Share

Pemilik Baru

Author: Falisha Ashia
last update Last Updated: 2025-04-29 16:27:10

Meski telah diancam oleh ibu mertuanya, Bastian tetap pergi. Baginya keselamatan Alexa adalah yang paling utama.

Ketika dia tiba di parkiran motor, ternyata dia tidak begitu terlambat. Sebab, James dan Alexa baru saja melewati penjagaan dan masuk ke dalam klub dengan mulus.

Langsung saja Bastian berlari menuju pintu masuk. Namun, ketika berada di depan pintu masuk, dia ditahan oleh seorang petugas keamanan.

“Tolong perlihatkan membernya!” seru petugas keamanan yang berbadan besar.

Bastian bingung. Jelas dia tidak memiliki member.

“Aku nggak punya. Tapi aku mau masuk ke dalam karena istriku sedang bersama dengan pria. Aku khawatir terjadi apa-apa dengannya,” terang Bastian.

“Hanya yang memiliki member yang boleh masuk ke dalam! Ini adalah klub malam yang paling eksklusif di Jakarta. Tidak semua orang bisa masuk ke dalam. Hanya yang punya member saja yang diizinkan masuk. Jadi karena kamu nggak punya member, kamu nggak bisa masuk,” kata petugas keamanan itu. “sudah sana pergi!”

“Tapi Pak. Istri saya sedang ada di dalam. Dia bisa saja menjadi korban pelecehan atau yang lainnya. Tolong biarkan saya masuk untuk menyelamatkan istri saya,” ucap Bastian sampai memohon.

Sudah sering dia mendengar cerita mengenai James dari Alexa kalau pria itu memiliki gairah yang tinggi. Hampir semua wanita yang dia bawa, berakhir di ranjang. Ada yang sukarela, ada yang dipaksa dengan berbagai macam cara. Dan Bastian khawatir cara terakhir itu dilakukan oleh James.

Alexandra tidak boleh tersentuh.

“Aku tidak melihat ada tamu yang datang dengan dipaksa. Semua tamu, terutama wanita, semuanya menunjukkan raut wajah bahagia. Lagi pula tempat ini bukan hotel, jadi tidak mungkin akan ada kejadian seperti itu. Kalau ada, kami yang akan mengurusnya. Tenang saja!” ucap petugas keamanan yang berbadan besar dan berkulit gelap itu.

Bastian menggelengkan kepalanya. Lalu, dia mendorong tubuh petugas keamanan itu seraya berkata, “Aku harus masuk!”

Kokohnya tubuh sang petugas keamanan itu karena dia adalah mantan tentara yang harus pensiun dini, bergeming mendapati dorongan dari Bastian.

“Apa yang aku katakan tidak jelas? Sana pergi! Kamu hanya mengganggu ketertiban klub malam ini!” petugas keamanan itu langsung mendorong tubuh Bastian hingga terjatuh.

Ketika itu terjadi, seorang pria dengan rambut klimis yang disisir ke belakang, berjalan menghampiri sambil berkata, “Apa yang terjadi? Jangan ada keributan di sini!”

Pria yang mengenakan setelan jas berwarna hitam itu kemudian melihat orang yang sedang terjatuh. Dia amat terkejut karena dia mengenal orang itu.

“Bastian?”

Sambil berusaha berdiri, Bastian berkata, “Tommy! Kamu ada di sini juga.”

“Aku bekerja di sini. Apa yang terjadi?”

“Jadi begini …,”

Bastian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan juga permasalahan istrinya.

“Ah, jadi begitu, ya?” Tommy menganggukkan kepalanya. Lalu dia menoleh ke arah petugas keamanan.

“Kamu ini gimana, sih! Istrinya lagi sama beberapa pria di dalam. Kenapa kamu nggak kasih dia masuk?” omel Tommy.

“Maaf Pak Supervisor. Tapi, memang aturannya seperti itu. Saya hanya menjalankan peraturan saja,” kata sang petugas keamanan, membela diri.

Bastian tersenyum lebar ketika mendengar kalau temannya itu adalah seorang supervisor di klub malam itu. Sudah pasti Tommy akan menolongnya.

“Memangnya kamu nggak lihat ada wanita yang dipaksa masuk ke dalam? Kalau istrinya temanku ini dilecehin sama orang-orang itu gimana?” tanya Tommy dengan suara yang sedikit meninggi namun mimik wajahnya terlihat datar.

