Share

Bab 4

Penulis: Siti Marfuah
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-29 15:59:22

"Selamat malam, Mega. Sudah tidur, ya?" suaranya terlihat kaku. Sesekali merutuk dalam hati, bodoh sekali pertanyaannya. Memang seumur hidup baru kali ini menyapa perempuan dengan momen yang menurutnya luar biasa. 

Karena yang disapa masih bergeming, ia berusaha mendekat, "Mega?"

"Pergi! Jangan sentuh aku!" ia tiba-tiba berteriak sambil meringkuk memeluk lutut. Wajahnya terbenam, dengan bahu bergetar hebat. Cakra mengernyit tak mengerti. 

Melihat hal itu, tentu saja langkahnya terhenti. Bingung hendak bersikap bagaimana. Dalam hati merasa iba dengan perempuan yang sepertinya ketakutan itu, tetapi jika ia mendekat, khawatir Mega akan semakin histeris. Akhirnya ia hanya bisa berdiri mematung dengan menggaruk kepala yang tak gatal. 

Hingga beberapa saat Mega akhirnya bisa lebih tenang. Gadis itu bergerak dari posisinya yang tadi, tangannya berpindah, tak lagi memeluk lututnya. Ketika mendongakkan wajah, matanya mengernyit memandangi Cakra. Mungkin masih belum percaya, jika saat ini status hidupnya telah berganti. 

"Mega," Cakra kembali menyapa lebih lembut dari yang ia bisa. Mencoba lebih mendekati gadis yang sepertinya masih ketakutan itu.

"Aku Cakra," ucapnya sambil mengulum senyum semanis mungkin. Terkekeh juga di dalam hatinya, entah benar atau salah caranya berinteraksi dengan lawan jenis. Perlahan, ia ikut duduk di samping sang gadis. Di pinggir kasur tebal nan lentur, berbeda jauh  dengan kasur yang selama ini ia tempati. 

"Sore tadi, kita sudah menikah. Kamu masih ingat, kan?" ia bertanya. Seolah memahami apa yang latar belakang gadis itu menjadi begitu terpuruk. Cakra yakin, pasti ada sesuatu yang menyebabkan mega bersikap demikian. Perempuan itu sepertinya mengalami trauma mendalam 

"Sekarang, kita sudah resmi menjadi suami istri," ia kembali berkata. Karena mega mulai berani menatap wajahnya, meski masih terlihat jelas ketakutannya. 

"Kamu? Kita? Menikah?" Mega bertanya dengan terbata. Biji matanya lantas bergerak-gerak, memindai Cakra dari atas ke bawah. Merasa ditatap begitu, ia lantas tersenyum sambil mengangguk. Baru menyadari gadis pendiam yang kini menjadi istrinya itu berwajah cantik. Bahkan lebih cantik dari gadis-gadis yang pernah ia temui sebelumnya. 

"Jadi, kita akan .... " Mega menggeleng sambil menutup mulut, tak mampu melanjutkan ucapannya. Dari sini, Cakra bisa menebak, pasti telah terjadi sesuatu di masa lalunya. 

"Mega, jangan khawatir. Kamu jangan khawatir, ya," Cakra menyela. Gadis itu terkesiap, menatapnya dengan pandangan penuh tanya. 

"Iya. Kita tidak akan melakukannya, sebelum kamu siap," lanjutnya diiringi dengan senyuman. Membuat gadis itu terlihat lebih tenang, karena baru saja menghela nafas berat yang panjang. 

"Sudah, kamu tidur lagi, ya," titah Cakra sambil  menyelimuti kembali badan ramping itu. Tak peduli lagi meski mendapatkan tatapan penuh selidik dari yang punya badan. 

"Kamu tidur dimana?" tanya mega ketika Cakra hendak beranjak. 

"Aku bisa tidur di sofa itu," tunjuknya mengarahkan pandangan ke sofa yang berseberangan dengan tempat tidur besar itu. Tanpa menunggu jawaban lagi, ia bergegas menuju sofa dan merebahkan badan lelahnya di sana. 

Tak peduli lagi, meski hingga detik ini pandangan mega masih mengawasinya. Tak butuh waktu lama, ia telah tertidur, tanpa bantal maupun selimut. Baginya, sofa lembut itu lebih nyaman dari pada tempat tidurnya di rumah paman. 

Mega, perempuan yang beberapa bulan lalu pernah dipaksa melayani nafsu bejat pacarnya itu masih bergeming. Itulah yang  menyebabkan, hingga kini tak berani lagi bertemu dengan lawan jenis, selain Bapaknya. 

Namun, melihat laki-laki yang kini terbaring di di sofa itu, membuat pandangannya sedikit berubah. Ternyata tak semua lelaki itu sama, memiliki ego tinggi dan memaksakan kehendak semaunya. 

"Kamu siapa sebenarnya? Mengapa baik sekali?" lirihnya sambil memandangi sosok terlelap. Hatinya terketuk, hingga menggerakkan kakinya untuk melangkah membuka lemari dan mengeluarkan selimut. 

Lalu mendekati Cakra yang sudah tak bergerak itu, menyelimuti hingga ke lehernya. Mega tersenyum, kali pertamanya ia melakukannya setelah kejadian itu. 

"Selamat tidur, Mas Cakra," lirihnya lagi, lalu membalikkan wajah merahnya. Kembali menuju ranjang besar. Kembali merebahkan badan dan membalutnya dengan selimut tebal. 

Setelahnya, mereka tak tau lagi. Hanya saja Mega terbangun lebih dulu dan mendapati jam dinding yang telah mengarah ke angka lima. Ini adalah kali pertamanya ia bangun kesiangan. 

Sementara itu, Cakra yang baru membuka mata, sontak terperangah. Lupa akan kejadian yang ia alami sejak kemarin pagi. Matanya mengerjap beberapa kali sambil mengamati sekeliling. 

"Ah, aku nggak sedang bermimpi," ia bergumam. Lalu pendengarannya menangkap suara percikan air dari shower ya yang berasal dari salah satu sisi ruangan kamar. 

Ketika menajamkan pendengaran, ia segera yakin. Di dalam sana, mega pasti sedang membersihkan diri. Tak lama pintunya terbuka, dan mega keluar dari sana menggunakan stelan baby doll motif doraemon. 

Rambutnya yang panjang di tali sekenanya di pucuk kepala, dengan beberapa helai berjatuhan di pipi dan telinga, hingga menampakkan leher jenjangnya. Rambut itu ikut basah terkena air mandi. 

"Mega," Cakra memberanikan diri menyapa gadis itu, yang kemudian menoleh. Ia tersenyum. 

"Sudah mandi?" tanyanya. Lagi-lagi di dalam hati menggerutu, kenapa bodoh sekali pertanyannya? Sudah jelas mega baru keluar dari kamar mandi, masih bertanya begitu. 

"Sudah," Mega menjawab singkat tanpa menoleh, tetapi dapat di lihat bahwa gadis itu baru saja mengulas sebuah senyuman. Ia langsung duduk tertegun didepan meja riasnya.

"Mega," ia menoleh, lagi- lagi Cakra memanggilnya. 

"Apa kamu yang menyelimuti aku semalam?" tanyanya lagi sambil mengangkat ujung selimut menggunakan tangan kanannya. 

"Iya," jawab mega lagi. Cakra menyipit mendengar jawaban yang selalu singkat itu. Apakah memang sedingin itu, seorang mega? Tanyanya dalam hati. Namun, ia segera ingat akan kondisinya yang hanya di jodohkan. Sepertinya tak ada lelaki yang mau menikahi perempuan itu. 

Ia menepis pikiran buruk, segera mengulumn senyum dan berkata "makasih, ya." Gadis itu tak menjawab. Cakra kembali memutar otak, bagaimana caranya agar Mega bisa lebih terbuka kepadanya?

"Mega, kamar mandi di mana? Hm, maksudku, aku tidak bawa alat mandi. Bagaimana?" ia memancing. Gadis itu tercengang ketika melihatnya. 

Ia lalu berdiri, kembali mendekati lemari. Membuka dan mengeluarkan sebuah handuk berwarna biru navy, lalu menyerahkan ke depan Cakra dengan wajah tertunduk. 

"Pakai ini," ucapnya. Cakra tersenyum menerima handuk itu, "makasih," Ia menjawab sambil melangkah menuju kamar mandi. Namun sebelum tiba di depan pintu, ia kembali menoleh ke belakang. 

"Apa, sabunnya sudah ada di dalam?" 

Mega meliriknya sekilas sambil menganggukkan kepala. Kehabisan akal, Cakra masuk ke kamar mandi dan membersihkan badan. 

Setelahnya, ia keluar hanya dengan handuk melilit hingga ke lutut, karena lupa tak membawa baju ganti. Mega terperangah, hingga menjatuhkan beberapa botol tempat make-upnya. 

"Oh, maaf Mega. Aku nggak sengaja, aku lupa membawa baju ganti. Bisa minta tolong?" gadis itu nampak mengernyit, sebelum akhirnya bangkit. 

"Apa?" tanyanya. 

"Tolong ambilkan baju gantiku di dalam tas, ya," Cakra meminta. Gadis itu mengangguk, meraih tas yang tergeletak di bawah sofa. Membukanya dengan ragu. 

"Yang mana?" tanyanya sambil membolak-balikan tumpukan baju di dalam tas. 

"Yang mana saja, asal dipilihkan sama istri. Aku pasti akan pakai," mendengar Jawaban itu, sekilas Mega meliriknya sambil mendengus lirih, membuat Cakra terkekeh sendiri. Dalam hati merasa lega, telah ada perubahan dari diri Mega yang dingin dan pendiam itu. 

"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak. 

Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar Ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar. 

"Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 86

    "Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 85

    "Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 84

    "Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 83

    Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 82

    Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej

  • Menantu Tak Diharapkan   Bab 81

    Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status