Benarkah itu, Tuan Muda? Anda berkenan kembali?]
Ben terdengar antusias. Martin bisa membayangkan di jauh sana Ben tersenyum lebar. "Iya, aku akan kembali, dengan syarat kau memberiku 200 juta hari ini juga,"kata Martin. [200 juta? Asal Tuan Muda mau kembali, 2 miliar juga akan aku langsung siapkan!] Martin memikirkannya sebentar. Transaksi via M-banking memang sangat praktis. Uang itu bisa didapatkannya dalam waktu kurang dari satu menit. Tapi, dia punya ide lain. "Aku butuh uang tunai. Aku ingin kau menyiapkan satu koper uang berisi 200 juta hari ini juga. Bisa?" [Ah, baik. Siap, Tuan Muda. Segera saya siapkan satu koper uang yang Anda minta. Saya bawakan kopernya ke tempat Anda saat ini berada?] "Jangan. Kau jangan ke sini. Biar aku saja yang membawa koper itu nanti. Kau tentukan saja di mana aku harus mengambilnya." [Oh, kalau begitu, Anda bisa pergi ke Sapphire Sky. Nanti Anda bisa ke resepsionis kalau Anda mencari saya.] Sapphire Sky adalah salah satu kelab malam termewah di pusat kota. Mereka yang berkunjung ke sana bisa menggelontorkan ratusan hingga miliaran rupiah setiap malamnya. "Oke. Aku akan tiba di sana dalam setengah jam." [Baik, Tuan Muda. Harap berhati-hati di perjalanan.] Martin mengakhiri panggilan. Dia percepat langkah kakinya. Sekeluarnya dari rumah sakit dia langsung ke pinggir jalan dan menyetop taksi. Setengah jam kemudian, Martin tiba di Sapphire Sky. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di situ lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Dulu sekali, dia kerap menghabiskan waktu di situ ketika sedang suntuk atau penat. "Ada keperluan apa?" tanya seorang pria tinggi-besar mengenakan jeans dan kaus hitam. Martin menatapnya. Di kaus pria itu terpasang nametag dengan tulisan Robin. Di pinggangnya tersarung tongkat kejut listrik. Tak salah lagi, dia adalah penjaga keamanan kelab. "Aku mau masuk. Mau ketemu orang," kata Martin ketus. Di perjalanan tadi dia sempat terjebak macet beberapa kali dan itu membuatnya kesal. Dia ingin cepat-cepat masuk dan mengambil koper berisi uang 200 juta itu. "Siapa orang yang mau kau temui?" tanya Robin sambil memindai Martin dari ujung sepatu hingga ujung rambut. Tatapan merendahkan pun diberikannya. Penampilan Martin terlampau biasa untuk seseorang yang hendak menghabiskan waktu di Sapphire Sky. Bahkan kalaupun dia datang untuk menemui seseorang seperti yang dikatakannya, Robin tak yakin Martin kenal dengan seseorang di dalam sini. "Benjamin Hermawan. Dia memintaku datang ke sini," kata Martin. Robin mengernyitkan kening. Bukankah Benjamin ini nama bos? Sebentar kemudian, mata Robin membulat. Robin tahu kalau Benjamin Hermawan memang sedang ada di dalam. Robin kemudian menatap Martin bingung. Apa benar pria berpenampilan teramat biasa ini berteman dengan pria terhormat nan berkelas seperti Benjamin Hermawan? "Hey, kau! Jangan macam-macam, ya! Kau tidak asal menyebut nama orang penting hanya untuk bisa masuk ke Sapphire Sky, kan?" kata Robin dengan muka angkuh. Martin mendengus kesal. Penjaga keamanan ini benar-benar menguji kesabarannya. "Aku buru-buru. Menyingkirlah dan biarkan aku masuk," pinta Martin. Giliran Robin yang mendengus. Dia ingin sekali menonjok Martin, tapi dia masih harus mendengarkan apa-apa yang dijelaskan si resepsionis padanya. "Begini saja," kata Robin sambil mencantolkan lagi walkie-talkie di pinggangnya, "aku beri kau kesempatan untuk pergi. Ini Sapphire Sky, kelab malam untuk orang-orang super kaya dan berkelas. Gembel sepertimu tidak diterima di sini." "Gembel katamu?" Martin memicingkan mata. Dia kepalkan tangannya yang kanan. "Iya, gembel. Kalau kau mau minum-minum sampai mabuk, kau pergi saja ke kelab malam biasa di pinggiran kota. Di sana kau bisa bertemu dengan gembel-gembel lain." "Bukankah sudah kubilang kalau aku ke sini untuk menemui Benjamin Hermawan? Dia ada di dalam, kan? Kenapa kau tak biarkan aku masuk?" "Cih! Masih saja