Share

di pandang rendah

Author: NN
last update Last Updated: 2025-05-10 21:17:57

Besok paginya, di Rumah Sakit Pelita Hati.

Fanny melangkah cepat-cepat menuju ruang rawat inapnya Jesina. Di tangannya dia membawa map berisi salinan dokumen perceraian yang dibawanya kemarin.

Saat Fanny membuka pintu, dia mendapati Julia dan Martin di dalam kamar. Cucunya, Jesina, tampak sedang disuapi oleh Martin.

Fanny berdecak kesal. Sekitar dua jam yang lalu dia pulang untuk mandi dan ganti baju, sekaligus membawakan barang-barang keperluan Julia. Kalau saja tadi itu dia tetap di situ, tak akan dia biarkan Martin mendekati Jesina.

"Julia, sini sebentar!" pintanya pada putrinya.

Julia yang sedang merapikan nakas menatapnya curiga. Dia merasa ada yang tidak beres dengan raut muka ibunya.

Julia pun keluar mengikuti Fanny. Mereka duduk di bangku panjang besi tak jauh dari ruang rawat inap itu. Fanny langsung menyodorkan map yang dibawanya itu pada Julia.

"Apa ini, Ma?" tanya Julia.

"Cepat tanda tangani dokumen perceraian ini. Soal Martin, nanti biar Mama yang akali," jawab Fanny.

Julia mendelik pada Fanny. Topik ini lagi. Kenapa kakek dan ibunya terus saja meminta dia dan Martin untuk bercerai?

"Ma, kemarin kan Martin sudah menegaskan kalau kami tak akan bercerai. Kalau dia sudah bilang begitu, ya aku pun pasti bilang begitu. Mama berharap mendengar jawaban yang berbeda dariku?" kata Julia kesal.

"Kamu ini kenapa sih, Julia? Mama tak mengerti dengan jalan pikiranmu. Apa yang kau pertahankan dari si pecundang itu? Kamu bisa mendapatkan orang yang beratus-ratus kali lipat lebih baik dari dia. Tapi sebelum itu kamu harus menceraikannya dulu," keluh Fanny.

Julia menggeleng. Dia baru saja akan menyanggah perkataan Fanny tetapi Fanny lebih dulu bicara.

"Dengar, Kakekmu bilang, kalau kita tak segera menendang Martin dari keluarga kita, kita tak akan kebagian warisan Keluarga Wiguna. Dan bukan hanya itu, ayahmu juga bisa kehilangan kesempatan untuk dipilih sebagai Wakil CEO Wiguna Corp. Kau mau itu terjadi?"

Julia menatap Fanny tak percaya. Benarkah yang dikatakan ibunya itu? Ataukah itu hanya tipu daya belaka?

"Dua hal buruk itu akan menimpa kita kalau kau dan suamimu yang tak berguna tak bercerai. Apa itu yang kau inginkan, Julia?" tekan Fanny.

Julia menghela napas. Lelah sekali rasanya dihadapkan pada masalah ini terus-menerus. Tidak bisakah keluarganya membiarkan dia hidup tenang?

"Ma, aku tidak akan menceraikan Martin. Dia itu pria yang baik. Meski memang saat ini dia belum bisa banyak diandalkan, aku yakin suatu hari nanti dia bisa memenuhi tugas-tugasnya sebagai suami dan ayah dengan baik. Berilah dia waktu untuk membuktikan diri, Ma. Aku yakin dia bisa."

Kata-kata Julia itu direspons Fanny dengan memasang muka kesal. Dia berdecak lagi, kemudian berkata, "Ya sudahlah. Memang keras kepala kau ini. Kalau sampai dua hal buruk tadi benar-benar menimpa keluarga kita, kau yang salah. Ingat itu!"

Fanny berdiri dan masuk ke ruang rawat inap, meninggalkan Julia yang masih duduk di sana, memandangi ibunya itu sambil menghela napas.

Sebentar kemudian, Martin keluar dari ruang rawat inap, menutup pintu dan berjalan ke arahnya.

Mereka berdua saling menatap beberapa lama. Martin lalu duduk di posisi Fanny tadi duduk, tersenyum lembut sambil menyentuh bahu Julia.

"Terima kasih sudah percaya padaku. Akan kubuktikan padamu kalau aku mampu memenuhi ekspektasimu," katanya.

Julia mengangkat alis dan membuang muka. Baginya, itu tak lebih dari sekadar kata-kata. Yang dia butuhkan dari Martin adalah bukti yang nyata.

"Aku berangkat kerja dulu. Jesina sudah menghabiskan sarapannya," kata Martin sambil berdiri.

"Oke. Hati-hati, ya," balas Julia, malas.

Martin pergi meninggalkan Julia sendirian di bangku yang dingin itu. Sempat dia menoleh dan mendapati istrinya itu tertunduk lesu. Dia memutuskan untuk tidak membiarkan istrinya menderita lagi.

‘Tenang saja, Julia. Tak lama lagi orang-orang tak akan berani lagi mengusikmu,' ucap Martin dalam hati.

