Ia mendorong motor ke dalam, lalu berjalan menuju pintu rumah yang masih terbuka lebar. Ia melewati ruang tamu sepi, hanya ada suara gelak tawa dari arah ruang TV. Benar sekali, sore itu mereka semua berkumpul di sana.
"Itu dia si cakra!" Bima berseru. Mengarahkan telunjuknya pada orang yang disebut, membuat yang lain ikut melongok melihatnya.
"Kemana saja jam segini baru pulang?" Seperti biasa, bu moko selalu melempari pertanyaan yang membuat Cakra serba salah.
"Kamu nggak mikir dapur masih berantakan? Malah enak-enak kelayapan nggak jelas seharian penuh!" Bentak wanita itu dengan mata melebar kemana-mana.
Cakra mendesah lirih, ingin sekali menjawab kalimat tak bersahabat itu. Namun, karena tak ingin ramai, ia menggerakkan kaki, hendak pergi dari hadapan ibu mertua galak.
"Mau kemana, kamu? Mentang-mentang sudah mau jadi pegawai negeri, berani membantah sekarang, ya?"
Jengah. Itulah ya
Pagi-pagi sekali Cakra sudah tebangun, setumpuk kertas menemani duduknya sejak pagi masih buta. Bahkan hingga Mega terbangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Suaminya itu sedikitpun belum beralih dari aktivitasnya. Hal itu tentu saja membuat sang istri keheranan, apa sebenarnya yang di lakukan di depan laptop baru itu?Batin Mega bertanya-tanya, sambil menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Sesekali sudut matanya melirik ke arah Cakra yang sejak tadi masih serius."Mas, dari tadi kok sibuk terus, sedang apa sih?" Mega mendekati Cakra, bertanya dengan hati-hati. Khawatir akan menggangu konsentrasi suaminya."Ini, berkas yang harus dikirim secara online. Tapi, dari tadi Jaringannya kurang bagus. Jadi terhambat terus," Jawab Cakra tanpa menatap lawan bicara. Mega mengangguk maklum, dengan sesekali melirik ke arah layar laptop yang baru dinyalakan pagi itu."Biasanya di sini jaringannya bagus, Mas,"
"Keluar, mas. Ada yang cari," Titah Lintang dari depan pintu kamar."Siapa?" Tanya Cakra, memang tak bisa mendengar siapapun yang datang dari depan rumah sebesar itu."Udah cepat. Keluar aja!" Tukas gadis itu seraya angkat kaki."Ayo, mas. Siapa tau itu dari pihak dealer," Ajak Mega.Tiba di depan mereka di hadang oleh Bima dan mentari, menatap penuh selidik."Siapa yang membeli motor baru?" Teriak Bima dengan menatap tajam menyala. Sementara yang ditatap hanya diam santai, seperti tak pernah terjadi apapun."Mega yang beli," Seloroh Cakra tanpa menatap lawan bicara. Kakinya bergerak melangkah melewati Bima dan istrinya yang masih tercengang dengan jawaban yang didengar tadi."Mega?" Gumam Bima. Memandang hampa ke arah dua sosok punggung keluar rumah itu."Nggak mungkin, mas!" Tambah mentari. Keduanya masih termangu di depan pintu, hingga mereka menoleh karena ada su
"Lancang sekali kamu mulai berani mengatur kami! Memangnya kamu itu siapa, hah?" Pak moko berteriak, wajah sangarnya menatap nyalang ke arah Cakra. Membuat semua orang turut terkesiap, seketika menghentikan aktivitas memakannya.Begitupun Cakra. Ia pikir dengan bertambahnya gelar sebagai pegawai dengan bayaran tetap setiap bulan, akan mengubah cara pandang mertuanya. Namun, masih saja salah. Lalu dengan cara apalagi agar bisa dimanusiakan oleh mereka? Ia membatin. Karena menurutnya, ia menghargai orang lain dengan banyak atau tidak uang yang di punya."Kamu masih tetap seperti sebelumnya, mengerjakan semuanya!" Teriak pak moko menyudahi makannya, meletakkan sendok ke atas piring dengan keras. Hingga menimbulkan suara dentingan yang membuat pendengaran berdenging.Setelah itu, pak moko menghentakkan kaki. Meninggalkan meja makan dengan langkah cepat, menuju kamarnya. Begitupun bu moko, setelah mendengus lirih sambil menatap sinis k
Tiba di tempat parkir khusus untuk motor, ia turun. Dengan disambut guru lain yang juga baru turun dari motornya."Guru baru, pak?" Orang itu menyapa sambil menyalaminya."Benar, pak," Cakra menjawab, sosok di depannya nampak mengernyit. Seperti teringat akan sesuatu."Bapak, yang tadi sama mahasiswi itu, ya?"Cakra pun mengernyit dengan pertanyaan itu, otaknya berputar. Berusaha mengingat, dimana mereka pernah bertemu? Mengapa orang itu tau, bahwa dirinya tadi bersama seorang mahasiswi? Benaknya kini dipenuhi kalimat tanya."Ah, iya Pak. Itu tadi adik saya," Jawab Cakra berkilah. Harapannya, agar yang bertanya itu segera ber oh. Lalu mengajaknya menuju ruangan yang ia sendiri belum tahu tempatnya.Namun, perkiraannya meleset. Orang di depannya masih mengerutkan dahi. Mungkin belum puas dengan jawaban yang ia berikan tadi."Adik. Kok kelihatannya mesra sekali, malah saya pikir, mahasiswi
Awalnya, pak Waluyo mengernyit dengan sikap kaget Cakra. Namun, ia segera menyadari dan berusaha menguasi diri."Menjadi donatur tetap?" Tanya Cakra menyakinkan."Iya. Mendiang pak Sanjaya itu berteman baik dengan saya sejak kami duduk di bangku SMA," Terangnya, yang kemudian membuat Cakra semakin tak percaya."Kenapa, pak? Apa bapak pernah kenal dengan pak Sanjaya?"Cakra sekali lagi terkesiap, tak menyangka dunia akan sesempit ini. Selalu dipertemukan dengan orang-orang yang berhubungan dengan keluarganya."Ah, tidak pak. Saya tidak pernah mengenalinya," Cakra bersuara ragu. Ada getar dari nada suara itu. Namun, untungnya pak Waluyo tidak menangkap hal itu, karena suasana masih riuh oleh para guru yang belum kembali ke ruangannya."Pak Cakra pasti memang belum mengenalnya. Karena, ia dan istrinya telah lama meninggal. Mereka meninggalkan seorang anak kecil belum genap dua tahun,"Men
"Siapa, ya?" Mega bergumam."Nggak tau. Kamu di sini saja, biar aku yang lihat ke sana," Pinta Cakra yang segera di setujui oleh istrinya.Ia segera keluar rumah, melihat dua orang turun dari atas motor besar. Lintang baru pulang, ia diantar laki-laki muda, yang membeliak ketika melihat siapa yang menyambut.Begitu pula Cakra, ia tak habis pikir mengapa pemuda itu bisa kenal dengan Lintang."Anggara?" Ia bergumam, ketika menatap pemuda yang juga tengah menatapnya heran. Tak lama, sosok yang berjalan berdampingan dengan Lintang itu segera mengalahkan pandangan ke sekeliling."Angga, kamu kenal dengan Lintang?" Ia bertanya lagi, ketika mereka telah berada di depannya. Mungkin hendak di ajak masuk ke dalam rumah."Seperti yang mas Cakra lihat. Memangnya kenapa? Aku tidak boleh kenal sama adikmu?" Angga menjawab ketus seperti biasanya.Cakra mendengus, bukan karena tidak boleh kenal dengan
Seseorang berteriak. Membuat semua yang ada di ruang tamu itu serentak menoleh. Bu moko dan putri sulungnya sudah pulang. Mereka pasti sangat terkejut dengan keributan itu. Angga mendengus, tanpa permisi langsung pergi meninggalkan rumah mewah itu. Begitu juga Lintang, ia memilih segera mundur. Karena tau apa yang akan terjadi."Cakra mau membuat ulah, buk," Bima berkata, sungguh di luar dugaan. Sontak saja yang merasa disebut namanya mendongak sambil memelototkan mata."Apa maksudmu, mas?""Diam. Biarkan Bima bicara!" Sanggahan yang diberikan Cakra tadi tak berarti apapun, karena bu moko dengan cepat menyela ucapannya. Lelaki yang masih berseragam itu memilih diam, ia menjadi penasaran dengan apa yang akan di ceritakan oleh Bima.Sementara, Bima. Merasa jadi pemenangnya, ia lantas menyunggingkan senyuman miring ke arah Cakra."Saya tadi bermaksud melerai mereka. Cakra sepertinya kurang suka, jika sepupun
L"Apa hukuman dari bapak?" Tanya Mega."Aku harus di dalam rumah selama satu minggu, mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu rumah tangga,"Ia hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi batal karena ada notifikasi pesan masuk di aplikasi Whatsapp-nya.Undangan rapat di hari esok, jam delapan pagi. Ada tambahan dengan menggunakan huruf capslock di bawahnya, mengingat pentingnya acara ini, mohon bapak bisa hadir dan tepat waktu. Begitulah isi pesan dari pak Waluyo, kepala sekolah yang baru saja dikenalnya tadi pagi.Cakra tak membalas pesan itu, sebelah tangannya lagi-lagi memijat pelipis. Dengan menyadarkan kepala di sofa."Ada apa, mas?"Ia merasakan tangan Mega meraih lembut bahunya yang kali ini melorot ke bawah. Tak setegap biasanya, yang sering dijadikan tempat bersandar oleh Mega. Kala mereka hanya berdua saja di dalam kamar.Cakra tak menjawab, ia hanya menyodorkan gawai ke depan sang