Share

pinjam pinjol

Author: NN
last update Last Updated: 2025-05-07 10:32:26

Jason terperenyak. Refleks dia mundur selangkah dan hampir saja jatuh.

"Orang ini... Anda sangat... menghormatinya...?" tanya Jason.

"Iya! Beliau ini junjunganku. Di hadapannya aku hanyalah semut kecil. Berani sekali kalian membuat dia kesal!" jawab Ben.

Deg!

Jason tiba-tiba merasa jantungnya berdegup kencang. Terlalu kencang untuk bisa disebut normal. Kedua tangannya mendadak gemetar.

"Tidak mungkin, Tuan Ben. Anda pasti salah orang. Tidak mungkin dia junjungan Anda. Dia pasti menggunakan trik tertentu. Curi nama orang lain, misalnya. Saat ini dia bisa saja memakai nama orang lain menipu Anda!" kata Jason.

Ben mendengus. Dia melangkah maju, hendak memberi Jason pelajaran, tetapi Martin mengangkat tangan kiri untuk menahannya.

"Aku curi nama orang lain katamu?" Martin balik badan dan menatap Jason lurus.

"Iya, kau pasti curi nama orang lain, kan? Cepat ngaku, dasar penipu! Berani-beraninya kau mengelabui Tuan Ben!" Jason memelototi Martin.

"Tuan Muda, biar saya beri orang ini pelajaran," bisik Ben.

Martin mengangguk. Dia sudah punya rencana di dalam kepalanya.

"Paman Ben, kamu langsung pecat saja Jason ini, sekaligus memasukkan dia ke dalam daftar hitam supaya tak ada satu pun perusahaan besar di kota ini yang mau merekrutnya. Hari ini juga."

"Baik, Tuan Muda."

Jason lagi-lagi terbelalak. Dia tak mengerti kenapa orang seterhormat Benjamin Hermawan mau-mau saja diminta melakukan sesuatu oleh Martin si rakyat jelata. Tapi, ini bukan waktunya dia terheran-heran. Dia terancam dipecat hari ini juga kalau tak segera melakukan sesuatu.

"Ampun, Tuan Muda! Saya mohon ampun! Tolong ampuni saya!"

Tiba-tiba saja Jason bersujud di hadapan Martin dan menatakannya. Robin yang berdiri di belakangnya sampai tercengang dibuatnya.

"Kau bilang apa?" tanya Martin.

"Saya mohon ampun, Tuan Muda. Saya melakukan kesalahan besar karena telah menyinggung orang seperti Anda. Tolong ampuni saya. Tolong jangan meminta Tuan Ben untuk memecat saya," jawab Jason.

Jason menempelkan keningnya ke lantai. Sungguh sebuah pemandangan langka bahwa seorang pria dengan penampilan yang necis sepertinya bersujud sampai seperti itu di hadapan Martin yang berpenampilan teramat biasa.

Jason sendiri sebenarnya enggan melakukan ini. Tapi, ini satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk membuat dirinya tak jadi dipecat, karena dia masih ada banyak pinjol yang perlu dilunasi, kalau tidak lunas bulan ini, tangannya akan dipotong, apalagi sekarang sudah sangat sulit menemukan pekerjaan santai dengan gaji tinggi seperti ini. Jika dia benar-benar dipecat, dia pasti akan dikejar-kejar rentenir!

Akan tetapi...

"Berhentilah bersujud. Apa pun yang kau lakukan dan katakan, Paman Ben tetap akan melakukan apa yang kuperintahkan," ucap Martin.

Jason tercekat. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya mendadak hilang bersama nyalinya. Seluruh tubuhnya gemetar.

Martin sendiri tersenyum miring. Kini dia menatap Robin. Muka Robin mendadak pucat.

"Kau sendiri bagaimana? Kau ingin tetap bekerja di sini?" tanya Martin sambil mengangkat dagu.

"Mohon maaf atas kelancangan saya, Tuan Muda. Tolong biarkan saya tetap bekerja di sini," kata Robin sambil membungkuk begitu rendah.

Martin mengamatinya sambil berpikir. Tadi Robin juga begitu kurang ajar baginya. Tapi paling tidak, dia bisa membaca situasi dengan cepat. Dia tak lagi bertingkah kurang ajar setelah Ben muncul.

"Baiklah. Akan kubiarkan kau tetap bekerja di sini, tapi dengan satu syarat: hajar si manajer sombong ini sampai dia babak-belur!"

Deg!

Kompak, mata Robin dan Jason membulat. Robin menegakkan punggungnya, menatap Martin dengan muka cemas.

"Lakukan apa yang kuminta kalau kau memang masih ingin bekerja di sini," ucap Martin.

Robin tampak bingung. Dia melirik Jason dengan ujung matanya, membayangkan dia menendang-nendang Jason. Pantaskah dia melakukannya?

Tapi dia tak punya pilihan lain, bukan? Dia harus terus bekerja untuk menghidupi istri dan anaknya.

Maka dia pun mendekati Jason. Jason yang semula bersujud itu langsung berjongkok dan bertanya, "Mau apa kau?"

