Raka
Lelaki berperut gemuk itu berjalan cepat menyusuri koridor di lantai dua, menjauh dari balkon tempatku dan Maureen duduk bersama. Aku tak suka dengan gayanya yang bertingkah seolah dia adalah ayah yang paling bijak.
Aku tak suka melhat dia bicara seolah dirinya adalah figur suami yang paling sempurna, apa dia lupa dengan jejak langkahnya di masa lalu hingga mama memutuskan untuk menggugat cerai? Gilanya lagi, ia masih bisa memutarbalik fakta seolah dia yang disakiti.
Sial! Kenapa juga ayahku harus datang sepagi ini tanpa pemberitahuan apapun? Tapi memangnya apa yang aneh dengan aku duduk bersama Maureen? Ini bukan kali pertama ia melihatku bersama gadis itu. Bahkan kami juga sempat dijodohkan—walau perjodohannya ditolak Maureen.
Tadi aku memang sedang memijiti kaki Maureen, membiarkan ia menumpangkan kedua kakinya di atas pahaku. Apa yang salah dengan itu semua? Reaksinya sangat berlebihan dan itu membuat aku merasa sangat muak.
Halo teman-teman, jangan lupa komentarnya yaah...jangan jadi silent reader, ok? Makin banyak komentar, makin semangat saya update ceritanya. Terima kasih sudah membaca.
Raka10 tahunAku baru saja pulang sekolah, sambil membawa selembar kertas berisi gambar yang kubuat tadi di sekolah. Gambar tentang aku, ayah dan mama yang sedang berwisata di taman hiburan. Aku memakai topi dan memegang lolipop, ayah memegang tanganku dan tersenyum lebar. Lalu mama memegang tanganku yang lain, juga tersenyum lebar dengan lipstik merah.Itu bukan gambar pengalamanku saat ke taman hiburan, melainkan cita-cita yang ingin kuwujudkan. Aku ingin pergi ke taman hiburan dengan mereka berdua, supaya aku pun bisa bercerita dengan bangga pada teman-temanku bahwa keluargaku baru saja jalan-jalan.Karena seingatku, aku tak pernah pergi bersama untuk berjalan-jalan. Ayah saja nyaris tak pernah tinggal di rumah dan sehari-hari aku bersama mama. Aku pergi ke tempat-tempat wisata pun dengan mama.Yaa itu memang menyenangkan, tetapi aku merasa ada yang kurang.Semoga dengan melihat has
CitraAku tidak menyangka jika Raka serapuh itu. Kejadian kemarin membuatku sedikit banyak memahami, mengapa Raka tidak akrab dengan ayahnya dan cenderung ketus saat bicara dengan lelaki itu, walaupun ayahnya sudah berusaha mencairkan suasana. Karena kejadian kemarin pula, aku bisa memahami mengapa Raka bersikap buruk padaku.Memang dia tak menceritakan apapun padaku, namun mendengar semua percakapan mereka, melihat reaksi Raka saat ayahnya mulai mendiskriminasinya, saat ia menangis di bahuku. Aku langsung paham, aku mengerti bahwa ia terluka sangat dalam.“Raka, mau kuambilkan makanan? Dari semalam belum makan, bukan?” tanyaku, pada Raka yang sedang duduk di ruang kerja, menghadapi laptopnya yang menyala dan setumpuk map yang sepertinya belum disentuh sama sekali.Ia melirikku sekilas, lalu menunduk menatap keyboard dan membiarkan jemarinya menggantung. Seperti tak tahu apa yang mau dia lakukan, seolah sedang menca
CitraGara-gara Risa yang mengira aku sedang ngidam, akhirnya jadi kepikiran. Bagaimana jika aku benar-benar hamil? aku takut sekali. Mengingat bahwa kemungkinanku untuk hamil sangat besar, tubuhku terasa sangat lunglai.Kudekati cermin, lalu kuamati bagian perutku yang masih terlihat normal. Kutatap perutku dari depan, lalu menyamping, lalu kutarik bagian belakang bajuku supaya bisa melihat seperti apa perutku dengan lebih jelas.Tidak ada perubahan apa-apa.Perutku masih rata, dadaku juga masih sama ukurannya seperti semua. Aku juga tidak muntah-muntah di pagi hari, makanku masih normal dan entahlah, aku tidak merasakan semua gejala yang dirasakan oleh ibu yang sedang hamil muda. Hanya kemarin saja aku merasa mual, saat memegang buncis. Benda lain tak ada yang membuatku mual separah itu!Sejak kejadian di malam itu, mungkin baru seminggu lamanya. Apa mungkin aku langsung hamil? kami hanya melakukannya sekali!Ku
