Share

perundungan

Author: NN
last update Last Updated: 2025-05-09 02:07:35

Martin menatap Ringga dengan tanda tanya besar di keningnya. Kenapa orang ini menyapanya sehormat itu?

"Tidak apa-apa, Pak Direktur. Tidak usah meminta maaf untuk hal itu," kata Martin, menyambar tangan Ringga.

Ringga memberi Martin senyum profesional. Dia tampak terkesan dengan sikap Martin yang rendah hati dan tidak neko-neko.

Sekitar setengah jam yang lalu, Ringga tiba-tiba ditelepon oleh perwakilan Dewan Komisaris Rumah Sakit Pelita Hati. Dia diberitahu kalau saat ini putrinya Martin Linardy sedang dirawat di situ karena menderita leukimia. Dijelaskan juga padanya kalau Martin adalah pewaris Keluarga Linardy dan calon pemimpin Lozaro Group di masa depan.

Saking begitu mengejutkannya informasi-informasi itu, Ringga sampai melongo beberapa saat. Setelah percakapannya dengan perwakilan Dewan Komisaris rumah sakit selesai, dia cepat-cepat mengatur ulang jadwalnya.

Sebelumnya dia sudah mau pulang. Dia tunda kepulangannya itu sebab dia merasa harus menyapa Martin secara khusus. Dia meminta Fendy, dokter senior sekaligus direktur temannya di rumah sakit tersebut, untuk menemaninya.

Ketika Ringga membuka pintu tadi, dia sempat bertanya-tanya apakah benar orang yang dilihatnya adalah Martin Linardy.

Untuk seorang anggota Keluarga Linardy, penampilan Martin teramat biasa. Tapi mukanya persis sama dengan muka orang di foto yang dikirimkan padanya oleh si perwakilan dewan komisaris.

Ringga pun menyimpulkan kalau Martin adalah tipe orang superkaya yang rendah hati. Dia semakin yakin dengan penilaiannya setelah mendengar apa yang dikatakan Martin itu.

Dan dia pun menduga, Martin mungkin sedang menyembunyikan identitasnya karena sesuatu hal.

"Anda pasti sudah bertemu Dokter Kevin dan melihat mesin canggih yang baru saja didatangkan untuk menangani putri Anda ini. Saya pastikan, putri Anda akan menjalani pengobatan dan perawatan terbaik. Anda bisa tenang, Tuan Martin. Tapi jika ada hal yang membuat Anda khawatir, jangan ragu-ragu untuk mengatakannya kepada saya," kata Ringga.

"Sebenarnya ada satu hal, Pak Direktur," kata Martin.

"Apa itu, Tuan Martin? Katakan saja."

"Saya ingin mendonorkan sumsum tulang belakang saya, tapi kata kakek istri saya ini, dia akan meminta Anda untuk tidak membiarkan itu terjadi. Dia bahkan mengancam akan meminta Anda untuk tidak melanjutkan pengobatan putri saya. Jujur saja, itu membuat saya khawatir."

Muka Ringga mendadak kecut. Dia melirik ke Benny. Saat Martin mengatakan 'kakek istri saya ini', tangannya menunjuk ke Benny.

"Direktur Ringga, kenapa kau bicara padanya seperti kau sedang bicara dengan orang penting saja? Dia ini menantuku yang tak berguna. Dia ini pecundang. Dia tak layak mendapatkan hormat darimu," keluh Benny.

Benny dan Ringga punya hubungan yang baik. Dulu di SMA mereka satu sekolah dan satu kelas. Meski setelah lulus SMA mereka jarang sekali bertemu, ketika bertemu di acara-acara penting mereka biasa menyempatkan diri untuk mengobrol.

Maka ketika Ringga kini menatapnya dengan kesal seperti menatap musuh, Benny sedikit kaget.

"Kau berani sekali menyebut Tuan Martin pecundang? Apa kau sedang dalam pengaruh alkohol, Benny?" tanya Ringga sinis.

Benny terlalu kaget untuk menimpali kata-kata Ringga. Dan Ringga rupanya masih belum selesai.

"Soal apa yang dikatakan Tuan Martin barusan, apakah itu benar? Kau tak mau beliau mendonorkan sumsum tulang belakangnya kepada pasien?" tanya Ringga lagi.

