LOGINCih! Hanya ingin uang rupanya? batin Livy, rasa jijiknya memuncak. Ia menggenggam erat tas selempangnya. Jika hanya uang, kenapa harus mengancam kamar hotel dan mengajak dua teman untuk ikut menikmati? Andai Bastian tak datang, aku pasti jadi santapan para hidung belang ini. Ia menahan diri agar tidak memprovokasi Wagner, takut memancing kecurigaan Noel.Wagner menatap Bastian dengan pandangan licik. Sudut bibirnya terangkat tipis, mencerminkan rencana busuknya. Aku ingin uang dari Livy, dan sekalian memeras Bastian. Mengancamnya dengan video yang akan sampai ke tangan istrinya pasti memberiku uang yang lebih banyak.Bastian menatap lurus ke arah Wagner. Apa yang sedang dipikirkan pria ini? Instingnya menajam. Raut wajahnya mengatakan dia sedang merencanakan hal buruk, instingku tak pernah salah. Kurasa ada hal lain yang dia inginkan selain kompensasi.“Kompensasi seperti apa yang kamu inginkan, Wagner?” tanya Bastian, ingin memperjelas tuntutan Wagner secara gamblang. Nada bicaran
Bastian menepati janjinya. Syukurlah, batin Livy. Ia merasa tenang karena kini ada yang menjaganya. Seharusnya aku bercerita dari awal, bukannya malah langsung menemui pria kotor ini.Livy masih tersenyum lega memandang Bastian, yang langsung menyapu pandangan ke seisi ruangan, hingga tatapannya terkunci pada Livy. Wanita yang telah membuatnya khawatir.Untung kamu tidak kenapa-napa, Livy, pikir Bastian sambil berjalan mendekat. Livy adalah anak buahnya, dan dia tidak akan membiarkan Wagner menyentuhnya.“Livy?” sapa Bastian, seolah baru menyadari kehadirannya. Ia menyipitkan mata, menatap tiga pria yang berdiri tak jauh dari tempat duduk Livy. Ia hanya mengenali Wagner. Siapa dua orang di dekat Wagner? Apa yang mereka lakukan di sini? pikirnya, mengkhawatirkan kemungkinan buruk jika ia datang terlambat.Sementara Bastian masih berbasa-basi, di sudut lain, Wagner sangat terkejut melihat kedatangan Dominic Bastian yang tiba-tiba. Ia bahkan langsung berdiri saat Bastian masuk.Sialan! B
“Maafkan aku, Bastian. Aku tidak bermaksud pergi tanpa memberitahumu. Aku hanya ingin menyelesaikan ini sendirian,” ujar Livy, menunduk karena merasa bersalah sekaligus gentar menghadapi tatapan tajam Bastian.“Menyelesaikan masalah apa, Livy? Kenapa kamu tidak terbuka?” desak Bastian. Ia menggeleng. “Jangan bilang ini hanya masalah keluarga. Aku mengenalmu, Livy. Masalah keluarga tidak akan membuatmu lari dari markas begitu saja.” Ekspresi tidak percayanya mengeras, menduga kuat ini berhubungan dengan video itu dan ketegangan di antara mereka.“Kamu benar, Bastian. Ini bukan masalah keluarga, tapi Wagner,” balas Livy, menyebut nama itu dengan nada berat. Ia berharap kejujuran akan membuat Bastian mengerti alasan tindakannya.“Wagner? Masalah apa dengannya? Jangan-jangan kamu punya hubungan dengan laki-laki itu?” tanya Bastian, bingung. Ia hanya sekilas pernah mendengar nama Wagner.“Tidak! Sama sekali tidak ada hubungan! Hanya saja, dia tadi menghubungiku. Katanya dia ingin bert
"Benarkah? Tapi jika punya masalah keluarga, kenapa dia tidak memberitahuku? Setidaknya kita bisa ikut membantu menyelesaikannya," tanya Bastian, berbicara lebih pada dirinya sendiri.Mey menjawab, "Mungkin Livy tak mau merepotkan kita, Tuan Dominic. Saya hanya menyarankan dia segera pulang.""Aku merasa masalah Livy bukan sekadar masalah keluarga. Mungkin lebih berat," ucap Bastian, kecemasan menguasainya.Kenapa pemikiran Tuan Dominic sama persis dengan Noel? batin Mey, menatap Bastian aneh.Bastian tak lagi memedulikan Mey. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel. Setelah menemukan kontak Livy, ia mencoba menghubungi."Sial! Kenapa tak diangkat," gerutu Bastian saat panggilan pertamanya gagal. Panggilan kedua pun tak terjawab. Raut wajahnya berubah gelap."Ada apa, Tuan Dominic?" tanya Mey khawatir."Livy. Sudah dua kali kuhubungi, tak dijawab," jawab Bastian."Bukankah dia pulang ke rumahnya?""Tidak. Perasaanku sangat tidak enak. Aku yakin Livy sedang dalam bahaya."Saat itu, Ch
"Aku tidak selingkuh, Noel! Kenapa kamu masih saja tak percaya!" seru Livy, keputusasaan bercampur kesal yang membakar tenggorokannya. Ia tahu mustahil menjelaskan masalah Wagner yang sedang ia hadapi tanpa membongkar seluruh kebohongannya."Kalau begitu, berikan ponselmu!" Noel bersikukuh, matanya menuntut. "Aku mau lihat, kamu benar-benar berselingkuh atau tidak?"Livy begitu kesal sekaligus ketakutan. Memberikan ponsel berarti menyerahkan bukti perselingkuhannya dengan Bastian, dan itu akan meledakkan segalanya. Pesan ancaman Wagner masih ada di sana."Berikan ponselmu!" seru Noel, tangannya bergerak cepat, berusaha merebut benda pipih itu.Livy mencengkeram ponselnya sekuat tenaga. Wajahnya memucat. Aku tak bisa di sini terus. Akan berbahaya jika Noel bisa merebut ponselku. Aku harus segera pergi.Di ruang tengah, Mey samar mendengar teriakan dan suara gaduh dari kamar Noel. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan untuk menghampiri. "Biar saja mereka berpikir aku ikut campur," g
'Wagner, aku sudah bertanya, hal penting apa? Jawab, atau ini buang-buang waktu.'Livy mendengus kesal. Pria itu sungguh menyebalkan.'Waahhh … sudah berani kamu padaku, Livy? Aku bisa saja menghancurkanmu dalam waktu sekejap.'Apa yang dia punya sampai berani-beraninya mengancamku? pikir Livy, jarinya berhenti di atas layar.'Punya apa kamu sampai mengancamku? Menghancurkanku dalam sekejap? Jangan mimpi, Wagner.'Di seberang sana, Wagner tertawa. 'Kamu terlalu percaya diri, Livy. Aku benar-benar akan menghancurkanmu jika tak menuruti perkataanku. Apa kamu tak tahu jika aku tahu tentang skandalmu dengan Bastian?''Apa maksudmu?' Livy membalas cepat.'Menarik, ya?' Wagner memancing.'Tak perlu berbasa-basi, Wagner. Katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku di hotel!''Oke, akan aku katakan padamu. Aku ingin membicarakan masalah skandalmu dengan Bastian.'Akhirnya Wagner memberitahukan tujuannya.'Satu lagi, jangan beritahu siapapun kalau aku dan kamu akan bertemu di hotel. Ka







