Share

Bab 3

Author: Siti Marfuah
last update Last Updated: 2021-08-29 15:15:34

"Anggap saja itu sebagai balas budimu pada keluarga kami. Lagi pula pamanmu berhutang juga untuk kita semua. Termasuk kamu!" Belum sempat Cakra menjawab. Bibi sudah mencecar dengan kalimat bertubi-tubi, yang semakin membuatnya bungkam. 

"Aku tidak mau tau, kalian angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Atau, salah satu diantara dua pemuda itu menikah dengan anakku!" Sosok berwajah sangar itu bersuara, dengan suara lantang memekakkan telinga. 

Semua orang yang ada di rumah itu terdiam. Paman Karwo menunduk sangat dalam, ia pasti sedang berada di posisi serba salah. Sementara Anggara dan Bibi, menatap tajam ke arah Cakra dengan pandangan menuntut. 

"Bagaimana, jadi tidak ada yang mau menikahi anakku? Kalau begitu, sekarang juga kalian harus tinggalkan rumah ini!" 

"Pak! Tolong jangan usir kami .... " Rintih Bibi dengan suara serak, sambil menangkupkan kedua tangannya. Memohon dengan sangat pada sosok tak punya hati itu. 

"Cakra!" Teriakan bibi beralih ke arah Cakra, "jangan diam saja!" 

"Baik." Serentak, semua orang tercengang setelah Cakra berucap singkat tadi. Kecuali Pak Moko yang hanya berwajah datar. Lain halnya dengan Paman Karwo, ia mendongak sambil membulatkan mata tak percaya. Sementara Bibi dan anak lelakinya tersenyum lega. 

"Saya bersedia menikah dengan anak Pak Moko." Suara Cakra terdengar tegas. Meski raut wajah sendu tak dapat ditutupi lagi. 

"Bagus. Kalau begitu, sekarang juga kemasi barangmu dan ikut bersamaku. Kalian akan menikah nanti siang,"

     Bagai mimpi di siang bolong, Cakra tak pernah membayangkan kehidupannya akan seperti ini. Namun, ia masih percaya dengan takdir yang telah digariskan. Semua yang ia ucapkan tadi, tidak boleh disesali. Ia harus berani melangkah, bertanggung jawab atas kesanggupannya. 

     Cakra tersurut, mundur menuju kamarnya. Mengambil ransel besar untuk memasukkan seluruh barang yang jumlahnya tak banyak. 

"Cakra." Ia berbalik. Rupanya, Paman Karwo telah berdiri mematung di belakang. Menatap iba terhadapnya. 

"Maafkan Paman, nak. Paman tidak bisa berbuat apapun," ucapnya lirih. Cakra mendekat, tersenyum simpul ke arah sang paman. 

"Bibi benar, Paman. Ini adalah saatnya saya harus membalas budi, atas kebaikan keluarga Paman, sejak saya masih kecil," kata Cakra berusaha menenangkan.

"Apa kamu sudah yakin, dengan keputusanmu tadi? Menikah dengan wanita yang belum pernah kamu kenal sebelumnya?" 

"Saya sudah dewasa, Paman. Saya tau apa yang harus saya lakukan," ucapnya dengan tegas.

***

      Sore hari setelah acara pernikahan kilat dan sederhana itu terjadi, nyaris bagai mimpi. Apa lagi bagi seorang Cakra yang hingga kini belum pernah memikirkan tentang pernikahan sebelumnya. Pernikahan yang ia lewati beberapa saat sebelumnya, hanya acara ijab kabul dan syukuran yang dihadiri beberapa keluarga kerabat Pak Moko dan Bu Moko. Hanya beberapa orang saja. 

      Saat ini kedua pengantin baru masih duduk di tengah-tengah para tamu yang sibuk memperbincangkan apapun yang menurut mereka menarik. 

"Mas, menantu barumu itu kerjanya apa sih? Kok sepertinya kuper sekali." Salah satu kerabat Pak Moko bertanya sambil sesekali melirik ke arah Cakra, tentunya dengan tetapan sulit diartikan. Hanya satu yang jelas, pandangan tak suka, juga merendahkan. Karena mereka semua itu termasuk keluarga kelas atas. 

"Kenapa kamu tanya begitu? Apa kelihatannya menantuku itu orang miskin?" Sahut Pak Moko sambil tergelak. Dan meledaklah suara tawa di ruangan itu, hingga membuat pendengaran Cakra berdenging. Campur aduk perasannya, telah tak terlukiskan lagi. 

"Kelihatannya sih begitu, Mas." Suara yang muncul setelah tawa mereka agak reda. Namun, bukannya menghargai pendatang baru. Mereka malah membuatnya seperti barang mainan. 

"Kalian benar. Sayang sekali, ya. Menantuku yang baru ini sangat miskin, nggak seperti yang pertama.” Terdengar suara pak Moko. Mulai memberikan perbandingan pada Cakra dan kakak iparnya. Padahal hingga detik ini, ia belum tau siapa kakak ipar yang dibanggakan mertuanya itu. 

       Di tempat baru itu, Cakra merasa kerdil. Direndahkan oleh setiap orang, bahkan pak Moko yang sekarang sudah menjadi bapak mertuanya. Bukannya membela, malah ikut membuat hati panas. Apalagi ibu mertuanya itu, meski hingga kini belum terdengar suaranya. Namun, terlihat jelas tatapan tak suka, tersirat di mata lebar menakutkan. 

    Sementara itu, Mega. Yang mulai detik ini telah menjadi istrinya, sejak tadi hanya diam dan terus menunduk. Entah apa yang ada di dalam kepala gadis pendiam itu, tak suka dengan perjodohan ini, atau apa? Tidak ada yang tahu. 

     Acara bincang keluarga itu berlangsung hingga jam sebelas malam. Selama itu pula, sindiran demi sindiran tertuju kepada Cakra yang selalu bingung. Harus menunjukkan sikap seperti apa, marah atau takut. 

"Sudah malam ini, ko. Kami sebaiknya pulang dulu. Kasihan itu, pengantinmu sudah pada ngantuk." Sosok paling tua di tempat itu berdiri, mengakhiri perbincangan panas malam itu. Sepertinya, itu adalah saudara tertua dalam keluarga besar pak Moko. 

     Usai berpamitan mereka meninggalkan rumah mewah itu, tanpa mau bersalaman dengan Cakra. Keberadaannya di tempat itu, hanya seperti bayang-bayang saja, tidak ada orang yang melihatnya. 

    Ketika rumah telah sepi, satu persatu keluarga pak Moko pergi meninggalkan ruangan indah ini. Mereka meninggalkan Cakra dan istrinya dengan tatapan tajam dan merendahkan. 

    Bu Moko yang pergi paling belakang, ketika hendak melewati pintu, wanita berbalut gaun mewah itu berbalik. Meraih tangan anak perempuannya yang ternyata sangat cantik. 

"Pergilah ke kamar, Mega. Ini sudah malam," ucapnya lembut kepada Mega. Nama yang baru didengar Cakra menjelang acara ijab kabul tadi sore. Gadis itu hanya mengangguk patuh, pergi tanpa menoleh ke arah Cakra yang menatapnya dengan perasaan bingung. 

Ia terkesiap, baru sadar bahwa Bu Moko sedang menatapnya sangat tajam. 

"Jangan berani masuk kamar, sebelum ruangan ini bersih seperti tadi!" Wanita itu mendesis, penuh bisa mematikan. Cakra mengerjap, logikanya belum bisa menyimpulkan semua kejadian yang menimpa beberapa hari belakangan ini. 

    Belum sempat ia menjawab, wanita yang katanya telah menjadi ibu mertuanya itu telah pergi dari ruangan mewah berantakan itu. Hanya menyisakan suara sepatu hak tinggi, memantul memenuhi seluruh sudut ruangan terdekat di rumah itu. 

    Cakra patuh. Mengerjakan semuanya seorang diri, hingga menjelang jam satu malam. Tak membuatnya pusing dengan pekerjaan rumah menggunung, karena ia telah terbiasa mengerjakannya sejak kecil. 

    Ia masuk ke dalam kamar, yang di dalamnya terdapat sesosok perempuan berbaring di atas kasur lembut. Berbeda sekali dengan tempat tidurnya selama ini, yang hanya beralaskan kasur lantai. 

    Gadis itu berbaring menghadap ke arahnya, meringkuk memeluk guling. Dengan selimut berwarna biru dengan motif Mickey mouse membalut seluruh badan hingga menutup leher. Netra yang memejam sempurna, serta bahu yang bergerak teratur, menandakan bahwa ia telah tertidur pulas. 

     Kali ini Cakra bingung sendiri, berdiri mematung di depan pintu, yang disebelahnya terdapat sofa panjang. Tatapan matanya beralih ke sofa itu, apakah ia harus tidur sini, atau di sana? Satu selimut dengan istrinya itu? Batinnya bertanya-tanya. 

     Ia bergerak, maju beberapa langkah. Mendekati tempat tidur besar itu, matanya membulat ketika sosok bernama Mega itu menggeliat. Gerakannya membuat Cakra tak bisa berkedip. Namun, cepat-cepat ia menepis semua pikiran melintas. 

    Cakra ikut terperanjat, Mega bangun. Seketika menegakkan badan ketika melihat ada orang lain di dalam kamarnya. Netra yang masih memerah bergerak-gerak, memindai Cakra dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

"Selamat malam, Mega. Sudah tidur, ya?" Suaranya terlihat kaku. Sesekali merutuk dalam hati, bodoh sekali pertanyaannya. Memang seumur hidup baru kali ini menyapa perempuan dengan momen yang menurutnya luar biasa. 

Karena yang disapa masih bergeming, ia berusaha mendekat, "Mega?"

"Pergi! Jangan sentuh aku!" Ia tiba-tiba berteriak sambil meringkuk memeluk lutut. Wajahnya terbenam, dengan bahu bergetar hebat. Cakra mengernyit tak mengerti. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fiiz Hap
kamar mega
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 86

    "Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 85

    "Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 84

    "Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 83

    Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 82

    Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 81

    Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status