"Anggap saja itu sebagai balas budimu pada keluarga kami. Lagi pula pamanmu berhutang juga untuk kita semua. Termasuk kamu!" Belum sempat Cakra menjawab. Bibi sudah mencecar dengan kalimat bertubi-tubi, yang semakin membuatnya bungkam.
"Aku tidak mau tau, kalian angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Atau, salah satu diantara dua pemuda itu menikah dengan anakku!" Sosok berwajah sangar itu bersuara, dengan suara lantang memekakkan telinga.
Semua orang yang ada di rumah itu terdiam. Paman Karwo menunduk sangat dalam, ia pasti sedang berada di posisi serba salah. Sementara Anggara dan Bibi, menatap tajam ke arah Cakra dengan pandangan menuntut.
"Bagaimana, jadi tidak ada yang mau menikahi anakku? Kalau begitu, sekarang juga kalian harus tinggalkan rumah ini!"
"Pak! Tolong jangan usir kami .... " Rintih Bibi dengan suara serak, sambil menangkupkan kedua tangannya. Memohon dengan sangat pada sosok tak punya hati itu.
"Cakra!" Teriakan bibi beralih ke arah Cakra, "jangan diam saja!"
"Baik." Serentak, semua orang tercengang setelah Cakra berucap singkat tadi. Kecuali Pak Moko yang hanya berwajah datar. Lain halnya dengan Paman Karwo, ia mendongak sambil membulatkan mata tak percaya. Sementara Bibi dan anak lelakinya tersenyum lega.
"Saya bersedia menikah dengan anak Pak Moko." Suara Cakra terdengar tegas. Meski raut wajah sendu tak dapat ditutupi lagi.
"Bagus. Kalau begitu, sekarang juga kemasi barangmu dan ikut bersamaku. Kalian akan menikah nanti siang,"
Bagai mimpi di siang bolong, Cakra tak pernah membayangkan kehidupannya akan seperti ini. Namun, ia masih percaya dengan takdir yang telah digariskan. Semua yang ia ucapkan tadi, tidak boleh disesali. Ia harus berani melangkah, bertanggung jawab atas kesanggupannya.
Cakra tersurut, mundur menuju kamarnya. Mengambil ransel besar untuk memasukkan seluruh barang yang jumlahnya tak banyak.
"Cakra." Ia berbalik. Rupanya, Paman Karwo telah berdiri mematung di belakang. Menatap iba terhadapnya.
"Maafkan Paman, nak. Paman tidak bisa berbuat apapun," ucapnya lirih. Cakra mendekat, tersenyum simpul ke arah sang paman.
"Bibi benar, Paman. Ini adalah saatnya saya harus membalas budi, atas kebaikan keluarga Paman, sejak saya masih kecil," kata Cakra berusaha menenangkan.
"Apa kamu sudah yakin, dengan keputusanmu tadi? Menikah dengan wanita yang belum pernah kamu kenal sebelumnya?"
"Saya sudah dewasa, Paman. Saya tau apa yang harus saya lakukan," ucapnya dengan tegas.
***
Sore hari setelah acara pernikahan kilat dan sederhana itu terjadi, nyaris bagai mimpi. Apa lagi bagi seorang Cakra yang hingga kini belum pernah memikirkan tentang pernikahan sebelumnya. Pernikahan yang ia lewati beberapa saat sebelumnya, hanya acara ijab kabul dan syukuran yang dihadiri beberapa keluarga kerabat Pak Moko dan Bu Moko. Hanya beberapa orang saja.
Saat ini kedua pengantin baru masih duduk di tengah-tengah para tamu yang sibuk memperbincangkan apapun yang menurut mereka menarik.
"Mas, menantu barumu itu kerjanya apa sih? Kok sepertinya kuper sekali." Salah satu kerabat Pak Moko bertanya sambil sesekali melirik ke arah Cakra, tentunya dengan tetapan sulit diartikan. Hanya satu yang jelas, pandangan tak suka, juga merendahkan. Karena mereka semua itu termasuk keluarga kelas atas.
"Kenapa kamu tanya begitu? Apa kelihatannya menantuku itu orang miskin?" Sahut Pak Moko sambil tergelak. Dan meledaklah suara tawa di ruangan itu, hingga membuat pendengaran Cakra berdenging. Campur aduk perasannya, telah tak terlukiskan lagi.
"Kelihatannya sih begitu, Mas." Suara yang muncul setelah tawa mereka agak reda. Namun, bukannya menghargai pendatang baru. Mereka malah membuatnya seperti barang mainan.
