Benny dan yang lainnya tercengang. Mereka tak mengira Martin akan berbuat sejauh itu.
Dengan menyobek-nyobek dokumen perceraian itu tepat di hadapan Benny, secara tak langsung Martin sedang menantang Benny dan Keluarga Wiguna. "Keparat! Berani-beraninya kau melakukan ini!" semprot Benny sambil memelototkan matanya. "Aku bersumpah aku tak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya rumah sakit! Kau yang harus menanggungnya!" lanjutnya sambil menekan-nekankan jari telunjuknya ke dada Martin. Martin bergeming. Dia tahu dia telah melakukan sesuatu yang mungkin akan disesalinya nanti. Tapi dia tak punya pilihan. Dia tak akan bercerai dengan Julia apa pun yang terjadi. "Tak masalah. Aku akan mendonorkan sumsum tulang belakangku dan melunasi semua biayanya. Kalian tak perlu merogoh kocek sedikit pun!" kata Martin, menatap sepasang mata kakek istrinya tanpa berkedip. Julia terkejut dengan apa yang dikatakan Martin. Matanya membesar dan mulutnya menganga. Apakah Martin hendak mengorbankan dirinya? Meski transplantasi sumsum tulang belakang kemungkinan berhasil, bisa saja nanti ada efek samping merepotkan yang akan dirasakan Martin. Bagaimana kalau Martin mengalami komplikasi serius? "Enak saja! Kau pikir aku sudi menerima donor sumsum tulang belakang darimu untuk Jesina? Tak akan kubiarkan itu terjadi!" tolak Benny. "Aku juga tak sudi. Jessica itu cucuku. Kau tak boleh mengotori tubuhnya!" tambah Fanny. Martin menatap kedua mertuanya ini satu per satu. Lama-lama dia jengah juga. Sebenarnya apa mau mereka? "Heh, Martin, kau tak usah sok pahlawan deh. Mendingan kau kumpulkan saja uang 200 juta itu. Itu pun kalau kau mampu," cemooh Walton. "Ya ampun, Sayang. Jangankan 200 juta, 10 juta saja belum tentu dia mampu mengumpulkannya. Dia kan setakberguna itu orangnya," Vina ikut-ikutan. "Sudah, sudah. Kalian ini kenapa sih? Ini rumah sakit loh! Jangan ribut di sini! Biarkan Jesina istirahat! Kalian tak kasihan padanya?" sela Julia sambil mengelus-elus kening purtinya. Dia benar-benar kesal dengan kelakuan keluarganya. Tapi dia juga kesal dengan tingkah Martin. Menurutnya merobek-robek dokumen perceraian itu berlebihan. Gara-gara itu kakeknya jadi naik pitam. "Martin, kalau kau memang ingin membuktikan bahwa kau bisa diandalkan, segeralah lakukan sesuatu. Kita butuh uang itu secepatnya. Dokter bilang kondisi Jesina bisa saja memburuk sewaktu-waktu," kata Julia, menatap Martin sedih. Martin kembali merasa dadanya sesak. Kalau istrinya sudah berkata seperti itu, mau tidak mau dia harus mengumpulkan 200 juta itu. Dia pun memutar otak, mencari-cari solusi yang terjangkau olehnya. Ting! Sesuatu terpikirkan olehnya. "Akan kudapatkan uang itu. Akan kubuktikan pada kalian kalau aku bisa memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ayah dan suami!" katanya. Keluarga Wiguna menanggapi omongannya itu dengan tatapan meremehkan. Martin tak peduli. Dia keluar dari ruangan itu dan berjalan menyeberangi koridor, duduk berjongkok menghadap kolam ikan kecil. Di situ, dia menelepon seorang teman dekatnya, Jordan. "Jordan, aku bisa minta tolong?" [Kenapa, Bro? Kau sedang butuh pertolongan apa dariku?] "Aku mau minta tolong dipinjami uang 200 juta. Ini darurat. Putriku kena leukimia." Hening sebentar. Jordan seperti sedang memikirkan apa yang harus dikatakannya. "Kau ada uangnya, kan? Nanti pasti kuganti. Janji." [Sebenarnya uangnya ada, Bro, tapi...] "Tapi apa?" [Heh, Martin! Jangan lagi kau pinjam uang ke Jordan! Tiga bulan lagi kami menikah!] Martin menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga. Yang barusan bicara bukanlah Jordan melainkan pacarnya. Dia mengatakannya dengan separuh berteriak. "Maaf, Agnes. Aku tak bermaksud apa-apa. Aku sangat membutuhkan uang itu untuk menolong putriku. Dia harus segera di—" [Aku tak peduli! Itu bukan urusanku dan bukan juga urusan Jordan! Kalau kau tak punya uangnya, ya biarkan saja putrimu itu mati! Jangan ganggu Jordan lagi!] Tuuut... tuuut... Agnes mengakhiri panggilan begitu saja, meninggalkan Martin yang terdiam dengan mata membulat. Dia bisa memahami kecemasan Agnes. Tapi, dia tak perlu sampai mengatakan sesuatu sejahat