Besok paginya, di Rumah Sakit Pelita Hati.
Fanny melangkah cepat-cepat menuju ruang rawat inapnya Jesina. Di tangannya dia membawa map berisi salinan dokumen perceraian yang dibawanya kemarin. Saat Fanny membuka pintu, dia mendapati Julia dan Martin di dalam kamar. Cucunya, Jesina, tampak sedang disuapi oleh Martin. Fanny berdecak kesal. Sekitar dua jam yang lalu dia pulang untuk mandi dan ganti baju, sekaligus membawakan barang-barang keperluan Julia. Kalau saja tadi itu dia tetap di situ, tak akan dia biarkan Martin mendekati Jesina. "Julia, sini sebentar!" pintanya pada putrinya. Julia yang sedang merapikan nakas menatapnya curiga. Dia merasa ada yang tidak beres dengan raut muka ibunya. Julia pun keluar mengikuti Fanny. Mereka duduk di bangku panjang besi tak jauh dari ruang rawat inap itu. Fanny langsung menyodorkan map yang dibawanya itu pada Julia. "Apa ini, Ma?" tanya Julia. "Cepat tanda tangani dokumen perceraian ini. Soal Martin, nanti biar Mama yang akali," jawab Fanny. Julia mendelik pada Fanny. Topik ini lagi. Kenapa kakek dan ibunya terus saja meminta dia dan Martin untuk bercerai? "Ma, kemarin kan Martin sudah menegaskan kalau kami tak akan bercerai. Kalau dia sudah bilang begitu, ya aku pun pasti bilang begitu. Mama berharap mendengar jawaban yang berbeda dariku?" kata Julia kesal. "Kamu ini kenapa sih, Julia? Mama tak mengerti dengan jalan pikiranmu. Apa yang kau pertahankan dari si pecundang itu? Kamu bisa mendapatkan orang yang beratus-ratus kali lipat lebih baik dari dia. Tapi sebelum itu kamu harus menceraikannya dulu," keluh Fanny. Julia menggeleng. Dia baru saja akan menyanggah perkataan Fanny tetapi Fanny lebih dulu bicara. "Dengar, Kakekmu bilang, kalau kita tak segera menendang Martin dari keluarga kita, kita tak akan kebagian warisan Keluarga Wiguna. Dan bukan hanya itu, ayahmu juga bisa kehilangan kesempatan untuk dipilih sebagai Wakil CEO Wiguna Corp. Kau mau itu terjadi?" Julia menatap Fanny tak percaya. Benarkah yang dikatakan ibunya itu? Ataukah itu hanya tipu daya belaka? "Dua hal buruk itu akan menimpa kita kalau kau dan suamimu yang tak berguna tak bercerai. Apa itu yang kau inginkan, Julia?" tekan Fanny. Julia menghela napas. Lelah sekali rasanya dihadapkan pada masalah ini terus-menerus. Tidak bisakah keluarganya membiarkan dia hidup tenang? "Ma, aku tidak akan menceraikan Martin. Dia itu pria yang baik. Meski memang saat ini dia belum bisa banyak diandalkan, aku yakin suatu hari nanti dia bisa memenuhi tugas-tugasnya sebagai suami dan ayah dengan baik. Berilah dia waktu untuk membuktikan diri, Ma. Aku yakin dia bisa." Kata-kata Julia itu direspons Fanny dengan memasang muka kesal. Dia berdecak lagi, kemudian berkata, "Ya sudahlah. Memang keras kepala kau ini. Kalau sampai dua hal buruk tadi benar-benar menimpa keluarga kita, kau yang salah. Ingat itu!" Fanny berdiri dan masuk ke ruang rawat inap, meninggalkan Julia yang masih duduk di sana, memandangi ibunya itu sambil menghela napas. Sebentar kemudian, Martin keluar dari ruang rawat inap, menutup pintu dan berjalan ke arahnya. Mereka berdua saling menatap beberapa lama. Martin lalu duduk di posisi Fanny tadi duduk, tersenyum lembut sambil menyentuh bahu Julia. "Terima kasih sudah percaya padaku. Akan kubuktikan padamu kalau aku mampu memenuhi ekspektasimu," katanya. Julia mengangkat alis dan membuang muka. Baginya, itu tak lebih dari sekadar kata-kata. Yang dia butuhkan dari Martin adalah bukti yang nyata. "Aku berangkat