POV Citra :
Sudah jam enam sore, tinggal satu jam lagi dan aku bisa pulang. Shift siang kali ini lumayan melelahkan, weekend dan banyak pelanggan datang untuk mengisi bensin. Ya, aku memang seorang pegawai di SPBU, bersama dengan beberapa pegawai wanita lainnya.
Kami biasa mengisi shift pagi dan siang, sementara shift malam hanya untuk para pegawai lelaki saja. Padahal aku senang-senang saja kalau dapat shift malam, tapi memang peraturannya tidak memperbolehkan wanita untuk bekerja malam hari, apalagi sampai subuh mengingat SPBU ini buka 24 jam.
“Cie yang mau gajian, senyam-senyum mulu. Udah check out keranjang Syopie belum nih?” salah satu teman kerjaku menyikut pinggang, sambil bercanda.
“Haha, keranjangku 99 plus-plus nih. Musti gajian sekoper dulu biar bisa check out semua.” Sahutku bercanda juga.
Kami lalu tertawa, sama-sama tahu jika gaji kami tak akan bisa membeli semua barang dalam wishlist aplikasi belanja online. Gaji UMR, tak ada bonus, tak ada asuransi kerja, bisa dapat THR saja sudah sangat bersyukur.
Sebuah mobil keluaran terbaru memasuki area SPBU, mengisi bahan bakar di tempatku bertugas. Kaca jendela diturunkan, seorang wanita cantik dengan rambut keriting, berkaca mata hitam dan mengenakan blazer yang modis.
“Diisi sampai penuh ya mbak?” ujarnya sopan, aku mengangguk dan segera melaksanakan permintaannya.
Aku suka melayani orang-orang yang seperti ini. Terlihat berkelas, pendidikan tinggi. Wanita dalam mobil ini menyetir sendiri, ia juga cantik dan terlihat sangat mandiri. Jika hidupku lebih baik, apakah aku juga akan hidup seperti dia? Bukannya berdiri dekat pompa bahan bakar dan mengenakan seragam SPBU dengan aroma bensin yang kuat seperti sekarang.
Tapi aku tak boleh mengeluh sebenarnya, bisa dapat kerja tetap pun sudah bagus untukku yang lulusan SMA ini.
Telepon di kantor berdering nyaring, di area SPBU memang tidak ada telepon seluler yang menyala. Jadi saat telepon kantor berbunyi, pasti ada telepon untuk salah satu pegawai di SPBU.
“Citra, telepon buat kamu!”
“Hah? Oh iya tunggu sebentar, ini belum selesai...”
“Biar aku yang teruskan Cit,” temanku menawarkan diri untuk menyelesaikan pengisian bensin.
“Oke, makasih ya?”
“Iya, sana cepetan. Takutnya ada hal penting.”
Kuanggukkan kepala dan bergegas menuju kantor, menerima telepon yang disodorkan staff.
[Kak, ini ayah. Tolong ke kantor polisi, adek kamu kena masalah lagi.]
Lututku langsung lemas, mendengar suara ayah terbata-bata di ujung telepon. Adikku satu-satunya, tak pernah bosan berbuat onar. Masalah apa lagi yang sedang ia perbuat saat ini?
********
Kugenggam amplop cokelat berisi gajiku bulan ini, uang yang tadinya akan kupakai untuk mencicil hutang ayah dan membayar tagihan ini itu di rumah. Terpaksa kuminta lebih awal sebab aku tahu pastinya harus mengeluarkan uang untuk ganti rugi.
Begitulah siklus hidup adikku.
Buat onar, ganti rugi atau uang damai, buat onar lagi, ganti rugi lagi. Aku tak paham maunya apa, sekolah tak lulus, ingat pulang ke rumah juga tak pernah. Apalagi untuk membantu ayah dan aku, mungkin harus menunggu dunia kiamat dulu, baru dia mau.
Ia hanya ingat keluarga saat kena masalah. Setelah masalahnya beres? Ia akan kembali ke jalanan. Aku menyayangi dia, namun sekaligus juga begitu benci padanya.
Sesampainya di kantor polisi, nampak ayah berdiri dengan gusar di pintu masuk dan adikku duduk terpekur di dalam ruangan. Di kursi seberangnya ada seorang lelaki muda dengan penampilan rapi, sepertinya adikku membuat masalah dengan orang yang salah saat ini.
“Kak! Ya Tuhan, syukur kamu sudah datang kemari. Itu, adikmu...”
“Kenapa lagi dia, Yah?”
“Dia...dia ngebaretin mobil orang kaya waktu lagi ngamen di lampu merah dan orang itu enggak terima.”
Dadaku langsung sesak, kulirik sebuah mobil yang terparkir di depan kantor polisi, ada baret memanjang dari pintu depan hingga hampir ke bagian belakang mobil. Berapa juta Rupiah yang harus kukeluarkan untuk mengganti rugi?
Kakiku terasa lunglai, merasa sangat lelah dan ingin menyerah. Apa kali ini kubiarkan saja adikku dipenjara? Sepertinya jika kuberikan semua gajiku pun tak akan cukup untuk biaya ganti rugi.