“Saya nggak ngeliat ada yang datang terpaksa,” terang sang kepala keamanan.

Tommy memasang wajah penyesalan. Lalu, dia menoleh ke arah Bastian.

“Duh, Bas, gimana ya? Satpamku ini nggak ngeliat ada pemaksaan. Dan juga nggak ada laporan pelecehan yang masuk. Jadi, sepertinya istrimu masih baik-baik saja. DIa sedang menikmati malam,” kata Tommy.

Bastian mengerutkan keningnya. Jelas dia tidak tahu apa yang dimaksud oleh teman SMA-nya itu, “Maksud kamu gimana? Bisa tolong aku untuk masuk ke dalam nggak? Aku mau menjaga Alexa.”

Tommy mendengus. Lalu, dia berkata, “Memangnya masih belum jelas? Orang miskin sepertimu nggak bisa masuk ke dalam Red Light Club. Hanya orang terpilih dari kalangan konglomerat yang bisa masuk. Jadi, lebih baik kamu nunggu di parkiran aja atau kamu pulang ke rumah mertuamu dan mencuci piring dulu. Nanti setelah istrimu selesai bersenang-senang, dia akan pulang sendiri.”

“Kok kamu gitu sih? Bukannya kita teman? Walau kita sudah lama nggak ketemu, tapi seenggaknya kita saling kenal sudah lama. Tolonglah bantu aku masuk, Tom. Aku janji kalau kamu membantuku sekarang, aku akan membantumu di kemudian hari,” ucap Bastian.

“Teman? Aku menganggapnya berbeda. Kamu itu manusia paling munafik yang pernah aku temui. Kamu ingin membantuku? Menghidupi diri sendiri saja nggak bisa. Mau berlagak membantuku! Ngaca dulu sebelum bicara.” Tommy berkata dengan raut wajah yang meremehkan.

Bastian terkejut. Pasalnya selama ini dia tidak pernah berselisih dengan Tommy. Hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan sering bertegur sapa di sekolah waktu dulu.

Apa yang membuat Tommy berubah?

“Kejadian malam ini adalah karenamu. Sudah miskin dari lahir, eh, besarnya nggak ada perubahan. Malah sekarang kamu jadi menantu sampah yang hanya mengandalkan uang istri. Pantas saja kalau istrimu bersenang-senang dengan pria lain. Dia juga pasti muak denganmu,” kata Tomy sangat tajam.

Bastian tersulut amarah. Wajahnya memerah dan kedua telapak tangannya mengepal dengan sangat keras hingga urat-uratnya tampak.

“Kamu boleh saja menghinaku. Tapi, jangan pernah kamu menilai buruk mengenai istriku!” geram Bastian.

Tommy mengangkat kedua alisnya. Lalu, ia berkata, “Hah? Memangnya apa yang mau kamu lakukan? Aku berbicara yang sebenarnya. Istrimu datang dengan bahagia. Dia pasti sangat menikmati disentuh oleh banyak pria. Hahaha...”

Plak!

Sebuah pukulan mendarat telak di wajah Tommy hingga membuatnya tersungkur dengan sangat telak.

“Aku sudah memperingatkanmu!”

Melihat kejadian itu, petugas keamanan langsung menyerang Bastian untuk membela sang supervisor.

“Berani sekali kamu memukul supervisor!” ucap petugas keamanan itu.

Sebuah pukulan dilepaskan oleh petugas keamanan itu. Tapi Bastian mampu menghindar dengan baik.

“Kamu akan kubuat menjadi perkedel!” pekik sang petugas keamanan seraya melepaskan sebuah pukulan lagi.

Kali ini, Bastian menangkisnya. Lalu, dia membalas memukul wajah sang petugas keamanan yang mengenai pipi kiri pria itu.

Seorang pria bertubuh kurus, berkulit putih dan berambut pendek, melihat kejadian itu dengan sangat jelas dari dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk klub.

Charlie mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Cepat keluar klub. Anak buahmu sedang mencari masalah dengan pemilik baru Red Light Club!” seru Charlie.

“Apa? Pemilik baru? Maksudnya pak Bastian Dominic?” tanya sang general manager.

“Benar!”

“S-saya akan ke sana!” ucap sang GM dengan suara yang gemetar ketakutan.

Pagi tadi, Larry, general manager Red Light Club, mendapat surat resmi yang menyatakan perpindahan pemilik dari Sectio Dominic kepada Bastian Dominic.