Buk!

Robin menendangnya tepat di pipinya, membuat Jason berguling-guling dan mengaduh. Tak berhenti di situ, dia tendang-tendang lagi Jason di punggungnya. Bunyi tendangannya beradu dengan bunyi mengaduh Jason.

Melihatnya, Martin tersenyum miring, tampak puas.

"Tuan Muda, mari kita masuk," kata Ben.

Martin balik badan. Ben membukakan pintu untuknya dan Martin pun masuk.

...

Satu jam kemudian, Martin sudah kembali berada di rumah sakit.

Berjalan dengan langkah-langkah cepat, dia menjinjing koper hitam berisi uang tunai 200 juta itu.

Setibanya dia di ruang rawat inap Jesina dia langsung membuka pintu ruangan tersebut dan masuk.

Bruk!

"Ini uang 200 juta yang kalian minta,"ucapnya tegas setelah menaruh koper hitam itu di depannya.

Mereka yang ada di ruangan itu menatapnya penuh tanya. Tak satu pun dari mereka bicara, hingga akhirnya Walton tertawa meledek.

"Ya ampun, Julia, suamimu ini benar-benar sinting. Dia pikir dia bisa menipu kita dengan membawa koper seperti ini? Dia pikir kita bodoh apa?" cemoohnya.

Sreeet!

Martin mendorong koper di depannya dengan kakinya. Koper itu pun kini berada tepat di depan Walton.

"Buka saja kalau kau tak percaya," tantang Martin.

Walton menatapnya jengah. Dia tak terima ditantang oleh Martin di hadapan orang-orang.

"Awas kau, ya! Kalau sampai isinya bukan uang 200 juta yang kau sebut, akan kuhajar kau!" gertak Walton.

Martin bergeming di tempatnya. Dia amati Walton yang berjongkok untuk membuka koper tersebut.

Martin sengaja tak memasang kode atau sandi apa pun. Siapa pun bisa membuka koper tersebut dengan mudah.

Dan ketika koper tersebut terbuka, mata Walton terbelalak. Vina yang berdiri di belakangnya juga ikutan terbelalak. Wanita glamor itu menutup mulutnya yang ternganga dengan satu tangan.

"Apa isinya? Beneran uang?" tanya Fanny.

"Iya, Tante. Isinya beneran uang," jawab Vina.

"Coba kau cek dulu, Walton. Jangan-jangan itu uang palsu,"cetus Benny.

"Ah, kau benar juga, Om. Aku pastikan dulu," kata Walton.

"Cek saja semuanya, sekalian dihitung," timpal Martin, tersenyum miring.

Mereka langsung menatapnya dengan benci. Mereka tak percaya Martin bisa mendapatkan uang tunai 200 juta dalam waktu kurang dari dua jam. Mereka yakin ada yang salah dengan bergepok-gepok uang di koper hitam itu.

Namun setelah Walton mengeceknya, mereka tak menemukan kesalahan apa pun. Semua uang di koper itu asli, dan jumlahnya persis 200 juta. Tak ada yang kurang ataupun ganjil.

Mereka pun kembali menatap Martin, kali ini dengan tanda tanya besar di dahi mereka. Walton memasukkan lagi uang itu ke koper dan menutupnya, lalu berdiri dan bertanya, "Dari mana kau mendapatkan uang ini? Kau habis merampok toko, hah?"

Martin memicingkan mata. Tuduhan macam apa itu? Sungguh menggelikan!

"Jawab, Martin! Dari mana kau mendapatkan uang ini? Kalau ini uang haram, kami tak sudi menerimanya!" kata Fanny.

Martin berdecak kesal. Dia sudah membawa uang yang mereka minta, dan mereka sudah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kalau uang itu asli, tapi masih saja ada yang mereka permasalahkan!

"Uang itu halal sehalal-halalnya. Kau tak perlu khawatir, Ma," kata Martin.

Tatapan Fanny kepadanya masih sama. Tampaknya tak seorang pun di ruangan itu berhasil diyakinkan oleh ucapan Martin barusan. Bahkan Julia menatapnya cemas.

"Uang siapa yang kau bawa ini? Jelaskan atau kami tak akan menerimanya," ancam Benny.

Martin menatap kakek istrinya itu dengan kesal. Haruskah dia katakan yang sesungguhnya? Haruskah dia biarkan orang-orang menyebalkan ini tahu siapa dia sebenarnya?

"Dari pinjol. Aku baru saja meminjamnya," kata Martin akhirnya.

Dia merasa masih belum saatnya mengungkapkan identitasnya yang sesungguhnya, jika ketahuan si wanita licik itu, istri putrinya akan berbahaya. Adapun soal pinjol, itu adalah hal pertama yang melintas di benaknya. Setidaknya itu penjelasan yang masuk akal.

"Sudah kuduga! Tak mungkin orang tak berguna sepertimu bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu singkat. Rupanya lewat jalur pinjol!" cela Walton.

"Memalukan sekali! Kau mau menyeret istri dan anakmu ke dalam utangmu ini, Martin?" ledek Vina.