“A-anu mas, ini anak saya. Kakaknya Angga...”
Lelaki muda berpenampilan rapi itu menatapku, tatapannya tajam dan tak ada riak muka apapun terlihat. Ia sangat tenang, nyaris tanpa emosi dan itu malah membuatku merasa makin ciut. Orang semacam ini akan sangat susah untuk diajak bernegosiasi sebab mereka tipikal orang yang mendominasi.
“Kamu kerja di pom bensin?” tanyanya, aku mengangguk sambil meremas amplop cokelat di depan dada. Gajiku yang bahkan belum kulihat isinya, sekarang kita harus berpisah.
“Mas, saya bener-bener enggak punya uang lagi. Ini gaji saya, semuanya buat mas. Semoga mas mau kasih keringanan buat saya. Saya bener-bener enggak mampu buat ganti rugi mobil mas di luar!” kusodorkan amplop gajiku padanya memakai kedua tangan, dengan wajah yang menunduk menatap lantai dan kakiku yang berdebu.
Aku tak punya muka untuk menatap wajah lelaki itu, malu sekali rasanya. Aku harus menghiba, demi sedikit keringanan yang mungkin akan dia berikan. Siapa tahu ia masih memiliki sisi kemanusiaan, mau memaafkan adikku yang kurang ajar karena melihatku yang menyedihkan seperti ini.
“Memangnya berapa gaji kamu?” tanyanya lagi,
“Aah, ini...dua jutaan.”
“Ckk.”
Jantungku rasanya disobek mendengar suara decakan lidahnya itu, sudah pasti nominalnya jauh sekali dari angka yang ia inginkan untuk ganti rugi.
“Kamu mau ganti rugi? Dua juta itu enggak cukup. Tapi aku punya penawaran buat kamu.”
“Pe-penawaran?”
Mukaku langsung terasa dingin, aku merasa ada hal buruk yang akan terjadi kepadaku.
********
POV Raka
Hari ini sebenarnya diawali dengan baik, saat pagi hari aku mendapatkan telepon dari ayah yang mengatakan bahwa ia sudah menemukan calon untukku. Begitulah, aku di usia 30 tahun ini diwajibkan untuk segera menikah. Karena menurut mereka aku tak becus mencari pacar, jadilah ayah dan ibuku yang mencarikannya untukku.
Maureen.
Dia adalah teman masa kecilku, puteri tunggal dari Kevin Widjaya pemilik Widjaya Group. Pengembang real estate kenamaan yang sedang naik daun, sehingga menurut ayahku yang memiliki perusahaan di bidang furniture mewah, akan menjadi gabungan dua keluarga yang sangat bagus.
Terus terang, sejak lama aku menaruh hati padanya. Gadis cantik dengan mata sipit dan kepribadiannya ceria. Hanya saja aku memang tak punya nyali untuk menyatakan perasaan, sehingga kami cuma berteman sejak lama.
[Raka! Aku tuh enggak mau dijodohin sama kamu, kan kamu tau kalo kita ini kakak adekan. Mana ada aku harus nikah sama kamu...]
Kata-kata Maureen saat kutelepon sangat menyakitkan, tak kusangka ia akan menolak mentah-mentah. Lagi-lagi aku tak bisa bicara apapun, melainkan hanya mengiyakan kata-katanya saja.
[Kasih tau ayahmu doong, aku udah ada pacar soalnya. Lagian, hari gini masih aja jodoh-jodohan. Enggak banget!]
[Lho, kamu udah ada pacar? Kok enggak bilang ke aku?]
[Eheheh...maaf lupa! Udah seminggu ini sih, aku sama Jonas jadian...]
[Jonas? Jonas temen kita?]
[Iyaaa. Enggak nyangka kan kalo dia juga naksir aku? Jadi, dia itu ternyata....bla...bla...bla...]
Aku tak bisa mendengar apa yang Maureen katakan selanjutnya, telingaku langsung tuli mendapatkan penolakan dan kenyataan yang menyakitkan.
Aku yang pengecut, merasa hanya selangkah lagi untuk mendapatkan gadis yang kuinginkan. Namun ternyata ia menolak, dan sialnya ia malah berpacaran dengan teman di circle kami. Jonas, si bocah playboy sialan itu.
Dengan hati yang terbakar cemburu, aku pun memacu kendaraanku untuk pergi ke apartemen Jonas. Aku hanya ingin mengetahui seberapa serius ia dengan Maureen, jangan sampai ia dijadikan permainan sesaat saja.
Seakan menambah ruwetnya hari ini, segerombolan anak jalanan di lampu merah mengamen dengan kasar. Mereka memaksa dengan mengetok-ngetok kaca mobilku,
“Ayolah bang, abang kan udah kaya. Masa mau pelit kasih kami 100 ribu sih bang? Bang! Hey!”
Rasanya ingin kuhantam saja kepala mereka, seenaknya saja minta uang. Ingin uang? Kerja. Bukannya malah di jalanan dan mengamen begini. Mengamen di jalan bukan bekerja, itu memalak dengan ‘gaya’!