Jelas, jika Bastian marah kepadanya karena ulah dari anak buahnya, pekerjaannya terancam. Dia tidak mau itu terjadi. Oleh sebab itu, pria berbadan gempal itu pun langsung berlari ke depan klub.

Ketika sampai di depan pintu masuk, dia melihat petugas keamanan bersama dengan Tommy sedang berkelahi dengan seorang pria berpakaian lusuh.

2 lawan 1. Tapi Bastian tidak tersentuh.

“Hentikan!” seru Larry dengan suara yang lantang.

Tommy dan petugas keamanan itu langsung menoleh ke sumber suara. Bastian pun sama,

“Pak GM?”

Tommy terkejut dengan kedatangan atasannya itu. Dia pun lantas berjalan menghampiri untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Namun, Larry tidak mengindahkannya. Pra itu berlari menghampiri Bastian dan membungkukkan badannya 90 derajat.

“Selamat datang, Tuan Bastian! Mohon maaf atas perlakuan anak buahku!” ucap Larry dalam posisi membungkuk.

Tommy terbelalak. Dia sangat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Larry.

“A-apa? Kenapa dia bisa begitu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Tak Ternilai   Kamulah Pewarisku!

    Aula utama keluarga Dominic dipenuhi oleh bayangan orang-orang besar malam itu. Lampu gantung berkilau dingin, memantulkan cahaya pada wajah-wajah yang tegang. Di kursi panjang bagian depan, duduk para pewaris, pengurus, dan keluarga inti, sementara di belakang, para penasihat dan penjaga menunggu dengan napas tertahan.Suasana begitu kaku hingga suara jam dinding pun terdengar menyeramkan.Patrick duduk diam, tangannya mengepal di bawah meja. Nico menunduk, sementara Bernard, dengan jas hitamnya yang rapi dan mata penuh perhitungan, berdiri di tengah aula seolah itu miliknya.“Jadi, semua sudah sepakat,” ujar Bastian dengan suara tenang, memecah keheningan. “Kepemimpinan Dominic Group akan kembali pada garis utama keluarga. Bukan pada dewan bayangan yang memanfaatkan nama Dominic demi keuntungan pribadi.”Beberapa kepala menunduk, yang lain berbisik tak berani menatapnya. Tapi Bernard hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan.“Sepakat? Kau bicara seolah dunia ini tunduk padamu

  • Menantu Tak Ternilai   Pertemuan Besar

    Langit sore di atas kediaman besar keluarga Dominic berwarna kelabu, seolah ikut menunduk menyambut hari yang akan menorehkan sejarah baru. Angin membawa aroma hujan, berdesir lembut di antara pepohonan tua yang mengelilingi halaman batu.Satu per satu mobil hitam berhenti di depan tangga marmer megah. Dari mobil pertama keluar Patrick, mengenakan setelan armani gelap. Tatapannya kosong, tapi langkahnya pasti. Ia tahu, di balik pintu besar itu, masa depan seluruh dinasti Dominic sedang dipertaruhkan.Mobil berikutnya tiba tak lama kemudian. Dari dalam muncul Bernard Dominic, lelaki paruh baya dengan sorot mata tajam dan wajah dingin penuh percaya diri. Di tangannya tergenggam tongkat kepala singa simbol otoritas yang selama ini menandai siapa pengendali kekuasaan keluarga. Ia menatap langit sebentar, lalu berbisik pelan,“Sekarang waktunya, Sectio. Aku akan menuntut hakku.”Beberapa detik kemudian, Nico datang. Ia tampak canggung, langkahnya ragu-ragu di antara batu basah. Tak satu pu

  • Menantu Tak Ternilai   Api Dalam Bayangan

    “Bagaimana?” tanya Charlie dengan nada tegang begitu Noel kembali ke meja. Tatapannya tajam, menunggu laporan tentang dua pria berbaju hitam yang sejak tadi mereka curigai.Noel menarik napas pelan, menatap keluar jendela restoran. “Fix. Mereka anak buah Patrick. Aku yakin seratus persen. Dan aku khawatir, mereka sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengawasan.”Charlie mengernyit. “Maksudmu?”“Mereka ingin menggunakan Amber sebagai umpan,” ucap Noel dingin. “Memaksa Tuan Dominic menyerahkan kekuasaan kepada Bernard.”Ucapan itu menggantung berat. Patrick bukan orang yang bergerak tanpa rencana—dan jika Bernard turun tangan, berarti ini bukan sekadar persaingan keluarga, tapi perang terbuka.“Kita harus bertindak,” kata Charlie akhirnya.Noel mengangguk. “Tangkap mereka sebelum mereka sempat menyentuh Amber. Tapi setelah itu, kita bungkam mereka. Kalau Bernard tahu Patrick menemui Amber, reputasi keluarga Dominic bisa hancur sebelum Bastian sempat bergerak.”Charlie

