Martin menatap Ringga dengan tanda tanya besar di keningnya. Kenapa orang ini menyapanya sehormat itu?
"Tidak apa-apa, Pak Direktur. Tidak usah meminta maaf untuk hal itu," kata Martin, menyambar tangan Ringga. Ringga memberi Martin senyum profesional. Dia tampak terkesan dengan sikap Martin yang rendah hati dan tidak neko-neko. Sekitar setengah jam yang lalu, Ringga tiba-tiba ditelepon oleh perwakilan Dewan Komisaris Rumah Sakit Pelita Hati. Dia diberitahu kalau saat ini putrinya Martin Linardy sedang dirawat di situ karena menderita leukimia. Dijelaskan juga padanya kalau Martin adalah pewaris Keluarga Linardy dan calon pemimpin Lozaro Group di masa depan. Saking begitu mengejutkannya informasi-informasi itu, Ringga sampai melongo beberapa saat. Setelah percakapannya dengan perwakilan Dewan Komisaris rumah sakit selesai, dia cepat-cepat mengatur ulang jadwalnya. Sebelumnya dia sudah mau pulang. Dia tunda kepulangannya itu sebab dia merasa harus menyapa Martin secara khusus. Dia meminta Fendy, dokter senior sekaligus direktur temannya di rumah sakit tersebut, untuk menemaninya. Ketika Ringga membuka pintu tadi, dia sempat bertanya-tanya apakah benar orang yang dilihatnya adalah Martin Linardy. Untuk seorang anggota Keluarga Linardy, penampilan Martin teramat biasa. Tapi mukanya persis sama dengan muka orang di foto yang dikirimkan padanya oleh si perwakilan dewan komisaris. Ringga pun menyimpulkan kalau Martin adalah tipe orang superkaya yang rendah hati. Dia semakin yakin dengan penilaiannya setelah mendengar apa yang dikatakan Martin itu. Dan dia pun menduga, Martin mungkin sedang menyembunyikan identitasnya karena sesuatu hal. "Anda pasti sudah bertemu Dokter Kevin dan melihat mesin canggih yang baru saja didatangkan untuk menangani putri Anda ini. Saya pastikan, putri Anda akan menjalani pengobatan dan perawatan terbaik. Anda bisa tenang, Tuan Martin. Tapi jika ada hal yang membuat Anda khawatir, jangan ragu-ragu untuk mengatakannya kepada saya," kata Ringga. "Sebenarnya ada satu hal, Pak Direktur," kata Martin. "Apa itu, Tuan Martin? Katakan saja." "Saya ingin mendonorkan sumsum tulang belakang saya, tapi kata kakek istri saya ini, dia akan meminta Anda untuk tidak membiarkan itu terjadi. Dia bahkan mengancam akan meminta Anda untuk tidak melanjutkan pengobatan putri saya. Jujur saja, itu membuat saya khawatir." Muka Ringga mendadak kecut. Dia melirik ke Benny. Saat Martin mengatakan 'kakek istri saya ini', tangannya menunjuk ke Benny. "Direktur Ringga, kenapa kau bicara padanya seperti kau sedang bicara dengan orang penting saja? Dia ini menantuku yang tak berguna. Dia ini pecundang. Dia tak layak mendapatkan hormat darimu," keluh Benny. Benny dan Ringga punya hubungan yang baik. Dulu di SMA mereka satu sekolah dan satu kelas. Meski setelah lulus SMA mereka jarang sekali bertemu, ketika bertemu di acara-acara penting mereka biasa menyempatkan diri untuk mengobrol. Maka ketika Ringga kini menatapnya dengan kesal seperti menatap musuh, Benny sedikit kaget. "Kau berani sekali menyebut Tuan Martin pecundang? Apa kau sedang dalam pengaruh alkohol, Benny?" tanya Ringga sinis. Benny terlalu kaget untuk menimpali kata-kata Ringga. Dan Ringga rupanya masih belum selesai. "Soal apa yang dikatakan Tuan Martin barusan, apakah itu benar? Kau tak mau beliau mendonorkan sumsum tulang belakangnya kepada pasien?" tanya Ringga lagi. "Hmm, ya, itu benar," jawab Benny. Ringga menatap Benny tak senang, sambil geleng-geleng kepala. Dia lalu berkata, "Untuk pasien penderita leukimia, donor sumsum tulang belakang dari pihak keluarga langsung sangat dianjurkan. Itu karena tingkat kecocokannya biasanya tinggi. Dengan begitu peluang keberhasilan operasi juga meningkat." Tak pelak lagi, itu adalah lampu hijau dari Ringga selaku direktur utama Rumah Sakit Pelita Hati atas pendonoran sumsum tulang belakang dari Martin. Benny menatap Ringga tak percaya. Sebelumnya dia sangat yakin kalau Ringga bisa diajak