Kreeeeetttt!
Mataku langsung melotot mendengar suara itu, dan kulihat salah satu anak jalanan menggores bodi mobilku dengan pisau belati kecil. Tanpa banyak bicara kubuka pintu mobil dan kutangkap anak itu, sementara yang lain berhamburan kabur entah kemana.
Lalu di sinilah aku, di dalam kantor polisi bersama seorang anak jalanan dengan pakaian punk yang belel, berbau keringat dan sedikit pesing. Polisi yang menangani aduan kasusku pun sepertinya malas-malasan mengurusnya, apa daya, aku hanya ingin berikan pelajaran pada bocah ini.
“Pak tolong teleponin ayah saya dong, saya pengen pulang nih.”
Bocah sialan itu dengan santai meminta salah satu polisi untuk menelepon orangtuanya. Dasar bocah tengik, hidup di jalanan sesuka hati, saat kena masalah tetap saja butuh orangtua untuk menyelesaikan masalah yang mereka buat.
Tak lama berselang, seorang lelaki yang mungkin tak jauh lebih tua dari ayahku datang. Pakaiannya sederhana, dan bisa kulihat jaket hijau tersampir di sepeda motornya, mungkin ia driver ojol. Lelaki itu bertanya masalah yang terjadi dan mukanya langsung pucat pasi setelah tahu kejadian sebenarnya.
Setelah meminta maaf padaku, ia pun meminta izin untuk menelepon anak sulungnya terlebih dahulu. Anak jalanan itu nyengir padaku,
“Ayah mau telepon kak Citra, dia yang bakalan bayarin ganti rugi mobil abang. Tenang aja, dia kerja keras supaya bisa gajian banyak dan pasti bisa ganti rugi.”
“Kamu sering bertingkah begini?”
“Bertingkah apa bang? Ini aku cuma menyuarakan kebebasan! Ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin!”
Aku hanya bisa terpana mendengar ucapan bocah di hadapanku ini, ketimpangan sosial katanya. Kalau mau kaya ya kerja, bukannya malah menyalahkan orang kaya. Memangnya orang kaya dapat duit banyak hasil rebahan seharian?
Bocah tolol.
Beberapa menit berlalu, kemudian datang seorang gadis muda dengan seragam merah khas SPBU. Terengah-engah masuk ke kantor polisi dengan membawa sebuah amplop cokelat. Ini kah kakak yang disebutkan oleh bocah tadi?
“Kamu kerja di pom bensin?” tanyaku, menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah aku tahu.
Melihat seragamnya saja sebenarnya sudah jelas, ditambah lagi bau bensin melekat pada pakaian yang ia pakai. Kasihan, mungkin ia lari-lari untuk sampai ke kantor polisi. Ia bahkan belum melepas tas pinggangnya, yang biasa digunakan untuk menyimpan yang dari costumer. Sepatunya berdebu, dan mukanya berkeringat.
“Mas, saya bener-bener enggak punya uang lagi. Ini gaji saya, semuanya buat mas. Semoga mas mau kasih keringanan buat saya. Saya bener-bener enggak mampu buat ganti rugi mobil mas di luar!”
Ia tiba-tiba menyodorkan amplop yang ia pegang ke hadapanku, bisa kulihat mukanya menahan malu dan menahan tangis. Mungkin ia sangat sayang dengan uang yang akan ia berikan padaku, namanya juga uang hasil kerja.
“Memangnya berapa gaji kamu?” tanyaku lagi.
“Aah, ini...dua jutaan.”
“Ckk.”
Kerja keras sebulanan jadi penjaga SPBU hanya dua juta? Kasihan sekali. Lalu sekarang uangnya malah akan dipakai untuk membayar kelakuan adiknya itu? Hah, apa yang harus kulakukan? Terus terang aku sebenarnya tak mau ganti rugi, aku hanya ingin memberikan pelajaran pada bocah tengil itu.
Lagipula dua juta tak akan cukup untuk menyelesaikan masalah lecet di mobilku itu.
Entah setan macam apa yang lewat, tiba-tiba saja aku teringat kedua orangtuaku yang terus menerus cerewet memintaku untuk segera menikah. Lalu aku teringat Maureen yang malah pacaran dengan Jonas, rasa benci dan ingin membalas dendam tiba-tiba membara.
Ide gila pun muncul.
“Kamu mau ganti rugi? Dua juta itu enggak cukup. Tapi aku punya penawaran buat kamu.”
“Pe-penawaran?”
Kulihat mukanya langsung pucat memutih, terus terang aku juga tak yakin apa ideku ini tak akan timbulkan masalah apapun. Tetapi aku saat ini sangat ingin membalas Maureen, aku ingin membuatnya cemburu.
“Ya, kamu harus menikah denganku.”
“Apa?!”
Bruk!
Tiba-tiba ayah dari gadis itu dan si bocah jalanan jatuh pingsan, membuat kami panik seketika.
Aduh, memangnya sebegitu mengagetkannya kah jika meminta seseorang untuk menikahi kita?
*********
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany