LOGINSeorang general manager, sekaligus orang yang cukup dihormati oleh seantero kota, membungkukkan badannya di hadapan seorang Bastian?
Siapa sebenarnya pria itu. “Kamu tidak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu!” ucap Bastian. Lantas Larry langsung berdiri dengan tegak sembari berkata, “Terima kasih banyak, Pak Bastian.” Kemudian Larry menoleh ke arah petugas keamanan dan juga Tommy. Tatapannya begitu tajam sehingga kedua pria itu takut untuk menatap balik. “Apa yang kalian lakukan kepada, Pak Basian? Berani-beraninya kamu memukul Pak Bastian!” geram Larry. Bastian sebenarnya juga bingung dengan sikap yang ditunjukkan oleh general manager Red Light Club. Sebab, dia tidak tahu kalau klub malam itu adalah miliknya. Daftar nama perusahaan yang menjadi bagian Big Dom corp. belum dia baca. “Pak Larry, kami berdua hanya menjalankan peraturan saja. Orang yang nggak punya member dilarang masuk,” terang Tommy, membela diri. Plaak! Larry, tanpa aba-aba sebelumnya, langsung meninju pipi kiri Tommy di titik yang sama dengan serangan yang dia terima dari Bastian. “Kamu tahu dia itu siapa? Dia itu —" Bastian memegang pundak Larry seraya berkata, “Ada hal-hal penting yang seharusnya tidak kamu katakan di sini.” Larry langsung menutup mulutnya. Hampir saja dia membocorkan siapa Bastian sesungguhnya. “Baik, Pak Bastian!” ucap Larry, begitu sopan. Sekujur tubuh Tommy dan petugas keamanan itu, banjir oleh peluh. Mereka tidak tahu siapa Bastian sesungguhnya. Namun mereka menyadari kalau Bastian bukan orang sembarangan. “Apa kamu bisa membawaku ke dalam? Soalnya dua orang itu melarangku masuk ke dalam. Padahal aku sudah mengatakan kalau istriku sedang bersama dengan beberapa pria di dalam. Aku khawatir dia kenapa-kenapa,” kata Bastian. “Tentu saja bisa, Pak Bastian,” jawab Larry. Kemudian Larry menoleh ke arah kedua anak buahnya yang sudah kurang ajar kepada Bastian. “Kalian benar-benar kurang ajar!” geram Larry. Lalu, pria itu memanggil petugas keamanan yang lain melalui HT. 3 orang petugas keamanan yang ada di dalam klub dan 2 orang petugas keamanan yang menjaga area luar klub, datang dengan sangat cepat. “Habisi dua orang ini.Setelah itu bawa dia ke perkebunan anggur. Suruh dia menjadi petani di sana!” seru Larry. Kelima orang penjaga keamanan itu terkejut mendengarnya. Mereka semua mengenal kedua orang itu. “Tapi Pak —" “Ikuti perintahku atau kalian semua aku pecat!” ancam Larry. Mau tidak mau, kelima petugas keamanan itu menjalankan perintah dari sang general manager. “Pak Larry, maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Tommy. Kemudian pria itu menoleh ke arah Bastian. Lalu, dia berkata, “Bastian, maafkan aku. Kita ini teman, bukan? Kamu yang mengatakannya tadi.” “Cih!” Bastian meludah ke depan Tommy. “sejak kapan aku punya teman sepertimu?” Baru saja Tommy akan mengatakan sesuatu, wajah dan perutnya sudah diserang oleh petugas keamanan klub. Pukulan yang disarangkan kepada pria itu, datang dengan bertubi-tubi. Satu detik dia mendapat 5 serangan. Pria itu pun terkapar. “Mari, Pak Bastian, saya antar ke dalam!” ucap Larry dengan suara yang begitu ramah. Bastan mengangguk. Dia kemudian menoleh ke arah temannya yang sedang dipukuli, lalu berkata, “Aku harap suatu saat nanti kamu