Compartilhar

Red Light Club

last update Última atualização: 2025-04-29 16:26:33

Bastian tak kuasa menahan pikirannya yang carut-marut memikirkan ini dan itu.

"Buka pintu? Jangan kebanyakan mimpi! Kamu keluar dari sini sekarang!" seru Alexandra ketus.

Bak baru saja disiram oleh seember air dingin, fantasi panas Bastian langsung padam. Dia menghela napas kemudian berkata, "Oke, aku keluar sekarang. Aku sudah letakkan pakaian dalammu di pintu."

Setelah keluar dari kamar, Bastian masih saja terus memikirkan surel yang aneh tadi.

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya dia menghubungi orang yang telah ditugaskan oleh ayahnya untuk membantu.

"Halo, dengan Charlie di sini!" sapa seorang pria dari ujung telepon.

Bastian terdiam sejenak, terkejut karena nomor itu benar milik Charlie.

"Jadi kamu benar Charlie?"

"Ya."

Bastian menghela napas panjang. Lalu, dia berkata, "Aku adalah Bastian Dominic. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Apa boleh?"

"Akhirnya Anda menghubungi juga," kata Charlie dengan embusan napas yang menunjukkan kalau dia sangat lega.

"Silakan, Tuan Dominic. Apa yang ingin Anda tanyakan?" lanjutanya.

"Aku baru saja menerima email sebuah video. Di dalamnya terdapat seorang pria tua yang mengaku-ngaku sebagai papaku. Aku rasa kalau dia sudah salah alamat email. Aku nggak punya papa. Dari bayi aku tinggal di panti asuhan," ucap Bastian dengan cepat. "aku pikir kamu harus memberitahu pria tua itu secepatnya, kalau dia sudah salah mengirim email."

"Bastian Dominic. Lahir 26 tahun yang lalu. Memiliki tanda lahir di bagian tengah punggung. Sejak bayi tinggal di Panti Asuhan Harapan Kasih. Menikah dengan seorang wanita bernama Alexandra Winata. Hobi membaca dan bermain sepakbola. Makanan kesukaan pasta," ucap Charlie "apa itu Anda?"

Bastian terlonjak. Pria itu mengenal dirinya dengan cukup detail.

"B-be-benar."

"Kalau begitu, email itu memang dikirim untukmu," ucap Charlie dengan suara yang begitu lugas. Namun terdengar lembut.

Belum sempat Bastian membuka mulutnya, Charlie melanjutkan, "Papa Tuan Dominic adalah Sectio Dominic. Dia adalah salah satu pengusaha tersukses di dunia dengan Big Dom Corporation sebagai bisnis inti. Saat ini tuan Dominic sedang sakit cukup parah. Video yang Anda saksikan adalah kondisi tuan Sectio Dominic sebelum sakitnya bertambah parah. Itu dilakukan sekitar 2 bulan yang lalu."

Bastian mendengarkan tanpa ada niatan untuk menyela maupun mengakhiri percakapan ini.

"Saat ini Big Dom Corporation sangat membutuhkan seorang presiden direktur dan juga komisaris utama. Jika tidak, perusahaan akan hancur. Oleh sebab itu, saya sarankan untuk Tuan Dominic pergi ke Jerman untuk mengambil alih Big Dom Corporation," ujar Charlie.

"Aku nggak mau ke sana!" tolak Bastian dengan tegas tanpa berpikir panjang.

"Kenapa? Dengan perusahaan itu, Tuan Dominic bisa membeli seisi dunia dan membahagiakan istri Anda. Bukankah itu impian Anda sekarang?"

"Dia yang bilang kalau dia nggak menginginkanku. Dia pula yang membuang aku. Jadi, untuk apa aku menerimanya?"

Bastian sungguh sangat kesal mengingat kembali apa yang diucapkan oleh ayahnya. Lalu, dia pun mengakhiri panggilan suara itu.

Ketika Bastian keluar dari dapur, dia melihat sebuah mobil Porsche terparkir di dalam pagar rumah.

Bastian marah. Dia tahu kalau mobil itu adalah mobil milik James.

"Mau apa lagi orang ini! Aku nggak akan membiarkan dia mengganggu Alexa!"

Walau pernikahanya dengan Alexandra tidak berlandaskan cinta, namun waktu yang berlalu dan kebaikan Alexandra selama ini, membuat Bastian tidak rela ada pria lain yang menggoda istrinya. Terlebih pria itu adalah seorang James yang hobi gonta-ganti wanita dan hanya melihat wanita sebagai objek fantasi semata.

James memang pandai merayu. Itulah sebab lain dirinya memiliki banyak wanita, selain uang yang dia miliki tentunya.

"Tante itu hebat banget, loh! Kata Tante, umur tante 45 tahun, Tapi kok, aku ngeliatnya, Tante seperti umur 30 tahun, ya? Pasti perawatannya nggak murah ya, Tan?"

James tidak segan-segan menggoda Amy. Hal ini dia lakukan untuk menyenangkan hati mamanya Alexandra itu. Dengan begitu, dia bisa dengan mudah mendapat dukungan dari Amy untuk mendapatkan Alexandra.

"Ah, kamu bisa saja! Terlalu jauh kalau bilang Tante umurnya 30 tahun." Amy tersipu malu.

"Benar Tante. Kalau Tante belum menikah, aku juga mau sama Tante," kata James, mencoba meyakinkan.