  • Menantu Tak Ternilai   Pertemuan

    Patrick memacu mobilnya menuju restoran yang telah disepakati. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya sejak tadi, terbayang Amber dengan gaun merah yang ia minta semalam.Namun di belakang mobilnya, dua anak buah Bernard membuntuti. Kamera mereka terus aktif, mengirimkan foto dan video ke ponsel sang tuan.“Patrick menuju restoran,” laporan singkat masuk.Bernard memijat pelipisnya di dalam mobil. Wajahnya mengeras.“Terus pantau. Aku ingin tahu siapa yang ia temui sampai berani berbohong soal sakitnya.”Beberapa menit kemudian, ia menerima video baru, Patrick tampak sehat dan bersemangat, jauh dari pura-pura lemas yang ia tunjukkan tadi pagi. Bernard mendesis pelan.“Kalau kau berkhianat padaku, Patrick… aku sendiri yang akan menguburmu.”Patrick sampai di restoran dan mencari-cari sosok Amber. Sekilas panik, takut gadis itu sudah pulang karena menunggu terlalu lama. Tapi suara lembut dari arah kanan membuatnya menoleh.“Di sini,” sapa Amber sambil melambaikan tangan.Gaun merah itu m

  • Menantu Tak Ternilai   Tidak Benar-benar Percaya

    Patrick menggigit bibir setelah panggilan Bernard terputus. Ia segera menghubungi Amber, menunda kencan pertama yang sudah direncanakan. Rasanya sial: rencana yang manis harus tertunda karena gangguan besar.“Halo, Amber,” sapanya saat sambungan tersambung. “Maaf, aku hampir sampai, tapi ada urusan mendesak. Aku harus putar balik dulu.”Amber panik. “Ada apa? Kamu tidak kecelakaan, kan? Atau banmu pecah?”“Tidak. Hanya ada masalah yang harus segera kuselesaikan. Daripada kepikiran waktu bertemu, lebih baik aku urus dulu.” Patrick berbohong tipis, menutup fakta: Bernard akan datang ke rumahnya.“Kalau begitu aku panggil montir saja, ya? Bisa ganti ban di situ.” Amber mencoba membantu.“Ide bagus. Maaf sudah janji menjemputmu, tunggu sebentar, aku akan segera kembali.” Setelah memutus, Patrick menyetel napas, memacu mobil ke arah rumah.Di jalan ia melajukan mobil, menerabas lampu merah; fokusnya hanya satu: sampai lebih dulu di rumah sebelum Bernard tiba. Di kepala berputar skenario ba

  • Menantu Tak Ternilai   Permainan Yang Berawal Dari Kebohongan

    Mereka tengah membicarakan Amber ketika pintu ruang kerja terbuka. Wanita itu muncul tergesa, belum berganti pakaian, namun sudah mengenakan make up. Wajahnya terlihat berseri, seolah menahan antusias yang tak bisa disembunyikan.“Ada apa lagi?” tanya Bastian heran. “Kau sudah dua kali ke sini hari ini.”Amber tersenyum canggung. “Hanya ingin memastikan kalau aku benar-benar diizinkan menemui Patrick.”Charlie dan Bastian saling pandang. Tatapan mereka berkata hal yang sama: ada sesuatu yang berubah dari Amber.“Tentu saja,” jawab Bastian akhirnya. “Kau sudah mendapat izin. Kenapa bertanya lagi?”Amber mengangkat bahu ringan. “Hanya ingin memastikan. Aku akan merasa lebih tenang kalau dengar langsung.”Ia tersenyum manis sebelum keluar ruangan.Begitu pintu tertutup, Bastian menarik napas panjang. “Sikapnya benar-benar aneh. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.”Charlie mengangguk. “Apa aku perlu membuntutinya?”Bastian sempat ragu. “Kalau dia tahu, bisa-bisa marah.”“Lalu bagaimana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status