Untuk apa kau ke sini, Walton? Membuatku kesal?" tanya Julia ketus.
Walton malah melebarkan senyum mencemoohnya, lalu berkata, "Sebentar lagi, kita akan mengadakan rapat khusus untuk membahas Laporan Pertengahan Tahun Wiguna Corp. Di rapat itu, di hadapan dewan direksi, aku akan menyingkirkan kau dari Wiguna Corp. Kamu bisa mulai menghitung hari-hari terakhirmu dari sekarang." Wajah Walton saat mengatakannya benar-benar seperti wajah tokoh-tokoh antagonis di film-film. Dia menutup gertakannya itu dengan tersenyum miring dan mengangkat alis. Julia menarik napas dan menahannya di dada. Dia ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi saking marahnya dia mulutnya terus terkatup dan lidahnya kelu. Barulah setelah Walton keluar dari ruang kerjanya, Julia bisa membuka mulutnya lagi. Terengah-engah, dia letakkan satu tangannya di dada. Matanya berair. Sebentar kemudian setetes air jatuh dari ujung matanya yang kiri. ... Di Harmony Spa, sekitar setengah jam kemudian... Martin baru saja selesai memijat klien. Kini dia sedang mencuci tangan di wastafel toilet. Ponsel di saku celananya berdering. Panggilan masuk dari istrinya. Martin cepat-cepat mengeringkan tangan dengan tisu. "Halo, Julia?" [Martin, kau bisa ke kantor sebentar?] "Ke kantor? Sekarang?" [Iya, sekarang. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu.] Martin terdiam sebentar. Sepertinya istrinya sedang tidak baik-baik saja. Pasti sesuatu hal buruk terjadi di kantor Wiguna Corp. "Oke. Aku ke sana sekarang. Aku siap-siap dulu, ya." [Terima kasih, ya. Aku tunggu.] Percakapan berakhir. Martin langsung ke ruang ganti karyawan dan berganti pakaian. Membawa tas ranselnya, dia menuju ke ruang depan Harmony Spa dengan tekad mantap untuk pulang. Tentu saja, si resepsionis menatapnya heran. "Hey, Martin, kau mau ke mana?" tanyanya sambil memutari meja resepsionis. "Aku mau pulang. Ada urusan mendadak," jawab Martin santai. "Hah? Enak saja! Mana bisa kau pulang begitu saja? Jam kerjamu masih beberapa jam lagi! Aku laporkan ke supervisor-mu loh!" "Laporkan saja. Aku tak peduli. Aku harus pulang sekarang." "Kau!" Si resepsionis menatap Martin dengan amarah yang tertahan. Dia menatap Martin seperti ingin memuntahkan sumpah-serapah padanya. Tapi Martin tak peduli. Kalaupun nanti setelah dilaporkan itu dia dipecat, itu bukan masalah baginya. Saat ini dia telah kembali memiliki akses ke kekayaan Keluarga Linardy. Dia tak lagi butuh pekerjaan ini. Dia pun berpikir mungkin sebaiknya dia berhenti saja supaya bisa fokus membantu istrinya. Singkat cerita, sekitar setengah jam kemudian Martin tiba di kantor Wiguna Corp. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya ke resepsionis di lobi, dia langsung ke ruang kerjanya Julia. Julia tampak lesu dan muram. Martin duduk di kursi kosong di depan Julia, menanyakan padanya apa yang terjadi. Dengan lemas, Julia menjelaskan padanya soal kabar pesta ultah termewah di Hotel Caesars itu. Berkali-kali dia berikan penegasan pada perbedaan antara pesta ultah tersebut dengan pesta ultah putri mereka yang mungkin akan dilangsungkan secara sederhana, di rumah sakit. Martin menyimak dengan penuh empati, kemudian dia bertanya, "Kau tahu siapa yang akan melangsungkan pesta ultah termewah itu, Julia?" Julia menggeleng. "Tidak tahu. Tak ada yang tahu. Katanya pihak hotel masih merahasiakan nama orang itu," katanya. Martin menghela napas. Dia terpikir untuk mengatakan kepada Julia bahwa orang itu adalah dia, bahwa ultah yang akan dirasakan di pesta tersebut adalah ultah putri mereka, Jesina. Martin hampir saja benar-benar mengatakannya kalau saja seseorang tidak mengetuk pintu. Tanpa menunggu izin dari Julia, seseorang itu membuka pintu dan mendorongnya. Muncullah seorang pria dengan rambut klimis dan setelan jas navy yang terlihat eksklusif. Di tangannya dia menggenggam sebuket mawar merah yang tampak indah. "Hai, Julia, kuharap aku tak mengganggumu," ucap pria itu, tersenyum penuh percaya diri. "Matthew? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Julia. Pria itu adalah Matthew Liam, anak tunggal dari salah satu keluarga konglomerat di Kota Hagasa. Sudah sejak lama dengan mengejar-ngejar Julia. Bahkan setelah Julia menikah dengan Martin pun, dia masih terus mencoba mendapatkan Julia. Matthew dan Martin saling menatap satu sama lain. Matthew terlihat kesal, tak mengira akan ada Martin di situ. Martin sendiri manatap Martin dengan dingin. "Ini untukmu," kata Matthew, menyodorkan buket mawar yang dibawanya pada Julia. Senyum percaya diri itu kembali mengembang di wajah Matthew. Dia begitu yakin Julia akan menerima buket tersebut, dan ini akan terasa istimewa sebab saat ini Martin ada bersama mereka. Julia sempat menatap Matthew dengan kening mengernyit, kemudian menggeleng. "Aku tak bisa menerimanya, Matthew. Lagi pula, kau tak perlu membawakan apa pun setiap kali kau menemuiku," ucap Julia. Senyum penuh percaya diri Matthew langsung berubah jadi senyum melengkung ke bawah. Dia tak terima pemberiannya ditolak. Apa karena Julia merasa tak enak kepada Martin? Matthew mendelik pada Martin. Upaya pertamanya gagal, tapi dia masih punya hal lain. Dirogohnya saku jasnya dan dia keluarkan sebuah kotak perhiasan berwarna hitam dengan sentuhan emas. "Kau boleh menolak menerima buket mawar ini, tapi terimalah yang satu ini," katanya, menunjukkan kotak perhiasan itu lalu membukanya. Tampaklah sebuah kalung dari Celestial Charms dengan kilau yang mengesankan. Mata Julia tertuju padanya dengan pupil yang membesar. "Kalung ini harganya 1 miliar 200 juta. Aku berikan padamu karena kau sangat pantas memakainya. Terimalah," kata Matthew. Julia menatap Matthew dengan mulut sedikit terbuka. Matthew lagi-lagi tersenyum penuh percaya diri. Dia berhasil membuat Julia terkesan, tapi ini masih belum selesai. "Sebenarnya kalung ini hanya pemanasan saja. Nanti, Julia, aku juga akan membelikanmu satu set perhiasan edisi spesial dari Flowery. Aku sedang menunggu momen yang tepat untuk menghadiahkan itu padamu," kata Matthew. Pupil mata Julia kembali membesar. Mendengar kata Flowery saja, jantungnya sudah berdegup cepat. Dan Matthew berencana menghadiahkan padanya satu set perhiasan Flowery edisi spesial? Bagaimana mungkin dia tak membayangkannya. Martin menyadari perubahan di raut muka dan sorot mata istrinya. Dia mengangguk-angguk, sadar betul kalau Julia sebenarnya menginginkan perhiasan tersebut. "Ayo, terimalah kalung ini, Julia. Memang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Flowery, tapi ini sudah termasuk perhiasan mahal dan mewah. Kalau kau mengenakan ini saat berada di hadapan orang-orang, mereka akan memperlakukanmu dengan hormat. Aku jamin itu," bujuk Matthew. Julia memandangi kalung di dalam kotak perhiasan di tangan Matthew itu, menghela napas, lalu menatap Matthew lagi. Baru saja Julia akan mengatakan sesuatu kepada Matthew, Martin tiba-tiba berdiri dan mengambil kotak perhiasan itu, menutupnya lantas melemparnya ke tempat sampah. "Istriku tak perlu menerima hadiah perhiasan dari pria mana pun. Aku sendiri yang akan memberikannya perhiasan-perhiasan yang diinginkannya," kata Martin.Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si
Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja. Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya. "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica. "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya. Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis. "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi. Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana: [Klub Ballein. Ruang nomor 888.] Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma
Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina... "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia. Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali. Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!" "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia. Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia. Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit. Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur. Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya. Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat
Saat dia mengecek siapa yang meneleponnya, sorot matanya langsung berubah. Di antara kedua matanya terbentuk dua garis vertikal. "Halo, Om Edwin?" [Billy! Kau ini dungu atau apa, hah? Bisa-bisanya kau mengusir calon pewaris tahta Lozara Group! Cepat bersujud meminta maaf pada beliau atau kau kupecat!] Billy terbelalak dan ternganga. Calon pewaris tahta Lozara Group? Itukah yang baru saja dikatakan pamannya itu? "Om, aku tak mengerti. Siapa yang Om maksud dengan calon pe—" [Orang yang saat ini kau hadapi, bodoh! Martin Linardy. Tuan Muda Keluarga Linardy. Apa kau sebodoh itu sampai-sampai kau tak memahami apa yang kukatakan? Kau mau membuat Keluarga Rooney bangkrut, hah?!] Mata Billy yang telah membesar itu semakin membesar. Mulutnya terbuka lebih lebar. Dagunya seperti akan jatuh ke lantai. [Cepat bersujud minta maaf pada beliau! Dan kabulkan apa pun itu yang beliau minta darimu! Jangan kau tempatkan perusa
Martin mengernyitkan kening. Apakah dia salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Orang bernama Billy di hadapannya ini baru saja mengusirnya. "Apakah ada yang kurang jelas dengan kata-kataku tadi? Mungkin kau salah menafsirkan sesuatu," kata Martin, mencoba berpikir positif terhadap Billy. Billy malah tersenyum mencemooh, lalu berkata, "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini. Aku tak punya waktu untuk mengurusi ocehanmu." Tak ada bentakan atau apa, tapi jelas sekali terasa kalau cara bicara Billy pada Martin telah berubah. Kini tak ada lagi rasa hormat atau sopan santun. Billy telah memosisikan lawan bicaranya sebagai orang yang statusnya jauh berada di bawahnya. Saat Billy hendak beranjak dari tempatnya, Martin menyambar lengannya dan menahannya, menatapnya penuh tanya. "Aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan sebagai CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Mungkin memang terkesan aneh sebab ini dadakan sekali,
Mama! Apa yang Mama lakukan? Kenapa tiba-tiba menampar Martin? Dia baru saja mengantarku pulang loh, Ma!" protes Julia. "Diam kau, Julia!" bentak Fanny. "Kau juga bodoh! Kenapa kau mau-mau saja dihasut si benalu ini! Sudah sampah, miskin lagi! Dia tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia menghasutmu untuk menerimanya, kamu benar-benar terima lagi! Memang kita mampu menjalin hubungan dengan PT Alat Kesehatan Makmur. Dia itu sedang menjebakmu, kamu tahu, tidak?!" "Mama!" "Aku bilang diam!" Ibu dan anak itu saling membentak satu sama lain, sama-sama tak mau kalah. Martin tak nyaman melihatnya. Dia pun menyentuh bahu Julia dan menggeleng, memintanya menahan amarahnya. Kemudian Martin menatap Julia, berkata, "Mama harus percaya pada Julia. Dia pasti men—" "Tutup mulutmu! Masuk sana ke kamarmu! Aku tak mau mendengar apa pun darimu!" potong Fanny. Martin menghela napas. Susah sekali membuat ibu mertuanya ini mengerti aka