Mario berada di ruangan kerjanya yang terletak di lantai atas sebuah gedung perkantoran yang megah. Ruangan kerjanya didesain dengan gaya modern dan minimalis, dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang sibuk di luar. Meja kerjanya berantakan dengan berbagai laporan keuangan, data saham, dan perangkat teknologi seperti laptop dan layar monitor.Suasana di dalam ruangan terasa tegang dan berisik dengan suara tik-tok jam dinding dan telepon yang berdering terus menerus.Tapi pemilik ruangan tetap diam tanpa merespon."Oh tidak, grafik saham semakin turun! Bagaimana bisa ini terjadi? Perusahaan ini benar-benar berada dalam bahaya."Saat menghadapi masalah dengan grafik sahamnya yang terus menurun, pria itu tampak cemas dan tegang. Dia duduk di kursi kerjanya dengan posisi badan sedikit maju, tangan bertautan di atas meja, dan mata yang sering kali terpaku pada layar monitor yang menampilkan data saham perusahaannya.Pria itu menggigit bibirnya, mengedipkan mata, menun
"Gilang, pergi bereskan gudang!"Wanita paruh baya itu memerintah"menantu bodohnya" sambil menatap tajam.Kekasih mudanya duduk di sofa, memegang kain kompresan. Entah apa yang terjadi pada "pria parasit" itu, sebab ada beberapa obat dan air hangat diatas meja-digunakan untuk mengompres.Perasaan Gilang tidak nyaman, saat menyadari bahwa tatapan "pria parasit" itu seperti memiliki rencana jahat terhadapnya."Baik, Ma. Gilang segera ke gudang dan melakukan perintah, Mama.""Bagus, dan ingat! Jangan menambah kekacauan di gudang!" tegas wanita itu memperingatkan.Gilang memiringkan kepalanya, seperti tidak paham dengan maksud peringatan tersebut. Dia terus berjalan, tanpa menoleh lagi.Sejenak setelah Gilang pergi, Surya menepuk sofa, meminta pada wanita itu untuk menghampirinya."Ah, iya Sayang. Maaf," ucap Wanita itu tersenyum canggung."Sayang, cintaku. Aku ingin bicara denganmu tentang Gilang."Wanita itu memandang kekasihnya dengan serius. Dua tidak suka jika Surya lebih memperhatik
"Mungkin itu ide yang bagus."Senyum puas tercetak jelas di bibir Diana, mendengar usulan tersebut. Dia berpikir bahwa Surya memang benar-benar pintar dengan segala akal "liciknya"."Dia memang selalu bertingkah seperti anak kecil. Kita hanya perlu bersikap seolah-olah kita terkejut dan menghiburnya," ungkap pria parasit itu, berusaha tetap tentang.Wajahnya yang lebam, terlihat menyeramkan menatap ke arah Gilang yang datar tanpa ekspresi.Sedang wanita itu tersenyum penuh kemenangan."Kita akan membuat dia semakin terlihat bodoh di depan Saras. Jangan beri tahu siapapun tentang rencana kita ini, jadi Saras akan kesal dan jengkel padanya.Wanita itu tersenyum puas setelah mendengarkan penjelasan kekasih mudanya--lagi.Dia bahkan tidak lagi memikirkan perasaan anak dan menantunya, hanya keegoisan dirinya yang ingin membahagiakan sang kekasih."Aku tahu dan mengerti, Sayang. Aku, tentunya mendukung rencana ini. Kita lihat saja nanti, betapa hancurnya perasaan Saras, saat lihat Gilang ber
Pria menyeramkan itu justru merasa curiga, karena Surya mengatakan sesuatu yang memang sedang dikerjakannya saat ini."Ka-mu ... k-amu mengawasi Gi-lang, iya Gilang. Be-benar, kan?"Surya mencoba bertanya tentang kecurigaannya yang tadi, meskipun dengan terbata-bata."Lalu?"Pria menyeramkan itu justru balik bertanya, tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan Surya."A-ku ... a-ku ju-juga sed-dang mengawasi pria bodoh itu."Masih dengan posisi yang tertelungkup dan ditekan pria menyeramkan itu, Surya memberitahu apa yang sedang dikerjakannya di tempat ini.Kleg kleg"Argh ... tidak!"Tapi Pria menyeramkan itu tidak percaya, bahkan mematahkan jari tangan Surya satu per satu sambil terus bertanya--siapa yang menyuruhnya."Argh..."Kleg klegSurya terus berteriak kesakitan, tapi teriakan itu tidak menghentikan Pria menyeramkan itu menghentikan aksinya."Siapa yang menyuruhmu?!" tanya Pria itu dengan geram."Arghhh ... ti-dak. Tidak ada. A-aku ... a-ku hanya merasa penasaran dengannya. A-k