nggak lagi menganggap remeh dan menyakiti hati orang lain.” Kemudian pria itu pun berjalan masuk ke dalam klub alam yang tampak begitu mewah dengan dominasi warna hitam dan merah. “Larry. Kamu mengenalku?” tanya Bastian. “Tentu. Anda adalah pemilik Red Light Club yang baru. Mana mungkin aku tidak mengenal Anda,” jawab Larry. Bastian tercengang. Tentu ini sangat mengejutkan baginya. Namun kemudian dia langsung teringat dengan email mengenai surat ahli waris itu. Bastian pun akhirnya sadar kalau dia bukanlah Bastian yang dulu. “Istriku dibawa oleh James Warren untuk membicarakan bisnis dengan salah satu investor. Cepat cari di mana ruangan mereka!” seru Bastian. Larry menganggukkan kepalanya. Kemudian dia pun langsung menghubungi anak buahnya untuk mencari keberadaan James Warren. Hanya butuh kurang dari 1 menit, hingga posisi James dapat ditemui. “James Warren berada di ruang karaoke nomor 12, Pak,” terang salah satu anak buah Larry. “Istri Bapak ada di ruang karaoke nomor 12. Mari saya tunjukkan jalannya!” seru Larry. Mereka berdua langsung bergegas menuju ke ruangan karaoke tersebut. Bastian berjalan dengan mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat hingga urat-uratnya timbul. “Jika terjadi apa-apa dengan Alexa, aku nggak akan memaafkanmu!” gumam Bastian. Kini mereka sudah berada di depan ruang karaoke di mana Alexandra berada. “Apa yang harus kita lakukan, Pak Bastian? Kita langsung masuk saja dan menghajar orang-orang yang mengganggu istri Pak Bastian, atau bagaimana?” tanya Larry yang tidak mau asal membuat keputusan. Bastian tahu istrinya sedang membicarakan tentang kerjasama perusahaan dengan seseorang yang akan menjadi investor. Dia tidak boleh gegabah. Jika dia memutuskan masuk dan ternyata di dalam sedang benar-benar membicarakan bisnis, istrinya pasti akan marah. Dan kerjasama itu pasti gagal. “Apa di dalam ada CCTV?” tanya Bastian. “Sejujurnya, di setiap ruangan ada kamera tersembunyi yang dilengkapi dengan teknologi infrared. Namun hanya pemilik Red Light Club saja yang bisa mengaksesnya,” terang Larry. Bastian mengangkat kedua alisnya. “Ah, maafkan aku, Pak Bastian.” Larry sadar kalau orang yang sedang berbicara dengannya adalah pemilik Red Light Club. Larry kemudian langsung mengakses portal keamanan klub malam via ponselnya. Lalu dia masuk ke fitur kamera pengawas 4. “Silakan diisi PIN-nya, Pak.” Larry berkata sambil menyerahkan ponselnya. “Kode PIN? Aku tidak tahu kodenya,” kata Bastian. Larry langsung menunduk lemas. Lalu, dia berkata “Kalau gitu kita nggak bisa mengakses kamera pengawas.” Bastian kemudian langsung mengambil ponselnya dan membuka email tentang daftar perusahaan yang kini dia miliki. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya dia menemukan nama Red Light Club. Bastian melewati mengenai detail perusahaan dan langsung mencari sebuah kode rahasia atau PIN yang tertera di sana. “Ah, ini dia.” Bastian akhirnya menemukan keterangan kode rahasia di sana. Bastian memasukkan kode rahasia itu kepada akses PIN yang dibutuhkan untuk membuka kamera pengintai. Akses diterima Bastian langsung bisa melihat jelas bagaimana keadaan di dalam ruangan. Di dalam ruangan terdapat 3 orang. Alexa duduk diapit oleh James dan seorang pria tua berperut buncit. Ada 