"Mas?" Ia menyapa penuh harap, karena sejak dari meja makan tadi, suaminya selalu terdiam. Seolah tak peduli.
"Aku harus berangkat,"
"Mas, tunggu!" Sia-sia. Cakra sudah menghilang dari balik pintu. Meninggalkan Mega menatap daun pintu tertutup dengan pandangan tertegun. Ia mengerjap beberapa kali untuk menghalau agar genangan yang hendak tumpah itu menghilang.
"Katanya kamu mencintaiku, Mas. Tapi kenapa mudah menyerah?" Lirihnya dengan nafas tersengal, air mata pun bercurah tanpa halangan apapun.
Sementara itu, di perjalanan Cakra mengemudikan motor seperti lepas kendali. Berkali-kali tangan kanannya memukul stang dengan keras, diiringi umpatan tak jelas karena wajahnya tertutup helm standar.
Hari ini, sebenarnya ia tak ada jadwal mengajar. Hanya saja sebagai guru negeri, tidak boleh absen tanpa alasan jelas. Ia harus masuk tiap hari untuk absen.
Dari rumah pak moko hingga tiba di tempatnya mengaja
Sebelum menjawab, Cakra melepaskan nafas berat. Sangat berat dari biasanya."Bapak tetap pada pendiriannya," Ia menjawab lesu. Seketika membuat netra Mega membulat penuh."Meminta kita tetap berpisah?" Tebaknya. Cakra lagi-lagi lesu dalam mengangguk. Setelahnya, tak terdengar lagi Mega bersuara. Suaranya telah berganti menjadi isakan tertahan, hingga dadanya bergerak tak beraturan."Istriku. Boleh aku minta sesuatu untuk terakhir kalinya?""Apa itu?""Tubuh ini. Untuk yang terakhir," Cakra menjawab dengan membingkai wajah sang istri. Hingga tanpa terasa, ada butiran hangat meluncur bebas di pipinya.Sementara Mega, sekilas menatap nanar wajah suaminya. Ia lantas melengos dengan diiringi air mata mengalir pula."Mega," Lirih Cakra, menghadapkan kepadanya wajah basah itu. Membersihkan air matanya, meski terus-menerus mengalir semakin deras."Aku benci kata-kata t
Siang menjelang sore, selepas pulang dari sekolah. Cakra berada di kos-kosan sempit, tak jauh dari sekolah. Tempat itu ia pilih agar memudahkannya berjalan hingga ke sana. Sudah hampir lima belas menit, ia menatap hampa pada sebungkus nasi yang ia beli di pinggir jalan tadi. Juga sebotol air mineral. Belum tersentuh.Kehilangan. Sesakit inikah rasanya? Padahal semalam ia masih merasakan hangat tubuh sang istri, kini semua itu tinggal kenangan yang semakin diingat, semakin tercipta rasa nyeri.Tak ada siapapun yang mengetahui ia berada di tempat ini. Termasuk Mega, ataupun pak Tejo yang selalu menanyakan kabarnya. Saat ini, tak ada alat apapun untuk berkomunikasi. Hanya sebuah kartu sim yang tadi pagi ia lepaskan dari ponsel barunya.Ponsel baru? Iya. Beberapa bulan lalu, ia membeli dua benda pipih keluaran terbaru untuk dirinya sendiri dan istrinya kala itu. Cakra memalingkan wajah dari makanan dan minuman itu, ia memilih menyalak
Ia masuk, menyusul Lidya yang telah duduk di bangku, di depan pasangan muda sedang menikmati makanannya. Betapa kagetnya ia, ketika melihat siapa yang sedang makan di depannya itu."Kalian?" Pekiknya menatap kaget. Hingga membuat dia orang yang disapa itu mendongak, lantas saling mengernyit. Menatap Cakra dan teman wanitanya secara bergantian."Jadi kamu, rupanya? Bagus sekali ulahmu. Baru tadi pagi bercerai dengan Mega, sekarang sudah jalan bersama perempuan lain. Laki-laki macam apa kamu, ini?" Lelaki yang sedang menikmati bebek goreng itu mendengus, menghentikan aktifitasnya dalam menyuapi mulut."Mas, Bima. Tolong jangan salah paham dulu. Saya .... ""Apa? Semuanya sudah sangat jelas, kan?kami, melihat dengan mata kepala sendiri. Kamu jalan berdua dengan perempuan lain!" Bima menghardik, memotong ucapan Cakra sambil mengangkat telunjuknya ke arah Lidya, yang menunjukkan wajah ternganga.Cakra belum bisa men
Ia menoleh, bu Lidya memanggilnya dengan memasang wajah serius. Sepertinya, gadis itu pun hendak bertanya hal serius. Membuat detak jantung Cakra mendadak berpacu. Muncul rasa takut terlebih dahulu, padahal belum tau sosok di depan itu akan berbicara apa."Yang semalam itu siapa? Yang bilang bahwa bapak baru saja bercerai?"Sebuah ketakutan itu terjadi, sebelum Cakra berhasil menyimpulkan kegelisahannya. Bu Lidya benar-benar bertanya tentang kejadian semalam di warung tenda. Awalnya Cakra berfikir bahwa gadis itu telah melupakannya."Jadi sebenarnya bapak selama ini sudah menikah? Kenapa tidak pernah mengatakannya?" Cecar perempuan muda itu, netra lentiknya menatap ke arah Cakra tanpa berkedip.Mata indah berpoles riasan sederhana itu, sesekali menyipit, memperhatikan Cakra yang masih acuh. Tak segera menanggapi pertanyaannya tadi, lelaki itu hanya sibuk menjejali mulutnya hingga kedua pipinya menggembung.