itu. Dia keterlaluan! Martin menunduk lemas. Dia tak punya banyak teman. Dan di antara teman-temannya yang sedikit itu, tak banyak yang bisa dimintainya tolong di saat-saat seperti ini. Lantas bagaimana dia akan mendapatkan uang 200 juta itu? Ke mana dia harus mencarinya? "Martin, kau baik-baik saja?" Suara Julia mengagetkannya. Martin langsung menoleh dan berdiri. "Ada apa, Julia? Kenapa kau keluar?" tanya Martin. "Anu... aku minta maaf kalau barusan aku terlalu keras padamu. Aku tak bermaksud menyinggungmu atau apa," kata Julia. Butuh waktu beberapa detik bagi Martin untuk memahami apa yang dimaksud Julia. Dan ketika dia hendak mengatakan sesuatu untuk menenangkan Julia, istrinya itu menunjukkan hasil tangkapan layar di ponselnya. "Aku sudah mentransfer 200 juta ke rekeningmu. Kau pakailah uang ini untuk melunasi biaya rumah sakitnya Jesina. Tapi, jangan sampai kakek atau ibu tahu. Kalau mereka tanya kau dapatkan uangnya dari mana, bilang saja kau dapat pinjaman atau apa. Oke?" cerocos Julia. Pupil Martin melebar. Dia tak menduga istrinya akan berbuat sejauh itu untuk melindungi citranya di hadapan keluarganya. Tapi pantaskah dia menerima bantuannya ini? Tidakkah itu membuatnya terlihat menyedihkan? Lagi pula, setahu dia, tabungan Julia juga semakin menipis. "Julia, aku tak bisa menerima ini. Aku transfer balik saja, ya. Kau butuh uang ini untuk mengembangkan bisnis kuliner yang belum lama ini kau mulai," ucap Martin. Julia menggeleng. "Tak usah pikirkan itu," ucapnya. "Saat ini Jesina lebih membutuhkan uang ini. Aku juga tak terima mereka tadi menghina-hinamu separah itu." Martin ingin membantah lagi tapi Julia mengangkat telunjuknya. "Sudah. Sekarang ayo kembali ke dalam. Bilang ke mereka kalau kau sudah mendapatkan uangnya. Buat mereka bungkam!" ajak Julia. Martin menghela napas. Senyum tipis terbit di wajahnya. Dia terharu dengan bantuan dan dukungan Julia. Julia selalu bersamanya meskipun selama empat tahun ini dia belum juga bisa membuktikan diri. Mereka berdua pun balik badan dan berjalan kembali ke ruang rawat inapnya Jesina. Yang tak mereka tahu, beberapa saat yang lalu Vina sempat keluar dan menguping percakapan mereka. Vina telah menceritakan apa yang didengarnya itu pada Walton dan yang lainnya. "Memalukan! Di zaman modern seperti ini masih ada saja pria tak tahu diri yang mengandalkan uang istrinya!" kata Vina setelah Julia dan Martin masuk. "Benarkah itu, Julia? Kau baru saja mentransfer 200 juta ke rekening suamimu yang tak berguna ini?" tanya Fanny. "Apa sih yang kau pikirkan, Julia? Kenapa kau masih saja membela si payah ini? Kalau kau bercerai dengannya, kau pasti bisa mendapatkan pria kaya-raya yang akan memberimu uang bulanan puluhan hingga ratusan juta!" ujar Benny. Julia menatap mereka dengan muka memerah. Tangannya terkepal. "Aku dan Martin tak akan bercerai! Tak akan!" katanya dengan nada agak tinggi. Keluarganya sempat tersentak, tapi kemudian muka mereka menjadi garang. "Cukup, Julia! Berhenti membela orang yang tak seharusnya kau bela!" tegur Benny sambil melotot. "Dan kau, Martin, sudah saatnya kau sadar kalau kau hanyalah benalu di keluarga ini! Kau bukan saja tak bisa menghidupi putriku, kau juga menguras tabungannya! Seharusnya kau malu pada dirimu!" sambungnya sambil menunjuk Martin. Martin menatap kakek istrinya itu dengan mulut terkatup. Rahangnya menegang dan tangannya terkepal. "Percuma bicara pada orang miskin, Kakek. Orang miskin kan biasanya bodoh," cemooh Walton, tersenyum menghina. Martin mendelik padanya. Dia juga mendelik pada Vina yang mengacungkan jari tengah padanya sambil tersenyum miring. "Martin, kau tak apa-apa?" Julia menatap Martin cemas. Martin menatap istrinya sebentar, lalu menatap yang lainnya di ruangan itu satu per satu. "Uang yang barusan ditransfer Julia ke rekeningku akan kutransfer balik. Aku akan mencari uang 200 juta dolar itu dengan tanganku sendiri. Itu janjiku pada kalian semua!" ucapnya lantang. Tak ada tanggapan apa pun dari mereka selain sorot mata dan gestur meremehkan. Martin balik badan, keluar lagi dari ruangan itu, kali ini berjalan cepat-cepat di koridor. Dia mengambil ponselnya, mencari-cari nama Ben di daftar kontaknya, lalu meneleponnya. Ben langsung mengangkatnya di dering pertama. "Paman Ben, aku berubah pikiran. Aku akan kembali tapi dengan satu syarat."Julia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si
Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja. Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya. "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica. "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya. Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis. "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi. Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana: [Klub Ballein. Ruang nomor 888.] Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma
Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina... "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia. Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali. Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!" "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia. Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia. Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit. Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur. Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya. Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat
Saat dia mengecek siapa yang meneleponnya, sorot matanya langsung berubah. Di antara kedua matanya terbentuk dua garis vertikal. "Halo, Om Edwin?" [Billy! Kau ini dungu atau apa, hah? Bisa-bisanya kau mengusir calon pewaris tahta Lozara Group! Cepat bersujud meminta maaf pada beliau atau kau kupecat!] Billy terbelalak dan ternganga. Calon pewaris tahta Lozara Group? Itukah yang baru saja dikatakan pamannya itu? "Om, aku tak mengerti. Siapa yang Om maksud dengan calon pe—" [Orang yang saat ini kau hadapi, bodoh! Martin Linardy. Tuan Muda Keluarga Linardy. Apa kau sebodoh itu sampai-sampai kau tak memahami apa yang kukatakan? Kau mau membuat Keluarga Rooney bangkrut, hah?!] Mata Billy yang telah membesar itu semakin membesar. Mulutnya terbuka lebih lebar. Dagunya seperti akan jatuh ke lantai. [Cepat bersujud minta maaf pada beliau! Dan kabulkan apa pun itu yang beliau minta darimu! Jangan kau tempatkan perusa
Martin mengernyitkan kening. Apakah dia salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Orang bernama Billy di hadapannya ini baru saja mengusirnya. "Apakah ada yang kurang jelas dengan kata-kataku tadi? Mungkin kau salah menafsirkan sesuatu," kata Martin, mencoba berpikir positif terhadap Billy. Billy malah tersenyum mencemooh, lalu berkata, "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini. Aku tak punya waktu untuk mengurusi ocehanmu." Tak ada bentakan atau apa, tapi jelas sekali terasa kalau cara bicara Billy pada Martin telah berubah. Kini tak ada lagi rasa hormat atau sopan santun. Billy telah memosisikan lawan bicaranya sebagai orang yang statusnya jauh berada di bawahnya. Saat Billy hendak beranjak dari tempatnya, Martin menyambar lengannya dan menahannya, menatapnya penuh tanya. "Aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan sebagai CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Mungkin memang terkesan aneh sebab ini dadakan sekali,
Mama! Apa yang Mama lakukan? Kenapa tiba-tiba menampar Martin? Dia baru saja mengantarku pulang loh, Ma!" protes Julia. "Diam kau, Julia!" bentak Fanny. "Kau juga bodoh! Kenapa kau mau-mau saja dihasut si benalu ini! Sudah sampah, miskin lagi! Dia tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia menghasutmu untuk menerimanya, kamu benar-benar terima lagi! Memang kita mampu menjalin hubungan dengan PT Alat Kesehatan Makmur. Dia itu sedang menjebakmu, kamu tahu, tidak?!" "Mama!" "Aku bilang diam!" Ibu dan anak itu saling membentak satu sama lain, sama-sama tak mau kalah. Martin tak nyaman melihatnya. Dia pun menyentuh bahu Julia dan menggeleng, memintanya menahan amarahnya. Kemudian Martin menatap Julia, berkata, "Mama harus percaya pada Julia. Dia pasti men—" "Tutup mulutmu! Masuk sana ke kamarmu! Aku tak mau mendengar apa pun darimu!" potong Fanny. Martin menghela napas. Susah sekali membuat ibu mertuanya ini mengerti aka