"Hmm, ya, itu benar," jawab Benny.

Ringga menatap Benny tak senang, sambil geleng-geleng kepala. Dia lalu berkata, "Untuk pasien penderita leukimia, donor sumsum tulang belakang dari pihak keluarga langsung sangat dianjurkan. Itu karena tingkat kecocokannya biasanya tinggi. Dengan begitu peluang keberhasilan operasi juga meningkat."

Tak pelak lagi, itu adalah lampu hijau dari Ringga selaku direktur utama Rumah Sakit Pelita Hati atas pendonoran sumsum tulang belakang dari Martin. Benny menatap Ringga tak percaya. Sebelumnya dia sangat yakin kalau Ringga bisa diajak kerja sama.

"Omong kosong!" sentak Walton tiba-tiba. "Jesina adalah anggota Keluarga Wiguna, sedangkan si pecundang ini hanyalah orang luar yang darahnya kotor. Kami tak sudi menerima donor apa pun darinya untuk Jesina. Iya, kan, Kakek?"

"Ah, ya. Itu tak boleh terjadi!" sahut Benny.

Ringga menatap mereka berdua dengan kesal. Ada apa dengan orang-orang ini? Apakah mereka meremehkannya? Dialah orang yang berkuasa di Rumah Sakit Pelita Hati ini!

"Sebagai seorang dokter dengan pengalaman lebih dari tiga puluh tahun di dunia medis, saya sangat menyarankan kepada pihak keluarga untuk menerima donor sumsum tulang belakang dari Tuan Martin mengingat beliau adalah ayah kandung pasien. Ini demi kebaikan pasien sendiri," katanya.

Benny melongo dan ternganga. Dia tak percaya Ringga terang-terangan membela Martin di hadapannya. Apa maksudnya ini?

"Jangan dengarkan dia, Kakek! Daripada menerima donor dari si keparat ini, lebih baik kita cari rumah sakit lain saja. Pasti ada dokter lain di rumah sakit lain yang memahami apa yang kita maksudkan!" Walton kembali memanas-manasi Benny.

Namun kali ini, reaksi Benny agak lain. Ditatapnya Walton dengan pupil membesar.

"Jangan asal bicara! Rumah Sakit Pelita Hati adalah rumah sakit terbaik untuk menangani leukimia. Selain itu, Direktur juga sangat hebat dalam kalangan tersebut, siapa tahu lain waktu kita masih membutuhkan bantuannya, sebaiknya kita jangan menyinggungnya," kata Benny.

Walton terkejut ditegur seperti itu, sampai-sampai dia tak sanggup mengatakan apa pun. Di sisi lain, Martin tersenyum miring meledek Walton.

"Baguslah kalau itu bisa dipahami. Kami saat ini punya alat dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk menyembuhkan pasien. Sungguh tidak bijak jika donor sumsum tulang belakang dari Tuan Martin ditolak," kata Ringga.

Benny menatap Ringga kesal. Dia sebenarnya masih ingin menyanggah, tapi dia tak tahu apa yang harus dikatakannnya. Saat ini semuanya condong menguatkan posisi Martin; sesuatu yang sulit diterimanya.

"Baiklah, Tuan Martin, saya undur diri dulu. Semoga besok atau lusa kita bisa mengobrol di situasi yang lebih baik," kata Ringga, mengangguk hormat.

Martin membalas anggukan Ringga. Sang direktur utama Rumah Sakit Pelita Hati itu pun pergi diikuti teman dokternya.

"Martin, apa yang sudah kau lakukan pada Direktur Ringga? Kenapa dia begitu membelamu?" tanya Fanny tiba-tiba.

"Iya, apa yang sudah kau lakukan, hah? Aneh betul orang sepenting dia mati-matian membelamu. Apa jangan-jangan kau sudah mengancamnya? Begitukah, Martin?" Vina ikut-ikutan.

Martin menatap mereka berdua dengan malas. Haruskah dia menjawab pertanyaan seperti itu? Rasanya tak usah.

Mengabaikan mereka, Martin berjalan ke ranjang pasien, tapi seperti biasa, Benny lagi-lagi mengadangnya.

Martin berdecak kesal. Dia benar-benar ingin menonjok orang ini kalau saja dia bukan kakek istrinya.