kerja sama. "Omong kosong!" sentak Walton tiba-tiba. "Jesina adalah anggota Keluarga Wiguna, sedangkan si pecundang ini hanyalah orang luar yang darahnya kotor. Kami tak sudi menerima donor apa pun darinya untuk Jesina. Iya, kan, Kakek?" "Ah, ya. Itu tak boleh terjadi!" sahut Benny. Ringga menatap mereka berdua dengan kesal. Ada apa dengan orang-orang ini? Apakah mereka meremehkannya? Dialah orang yang berkuasa di Rumah Sakit Pelita Hati ini! "Sebagai seorang dokter dengan pengalaman lebih dari tiga puluh tahun di dunia medis, saya sangat menyarankan kepada pihak keluarga untuk menerima donor sumsum tulang belakang dari Tuan Martin mengingat beliau adalah ayah kandung pasien. Ini demi kebaikan pasien sendiri," katanya. Benny melongo dan ternganga. Dia tak percaya Ringga terang-terangan membela Martin di hadapannya. Apa maksudnya ini? "Jangan dengarkan dia, Kakek! Daripada menerima donor dari si keparat ini, lebih baik kita cari rumah sakit lain saja. Pasti ada dokter lain di rumah sakit lain yang memahami apa yang kita maksudkan!" Walton kembali memanas-manasi Benny. Namun kali ini, reaksi Benny agak lain. Ditatapnya Walton dengan pupil membesar. "Jangan asal bicara! Rumah Sakit Pelita Hati adalah rumah sakit terbaik untuk menangani leukimia. Selain itu, Direktur juga sangat hebat dalam kalangan tersebut, siapa tahu lain waktu kita masih membutuhkan bantuannya, sebaiknya kita jangan menyinggungnya," kata Benny. Walton terkejut ditegur seperti itu, sampai-sampai dia tak sanggup mengatakan apa pun. Di sisi lain, Martin tersenyum miring meledek Walton. "Baguslah kalau itu bisa dipahami. Kami saat ini punya alat dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk menyembuhkan pasien. Sungguh tidak bijak jika donor sumsum tulang belakang dari Tuan Martin ditolak," kata Ringga. Benny menatap Ringga kesal. Dia sebenarnya masih ingin menyanggah, tapi dia tak tahu apa yang harus dikatakannnya. Saat ini semuanya condong menguatkan posisi Martin; sesuatu yang sulit diterimanya. "Baiklah, Tuan Martin, saya undur diri dulu. Semoga besok atau lusa kita bisa mengobrol di situasi yang lebih baik," kata Ringga, mengangguk hormat. Martin membalas anggukan Ringga. Sang direktur utama Rumah Sakit Pelita Hati itu pun pergi diikuti teman dokternya. "Martin, apa yang sudah kau lakukan pada Direktur Ringga? Kenapa dia begitu membelamu?" tanya Fanny tiba-tiba. "Iya, apa yang sudah kau lakukan, hah? Aneh betul orang sepenting dia mati-matian membelamu. Apa jangan-jangan kau sudah mengancamnya? Begitukah, Martin?" Vina ikut-ikutan. Martin menatap mereka berdua dengan malas. Haruskah dia menjawab pertanyaan seperti itu? Rasanya tak usah. Mengabaikan mereka, Martin berjalan ke ranjang pasien, tapi seperti biasa, Benny lagi-lagi mengadangnya. Martin berdecak kesal. Dia benar-benar ingin menonjok orang ini kalau saja dia bukan kakek istrinya. Martin memandangi putrinya yang masih terlelap itu. Napasnya mendadak terasa berat. Dia tak bisa melihat Jesina dalam kondisi seperti itu berlama-lama. ‘Tenang saja, Putriku. Ayah akan melakukan apa pun untuk memastikan kau sembuh,' ucapnya dalam hati. ...Suara Desta bergetar, “ Paman Ding, apa yang kamu katakan itu benar?" "Iya benar, Tuan muda. Mulai sekarang, anda boleh mewarisi semua aset keluarga Chu di kota Yunhai dan secara resmi masuk ke dalam urutan pewaris keluarga." "Terima kasih, Paman Ding." Desta menarik napas sedalam-dalamnya dan merasakan masam di hidungnya. Tidak ada yang tahu kalau Desta telah menunggu ucapan ini selama tiga tahun! Tiga tahun yang lalu karena tugas ujian aneh dari keluarganya. Dia dikirim masuk ke keluarga Chen oleh keluarganya untuk dijadikan menantu di keluarga Chen. Selama berada di keluarga Chen, Desta sangat rajin belajar, giat bekerja dan tidak terhitung sudah kerja kerasnya hanya untuk mendapatkan pengakuan yang baik dari keluarga Chen. Tapi pada akhirnya yang didapatkan oleh Desta hanyalah penghinaan gila-gilaan dari keluarga Chen ! Di mata keluarga Chen, Desta dari awal sampai akhir hanyalah pria sampa
“ Vina, Kenapa dia bisa di rumahmu? Andre Guo kenapa dia bisa di rumahmu ?” suara Desta Chu bergetar dengan wajah pucat menunjuk ke pria lain di sampingnya. Dia benar-benar tidak ingin percaya kalau dia menerima pesanan antar makanan untuk calon istrinya sendiri dan berniat memberi kejutan tapi pada akhirnya ketika membuka pintu rumah, dia melihat pria lain di dalam rumah. Apalagi dia kenal dengan pria ini, pria bernama Andre pria yang jaraknya lebih tua empat tahun darinya. Pada saat ini Andre menatap Desta dengan tatapan merendahkan seperti sedang melihat badut saja. Sedangkan Vina Chen, tidak ada ekspresi bersalah sama sekali di wajahnya, dia malah menatap Desta dengan tatapan jijik, dia membuka mulut dan memaki, “Sampah tidak berguna, teriak apa kamu itu! sudah merasa hebat ya? aku saja belum protes atas tindakanmu, kamu malah teriak marah duluan hah?” “Siapa yang menyuruhu jadi pengantar makanan hah? Aku dari dulu sudah bilang ke kamu jangan jadi pengantar makanan lagi. Tapi
Di ruang bilyar eksklusif di lantai 3... Beberapa orang berdiri merapat ke dinding, memantau situasi di situ dengan waspada. Seorang wanita berpakaian seksi baru saja menyodok bola putih dan berhasil mendorong bola nomor empat masuk. Di hadapannya, di seberang meja, seorang pria mengusap-usap kumis dan jambangnya yang tebal. Matanya terarah ke belahan dada wanita itu. Pria itu adalah Yanuar Winarto. Dia memang kerap menghabiskan waktunya untuk bermain bilyar ketika dia berada di kelab malamnya ini. Di titik ini, terdengar langkah-langkah kaki. Aurora muncul diikuti Martin. "Bang Yanuar, aku sedang mencari orang. Bisakah kau membantuku?" tanya Aurora. Permainan bilyar langsung terjeda. Yanuar menatap Aurora dan Martin dengan tatapan dingin. Para penjaganya juga menatap mereka, penuh kewaspadaan. "Oh, ya? Siapa yang kau cari? Dan siapa pria tampan yang kau bawa ini?" tanya Yanuar. Itu sepenuhnya basa-basi. Beberapa saat lalu, Yanuar ditelepon Selin, diberitahu soal apa
Seperti yang dikatakan si petugas keamanan, Klub Ballein memang dimiliki oleh Yanuar Winarto, salah satu mafia paling berkuasa di dunia bawah di Kota Hagasa. Tapi Yanuar bukanlah yang paling ditakuti. Yang paling ditakuti adalah sosok bernama Jordan Tyren, bos mafia yang terkenal kejam dan bengis. Dan Aurora adalah orang kepercayaannya Tyren. Tentu saja kemunculannya di hadapan kedua penjaga keamanan itu membuat mereka jiper. "Apa kalian tak mengerti apa yang kukatakan barusan? Cepat menyingkir! Beri kami jalan!" bentak Aurora. Kedua penjaga keamanan Klub Ballein itu refleks mundur selangkah. Rumor soal betapa brutalnya Aurora ketika sedang mengamuk sudah sampai ke telinga mereka. Dan saat ini wanita itu memancarkan aura seorang pembunuh. Entah apa yang akan terjadi pada mereka jika mereka membuat Aurora kesal. Maka kedua penjaga kemanan itu pun langsung menyingkir, memberi jalan pada Aurora dan Martin. "Silakan masuk
Martin baru saja melewati loket administrasi rumah sakit ketika ponsel di saku celananya bergetar dan bergetar. Kesal, dia mengambilnya sambil bertanya-tanya siapa yang meneleponnya di saat dia sedang terburu-buru seperti ini. Rupanya itu Ben. Martin mengangkatnya dan meminta Ben langsung mengatakan apa yang ingin dikatakannya. [Saya tadi memerintahkan seseorang untuk menemui Anda, Tuan Muda. Mohon maaf saya lupa mengabarkannya.] "Itu saja?" [Iya, Tuan Muda. Dia wanita yang bisa diandalkan. Anda bisa memintanya melakukan sesuatu untuk Anda jika itu dibutuhkan.] Martin tak tertarik. Pikirannya terfokus pada situasi mencurigakan istrinya di Klub Ballein. Dia pun bertanya apakah masih ada hal yang ingin disampaikan Ben padanya. Ketika Ben menjawab "tidak", dia mengakhiri panggilan saat itu juga. Setibanya d iluar, Martin berdiri di trotoar menunggu taksi. Tiba-tiba, sebuah mobil Maserati merah mende
Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si