kerja dulu. Jesina sudah menghabiskan sarapannya," kata Martin sambil berdiri. "Oke. Hati-hati, ya," balas Julia, malas. Martin pergi meninggalkan Julia sendirian di bangku yang dingin itu. Sempat dia menoleh dan mendapati istrinya itu tertunduk lesu. Dia memutuskan untuk tidak membiarkan istrinya menderita lagi. ‘Tenang saja, Julia. Tak lama lagi orang-orang tak akan berani lagi mengusikmu,' ucap Martin dalam hati. Setelah cukup jauh dari Julia, dia keluarkan ponselnya dan menelepon Ben. [Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?] "Paman Ben, aku ingin kau mengatur pesta ulang tahun untuk putriku bulan depan di tanggal 11. Aku ingin pesta itu dilangsungkan di Hotel Caesars seharian. Dan pastikan kau mengundang orang-orang penting di kota ini. Di hadapan mereka semua aku akan mengungkapkan identitasku yang sebenarnya, biar mereka semua tak berani lagi mengusik istriku dan putriku!" Martin mengatakannya dengan emosional. Hotel Caesars adalah salah satu hotel bintang lima terbaik di Kota Hagasa. Di sana kerap diadakan pesta-pesta mewah yang dihadiri orang-orang penting. Biaya reservasi di hotel ini mencapai miliaran rupiah. [Anda bermaksud mengungkapkan jati diri Anda di acara tersebut, Tuan Muda? Di hadapan para tamu undangan?] "Iya. Akan kubuat mereka bungkam!" [Mohon maaf, Tuan Muda, tapi kalau boleh saya beri saran, sebaiknya Anda tidak melakukannya. Saat ini Lozara Group dipimpin oleh suami barunya Nyonya Olive. Saya khawatir mereka akan mengendus keberadaan Anda. Jika mereka tahu di mana Anda berada, mereka mungkin akan mengirim orang untuk mencelakai Anda. Istri dan putri Anda akan itu terancam.] Martin menyimak dengan raut muka serius. Olive adalah si wanita licik yang dulu menghasut ayahnya untuk menendang dia dan ibunya dari Keluarga Linardy. Kini dia istri pemimpin Lozara Group? Dia bahkan tak tahu kalau ayahnya dan si wanita licik ini sudah bercerai. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan keluargaku, Paman Ben, tapi aku tetap akan mengungkapkan identitasku yang sebenarnya di pesta ulang tahun putriku itu. Kalaupun si wanita licik itu dan suaminya mengirim orang untuk mengganggu kami, akan kuhabisi mereka. "Kau aturlah semuanya, ya. Siapkan meja untuk 300-an orang. Pastikan pesta itu menjadi pesta ulang tahun termewah di kota ini!" Terdengar Ben menghela napas, barangkali kecewa Martin mengabaikan sarannya. Tapi dia seorang abdi yang patuh. Dia pun menyanggupi apa yang diminta Martin itu. Martin mengakhiri panggilan dan memasukkan ponselnya ke saku celana. Dia telah berada di parkiran motor rumah sakit. Dia nyalakan mesin motor, bersiap menuju ke Harmony Spa. ... Siang harinya, berita tentang ada orang yang akan mengadakan pesta ulang tahun supermewah di Hotel Caesars bulan depan tersebar di internet. Kabarnya orang tersebut bukan hanya membayar biaya reservasi saja, melainkan juga total biaya sewa di pesta supermewah itu nanti. Tiga puluh miliar. Segitulah kisaran uang yang digelontorkan. Mereka tak tahu siapa orang superkaya ini sebab pihak hotel masih merahasiakannya. Dugaan mereka, orang itu pastilah salah satu orang terkaya di Kota Hagasa. Kabar tersebut juga menjadi konsumsi obrolan karyawan-karyawan Wiguna Corp. Selepas makan siang, mereka membahasnya di pantri sambil mengantre membuat teh. "Kira-kira siapa ya orang itu?" "Siapa pun dia, pasti dia konglomerat parah. Penghasilan bulanannya mungkin sudah triliunan." "Sedikit sekali orang seperti itu di kota