CitraAku tak mau tahu, calon bayi ini harus kusingkirkan sebelum semuanya terlambat.Sejak pagi aku sudah mencari-cari klinik bersalin yang paling jauh yang bisa kutemukan, semakin jauh semakin baik. Tujuannya supaya tidak bertemu siapapun yang kukenal, supaya aku bisa dengan leluasa berkonsultasi dan menemukan solusi terbaik untuk masalahku ini.Klinik bersalin Cahaya Hati, begitu namanya yang terpampang di depan bangunan tiga lantai dengan cat kuning pastel itu. Desainnya sederhana, bangunannya juga tidak terlalu besar sekalipun terdiri dari tiga lantai. Area parkirnya sempit, hanya cukup beberapa mobil dan motor saja.Aku sendiri datang dengan menggunakan taksi online, berangkat sendirian setelah Kevin pergi ke kantor. Kudekap tas cangklong yang kubawa dari rumah, di dalamnya ada uang saku yang Kevin berikan dan jumlahnya lumayan. Siapa tahu sekarang aku bisa langsung ditindak, aku tak perlu memikirkan bagaimana membayar tagihan medisnya
RakaHingga saat ini aku belum berkomunikasi lagi dengan ayah, lelaki egois itu selalu saja bersikap tidak adil kepadaku. Ia memperlakukan aku seperti seseorang yang berhutang seluruh nyawa kepadanya, apa yang ia katakan harus kulakukan, apa yang ia mau aku harus mampu wujudkan.Hanya karena ia memiliki sebutan sebagai ayah.Dia pikir dengan memberikan aku luka dan rasa takut sejak kecil sudah cukup membuatnya jadi ayah yang baik?Lalu karena aku bisa tumbuh dewasa dan tetap hidup, maka aku harus membalas budi padanya karena ia yang membuatku bertahan? Tidak. Aku bertahan karena Tuhan yang mau aku tetap hidup, aku tetap bertahan karena berharap hidupku akan lebih baik setelah pergi dari lelaki itu.Iya, karena harapan kecil di dalam dadaku.Setelah kuliah aku mulai bisa bebas, aku pun bertemu dengan mama dan syukurlah mama menikah dengan seseorang yang layak. Bisa kulihat papa tiriku menyayangi mama, sekalipun ia jarang bicara
CitraPrak!Kuseret semua benda yang ada di atas meja riasku, jatuh ke lantai dan berserakan. Ada botol parfum yang pecah dan botol serum yang juga terbelah menjadi dua. Agak sayang melihatnya, tetapi merasa lebih tenang karena sudah meluapkan rasa sesak dalam dadaku.Apa-apaan itu tadi?Raka diam saja melihatku diperlakukan seburuk itu oleh Maureen.Aku tahu dia mencintai Maureen, tapi jangan biarkan sikapnya yang kolokan itu membuatnya bersikap sesuka hari dia. Masih bagus jika ia meluapkan semua kemarahannya pada benda mati, membanting pintu, melempar ponsel, memecahkan kaca atau apalah. Tapi yang ia lakukan malah menyakiti aku.Memangnya apa salahku?!Sekarang kubantingkan tubuh ke atas ranjang, pegasnya melemparkan tubuhku lagi ke atas dan membuatku sesaat merasa sedang melayang-layang. Seluruh sendi terasa kaku, ototku pun nyeri, sejak beberapa hari belakangan memang terasa begitu, mungkin karena aku sedang hamil m
Citra“Neng, terminal akhir nih neng. Mau turun apa enggak?”Sayup-sayup kudengar suara itu di telinga, suara seorang lelaki yang tidak kukenal. Kubuka mata, sekelilingku agak gelap.“I-ini dimana?”“Terminal akhir neng, mau turun di sini? Apa mau ikut balik ke kota?”“Hah? Oh..enggak. Saya turun di sini kok.” Sahutku cepat, lalu berdiri dan berusaha meraih ransel di rak penyimpanan. Tetapi karena berat, lelaki yang ternyata kernet bus yang mengambilkannya untukku.“Terima kasih pak.”“Iya sama-sama.”Kulangkahkan kakiku menuju pintu keluar, terminal akhir ini sudah sepi dan tinggal beberapa buah bus antar provinsi yang sedang istirahat. Kulirik jam yang menggantung di salah satu pilar, pukul setengah dua pagi.“Ahh, sejauh ini aku pergi...ini di mana sih?”Aku bingung sendiri, tadi aku bergegas pergi ke
CitraAku tidur benar-benar pulas, padahal saat di bus pun aku tidur hampir sepanjang perjalanan. Tetapi saat kepalaku menyentuh bantal, aku kembali mengantuk dan tertidur seperti bayi yang kenyang sampai pukul sembilan pagi.Sempat merasa bingung, dan bertanya-tanya di mana aku sekarang. Tetapi saat semua kesadaranku kembali, aku pun ingat jika sekarang tinggal di hotel, di kota yang tak pernah aku kunjungi sama sekali sebelumnya. Jauh dari semua orang yang kukenal.“Hari ini enaknya ngapain...cari rumah tinggal?” tanyaku pada diri sendiri.Cahaya matahari terasa sangat terik, bahkan tirai pun tak mampu menahan sinarnya yang terang. Aku turun dari tempat tidur lalu melangkah menuju pintu kaca yang menuju ke balkon, membukanya lebar-lebar dan aku tercengang melihat pemandangan yang nampak di hadapanku.Hotel kecil ini lokasinya di atas bukit, jauh ke bawah sana adalah pantai berpasir putih dengan laut biru ya