4 orang yang berdiri di pojok ruangan yang merupakan pengawal si pria tua. Bastian naik pitam ketika melihat istrinya terus dipaksa oleh James untuk meminum alkohol padahal posisinya sudah mabuk. “Ayo, satu gelas lagi, Alexa! Pak Michael sudah mengangkat gelasnya. Kalau dia kecewa dan marah, kesepakatan perusahaanmu dengan pak Michael akan gagal!” paksa James. “Baiklah!” Alexa pun meminum satu sloki lagi. James dan Michael bersorak untuk Alexa. Tiga detik kemudian, Alexa pun akhirnya jatuh di pelukan James dan tidak sadarkan diri. “Dia sudah mabuk berat, Pak Michael. Bapak bisa menikmatinya sekaran,” kata James, tersenyum lebar. “walau dia sudah punya suami, tapi aku jamin kalau dia belum tersentuh.” “Hahaha … senang menjalin kerjasama denganmu, James. Secepatnya, aku akan menyuruh asistenku untuk mengirim uang ke perusahaanmu,” ucap Michael. Bastian tidak bisa menahan lagi, ketika dia melihat Michael memeluk Alexa. “Kamu diam di sini. Jangan bocorkan identitasku kepada siapapun!” seru Bastian. “Baik!” ucap Larry. Bastian kemudian menendang pintu ruang karaoke itu dengan sangat keras. Semua orang yang ada di sana terperanjat. Michael yang baru akan menyentuh bibir Alexa, nyaris melompat mendengar pintu didobrak. “Lepaskan istriku!” pekik Bastian. James langsung berdiri. Dia tidak bisa membiarkan membiarkan kerjasama dengan Michael gagal karena kedatangan Bastian. “Bastian! Kami sedang membicarakan tentang kerjasama perusahaan. Mau ngapain kamu masuk?” “Bajingan! Berani-beraninya kamu menjual istriku untuk keuntunganmu!” pekik Bastian. Plaak! Tanpa ampun, sebuah pukulan mendarat di wajah James dengan sangat keras hingga membuat James jatuh ke sofa. “Beraninya kamu memukulku!” geram James. Bastian tidak peduli. Dia pun menoleh ke arah pria tua yang mengenakan setelan jas berwarna hitam yang masih saja memeluk tubuh istrinya. “Tua banngka! Lepaskan istriku!” pekik Bastian. “Hahaha ... mungkin kamu bisa memukul James. Tapi kamu nggak mungkin bisa memukulku, Menantu Sampah!” ucap Michael begitu percaya diri karena dia membawa pengawal. “Kenapa aku nggak bisa memukulmu? Sangat mudah bagiku untuk melakukan itu,” geram Bastian. Michael mengangkat tangan kirinya dan menggerakkan telapak tangannya, menyuruh Bastian untuk maju. “Sini maju! Aku akan melihat kemampuanmu untuk melewati anak buahku sambil menikmati tubuh istrimu ini. Sayang sekali, wanita secantik ini tapi masih suci. Mungkin memang kesuciannya itu ditakdirkan untukku,” kata Michael, tersenyum lebar. “Jika kamu berani melakukan itu, akan kubunuh, kau!” pekik Bastian. Kemudian pria itu pun bergerak untuk menyerang Michael. Namun, sebuah tendangan mendarat di perutnya hingga membuat dia terpental. “Sebelum menyentuh Bos Michael, lewati kami dulu!” ucap seorang pria berwajah kotak dengan rahang yang tampak kokoh. Setelah itu, 4 orang pengawal Michael menyerang Bastian. Tanpa diduga, Bastian yang menguasai beberapa ilmu beladiri yang dipelajari semenjak kecil ketika dia berada di panti asuhan, mampu menghindari semua serangan yang dilancarkan kepadanya. Bastian bergerak bagaikan ular. Meliuk-liuk untuk menghindari serangan lawan. Entah bagaimana caranya Bastian menyentuh para pengawal Michael karena sedari tadi hanya terlihat serangan dari keempat