Sementara Diana gelisah memikirkan Surya yang tidak berkabar, di dalam mobil yang berjalan menuju kawasan rawa-rawa terdapat seseorang yang duduk dengan pandangan fokus ke depan.Tangannya yang terletak di atas kemudi, memegang setir dengan mantap. Wajahnya tampak tenang, tanpa ada tanda-tanda kecemasan atau kegelisahan. Nafasnya teratur, mengikuti irama jalan yang datar dan lancar.Meskipun peristiwa baru saja terjadi, suasana di dalam mobil tetap sunyi. Tidak ada ekspresi kecemasan atau penyesalan di wajahnya. Tatapan matanya yang tetap stabil dan fokus mencerminkan ketenangan yang luar biasa.Drettt Drettt DretttNotifikasi pesan pada ponselnya, dibiarkan begitu saja."Tidak perlu mengirim pesan, Bos. Aku sedang membereskan sesuatu," gumamnya sendiri, seakan-akan sedang berbincang dengan seseorang."Ternyata ada seseorang yang ingin bersaing denganku untuk menyingkirkan sampah itu."Orang itu bergumam lagi, menoleh sekilas kearah belakang kemudian kembali fokus ke depan.Ada rasa k
"Anda tidak lagi menjadi CEO di perusahan ini. Tapi ... jika Anda masih ingin bekerja, saya bisa menempatkan Anda pada devisi staff yang cocok.""Apa?!" tanya Mario cepat."Saya paham bahwa ini sulit bagi Anda. Tetapi, inilah bisnis, Pak Mario."Mario tidak terima dengan keputusan Ryan yang sepihak. Dia marah besar karena merasa disepelekan oleh orang yang dipercaya."Tapi Anda melakukannya dengan licik, Pak Ryan! Saya percaya dengan Anda, tapi apa yang Anda lakukan, Hahh?!"Ryan, dengan wajah tanpa ekspresi, memberitahu bahwa ia mengambil alih perusahaan karena merasa kepemimpinan Mario tidak lagi efektif.Dan perusahaan memerlukan perubahan drastis untuk bertahan.Pria itu merasa seperti diberondong kehancuran. Dia menyadari bahwa keserakahan dan tindakan liciknya telah kembali menyerangnya dengan cara yang pahit."Anda, bercanda?" tanya Mario, tetap tidak percaya dengan apa yang didengarnya."Ya, saya tidak sedang bercanda," sahut Ryan menekankan.Sedetik kemudian, Pria itu tertegu
"Hai, apakah kamu melihat?" tanya Diana, dengan wajahnya yang terlihat khawatir.Wanita itu sedang sibuk menghubungi orang-orang, mencari tahu tentang keberadaan kekasih mudanya yang tidak berkabar sejak kemarin sore.Sayangnya, setiap orang yang ditelepon oleh wanita itu tidak ada yang tahu tentang keberadaan dan keadaan Surya."Aku tidak melihatnya. Mungkin sedang sibuk dengan pekerjaan, atau ...""Atau apa?" tanyanya cepat, tidak sabar untuk mendapatkan kabar."Emh ... apa kamu sudah cek ke rumahnya?" tanya orang di seberang sana, memastikan.Sayangnya, wanita itu mengeleng, yang tentunya tidak dilihat oleh lawan bicaranya. Dia sendiri tidak pernah mengetahui, di mana alamat rumah Surya dengan jelas.Diana mulai berpikir dengan usulan temannya barusan. Dia tidak pernah mengetahui keluarga dari pacar mudanya itu, jadi tidak mungkin dia mencari tahu lewat mereka.Satu-satunya cara adalah dengan melaporkannya kepada pihak kepolisian, agar didaftarkan dalam pencarian orang hilang."Ah,
Perkelahian dimulai dengan pukulan pertama dari pria asing, yang dihindari dengan cekatan oleh Gilang. Gilang merespons dengan pukulan balasan ke arah perut pria tersebut, namun pria asing berhasil menghindar dengan mengelakkan tubuhnya ke samping."Hehh! Kau pikir kau cukup pintar? Hahaha ..." ejek Pria asing, saat berhasil menghindar."Ck, dasar tak berguna!" decih Gilang sama meremehkan pria asing itu."Brengsek!" maki Pria itu tidak terima.Keduanya kembali bergulat dalam upaya untuk mengendalikan satu sama lain.Pria asing mencoba menjatuhkan Gilang dengan meraih kakinya, sementara Gilang berusaha mempertahankan keseimbangan dan menghindari pergerakan tersebut.Ruangan rumah yang dihiasi oleh cahaya matahari sore melalui jendela, menciptakan bayang-bayang tajam di sepanjang lantai. Langkah-langkah kaki dengan pergerakan yang tidak teratur yang terhenti dan nafas berdebar memenuhi udara saat Gilang dan pria asing itu saling menatap dengan intensitas.Meja dan kursi tergeser, dan b