"Astaga! Sekalinya membawa 200 juta, ternyata lewat jalur pinjol. Kau ini memang sampah, Martin!" semprot Fanny.

Martin menatap mereka semua dengan dada kembang-kempis. Orang-orang ini sungguh luar biasa. Tampaknya apa pun yang dilakukannya akan dinilai buruk oleh mereka. Apa pun itu!

"Kuakui, Martin, kau berhasil membawa 200 juta seperti yang kuminta. Tapi caramu mendapatkannya... menunjukkan betapa rendah kualitasmu sebagai seorang pria dewasa," ucap Benny.

Martin mendelik pada kakek istrinya itu. Dia sungguh muak. Muak semuak-muaknya.

Di titik ini, terdengar ketukan di pintu.

"Permisi. Ini ada kiriman khusus untuk keluarga pasien," seorang perawat membuka pintu dan masuk.

Di belakangnya, beberapa pria dengan setelan jas yang necis ikut masuk mendorong sesuatu yang asing—semacam alat medis.

Ikut masuk juga seorang pria dengan setelan jas lab putih bersih yang membuatnya terkesan agung layaknya bangsawan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   mendesak

    Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu.  Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan.  Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya.  Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya.  Trang!  "Ah!"  Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan.  "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   lingeri

    Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja.  Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya.  "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica.  "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya.  Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis.  "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi.  Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana:  [Klub Ballein. Ruang nomor 888.]  Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   di ruang rawat inap

    Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina...   "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia.   Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali.   Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!"   "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia.   Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia.   Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit.   Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur.   Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya.   Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   ancaman

    Saat dia mengecek siapa yang meneleponnya, sorot matanya langsung berubah. Di antara kedua matanya terbentuk dua garis vertikal.  "Halo, Om Edwin?"  [Billy! Kau ini dungu atau apa, hah? Bisa-bisanya kau mengusir calon pewaris tahta Lozara Group! Cepat bersujud meminta maaf pada beliau atau kau kupecat!]  Billy terbelalak dan ternganga. Calon pewaris tahta Lozara Group? Itukah yang baru saja dikatakan pamannya itu?  "Om, aku tak mengerti. Siapa yang Om maksud dengan calon pe—"  [Orang yang saat ini kau hadapi, bodoh! Martin Linardy. Tuan Muda Keluarga Linardy. Apa kau sebodoh itu sampai-sampai kau tak memahami apa yang kukatakan? Kau mau membuat Keluarga Rooney bangkrut, hah?!]  Mata Billy yang telah membesar itu semakin membesar. Mulutnya terbuka lebih lebar. Dagunya seperti akan jatuh ke lantai.  [Cepat bersujud minta maaf pada beliau! Dan kabulkan apa pun itu yang beliau minta darimu! Jangan kau tempatkan perusa

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   tersinggung

    Martin mengernyitkan kening. Apakah dia salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Orang bernama Billy di hadapannya ini baru saja mengusirnya.  "Apakah ada yang kurang jelas dengan kata-kataku tadi? Mungkin kau salah menafsirkan sesuatu," kata Martin, mencoba berpikir positif terhadap Billy.  Billy malah tersenyum mencemooh, lalu berkata, "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini. Aku tak punya waktu untuk mengurusi ocehanmu."  Tak ada bentakan atau apa, tapi jelas sekali terasa kalau cara bicara Billy pada Martin telah berubah. Kini tak ada lagi rasa hormat atau sopan santun. Billy telah memosisikan lawan bicaranya sebagai orang yang statusnya jauh berada di bawahnya.  Saat Billy hendak beranjak dari tempatnya, Martin menyambar lengannya dan menahannya, menatapnya penuh tanya.  "Aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan sebagai CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Mungkin memang terkesan aneh sebab ini dadakan sekali,

  • Menantu Sampah Ternyata Tuan Muda   tutup mulutmu

    Mama! Apa yang Mama lakukan? Kenapa tiba-tiba menampar Martin? Dia baru saja mengantarku pulang loh, Ma!" protes Julia.  "Diam kau, Julia!" bentak Fanny. "Kau juga bodoh! Kenapa kau mau-mau saja dihasut si benalu ini! Sudah sampah, miskin lagi! Dia tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia menghasutmu untuk menerimanya, kamu benar-benar terima lagi! Memang kita mampu menjalin hubungan dengan PT Alat Kesehatan Makmur. Dia itu sedang menjebakmu, kamu tahu, tidak?!"  "Mama!"  "Aku bilang diam!"  Ibu dan anak itu saling membentak satu sama lain, sama-sama tak mau kalah. Martin tak nyaman melihatnya. Dia pun menyentuh bahu Julia dan menggeleng, memintanya menahan amarahnya.  Kemudian Martin menatap Julia, berkata, "Mama harus percaya pada Julia. Dia pasti men—"  "Tutup mulutmu! Masuk sana ke kamarmu! Aku tak mau mendengar apa pun darimu!" potong Fanny.  Martin menghela napas. Susah sekali membuat ibu mertuanya ini mengerti aka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status