Share

Bab 4

"Selamat malam, Mega. Sudah tidur, ya?" suaranya terlihat kaku. Sesekali merutuk dalam hati, bodoh sekali pertanyaannya. Memang seumur hidup baru kali ini menyapa perempuan dengan momen yang menurutnya luar biasa. 

Karena yang disapa masih bergeming, ia berusaha mendekat, "Mega?"

"Pergi! Jangan sentuh aku!" ia tiba-tiba berteriak sambil meringkuk memeluk lutut. Wajahnya terbenam, dengan bahu bergetar hebat. Cakra mengernyit tak mengerti. 

Melihat hal itu, tentu saja langkahnya terhenti. Bingung hendak bersikap bagaimana. Dalam hati merasa iba dengan perempuan yang sepertinya ketakutan itu, tetapi jika ia mendekat, khawatir Mega akan semakin histeris. Akhirnya ia hanya bisa berdiri mematung dengan menggaruk kepala yang tak gatal. 

Hingga beberapa saat Mega akhirnya bisa lebih tenang. Gadis itu bergerak dari posisinya yang tadi, tangannya berpindah, tak lagi memeluk lututnya. Ketika mendongakkan wajah, matanya mengernyit memandangi Cakra. Mungkin masih belum percaya, jika saat ini status hidupnya telah berganti. 

"Mega," Cakra kembali menyapa lebih lembut dari yang ia bisa. Mencoba lebih mendekati gadis yang sepertinya masih ketakutan itu.

"Aku Cakra," ucapnya sambil mengulum senyum semanis mungkin. Terkekeh juga di dalam hatinya, entah benar atau salah caranya berinteraksi dengan lawan jenis. Perlahan, ia ikut duduk di samping sang gadis. Di pinggir kasur tebal nan lentur, berbeda jauh  dengan kasur yang selama ini ia tempati. 

"Sore tadi, kita sudah menikah. Kamu masih ingat, kan?" ia bertanya. Seolah memahami apa yang latar belakang gadis itu menjadi begitu terpuruk. Cakra yakin, pasti ada sesuatu yang menyebabkan mega bersikap demikian. Perempuan itu sepertinya mengalami trauma mendalam 

"Sekarang, kita sudah resmi menjadi suami istri," ia kembali berkata. Karena mega mulai berani menatap wajahnya, meski masih terlihat jelas ketakutannya. 

"Kamu? Kita? Menikah?" Mega bertanya dengan terbata. Biji matanya lantas bergerak-gerak, memindai Cakra dari atas ke bawah. Merasa ditatap begitu, ia lantas tersenyum sambil mengangguk. Baru menyadari gadis pendiam yang kini menjadi istrinya itu berwajah cantik. Bahkan lebih cantik dari gadis-gadis yang pernah ia temui sebelumnya. 

"Jadi, kita akan .... " Mega menggeleng sambil menutup mulut, tak mampu melanjutkan ucapannya. Dari sini, Cakra bisa menebak, pasti telah terjadi sesuatu di masa lalunya. 

"Mega, jangan khawatir. Kamu jangan khawatir, ya," Cakra menyela. Gadis itu terkesiap, menatapnya dengan pandangan penuh tanya. 

"Iya. Kita tidak akan melakukannya, sebelum kamu siap," lanjutnya diiringi dengan senyuman. Membuat gadis itu terlihat lebih tenang, karena baru saja menghela nafas berat yang panjang. 

"Sudah, kamu tidur lagi, ya," titah Cakra sambil  menyelimuti kembali badan ramping itu. Tak peduli lagi meski mendapatkan tatapan penuh selidik dari yang punya badan. 

"Kamu tidur dimana?" tanya mega ketika Cakra hendak beranjak. 

"Aku bisa tidur di sofa itu," tunjuknya mengarahkan pandangan ke sofa yang berseberangan dengan tempat tidur besar itu. Tanpa menunggu jawaban lagi, ia bergegas menuju sofa dan merebahkan badan lelahnya di sana. 

Tak peduli lagi, meski hingga detik ini pandangan mega masih mengawasinya. Tak butuh waktu lama, ia telah tertidur, tanpa bantal maupun selimut. Baginya, sofa lembut itu lebih nyaman dari pada tempat tidurnya di rumah paman. 

Mega, perempuan yang beberapa bulan lalu pernah dipaksa melayani nafsu bejat pacarnya itu masih bergeming. Itulah yang  menyebabkan, hingga kini tak berani lagi bertemu dengan lawan jenis, selain Bapaknya. 

Namun, melihat laki-laki yang kini terbaring di di sofa itu, membuat pandangannya sedikit berubah. Ternyata tak semua lelaki itu sama, memiliki ego tinggi dan memaksakan kehendak semaunya. 

"Kamu siapa sebenarnya? Mengapa baik sekali?" lirihnya sambil memandangi sosok terlelap. Hatinya terketuk, hingga menggerakkan kakinya untuk melangkah membuka lemari dan mengeluarkan selimut. 