mencoba menipuku, hah! Kau pikir gembel sepertimu bisa berteman dengan pria berkelas seperti beliau? Jangan mimpi kau!" Kepalan tangan Martin menguat. Darahnya mendidih. Rasa-rasanya dia ingin meludahi Robin tepat di mukanya. "Ada apa ini?" Seorang pria berkacamata dengan setelan jas hitam muncul dari pintu kelab yang terbuka. Di pergelangan tangan kirinya ada jam tangan rolex berlapis emas. "Pak Jason, ini ada orang yang mengaku-aku datang untuk menemui bos kita," kata Robin. Jason berjalan hingga berhenti tepat di samping Robin. Seperti halnya Robin tadi, dia memindai Martin dari ujung sepatu hingga ujung rambut. "Kau yang mengaku-ngaku datang untuk menemui Tuan Ben?" tanya Jason. "Iya. Cepat biarkan aku masuk sebab aku tak punya banyak waktu!" jawab Martin. Jason tersenyum mencemooh. Dia mengeluarkan ponselnya lalu mulai merekam dirinya sendiri. "Halo, Guys. Aku Jason, salah satu Manajer di Sapphire Sky. Ini ada rakyat jelata yang datang ke Sapphire Sky dan mengaku-aku berteman dengan Benjamin Hermawan." "Ya ampun. Halu pasti dia ini. Jangankan berteman, dia kenal dengan beliau saja itu sudah tak mungkin. "Benjamin Hermawan bukan orang yang bisa dijangkau orang kebanyakan. Bahkan aku saja yang sudah bekerja di Sapphire Sky selama bertahun-tahun belum punya kesempatan untuk mengobrol dengannya. "Ketahuan sekali, kan, bohongnya orang ini? Well, namanya juga rakyat jelata. Bisa apa lagi dia selain bohon? Sialnya dia, kali ini bohongnya kebangetan!" Di tengah-tengah melontarkan olok-oloknya yang kurang ajar itu, Jason mengarahkan kamera ponselnya ke Martin, merekam dengan jelas wajah Martin yang tak bersahabat. Dia senang dengan hal itu. Nanti dia akan mengunggah rekaman video tersebut ke salah satu akun media sosialnya. Akan dia bagikan juga postingan itu ke teman-teman nongkrongnya. Di titik ini, Martin geleng-geleng kepala. Dia ambil ponselnya dan menelepon Ben. "Paman Ben, aku beri kamu satu menit untuk segera membawa koper uang itu ke bawah," perintah Martin. Jason dan Robin bertukar pandang sebentar dan mengernyitkan kening. Mereka lalu kembali menatap Martin. Jason menyeringai dan mulai merekam lagi. "Aku harus cepat kembali ke rumah sakit," ucap Martin. Selang satu detik, dia mengakhiri panggilan. Dimasukkannya lagi ponselnya ke saku. Ditatapnya dua orang bodoh di hadapannya itu dengan mata memicing. "Guys, masih soal si rakyat jelata tadi nih. Jadi, barusan itu dia bertingkah seolah-olah menelepon Benjamin Hermawan dan memintanya keluar untuk menjemputnya. Gila! Bisa-bisanya dia sehalu itu. Jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Hahaha..." Jason tertawa lepas dan kencang. Robin di sampingnya tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. Mereka tampak sangat menikmati momen ini. "Apalagi sekarang? Masih ada pertunjukan yang mau kau persembahkan, wahai rakyat jelata?" ledek Jason sambil mengangkat kedua alisnya. Martin tak mengatakan apa pun. Dia sudah jengah berurusan dengan dua orang ini. Dia harap Ben akan muncul dalam beberapa detik. Saat itulah, pintu didorong dari dalam dengan kasar. Robin dan Jason refleks menoleh ke belakang, dan mereka terdiam mendapati Ben berdiri di ambang pintu dengan muka kesal. "Tuan Ben..." Hanya itu yang bisa dikatakan Jason. Meskipun dia menilai dirinya berkelas, dia tak punya cukup rasa percaya diri untuk berinteraksi dengan seseorang seperti Ben. Ben melirik sekilas pada Jason lalu mengabaikannya, berjalan lurus ke arah Martin. "Silakan masuk, Tuan Muda. Koper Anda sudah siap," ucap Ben. Jason seketika terbelalak, begitu juga Robin. Mereka saling menatap dengan muka bingung. "Anu... Tuan Ben... Anda mengenal orang ini...?" Jason memberanikan diri untuk bertanya. Ben mendelik padanya, berkata, "Pria ini adalah orang yang sangat kuhormati. Kalian akan membayar mahal karena tak membiarkannya masuk dan malah mengusirnya!" ...Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si
Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja. Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya. "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica. "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya. Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis. "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi. Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana: [Klub Ballein. Ruang nomor 888.] Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma
Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina... "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia. Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali. Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!" "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia. Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia. Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit. Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur. Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya. Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat
Saat dia mengecek siapa yang meneleponnya, sorot matanya langsung berubah. Di antara kedua matanya terbentuk dua garis vertikal. "Halo, Om Edwin?" [Billy! Kau ini dungu atau apa, hah? Bisa-bisanya kau mengusir calon pewaris tahta Lozara Group! Cepat bersujud meminta maaf pada beliau atau kau kupecat!] Billy terbelalak dan ternganga. Calon pewaris tahta Lozara Group? Itukah yang baru saja dikatakan pamannya itu? "Om, aku tak mengerti. Siapa yang Om maksud dengan calon pe—" [Orang yang saat ini kau hadapi, bodoh! Martin Linardy. Tuan Muda Keluarga Linardy. Apa kau sebodoh itu sampai-sampai kau tak memahami apa yang kukatakan? Kau mau membuat Keluarga Rooney bangkrut, hah?!] Mata Billy yang telah membesar itu semakin membesar. Mulutnya terbuka lebih lebar. Dagunya seperti akan jatuh ke lantai. [Cepat bersujud minta maaf pada beliau! Dan kabulkan apa pun itu yang beliau minta darimu! Jangan kau tempatkan perusa
Martin mengernyitkan kening. Apakah dia salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Orang bernama Billy di hadapannya ini baru saja mengusirnya. "Apakah ada yang kurang jelas dengan kata-kataku tadi? Mungkin kau salah menafsirkan sesuatu," kata Martin, mencoba berpikir positif terhadap Billy. Billy malah tersenyum mencemooh, lalu berkata, "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini. Aku tak punya waktu untuk mengurusi ocehanmu." Tak ada bentakan atau apa, tapi jelas sekali terasa kalau cara bicara Billy pada Martin telah berubah. Kini tak ada lagi rasa hormat atau sopan santun. Billy telah memosisikan lawan bicaranya sebagai orang yang statusnya jauh berada di bawahnya. Saat Billy hendak beranjak dari tempatnya, Martin menyambar lengannya dan menahannya, menatapnya penuh tanya. "Aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan sebagai CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Mungkin memang terkesan aneh sebab ini dadakan sekali,
Mama! Apa yang Mama lakukan? Kenapa tiba-tiba menampar Martin? Dia baru saja mengantarku pulang loh, Ma!" protes Julia. "Diam kau, Julia!" bentak Fanny. "Kau juga bodoh! Kenapa kau mau-mau saja dihasut si benalu ini! Sudah sampah, miskin lagi! Dia tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia menghasutmu untuk menerimanya, kamu benar-benar terima lagi! Memang kita mampu menjalin hubungan dengan PT Alat Kesehatan Makmur. Dia itu sedang menjebakmu, kamu tahu, tidak?!" "Mama!" "Aku bilang diam!" Ibu dan anak itu saling membentak satu sama lain, sama-sama tak mau kalah. Martin tak nyaman melihatnya. Dia pun menyentuh bahu Julia dan menggeleng, memintanya menahan amarahnya. Kemudian Martin menatap Julia, berkata, "Mama harus percaya pada Julia. Dia pasti men—" "Tutup mulutmu! Masuk sana ke kamarmu! Aku tak mau mendengar apa pun darimu!" potong Fanny. Martin menghela napas. Susah sekali membuat ibu mertuanya ini mengerti aka