"Kalian benar. Sayang sekali, ya. Menantuku yang baru ini sangat miskin, nggak seperti yang pertama.” Terdengar suara pak Moko. Mulai memberikan perbandingan pada Cakra dan kakak iparnya. Padahal hingga detik ini, ia belum tau siapa kakak ipar yang dibanggakan mertuanya itu.
Di tempat baru itu, Cakra merasa kerdil. Direndahkan oleh setiap orang, bahkan pak Moko yang sekarang sudah menjadi bapak mertuanya. Bukannya membela, malah ikut membuat hati panas. Apalagi ibu mertuanya itu, meski hingga kini belum terdengar suaranya. Namun, terlihat jelas tatapan tak suka, tersirat di mata lebar menakutkan.
Sementara itu, Mega. Yang mulai detik ini telah menjadi istrinya, sejak tadi hanya diam dan terus menunduk. Entah apa yang ada di dalam kepala gadis pendiam itu, tak suka dengan perjodohan ini, atau apa? Tidak ada yang tahu.
Acara bincang keluarga itu berlangsung hingga jam sebelas malam. Selama itu pula, sindiran demi sindiran tertuju kepada Cakra yang selalu bingung. Harus menunjukkan sikap seperti apa, marah atau takut.
"Sudah malam ini, ko. Kami sebaiknya pulang dulu. Kasihan itu, pengantinmu sudah pada ngantuk." Sosok paling tua di tempat itu berdiri, mengakhiri perbincangan panas malam itu. Sepertinya, itu adalah saudara tertua dalam keluarga besar pak Moko.
Usai berpamitan mereka meninggalkan rumah mewah itu, tanpa mau bersalaman dengan Cakra. Keberadaannya di tempat itu, hanya seperti bayang-bayang saja, tidak ada orang yang melihatnya.
Ketika rumah telah sepi, satu persatu keluarga pak Moko pergi meninggalkan ruangan indah ini. Mereka meninggalkan Cakra dan istrinya dengan tatapan tajam dan merendahkan.
Bu Moko yang pergi paling belakang, ketika hendak melewati pintu, wanita berbalut gaun mewah itu berbalik. Meraih tangan anak perempuannya yang ternyata sangat cantik.
"Pergilah ke kamar, Mega. Ini sudah malam," ucapnya lembut kepada Mega. Nama yang baru didengar Cakra menjelang acara ijab kabul tadi sore. Gadis itu hanya mengangguk patuh, pergi tanpa menoleh ke arah Cakra yang menatapnya dengan perasaan bingung.
Ia terkesiap, baru sadar bahwa Bu Moko sedang menatapnya sangat tajam.
"Jangan berani masuk kamar, sebelum ruangan ini bersih seperti tadi!" Wanita itu mendesis, penuh bisa mematikan. Cakra mengerjap, logikanya belum bisa menyimpulkan semua kejadian yang menimpa beberapa hari belakangan ini.
Belum sempat ia menjawab, wanita yang katanya telah menjadi ibu mertuanya itu telah pergi dari ruangan mewah berantakan itu. Hanya menyisakan suara sepatu hak tinggi, memantul memenuhi seluruh sudut ruangan terdekat di rumah itu.
Cakra patuh. Mengerjakan semuanya seorang diri, hingga menjelang jam satu malam. Tak membuatnya pusing dengan pekerjaan rumah menggunung, karena ia telah terbiasa mengerjakannya sejak kecil.
Ia masuk ke dalam kamar, yang di dalamnya terdapat sesosok perempuan berbaring di atas kasur lembut. Berbeda sekali dengan tempat tidurnya selama ini, yang hanya beralaskan kasur lantai.
Gadis itu berbaring menghadap ke arahnya, meringkuk memeluk guling. Dengan selimut berwarna biru dengan motif Mickey mouse membalut seluruh badan hingga menutup leher. Netra yang memejam sempurna, serta bahu yang bergerak teratur, menandakan bahwa ia telah tertidur pulas.
Kali ini Cakra bingung sendiri, berdiri mematung di depan pintu, yang disebelahnya terdapat sofa panjang. Tatapan matanya beralih ke sofa itu, apakah ia harus tidur sini, atau di sana? Satu selimut dengan istrinya itu? Batinnya bertanya-tanya.
Ia bergerak, maju beberapa langkah. Mendekati tempat tidur besar itu, matanya membulat ketika sosok bernama Mega itu menggeliat. Gerakannya membuat Cakra tak bisa berkedip. Namun, cepat-cepat ia menepis semua pikiran melintas.
Cakra ikut terperanjat, Mega bangun. Seketika menegakkan badan ketika melihat ada orang lain di dalam kamarnya. Netra yang masih memerah bergerak-gerak, memindai Cakra dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Selamat malam, Mega. Sudah tidur, ya?" Suaranya terlihat kaku. Sesekali merutuk dalam hati, bodoh sekali pertanyaannya. Memang seumur hidup baru kali ini menyapa perempuan dengan momen yang menurutnya luar biasa.