Setelah cukup jauh dari Julia, dia keluarkan ponselnya dan menelepon Ben.

[Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?]

"Paman Ben, aku ingin kau mengatur pesta ulang tahun untuk putriku bulan depan di tanggal 11. Aku ingin pesta itu dilangsungkan di Hotel Caesars seharian. Dan pastikan kau mengundang orang-orang penting di kota ini. Di hadapan mereka semua aku akan mengungkapkan identitasku yang sebenarnya, biar mereka semua tak berani lagi mengusik istriku dan putriku!"

Martin mengatakannya dengan emosional. Hotel Caesars adalah salah satu hotel bintang lima terbaik di Kota Hagasa. Di sana kerap diadakan pesta-pesta mewah yang dihadiri orang-orang penting. Biaya reservasi di hotel ini mencapai miliaran rupiah.

[Anda bermaksud mengungkapkan jati diri Anda di acara tersebut, Tuan Muda? Di hadapan para tamu undangan?]

"Iya. Akan kubuat mereka bungkam!"

[Mohon maaf, Tuan Muda, tapi kalau boleh saya beri saran, sebaiknya Anda tidak melakukannya. Saat ini Lozara Group dipimpin oleh suami barunya Nyonya Olive. Saya khawatir mereka akan mengendus keberadaan Anda. Jika mereka tahu di mana Anda berada, mereka mungkin akan mengirim orang untuk mencelakai Anda. Istri dan putri Anda akan itu terancam.]

Martin menyimak dengan raut muka serius. Olive adalah si wanita licik yang dulu menghasut ayahnya untuk menendang dia dan ibunya dari Keluarga Linardy. Kini dia istri pemimpin Lozara Group? Dia bahkan tak tahu kalau ayahnya dan si wanita licik ini sudah bercerai.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkan keluargaku, Paman Ben, tapi aku tetap akan mengungkapkan identitasku yang sebenarnya di pesta ulang tahun putriku itu. Kalaupun si wanita licik itu dan suaminya mengirim orang untuk mengganggu kami, akan kuhabisi mereka.

"Kau aturlah semuanya, ya. Siapkan meja untuk 300-an orang. Pastikan pesta itu menjadi pesta ulang tahun termewah di kota ini!"

Terdengar Ben menghela napas, barangkali kecewa Martin mengabaikan sarannya. Tapi dia seorang abdi yang patuh. Dia pun menyanggupi apa yang diminta Martin itu.

Martin mengakhiri panggilan dan memasukkan ponselnya ke saku celana. Dia telah berada di parkiran motor rumah sakit. Dia nyalakan mesin motor, bersiap menuju ke Harmony Spa.

...

Siang harinya, berita tentang ada orang yang akan mengadakan pesta ulang tahun supermewah di Hotel Caesars bulan depan tersebar di internet.

Kabarnya orang tersebut bukan hanya membayar biaya reservasi saja, melainkan juga total biaya sewa di pesta supermewah itu nanti.

Tiga puluh miliar. Segitulah kisaran uang yang digelontorkan. Mereka tak tahu siapa orang superkaya ini sebab pihak hotel masih merahasiakannya. Dugaan mereka, orang itu pastilah salah satu orang terkaya di Kota Hagasa.

Kabar tersebut juga menjadi konsumsi obrolan karyawan-karyawan Wiguna Corp. Selepas makan siang, mereka membahasnya di pantri sambil mengantre membuat teh.

"Kira-kira siapa ya orang itu?"

"Siapa pun dia, pasti dia konglomerat parah. Penghasilan bulanannya mungkin sudah triliunan."

"Sedikit sekali orang seperti itu di kota ini. Tapi, kalian sadar, tidak? Tanggal 11 bulan depan itu kan tanggal ulang tahun putrinya Bu Julia."

"Oh, iya, ya. Baru sadar aku. Jangan-jangan, yang akan mengadakan pesta supermewah itu keluarganya Bu Julia?"

"Ah, masa iya? Memangnya keluarganya Bu Julia sekonglomerat itu? Lagi pula, dengar-dengar, mereka itu dikucilkan oleh keluarga besar mereka gara-gara Bu Julia menikah dengan pria miskin tak berguna."

"Benar juga. Berarti bukan keluarganya Bu Julia."

"Iya, pasti bukan mereka."

Sebenarnya, Julia berdiri tak jauh dari mereka. Dia baru saja kembali dari toilet dan hendak membuat teh seperti halnya mereka.

Namun setelah mendengar apa-apa yang mereka gunjingkan itu, Julia mengurungkan niatnya. Dengan muka merah padam, dia berjalan cepat-cepat menuju ke ruangannya.

Seperti halnya anggota Keluarga Wiguna yang lain, Julia bekerja di Wiguna Corp. Bedanya, sebab keluarganya dipandang rendah oleh kakeknya, posisinya di Wiguna Corp. tertahan di situ-situ saja.

Posisi Walton masih lebih baik darinya. Teringat hal ini selalu membuatnya kesal.

Dan gunjingan karyawan-karyawan di pantri barusan membuatnya tambah kesal. Lagi-lagi mereka memandang rendah Martin, yang juga berarti memandang rendah dia dan keluarganya.