ini. Tapi, kalian sadar, tidak? Tanggal 11 bulan depan itu kan tanggal ulang tahun putrinya Bu Julia." "Oh, iya, ya. Baru sadar aku. Jangan-jangan, yang akan mengadakan pesta supermewah itu keluarganya Bu Julia?" "Ah, masa iya? Memangnya keluarganya Bu Julia sekonglomerat itu? Lagi pula, dengar-dengar, mereka itu dikucilkan oleh keluarga besar mereka gara-gara Bu Julia menikah dengan pria miskin tak berguna." "Benar juga. Berarti bukan keluarganya Bu Julia." "Iya, pasti bukan mereka." Sebenarnya, Julia berdiri tak jauh dari mereka. Dia baru saja kembali dari toilet dan hendak membuat teh seperti halnya mereka. Namun setelah mendengar apa-apa yang mereka gunjingkan itu, Julia mengurungkan niatnya. Dengan muka merah padam, dia berjalan cepat-cepat menuju ke ruangannya. Seperti halnya anggota Keluarga Wiguna yang lain, Julia bekerja di Wiguna Corp. Bedanya, sebab keluarganya dipandang rendah oleh kakeknya, posisinya di Wiguna Corp. tertahan di situ-situ saja. Posisi Walton masih lebih baik darinya. Teringat hal ini selalu membuatnya kesal. Dan gunjingan karyawan-karyawan di pantri barusan membuatnya tambah kesal. Lagi-lagi mereka memandang rendah Martin, yang juga berarti memandang rendah dia dan keluarganya. Semua ini karena Martin belum juga bisa menunjukkan pencapaiannya. Tiba-tiba saja dia jadi begitu kesal pada suaminya itu. Di titik ini, pintu tiba-tiba didorong masuk. "Kau dengar kabar itu, Julia? Katanya seseorang akan mengadakan pesta ulang tahun supermewah untuk putrinya yang berusia tiga tahun di Hotel Caesars tanggal 11 bulan depan. Tidakkah itu miris?" Yang mengatakannya adalah Walton. Dia masuk dan menghampiri meja kerjanya Julia dengan tatapan mencemooh. "Miris? Maksudmu apa, Walton?" tanya Julia kesal. "Bukankah tanggal 11 bulan depan itu juga ulang tahunnya Jesina? Coba kau pikirkan, putri konglomerat itu ultahnya dirayakan di hotel termewah di kota ini, disaksikan orang-orang penting, sedangkan ultah putrimu dirayakan di rumah sakit. Miris sekali, bukan?" jawab Walton, tersenyum menghina. Mata Julia membulat. Tangan kanannya meremas rok pendeknya di balik meja. Ingin sekali dia melempar bolpoin ke muka Walton. ...Suara Desta bergetar, “ Paman Ding, apa yang kamu katakan itu benar?" "Iya benar, Tuan muda. Mulai sekarang, anda boleh mewarisi semua aset keluarga Chu di kota Yunhai dan secara resmi masuk ke dalam urutan pewaris keluarga." "Terima kasih, Paman Ding." Desta menarik napas sedalam-dalamnya dan merasakan masam di hidungnya. Tidak ada yang tahu kalau Desta telah menunggu ucapan ini selama tiga tahun! Tiga tahun yang lalu karena tugas ujian aneh dari keluarganya. Dia dikirim masuk ke keluarga Chen oleh keluarganya untuk dijadikan menantu di keluarga Chen. Selama berada di keluarga Chen, Desta sangat rajin belajar, giat bekerja dan tidak terhitung sudah kerja kerasnya hanya untuk mendapatkan pengakuan yang baik dari keluarga Chen. Tapi pada akhirnya yang didapatkan oleh Desta hanyalah penghinaan gila-gilaan dari keluarga Chen ! Di mata keluarga Chen, Desta dari awal sampai akhir hanyalah pria sampa
“ Vina, Kenapa dia bisa di rumahmu? Andre Guo kenapa dia bisa di rumahmu ?” suara Desta Chu bergetar dengan wajah pucat menunjuk ke pria lain di sampingnya. Dia benar-benar tidak ingin percaya kalau dia menerima pesanan antar makanan untuk calon istrinya sendiri dan berniat memberi kejutan tapi pada akhirnya ketika membuka pintu rumah, dia melihat pria lain di dalam rumah. Apalagi dia kenal dengan pria ini, pria bernama Andre pria yang jaraknya lebih tua empat tahun darinya. Pada saat ini Andre menatap Desta dengan tatapan merendahkan seperti sedang melihat badut saja. Sedangkan Vina Chen, tidak ada ekspresi bersalah sama sekali di wajahnya, dia malah menatap Desta dengan tatapan jijik, dia membuka mulut dan memaki, “Sampah tidak berguna, teriak apa kamu itu! sudah merasa hebat ya? aku saja belum protes atas tindakanmu, kamu malah teriak marah duluan hah?” “Siapa yang menyuruhu jadi pengantar makanan hah? Aku dari dulu sudah bilang ke kamu jangan jadi pengantar makanan lagi. Tapi
Di ruang bilyar eksklusif di lantai 3... Beberapa orang berdiri merapat ke dinding, memantau situasi di situ dengan waspada. Seorang wanita berpakaian seksi baru saja menyodok bola putih dan berhasil mendorong bola nomor empat masuk. Di hadapannya, di seberang meja, seorang pria mengusap-usap kumis dan jambangnya yang tebal. Matanya terarah ke belahan dada wanita itu. Pria itu adalah Yanuar Winarto. Dia memang kerap menghabiskan waktunya untuk bermain bilyar ketika dia berada di kelab malamnya ini. Di titik ini, terdengar langkah-langkah kaki. Aurora muncul diikuti Martin. "Bang Yanuar, aku sedang mencari orang. Bisakah kau membantuku?" tanya Aurora. Permainan bilyar langsung terjeda. Yanuar menatap Aurora dan Martin dengan tatapan dingin. Para penjaganya juga menatap mereka, penuh kewaspadaan. "Oh, ya? Siapa yang kau cari? Dan siapa pria tampan yang kau bawa ini?" tanya Yanuar. Itu sepenuhnya basa-basi. Beberapa saat lalu, Yanuar ditelepon Selin, diberitahu soal apa
Seperti yang dikatakan si petugas keamanan, Klub Ballein memang dimiliki oleh Yanuar Winarto, salah satu mafia paling berkuasa di dunia bawah di Kota Hagasa. Tapi Yanuar bukanlah yang paling ditakuti. Yang paling ditakuti adalah sosok bernama Jordan Tyren, bos mafia yang terkenal kejam dan bengis. Dan Aurora adalah orang kepercayaannya Tyren. Tentu saja kemunculannya di hadapan kedua penjaga keamanan itu membuat mereka jiper. "Apa kalian tak mengerti apa yang kukatakan barusan? Cepat menyingkir! Beri kami jalan!" bentak Aurora. Kedua penjaga keamanan Klub Ballein itu refleks mundur selangkah. Rumor soal betapa brutalnya Aurora ketika sedang mengamuk sudah sampai ke telinga mereka. Dan saat ini wanita itu memancarkan aura seorang pembunuh. Entah apa yang akan terjadi pada mereka jika mereka membuat Aurora kesal. Maka kedua penjaga kemanan itu pun langsung menyingkir, memberi jalan pada Aurora dan Martin. "Silakan masuk
Martin baru saja melewati loket administrasi rumah sakit ketika ponsel di saku celananya bergetar dan bergetar. Kesal, dia mengambilnya sambil bertanya-tanya siapa yang meneleponnya di saat dia sedang terburu-buru seperti ini. Rupanya itu Ben. Martin mengangkatnya dan meminta Ben langsung mengatakan apa yang ingin dikatakannya. [Saya tadi memerintahkan seseorang untuk menemui Anda, Tuan Muda. Mohon maaf saya lupa mengabarkannya.] "Itu saja?" [Iya, Tuan Muda. Dia wanita yang bisa diandalkan. Anda bisa memintanya melakukan sesuatu untuk Anda jika itu dibutuhkan.] Martin tak tertarik. Pikirannya terfokus pada situasi mencurigakan istrinya di Klub Ballein. Dia pun bertanya apakah masih ada hal yang ingin disampaikan Ben padanya. Ketika Ben menjawab "tidak", dia mengakhiri panggilan saat itu juga. Setibanya d iluar, Martin berdiri di trotoar menunggu taksi. Tiba-tiba, sebuah mobil Maserati merah mende
Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si