Karena yang disapa masih bergeming, ia berusaha mendekat, "Mega?"
"Pergi! Jangan sentuh aku!" Ia tiba-tiba berteriak sambil meringkuk memeluk lutut. Wajahnya terbenam, dengan bahu bergetar hebat. Cakra mengernyit tak mengerti.
***
"Selamat malam, Mega. Sudah tidur, ya?" suaranya terlihat kaku. Sesekali merutuk dalam hati, bodoh sekali pertanyaannya. Memang seumur hidup baru kali ini menyapa perempuan dengan momen yang menurutnya luar biasa.Karena yang disapa masih bergeming, ia berusaha mendekat, "Mega?""Pergi! Jangan sentuh aku!" ia tiba-tiba berteriak sambil meringkuk memeluk lutut. Wajahnya terbenam, dengan bahu bergetar hebat. Cakra mengernyit tak mengerti.Melihat hal itu, tentu saja langkahnya terhenti. Bingung hendak bersikap bagaimana. Dalam hati merasa iba dengan perempuan yang sepertinya ketakutan itu, tetapi jika ia mendekat, khawatir Mega akan semakin histeris. Akhirnya ia hanya bisa berdiri mematung dengan menggaruk kepala yang tak gatal.Hingga beberapa saat Mega akhirnya bisa lebih tenang. Gadis itu bergerak dari posisinya yang tadi, tangannya berpindah, tak lagi memeluk lututnya. Ketika mendongakkan wajah, matanya mengernyit memanda
"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak.Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar Ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar."Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?" teriak sosok berwajah tak bersahabat itu. Lihatlah, baru saja satu hari pengantin itu melepas masa lajang. Bukan kesan terbaik yang diperlihatkan oleh Ibu mertua, melainkan sebaliknya.Jika saja bukan Cakra, mungkin sudah memilih pergi sejak awal. Tak mau berada di satu atap yang sama dengan mertua super jahat. Namun, baginya tak ada pilihan lain, karena tak ada orang tua. Pun untuk mengontrak rumah sendiri, belum ada dana yang mencukupi."Iya, Buk. Maaf. saya akan segera beraktivitas," jawabnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Ibu mertua dan istrinya yang saling berpandangan itu.Cakra tiba di dapur, di sambut dengan beberapa pasang ma
"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya mega menerima atau tidak perjodohan itu?"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?" Suara Lintang, berteriak memekakkan telinga di depan pintu kamar Mega. Mereka berdua yang masih berada di dalam kamar tersentak, sambil menggeleng tak habis pikir.Ketika Cakra membuka pintu, pemandangan yang dilihat adalah wajah galak tiruan Ibu mertua. Melotot lebar dengan raut muka penuh tuntutan."Ini sudah siang, Mas. Buruan, ayo berangkat!" Pekiknya lagi, tanpa ada sopan santun sedikitpun."Iya, bentar aku ambil tas dulu," Ucap Cakra santai. Ia kembali mendekati Mega untuk mengambil tas yang masih berada di dekat sofa sejak
"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai."Mas Bima?" Cakra bergumam lirih, tatapannya masih belum beralih dari sosok yang yang perlahan membuka pintu mobil dan keluar, membawa wajah dengan dagu terangkat. Sombong. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Cakra, hanya menatap sambil menyedekapkan kedua tangan."Kamu kenapa? Melihatku seperti melihat hantu saja," Bima bersuara, sedikit membuat Cakra menelan saliva, bertanya dalam hati. Mengapa bisa bertemu dengan saudara ipar di sini?"Ah, tidak Mas. Mas ngapain disini?" Cak
"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat."Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?""Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi."Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra."Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman."Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati."Wah, seorang guru berarti?""Benar sekali, Pak.""Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega."Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu."Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,""Iya iya. Silahkan,"Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. i
L"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan."Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya."Bagus!""Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra."Oh, iya? Berarti nggak salah Bapak memilih menantu sepertimu," pujian sang Bapak itu tentu saja membuat Bima melambung tinggi.Ia memamerkan senyum puas sambil mengangakat sebelah alisnya. Memandang cakra dengan tatapan meremehkan. Sementara yang dipandang itu memilih untuk tak mendengarnya hingga ke hati. Ia tetap sibuk dengan sendok dan garpu di tangan, seperti tak terjadi apapun."Emang siapa sih, istrinya? Aku gitu lho. Masa iya, kayak Mega itu, dapatnya laki-laki miskin. Punya kerjaan pun nggak ada keren-kerennya sama sekali," celetuk Mentari, anak p
"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya."Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin."Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah.Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau."Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing."Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah