangan yang kaku hingga pemasaran yang flamboyan, telah berkumpul di ruang rapat utama. Panggilan darurat itu datang langsung dari Nyonya Martha Lewis, sang matriark keluarga, wanita tua dengan cengkeraman baja yang tak terbantahkan atas perusahaan. Begitu pintu mahoni itu tertutup dengan suara klik yang mematikan, dan setiap kursi terisi, suara ketukan pelan tongkat kayu Nyonya Lewis menggema. Wanita itu berdiri tegak di depan layar proyektor raksasa, setelan biru gelapnya memancarkan aura kekuasaan yang tak bisa diganggu gugat. Raut wajahnya kaku, matanya tajam. "Aku mengumpulkan kalian semua pagi ini bukan tanpa alasan," ucapnya, suaranya dingin dan menusuk. "Ada sesuatu yang sangat besar… dan me
Setelah diskusi panjang seputar struktur internal dan arah bisnis Jowstone Group, Tommy memandang ke luar jendela. Langit kota Levin tampak mulai mendung, awan kelabu perlahan menggulung, membawa hawa sejuk yang menusuk masuk melalui celah kaca besar ruangan direktur utama. Suasana ruangan itu sempat hening. Tommy menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka suara. "Aku ingin kamu yang menangani perusahaan ini, Nona Zhuxin," ucapnya tenang namun penuh ketegasan. "Aku tidak punya cukup waktu untuk datang ke kantor setiap hari. Kirimkan laporan harian kepadaku secara rutin, dan aku akan meninjaunya di waktu senggang." Zhuxin Wang mengangguk pelan, tetap menunjukkan wajah profesional yang anggun. “Baik, Tuan Muda. Saya akan pastikan semua berjalan sesuai arahan Anda,” ucapnya tegas namun sopan. Tommy menoleh ke arahnya, suara dan ekspresinya mulai lebih serius. “Dan satu hal lagi. Aku ingin identitasku dirahasiakan. Jangan biarkan siapa pun tahu siapa pemilik sebenarnya dari J
Pagi yang cerah menyelimuti pusat kota Levin. Langit biru bersih terbentang di atas gedung-gedung tinggi, dan lalu lintas mulai menggeliat dengan ritme sibuk khas kota besar. Di dalam taksi yang meluncur menyusuri jalanan utama, Tiffany duduk di sebelah Tommy dengan raut wajah yang tenang. Mereka tak banyak bicara selama perjalanan, hanya membiarkan suasana pagi menemani pikiran masing-masing. “Kamu ingin turun di mana, Tom?” tanya Tiffany dengan lembut, memecah keheningan saat taksi mulai memasuki kawasan pusat kota. Tommy menoleh ke arah jendela, lalu menjawab pelan, “Aku turun di taman pusat kota saja.” Tiffany menatapnya sejenak, heran. “Kamu mau ke taman?” “Aku ingin mencari pekerjaan hari ini,bukankah aku mendapatkan tawaran sebagai office boy kemarin?” jawab Tommy, suaranya tegas namun tetap tenang. “Aku ingin mulai berkontribusi untuk keuangan keluarga kita. Sudah terlalu lama aku jadi beban.” Tiffany mengangguk. Meskipun tahu betul beban yang Tommy pikul tidak ringa