Lalu mendekati Cakra yang sudah tak bergerak itu, menyelimuti hingga ke lehernya. Mega tersenyum, kali pertamanya ia melakukannya setelah kejadian itu. 

"Selamat tidur, Mas Cakra," lirihnya lagi, lalu membalikkan wajah merahnya. Kembali menuju ranjang besar. Kembali merebahkan badan dan membalutnya dengan selimut tebal. 

Setelahnya, mereka tak tau lagi. Hanya saja Mega terbangun lebih dulu dan mendapati jam dinding yang telah mengarah ke angka lima. Ini adalah kali pertamanya ia bangun kesiangan. 

Sementara itu, Cakra yang baru membuka mata, sontak terperangah. Lupa akan kejadian yang ia alami sejak kemarin pagi. Matanya mengerjap beberapa kali sambil mengamati sekeliling. 

"Ah, aku nggak sedang bermimpi," ia bergumam. Lalu pendengarannya menangkap suara percikan air dari shower ya yang berasal dari salah satu sisi ruangan kamar. 

Ketika menajamkan pendengaran, ia segera yakin. Di dalam sana, mega pasti sedang membersihkan diri. Tak lama pintunya terbuka, dan mega keluar dari sana menggunakan stelan baby doll motif doraemon. 

Rambutnya yang panjang di tali sekenanya di pucuk kepala, dengan beberapa helai berjatuhan di pipi dan telinga, hingga menampakkan leher jenjangnya. Rambut itu ikut basah terkena air mandi. 

"Mega," Cakra memberanikan diri menyapa gadis itu, yang kemudian menoleh. Ia tersenyum. 

"Sudah mandi?" tanyanya. Lagi-lagi di dalam hati menggerutu, kenapa bodoh sekali pertanyannya? Sudah jelas mega baru keluar dari kamar mandi, masih bertanya begitu. 

"Sudah," Mega menjawab singkat tanpa menoleh, tetapi dapat di lihat bahwa gadis itu baru saja mengulas sebuah senyuman. Ia langsung duduk tertegun didepan meja riasnya.

"Mega," ia menoleh, lagi- lagi Cakra memanggilnya. 

"Apa kamu yang menyelimuti aku semalam?" tanyanya lagi sambil mengangkat ujung selimut menggunakan tangan kanannya. 

"Iya," jawab mega lagi. Cakra menyipit mendengar jawaban yang selalu singkat itu. Apakah memang sedingin itu, seorang mega? Tanyanya dalam hati. Namun, ia segera ingat akan kondisinya yang hanya di jodohkan. Sepertinya tak ada lelaki yang mau menikahi perempuan itu. 

Ia menepis pikiran buruk, segera mengulumn senyum dan berkata "makasih, ya." Gadis itu tak menjawab. Cakra kembali memutar otak, bagaimana caranya agar Mega bisa lebih terbuka kepadanya?

"Mega, kamar mandi di mana? Hm, maksudku, aku tidak bawa alat mandi. Bagaimana?" ia memancing. Gadis itu tercengang ketika melihatnya. 

Ia lalu berdiri, kembali mendekati lemari. Membuka dan mengeluarkan sebuah handuk berwarna biru navy, lalu menyerahkan ke depan Cakra dengan wajah tertunduk. 

"Pakai ini," ucapnya. Cakra tersenyum menerima handuk itu, "makasih," Ia menjawab sambil melangkah menuju kamar mandi. Namun sebelum tiba di depan pintu, ia kembali menoleh ke belakang. 

"Apa, sabunnya sudah ada di dalam?" 

Mega meliriknya sekilas sambil menganggukkan kepala. Kehabisan akal, Cakra masuk ke kamar mandi dan membersihkan badan. 

Setelahnya, ia keluar hanya dengan handuk melilit hingga ke lutut, karena lupa tak membawa baju ganti. Mega terperangah, hingga menjatuhkan beberapa botol tempat make-upnya. 

"Oh, maaf Mega. Aku nggak sengaja, aku lupa membawa baju ganti. Bisa minta tolong?" gadis itu nampak mengernyit, sebelum akhirnya bangkit. 

"Apa?" tanyanya. 

"Tolong ambilkan baju gantiku di dalam tas, ya," Cakra meminta. Gadis itu mengangguk, meraih tas yang tergeletak di bawah sofa. Membukanya dengan ragu. 

"Yang mana?" tanyanya sambil membolak-balikan tumpukan baju di dalam tas. 

"Yang mana saja, asal dipilihkan sama istri. Aku pasti akan pakai," mendengar Jawaban itu, sekilas Mega meliriknya sambil mendengus lirih, membuat Cakra terkekeh sendiri. Dalam hati merasa lega, telah ada perubahan dari diri Mega yang dingin dan pendiam itu. 

"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak. 

Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar Ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar. 

"Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status