Siang itu, Cakra baru pulang dengan membawa motor matic yang ia beli beberapa waktu lalu. Suasana yang panas, membuatnya merasa kehausan hingga mampir sebentar di depan penjual es dawet tak jauh dari tempat kosnya.Hidup di kos itu sangat mudah, asalkan ada uang, makanan dan minuman segala rupa sudah terhidang di pinggir jalan. Bagi para pekerja yang sibuk dikejar waktu, mungkin akan lebih baik setiap hari membeli makanan. Namun, berbeda bagi para pelajar.Apalagi mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Harus pintar membagi uang, juga pintar memilih tempat paling murah untuk mengisi perut.Hanya sebentar saja Cakra menghabiskan es dawetnya. Setelah membayar, ia kembali menyalakan motornya. Tangan yang hendak memutar gas tertunda, karena melihat seorang anak remaja berjalan kaki sendirian. Di lihat dari seragam yang dikenakan anak itu, nampak bahwa ia baru pulang dari sekolah sama dengan tempat kerja Cakra.Nurani
Aktifitas makan Cakra terhenti, ia melirik ke arah benda pipih yang tergeletak di dekat kotak nasi. Wajahnya mengernyit, ketika melihat nomor baru memenuhi layar, sedang melakukan panggilan WhatsApp."Lidya, aku Terima telepon dulu, ya," Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar rumah. Setengah tak percaya dengan panggilan masuk itu."Halo, Mega?" Ia menyapa pada seseorang di seberang telepon. Memang belum tertera namanya, tetapi ia hafal benar nomor itu."Halo?" Sapanya lagi. Untuk ke sekian kalinya, belum juga terdengar suara dari sana."Mega? Ini benar kamu, bukan?" Ia memekik lirih, tak sabar karena lawan bicara di seberang telepon tak mau merespon."Iya, mas," Jawaban lirih di sana, membuat Cakra tercengang tak percaya.Siksaan rindu yang semakin lama kian memudar itu, kini mendadak muncul setelah mendengar suaranya. Suara indah, yang hingga kini masih membekas dalam ingatan."Maa
Setelah puas memandangi keadaan luar, Cakra menutup pintu dan duduk di sofa tunggal depan TV. Sesekali netranya mengamati gawai di tangan, hendak mengirimkan pesan pada nomor Mega. Namun, hingga kini belum juga mengetik apapun.[Mega. Maafkan aku, jadi bersikap acuh. Aku, ingin bertemu denganmu. Boleh?]Lama ia mengamati pesan itu hingga benar-benar terkirim pada pemilik nomor yang dituju. Hanya saja, di bawah profil gambar perempuan dari arah belakang itu tidak tertulis tanda online. Hingga beberapa saat lamanya, tanda centang dua itu masih saja berwarna keabuan.Satu menit. Dua menit. Lima menit, dan tiga puluh menit berlalu. Tanpa ada tanda-tanda Mega membaca pesan itu. Gelisah, mulai menyergap benak Cakra yang masih memelototi layar enam inchi itu. Sesekali melirik ke arah TV, acara telah berganti dengan berita gosip para artis Ibukota.Jengah, ia mendengus pelan, karena pesan pada Mega tak kunjung dilihat. Kemana
Hari telah petang, ketika ia masuk ke dalam rumah. Ia baru menyadari bahwa di warung tadi, tak sempat memakan apapun. Dan kini perut kosongnya mulai meraung.Akhirnya, hanya dengan sebungkus Mie instan Cakra mengisi perutnya untuk bekal tidur semalam. Ia terperangah, ketika menyadari ada beberapa panggilan WhatsApp dari Mega. Beberapa saat lalu. Juga sebuah pesan.[Buat apa mas ingin ketemu saya? Bukankah mas Cakra sudah punya teman wanita lagi?]Deg!Mata elang itu membulat, lalu mendesah berat dan mengalihkan pandangannya dari layar kecil itu."Apa mungkin Bima bercerita pada keluarganya, tentang pertemuannya denganku waktu itu?" Gumamnya seorang diri. Tak ada siapapun yang menjawab, selain sayup-sayup suara kendaraan berlalu-lalang di jalanan depan sana.Matanya kembali menatap pada layar gawai yang telah berubah gelap, memegang erat benda itu, dengan rasa ragu yang entah apa sebabnya.Ak