pria itu. Namun kini, keempat anak buah Michael telah tumbang. Bastian dengan napas tersengal berkata, “Kamu lihat! Sekarang, kamu yang akan kuhabisi!” Michael tercengang melihat keempat anak buahnya tumbang dengan begitu mudah. Bastian melangkahkan kakinya. Namun tiba-tiba, tubuhnya tidak bisa bergerak. Sebuah kuncian mengikat tubuhnya dari belakang. “Berpikir menang, memang membuat seseorang menjadi lemah!” ucap seorang pria berbadan tinggi besar yang sedang mengunci Bastian dengan teknik anaconda. “Brengsek!”"Benarkah? Tapi jika punya masalah keluarga, kenapa dia tidak memberitahuku? Setidaknya kita bisa ikut membantu menyelesaikannya," tanya Bastian, berbicara lebih pada dirinya sendiri.Mey menjawab, "Mungkin Livy tak mau merepotkan kita, Tuan Dominic. Saya hanya menyarankan dia segera pulang.""Aku merasa masalah Livy bukan sekadar masalah keluarga. Mungkin lebih berat," ucap Bastian, kecemasan menguasainya.Kenapa pemikiran Tuan Dominic sama persis dengan Noel? batin Mey, menatap Bastian aneh.Bastian tak lagi memedulikan Mey. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel. Setelah menemukan kontak Livy, ia mencoba menghubungi."Sial! Kenapa tak diangkat," gerutu Bastian saat panggilan pertamanya gagal. Panggilan kedua pun tak terjawab. Raut wajahnya berubah gelap."Ada apa, Tuan Dominic?" tanya Mey khawatir."Livy. Sudah dua kali kuhubungi, tak dijawab," jawab Bastian."Bukankah dia pulang ke rumahnya?""Tidak. Perasaanku sangat tidak enak. Aku yakin Livy sedang dalam bahaya."Saat itu, Ch
"Aku tidak selingkuh, Noel! Kenapa kamu masih saja tak percaya!" seru Livy, keputusasaan bercampur kesal yang membakar tenggorokannya. Ia tahu mustahil menjelaskan masalah Wagner yang sedang ia hadapi tanpa membongkar seluruh kebohongannya."Kalau begitu, berikan ponselmu!" Noel bersikukuh, matanya menuntut. "Aku mau lihat, kamu benar-benar berselingkuh atau tidak?"Livy begitu kesal sekaligus ketakutan. Memberikan ponsel berarti menyerahkan bukti perselingkuhannya dengan Bastian, dan itu akan meledakkan segalanya. Pesan ancaman Wagner masih ada di sana."Berikan ponselmu!" seru Noel, tangannya bergerak cepat, berusaha merebut benda pipih itu.Livy mencengkeram ponselnya sekuat tenaga. Wajahnya memucat. Aku tak bisa di sini terus. Akan berbahaya jika Noel bisa merebut ponselku. Aku harus segera pergi.Di ruang tengah, Mey samar mendengar teriakan dan suara gaduh dari kamar Noel. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan untuk menghampiri. "Biar saja mereka berpikir aku ikut campur," g
'Wagner, aku sudah bertanya, hal penting apa? Jawab, atau ini buang-buang waktu.'Livy mendengus kesal. Pria itu sungguh menyebalkan.'Waahhh … sudah berani kamu padaku, Livy? Aku bisa saja menghancurkanmu dalam waktu sekejap.'Apa yang dia punya sampai berani-beraninya mengancamku? pikir Livy, jarinya berhenti di atas layar.'Punya apa kamu sampai mengancamku? Menghancurkanku dalam sekejap? Jangan mimpi, Wagner.'Di seberang sana, Wagner tertawa. 'Kamu terlalu percaya diri, Livy. Aku benar-benar akan menghancurkanmu jika tak menuruti perkataanku. Apa kamu tak tahu jika aku tahu tentang skandalmu dengan Bastian?''Apa maksudmu?' Livy membalas cepat.'Menarik, ya?' Wagner memancing.'Tak perlu berbasa-basi, Wagner. Katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku di hotel!''Oke, akan aku katakan padamu. Aku ingin membicarakan masalah skandalmu dengan Bastian.'Akhirnya Wagner memberitahukan tujuannya.'Satu lagi, jangan beritahu siapapun kalau aku dan kamu akan bertemu di hotel. Ka
