Martin baru saja melewati loket administrasi rumah sakit ketika ponsel di saku celananya bergetar dan bergetar.
Kesal, dia mengambilnya sambil bertanya-tanya siapa yang meneleponnya di saat dia sedang terburu-buru seperti ini. Rupanya itu Ben. Martin mengangkatnya dan meminta Ben langsung mengatakan apa yang ingin dikatakannya. [Saya tadi memerintahkan seseorang untuk menemui Anda, Tuan Muda. Mohon maaf saya lupa mengabarkannya.] "Itu saja?" [Iya, Tuan Muda. Dia wanita yang bisa diandalkan. Anda bisa memintanya melakukan sesuatu untuk Anda jika itu dibutuhkan.] Martin tak tertarik. Pikirannya terfokus pada situasi mencurigakan istrinya di Klub Ballein. Dia pun bertanya apakah masih ada hal yang ingin disampaikan Ben padanya. Ketika Ben menjawab "tidak", dia mengakhiri panggilan saat itu juga. Setibanya d iluar, Martin berdiri di trotoar menunggu taksi. Tiba-tiba, sebuah mobil Maserati merah mendeDi ruang bilyar eksklusif di lantai 3... Beberapa orang berdiri merapat ke dinding, memantau situasi di situ dengan waspada. Seorang wanita berpakaian seksi baru saja menyodok bola putih dan berhasil mendorong bola nomor empat masuk. Di hadapannya, di seberang meja, seorang pria mengusap-usap kumis dan jambangnya yang tebal. Matanya terarah ke belahan dada wanita itu. Pria itu adalah Yanuar Winarto. Dia memang kerap menghabiskan waktunya untuk bermain bilyar ketika dia berada di kelab malamnya ini. Di titik ini, terdengar langkah-langkah kaki. Aurora muncul diikuti Martin. "Bang Yanuar, aku sedang mencari orang. Bisakah kau membantuku?" tanya Aurora. Permainan bilyar langsung terjeda. Yanuar menatap Aurora dan Martin dengan tatapan dingin. Para penjaganya juga menatap mereka, penuh kewaspadaan. "Oh, ya? Siapa yang kau cari? Dan siapa pria tampan yang kau bawa ini?" tanya Yanuar. Itu se
Seperti yang dikatakan si petugas keamanan, Klub Ballein memang dimiliki oleh Yanuar Winarto, salah satu mafia paling berkuasa di dunia bawah di Kota Hagasa. Tapi Yanuar bukanlah yang paling ditakuti. Yang paling ditakuti adalah sosok bernama Jordan Tyren, bos mafia yang terkenal kejam dan bengis. Dan Aurora adalah orang kepercayaannya Tyren. Tentu saja kemunculannya di hadapan kedua penjaga keamanan itu membuat mereka jiper. "Apa kalian tak mengerti apa yang kukatakan barusan? Cepat menyingkir! Beri kami jalan!" bentak Aurora. Kedua penjaga keamanan Klub Ballein itu refleks mundur selangkah. Rumor soal betapa brutalnya Aurora ketika sedang mengamuk sudah sampai ke telinga mereka. Dan saat ini wanita itu memancarkan aura seorang pembunuh. Entah apa yang akan terjadi pada mereka jika mereka membuat Aurora kesal. Maka kedua penjaga kemanan itu pun langsung menyingkir, memberi jalan pada Aurora dan Martin. "Silakan masuk
Martin baru saja melewati loket administrasi rumah sakit ketika ponsel di saku celananya bergetar dan bergetar. Kesal, dia mengambilnya sambil bertanya-tanya siapa yang meneleponnya di saat dia sedang terburu-buru seperti ini. Rupanya itu Ben. Martin mengangkatnya dan meminta Ben langsung mengatakan apa yang ingin dikatakannya. [Saya tadi memerintahkan seseorang untuk menemui Anda, Tuan Muda. Mohon maaf saya lupa mengabarkannya.] "Itu saja?" [Iya, Tuan Muda. Dia wanita yang bisa diandalkan. Anda bisa memintanya melakukan sesuatu untuk Anda jika itu dibutuhkan.] Martin tak tertarik. Pikirannya terfokus pada situasi mencurigakan istrinya di Klub Ballein. Dia pun bertanya apakah masih ada hal yang ingin disampaikan Ben padanya. Ketika Ben menjawab "tidak", dia mengakhiri panggilan saat itu juga. Setibanya d iluar, Martin berdiri di trotoar menunggu taksi. Tiba-tiba, sebuah mobil Maserati merah mende
Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si
Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja. Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya. "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica. "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya. Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis. "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi. Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana: [Klub Ballein. Ruang nomor 888.] Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma
Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina... "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia. Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali. Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!" "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia. Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia. Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit. Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur. Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya. Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat