"Selamat malam, Mega. Sudah tidur, ya?" suaranya terlihat kaku. Sesekali merutuk dalam hati, bodoh sekali pertanyaannya. Memang seumur hidup baru kali ini menyapa perempuan dengan momen yang menurutnya luar biasa.
Karena yang disapa masih bergeming, ia berusaha mendekat, "Mega?"
"Pergi! Jangan sentuh aku!" ia tiba-tiba berteriak sambil meringkuk memeluk lutut. Wajahnya terbenam, dengan bahu bergetar hebat. Cakra mengernyit tak mengerti.
Melihat hal itu, tentu saja langkahnya terhenti. Bingung hendak bersikap bagaimana. Dalam hati merasa iba dengan perempuan yang sepertinya ketakutan itu, tetapi jika ia mendekat, khawatir Mega akan semakin histeris. Akhirnya ia hanya bisa berdiri mematung dengan menggaruk kepala yang tak gatal.
Hingga beberapa saat Mega akhirnya bisa lebih tenang. Gadis itu bergerak dari posisinya yang tadi, tangannya berpindah, tak lagi memeluk lututnya. Ketika mendongakkan wajah, matanya mengernyit memandangi Cakra. Mungkin masih belum percaya, jika saat ini status hidupnya telah berganti.
"Mega," Cakra kembali menyapa lebih lembut dari yang ia bisa. Mencoba lebih mendekati gadis yang sepertinya masih ketakutan itu.
"Aku Cakra," ucapnya sambil mengulum senyum semanis mungkin. Terkekeh juga di dalam hatinya, entah benar atau salah caranya berinteraksi dengan lawan jenis. Perlahan, ia ikut duduk di samping sang gadis. Di pinggir kasur tebal nan lentur, berbeda jauh dengan kasur yang selama ini ia tempati.
"Sore tadi, kita sudah menikah. Kamu masih ingat, kan?" ia bertanya. Seolah memahami apa yang latar belakang gadis itu menjadi begitu terpuruk. Cakra yakin, pasti ada sesuatu yang menyebabkan mega bersikap demikian. Perempuan itu sepertinya mengalami trauma mendalam
"Sekarang, kita sudah resmi menjadi suami istri," ia kembali berkata. Karena mega mulai berani menatap wajahnya, meski masih terlihat jelas ketakutannya.
"Kamu? Kita? Menikah?" Mega bertanya dengan terbata. Biji matanya lantas bergerak-gerak, memindai Cakra dari atas ke bawah. Merasa ditatap begitu, ia lantas tersenyum sambil mengangguk. Baru menyadari gadis pendiam yang kini menjadi istrinya itu berwajah cantik. Bahkan lebih cantik dari gadis-gadis yang pernah ia temui sebelumnya.
"Jadi, kita akan .... " Mega menggeleng sambil menutup mulut, tak mampu melanjutkan ucapannya. Dari sini, Cakra bisa menebak, pasti telah terjadi sesuatu di masa lalunya.
"Mega, jangan khawatir. Kamu jangan khawatir, ya," Cakra menyela. Gadis itu terkesiap, menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
"Iya. Kita tidak akan melakukannya, sebelum kamu siap," lanjutnya diiringi dengan senyuman. Membuat gadis itu terlihat lebih tenang, karena baru saja menghela nafas berat yang panjang.
"Sudah, kamu tidur lagi, ya," titah Cakra sambil menyelimuti kembali badan ramping itu. Tak peduli lagi meski mendapatkan tatapan penuh selidik dari yang punya badan.
"Kamu tidur dimana?" tanya mega ketika Cakra hendak beranjak.
"Aku bisa tidur di sofa itu," tunjuknya mengarahkan pandangan ke sofa yang berseberangan dengan tempat tidur besar itu. Tanpa menunggu jawaban lagi, ia bergegas menuju sofa dan merebahkan badan lelahnya di sana.
Tak peduli lagi, meski hingga detik ini pandangan mega masih mengawasinya. Tak butuh waktu lama, ia telah tertidur, tanpa bantal maupun selimut. Baginya, sofa lembut itu lebih nyaman dari pada tempat tidurnya di rumah paman.
Mega, perempuan yang beberapa bulan lalu pernah dipaksa melayani nafsu bejat pacarnya itu masih bergeming. Itulah yang menyebabkan, hingga kini tak berani lagi bertemu dengan lawan jenis, selain Bapaknya.
Namun, melihat laki-laki yang kini terbaring di di sofa itu, membuat pandangannya sedikit berubah. Ternyata tak semua lelaki itu sama, memiliki ego tinggi dan memaksakan kehendak semaunya.
"Kamu siapa sebenarnya? Mengapa baik sekali?" lirihnya sambil memandangi sosok terlelap. Hatinya terketuk, hingga menggerakkan kakinya untuk melangkah membuka lemari dan mengeluarkan selimut.
Lalu mendekati Cakra yang sudah tak bergerak itu, menyelimuti hingga ke lehernya. Mega tersenyum, kali pertamanya ia melakukannya setelah kejadian itu.
"Selamat tidur, Mas Cakra," lirihnya lagi, lalu membalikkan wajah merahnya. Kembali menuju ranjang besar. Kembali merebahkan badan dan membalutnya dengan selimut tebal.
Setelahnya, mereka tak tau lagi. Hanya saja Mega terbangun lebih dulu dan mendapati jam dinding yang telah mengarah ke angka lima. Ini adalah kali pertamanya ia bangun kesiangan.
Sementara itu, Cakra yang baru membuka mata, sontak terperangah. Lupa akan kejadian yang ia alami sejak kemarin pagi. Matanya mengerjap beberapa kali sambil mengamati sekeliling.
"Ah, aku nggak sedang bermimpi," ia bergumam. Lalu pendengarannya menangkap suara percikan air dari shower ya yang berasal dari salah satu sisi ruangan kamar.
Ketika menajamkan pendengaran, ia segera yakin. Di dalam sana, mega pasti sedang membersihkan diri. Tak lama pintunya terbuka, dan mega keluar dari sana menggunakan stelan baby doll motif doraemon.
Rambutnya yang panjang di tali sekenanya di pucuk kepala, dengan beberapa helai berjatuhan di pipi dan telinga, hingga menampakkan leher jenjangnya. Rambut itu ikut basah terkena air mandi.
"Mega," Cakra memberanikan diri menyapa gadis itu, yang kemudian menoleh. Ia tersenyum.
"Sudah mandi?" tanyanya. Lagi-lagi di dalam hati menggerutu, kenapa bodoh sekali pertanyannya? Sudah jelas mega baru keluar dari kamar mandi, masih bertanya begitu.
"Sudah," Mega menjawab singkat tanpa menoleh, tetapi dapat di lihat bahwa gadis itu baru saja mengulas sebuah senyuman. Ia langsung duduk tertegun didepan meja riasnya.
"Mega," ia menoleh, lagi- lagi Cakra memanggilnya.
"Apa kamu yang menyelimuti aku semalam?" tanyanya lagi sambil mengangkat ujung selimut menggunakan tangan kanannya.
"Iya," jawab mega lagi. Cakra menyipit mendengar jawaban yang selalu singkat itu. Apakah memang sedingin itu, seorang mega? Tanyanya dalam hati. Namun, ia segera ingat akan kondisinya yang hanya di jodohkan. Sepertinya tak ada lelaki yang mau menikahi perempuan itu.
Ia menepis pikiran buruk, segera mengulumn senyum dan berkata "makasih, ya." Gadis itu tak menjawab. Cakra kembali memutar otak, bagaimana caranya agar Mega bisa lebih terbuka kepadanya?
"Mega, kamar mandi di mana? Hm, maksudku, aku tidak bawa alat mandi. Bagaimana?" ia memancing. Gadis itu tercengang ketika melihatnya.
Ia lalu berdiri, kembali mendekati lemari. Membuka dan mengeluarkan sebuah handuk berwarna biru navy, lalu menyerahkan ke depan Cakra dengan wajah tertunduk.
"Pakai ini," ucapnya. Cakra tersenyum menerima handuk itu, "makasih," Ia menjawab sambil melangkah menuju kamar mandi. Namun sebelum tiba di depan pintu, ia kembali menoleh ke belakang.
"Apa, sabunnya sudah ada di dalam?"
Mega meliriknya sekilas sambil menganggukkan kepala. Kehabisan akal, Cakra masuk ke kamar mandi dan membersihkan badan.
Setelahnya, ia keluar hanya dengan handuk melilit hingga ke lutut, karena lupa tak membawa baju ganti. Mega terperangah, hingga menjatuhkan beberapa botol tempat make-upnya.
"Oh, maaf Mega. Aku nggak sengaja, aku lupa membawa baju ganti. Bisa minta tolong?" gadis itu nampak mengernyit, sebelum akhirnya bangkit.
"Apa?" tanyanya.
"Tolong ambilkan baju gantiku di dalam tas, ya," Cakra meminta. Gadis itu mengangguk, meraih tas yang tergeletak di bawah sofa. Membukanya dengan ragu.