Martin memandangi putrinya yang masih terlelap itu. Napasnya mendadak terasa berat. Dia tak bisa melihat Jesina dalam kondisi seperti itu berlama-lama.

‘Tenang saja, Putriku. Ayah akan melakukan apa pun untuk memastikan kau sembuh,' ucapnya dalam hati.

...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   mendesak

    Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu.  Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan.  Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya.  Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya.  Trang!  "Ah!"  Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan.  "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   lingeri

    Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja.  Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya.  "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica.  "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya.  Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis.  "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi.  Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana:  [Klub Ballein. Ruang nomor 888.]  Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   di ruang rawat inap

    Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina...   "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia.   Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali.   Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!"   "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia.   Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia.   Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit.   Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur.   Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya.   Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   ancaman

    Saat dia mengecek siapa yang meneleponnya, sorot matanya langsung berubah. Di antara kedua matanya terbentuk dua garis vertikal.  "Halo, Om Edwin?"  [Billy! Kau ini dungu atau apa, hah? Bisa-bisanya kau mengusir calon pewaris tahta Lozara Group! Cepat bersujud meminta maaf pada beliau atau kau kupecat!]  Billy terbelalak dan ternganga. Calon pewaris tahta Lozara Group? Itukah yang baru saja dikatakan pamannya itu?  "Om, aku tak mengerti. Siapa yang Om maksud dengan calon pe—"  [Orang yang saat ini kau hadapi, bodoh! Martin Linardy. Tuan Muda Keluarga Linardy. Apa kau sebodoh itu sampai-sampai kau tak memahami apa yang kukatakan? Kau mau membuat Keluarga Rooney bangkrut, hah?!]  Mata Billy yang telah membesar itu semakin membesar. Mulutnya terbuka lebih lebar. Dagunya seperti akan jatuh ke lantai.  [Cepat bersujud minta maaf pada beliau! Dan kabulkan apa pun itu yang beliau minta darimu! Jangan kau tempatkan perusa

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   tersinggung

    Martin mengernyitkan kening. Apakah dia salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Orang bernama Billy di hadapannya ini baru saja mengusirnya.  "Apakah ada yang kurang jelas dengan kata-kataku tadi? Mungkin kau salah menafsirkan sesuatu," kata Martin, mencoba berpikir positif terhadap Billy.  Billy malah tersenyum mencemooh, lalu berkata, "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini. Aku tak punya waktu untuk mengurusi ocehanmu."  Tak ada bentakan atau apa, tapi jelas sekali terasa kalau cara bicara Billy pada Martin telah berubah. Kini tak ada lagi rasa hormat atau sopan santun. Billy telah memosisikan lawan bicaranya sebagai orang yang statusnya jauh berada di bawahnya.  Saat Billy hendak beranjak dari tempatnya, Martin menyambar lengannya dan menahannya, menatapnya penuh tanya.  "Aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan sebagai CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Mungkin memang terkesan aneh sebab ini dadakan sekali,

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   tutup mulutmu

    Mama! Apa yang Mama lakukan? Kenapa tiba-tiba menampar Martin? Dia baru saja mengantarku pulang loh, Ma!" protes Julia.  "Diam kau, Julia!" bentak Fanny. "Kau juga bodoh! Kenapa kau mau-mau saja dihasut si benalu ini! Sudah sampah, miskin lagi! Dia tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia menghasutmu untuk menerimanya, kamu benar-benar terima lagi! Memang kita mampu menjalin hubungan dengan PT Alat Kesehatan Makmur. Dia itu sedang menjebakmu, kamu tahu, tidak?!"  "Mama!"  "Aku bilang diam!"  Ibu dan anak itu saling membentak satu sama lain, sama-sama tak mau kalah. Martin tak nyaman melihatnya. Dia pun menyentuh bahu Julia dan menggeleng, memintanya menahan amarahnya.  Kemudian Martin menatap Julia, berkata, "Mama harus percaya pada Julia. Dia pasti men—"  "Tutup mulutmu! Masuk sana ke kamarmu! Aku tak mau mendengar apa pun darimu!" potong Fanny.  Martin menghela napas. Susah sekali membuat ibu mertuanya ini mengerti aka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status