Semua ini karena Martin belum juga bisa menunjukkan pencapaiannya. Tiba-tiba saja dia jadi begitu kesal pada suaminya itu.

Di titik ini, pintu tiba-tiba didorong masuk.

"Kau dengar kabar itu, Julia? Katanya seseorang akan mengadakan pesta ulang tahun supermewah untuk putrinya yang berusia tiga tahun di Hotel Caesars tanggal 11 bulan depan. Tidakkah itu miris?"

Yang mengatakannya adalah Walton. Dia masuk dan menghampiri meja kerjanya Julia dengan tatapan mencemooh.

"Miris? Maksudmu apa, Walton?" tanya Julia kesal.

"Bukankah tanggal 11 bulan depan itu juga ulang tahunnya Jesina? Coba kau pikirkan, putri konglomerat itu ultahnya dirayakan di hotel termewah di kota ini, disaksikan orang-orang penting, sedangkan ultah putrimu dirayakan di rumah sakit. Miris sekali, bukan?" jawab Walton, tersenyum menghina.

Mata Julia membulat. Tangan kanannya meremas rok pendeknya di balik meja. Ingin sekali dia melempar bolpoin ke muka Walton.

...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   tuan muda

    Martin baru saja melewati loket administrasi rumah sakit ketika ponsel di saku celananya bergetar dan bergetar.  Kesal, dia mengambilnya sambil bertanya-tanya siapa yang meneleponnya di saat dia sedang terburu-buru seperti ini.  Rupanya itu Ben. Martin mengangkatnya dan meminta Ben langsung mengatakan apa yang ingin dikatakannya.  [Saya tadi memerintahkan seseorang untuk menemui Anda, Tuan Muda. Mohon maaf saya lupa mengabarkannya.]  "Itu saja?"  [Iya, Tuan Muda. Dia wanita yang bisa diandalkan. Anda bisa memintanya melakukan sesuatu untuk Anda jika itu dibutuhkan.]  Martin tak tertarik. Pikirannya terfokus pada situasi mencurigakan istrinya di Klub Ballein.  Dia pun bertanya apakah masih ada hal yang ingin disampaikan Ben padanya. Ketika Ben menjawab "tidak", dia mengakhiri panggilan saat itu juga.  Setibanya d iluar, Martin berdiri di trotoar menunggu taksi. Tiba-tiba, sebuah mobil Maserati merah mende

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   mendesak

    Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu.  Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan.  Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya.  Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya.  Trang!  "Ah!"  Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan.  "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   lingeri

    Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja.  Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya.  "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica.  "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya.  Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis.  "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi.  Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana:  [Klub Ballein. Ruang nomor 888.]  Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   di ruang rawat inap

    Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina...   "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia.   Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali.   Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!"   "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia.   Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia.   Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit.   Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur.   Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya.   Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   ancaman

    Saat dia mengecek siapa yang meneleponnya, sorot matanya langsung berubah. Di antara kedua matanya terbentuk dua garis vertikal.  "Halo, Om Edwin?"  [Billy! Kau ini dungu atau apa, hah? Bisa-bisanya kau mengusir calon pewaris tahta Lozara Group! Cepat bersujud meminta maaf pada beliau atau kau kupecat!]  Billy terbelalak dan ternganga. Calon pewaris tahta Lozara Group? Itukah yang baru saja dikatakan pamannya itu?  "Om, aku tak mengerti. Siapa yang Om maksud dengan calon pe—"  [Orang yang saat ini kau hadapi, bodoh! Martin Linardy. Tuan Muda Keluarga Linardy. Apa kau sebodoh itu sampai-sampai kau tak memahami apa yang kukatakan? Kau mau membuat Keluarga Rooney bangkrut, hah?!]  Mata Billy yang telah membesar itu semakin membesar. Mulutnya terbuka lebih lebar. Dagunya seperti akan jatuh ke lantai.  [Cepat bersujud minta maaf pada beliau! Dan kabulkan apa pun itu yang beliau minta darimu! Jangan kau tempatkan perusa

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   tersinggung

    Martin mengernyitkan kening. Apakah dia salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Orang bernama Billy di hadapannya ini baru saja mengusirnya.  "Apakah ada yang kurang jelas dengan kata-kataku tadi? Mungkin kau salah menafsirkan sesuatu," kata Martin, mencoba berpikir positif terhadap Billy.  Billy malah tersenyum mencemooh, lalu berkata, "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini. Aku tak punya waktu untuk mengurusi ocehanmu."  Tak ada bentakan atau apa, tapi jelas sekali terasa kalau cara bicara Billy pada Martin telah berubah. Kini tak ada lagi rasa hormat atau sopan santun. Billy telah memosisikan lawan bicaranya sebagai orang yang statusnya jauh berada di bawahnya.  Saat Billy hendak beranjak dari tempatnya, Martin menyambar lengannya dan menahannya, menatapnya penuh tanya.  "Aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan sebagai CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Mungkin memang terkesan aneh sebab ini dadakan sekali,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status