"Yang mana?" tanyanya sambil membolak-balikan tumpukan baju di dalam tas.
"Yang mana saja, asal dipilihkan sama istri. Aku pasti akan pakai," mendengar Jawaban itu, sekilas Mega meliriknya sambil mendengus lirih, membuat Cakra terkekeh sendiri. Dalam hati merasa lega, telah ada perubahan dari diri Mega yang dingin dan pendiam itu.
"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak.
Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar Ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar.
"Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?"
***
"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak.Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar Ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar."Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?" teriak sosok berwajah tak bersahabat itu. Lihatlah, baru saja satu hari pengantin itu melepas masa lajang. Bukan kesan terbaik yang diperlihatkan oleh Ibu mertua, melainkan sebaliknya.Jika saja bukan Cakra, mungkin sudah memilih pergi sejak awal. Tak mau berada di satu atap yang sama dengan mertua super jahat. Namun, baginya tak ada pilihan lain, karena tak ada orang tua. Pun untuk mengontrak rumah sendiri, belum ada dana yang mencukupi."Iya, Buk. Maaf. saya akan segera beraktivitas," jawabnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Ibu mertua dan istrinya yang saling berpandangan itu.Cakra tiba di dapur, di sambut dengan beberapa pasang ma
"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya mega menerima atau tidak perjodohan itu?"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?" Suara Lintang, berteriak memekakkan telinga di depan pintu kamar Mega. Mereka berdua yang masih berada di dalam kamar tersentak, sambil menggeleng tak habis pikir.Ketika Cakra membuka pintu, pemandangan yang dilihat adalah wajah galak tiruan Ibu mertua. Melotot lebar dengan raut muka penuh tuntutan."Ini sudah siang, Mas. Buruan, ayo berangkat!" Pekiknya lagi, tanpa ada sopan santun sedikitpun."Iya, bentar aku ambil tas dulu," Ucap Cakra santai. Ia kembali mendekati Mega untuk mengambil tas yang masih berada di dekat sofa sejak
"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai."Mas Bima?" Cakra bergumam lirih, tatapannya masih belum beralih dari sosok yang yang perlahan membuka pintu mobil dan keluar, membawa wajah dengan dagu terangkat. Sombong. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Cakra, hanya menatap sambil menyedekapkan kedua tangan."Kamu kenapa? Melihatku seperti melihat hantu saja," Bima bersuara, sedikit membuat Cakra menelan saliva, bertanya dalam hati. Mengapa bisa bertemu dengan saudara ipar di sini?"Ah, tidak Mas. Mas ngapain disini?" Cak
"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat."Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?""Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi."Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra."Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman."Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati."Wah, seorang guru berarti?""Benar sekali, Pak.""Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega."Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu."Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,""Iya iya. Silahkan,"Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. i
L"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan."Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya."Bagus!""Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra."Oh, iya? Berarti nggak salah Bapak memilih menantu sepertimu," pujian sang Bapak itu tentu saja membuat Bima melambung tinggi.Ia memamerkan senyum puas sambil mengangakat sebelah alisnya. Memandang cakra dengan tatapan meremehkan. Sementara yang dipandang itu memilih untuk tak mendengarnya hingga ke hati. Ia tetap sibuk dengan sendok dan garpu di tangan, seperti tak terjadi apapun."Emang siapa sih, istrinya? Aku gitu lho. Masa iya, kayak Mega itu, dapatnya laki-laki miskin. Punya kerjaan pun nggak ada keren-kerennya sama sekali," celetuk Mentari, anak p
"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya."Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin."Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah.Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau."Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing."Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah
"Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.Wanita itu berjalan mendekat, Lama-lama seperti monster yang siap menerkam mangsa. Bergidik Cakra melihatnya."Ngapain kamu tidur di sini? Bangun kesiangan, lagi!" Cetus suara wanita itu. Cakra yang belum usai rasa kagetnya pun harus bertambah, heran dengan pertanyaan itu."Maaf, bukan. Saya tadi malam ketiduran di sini," Jawab Cakra sekenanya, membuat mata Ibu mertuanya kian membulat."Kamu biarkan istrimu tidur sendirian di kamar sana?" Tanya Bu Moko dengan suara kencang."Katanya saya ini cuma pelayanan di rumah ini, Buk. Ya, saya merasa tidak pantas tidur satu kamar dengan Mbak Mega," Cakra masih menjawab enteng."Heh! Kamu itu sudah menjadi suaminya Mega.