"Kita kembali ke markas sekarang!" tegas Diego.Para pasukan serentak menjawab, "Baik, Tuan." Mereka segera masuk ke mobil yang sudah menunggu. Kewaspadaan mereka tak berkurang; ancaman serangan Bernard terasa dekat. Mereka tahu, kelengahan sekecil apa pun bisa menjadi celah bagi musuh.Sementara Diego dalam perjalanan, di markas, seseorang tengah didera kekesalan. Bastian, duduk di kursi ruang tengah, terlihat sangat geram. Ia baru saja memutuskan sambungan telepon."Sial! Ternyata dia tak semudah itu untuk disingkirkan," ucap Bastian lirih, memijat keningnya yang berdenyut pusing.Master Lee, Antoine, dan yang lainnya duduk tegang di ruangan yang sama."Ada apa, Bastian? Masalah apa?" tanya Master Lee, melihat raut wajah Bastian menahan amarah."Anak buah Bernard mengikuti Brigit saat keluar dari Big Dom Corp," jawab Bastian, raut kekhawatiran terlihat jelas."Lalu, apa yang terjadi, Tuan Dominic?" kali ini Antoine yang bertanya."Aku mengirimkan pasukan tambahan satu mobil untuk me
Setelah keluar dari ruangan Bernard, Brigit langsung menuju ruangan Amber. Di sana, ia melihat Amber asyik berbincang dengan Patrick di ruangan dekat Bernard. Brigit merasakan hawa tegang yang membuatnya ingin segera pergi."Amber!" seru Brigit, berjalan mendekat, memasang wajah cemas.Brigit terlihat agak canggung. Amber, meski menyadarinya, tetap mengikuti skenario. "Ya, Brigit. Apa urusanmu dengan Bernard sudah selesai?""Sudah, tapi belum tuntas," jawab Brigit, berusaha setenang mungkin. Jantungnya berdebar kencang."Kalau belum selesai, kenapa harus buru-buru? Sebaiknya selesaikan saja sekarang," usul Amber, pura-pura tidak mengerti."Tidak bisa, Amber. Tiba-tiba aku ada urusan mendadak yang tidak bisa ditunda sedetikpun." Brigit menolak cepat.Ada apa, Brigit? Kenapa dia tergesa-gesa sekali? batin Amber, menyadari kegugupan temannya."Cepat, Amber!" seru Brigit, mendesak.Patrik tidak suka melihat Brigit mengajak Amber pergi terburu-buru. Wajahnya mengeras. "Kenapa buru-buru, Br
Setelah keluar dari ruangan Bernard, Brigit langsung menuju ruangan Amber. Di sana, ia melihat Amber asyik berbincang dengan Patrik di ruangan dekat Bernard."Amber!" seru Brigit, berjalan mendekat.Brigit terlihat agak canggung. Amber, meski menyadarinya, tetap mengikuti skenario. "Ya, Brigit. Apa urusanmu dengan Bernard sudah selesai?""Sudah, tapi belum tuntas," jawab Brigit, berusaha setenang mungkin."Kalau belum selesai, kenapa harus buru-buru? Sebaiknya selesaikan saja sekarang," usul Amber."Tidak bisa, Amber. Tiba-tiba aku ada urusan mendadak." Brigit menolak cepat.Ada apa, Brigit? Kenapa dia tergesa-gesa sekali? batin Amber."Cepat, Amber!" seru Brigit, kembali mendesak.Patrik tidak suka melihat Brigit mengajak Amber pergi terburu-buru. "Kenapa buru-buru, Brigit? Aku dan Amber belum selesai mengobrol.""Iya, Brigit. Kenapa tergesa-gesa?" tanya Amber, sambil memberi kode bahwa ia sedang mendekati Patrick."Amber saja belum ingin cepat-cepat pergi. Kenapa justru kamu yang me