Di titik ini, Bastian masuk ke dalam rumah. Dia pun langsung mengusir James, "Kamu benar-benar nggak tahu diri, ya. Lebih baik kamu keluar dari sini sebelum aku bertindak kasar sama kamu! Alexa nggak pernah mau ketemu sama kamu. Mengerti!"

"Heh! Enak aja kamu main usir-usir James begitu! Memangnya kamu pikir ini rumah kamu? Yang pantas pergi dari sini itu kamu!" hardik Amy sambil menunjuk wajah Bastian.

James menyeringai sambil menatap wajah Bastian.

Dengan sikapnya ini, walau tanpa bicara sudah membuat Bastian kesal.

"Ma, Alexa bukannya sudah berulang kali bilang kalau dia nggak mau ketemu sama James? Kasihan Alexa kalau si playboy ini masih tetap di sini," kata Bastian.

James yang duduk dengan kaki menyilang, berkata, "Siapa yang bilang Alexa nggak mau ketemu aku? Malam ini saja aku mau makan malam sama dia di Red Light Club dan menghabiskan malam bersama."

"Mana mungkin Alexa mau! Selama ini dia selalu menolak bunga yang kamu berikan. Bahkan dia juga memiliki beribu alasan untuk tidak menatap wajahmu "

Bastian begitu percaya diri kalau Alexa tidak mungkin makan malam bersama dengan James, Tetapi kemudian, dadanya seperti dihantan oleh benda tumpul dengan sangat keras tatkala dia melihat Alexandra berjalan menghampiri dengan gaun merah yang sangat anggun.

Alexa?

"Kamu lihat sendiri. Dia berdandan dengan sangat cantik khusus untuk makan malam bersama denganku," kata James dengan senyum penuh kemenangan.

Bastian tidak menghiraukan perkataan James. Dia menatap kedua mata istrinya dan berkata, "Kamu mau makan malam dengan James? Bukannya kamu sangat membenci dia?"

Alexandra menghela napas panjang. Sebenarnya dia tidak mau melakukan ini. Tapi desakan dari seluruh keluarganya, termasuk sang mama, membuat dia terpaksa menerima ajakan makan malam dari James.

"Aku ada pertemuan dengan seorang investor. Kebetulan investor itu kenalan James. Jadi sudah pasti aku pergi sama dia," jelas Alexa.

"Tapi apa harus pertemuan ini diadakan di Red Light Club?”

"Bukan aku yang menentukan. Lagipula aku nggak punya pilihan."

Bastian merasa sedih. Hanya demi perusahaan, Alexa sampai rela melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia pun mulai menyalahkan dirinya sendiri.

"Sudah sana kalian berangkat. Jangan pedulikan pria nggak berguna ini. Tahu apa dia tentang Red Light Club? Orang-orang kelas atas dan golongan terbatas saja yang bisa masuk ke sana. Bahkan Keluarga Winata saja belum mendapatkan member itu sampai saat ini," ujar Amy.

Memang benar. Red Light Club hanya bisa dikunjungi oleh orang yang memiliki member. Paling tidak satu di antara dua orang yang akan berkunjung, harus memilikinya.

Perihal membuat member di sana, bukan hanya uang pendaftaran yang mahal, tapi juga diseleksi berdasarkan kasta keluarga.

Sekelas Keluarganya James, Warren, yang memiliki harta ratusan Miliar, hanya mendapatkan member Bronze, yang mana itu adalah member terendah.

Di atasnya, ada member Silver, Gold, dan Platinum. Khusus untuk member Platinum, hanya dimiliki oleh 3 keluarga terkaya di Jakarta.

Klub malam itu lebih dari sekedar tempat refreshing. Namun, sebagai ajang untuk menunjukkan kekayaan dan pengaruh yang dimiliki.

"Ayo kita berangkat, Cantik!" ucap James, begitu lembut.

Alexandra muak mendengarnya. Tapi dia tetap melangkahkan kakinya keluar rumah.

"Alexa, jangan! Sangat berbahaya kalau kamu ke sana. Kamu pasti wanita satu-satunya." Bastian melarang Alexa karena dia tidak mau istrinya kenapa-kenapa.

Namun, kedua orang itu tetap berjalan menuju ke mobil mewah milik James.

Bastian akan mengejarnya. Namun, Amy menahan tangan Bastian.

"Diam kamu! Jangan ikut campur dengan urusan Alexa. Pertemuan dia dengan investor malam ini sangat penting. Setidaknya kalau kamu nggak bisa membantu, kamu diam saja di sini. Lagi pula di sana ada James yang akan melindunginya," kata Amy, suaranya serius.

"Tapi Ma. Justru sumber masalahnya ada pada James. Aku bisa melihat niat busuk dari tatapan matanya,"

"Jangan mengada-ada kamu! James itu dari keluarga terhormat. Tidak mungkin dia bertindak macam-macam!”

Bastian merasa harus tetap menjaga Alexandra. Jika dia tidak bisa membatalkan pertemuan itu, paling tidak dia harus memastikan istrinya aman. Dia pun menarik tangannya dengan sangat keras hingga genggaman tangan sang mertua terlepas.

Bastian tidak berani menunda barang sedetik pun Tatapan matanya menegas, dia tidak lagi ingin terikat dengan Amy, segera mengendarai sepeda motornya dan melaju pergi ke Red Light Club

"Bastian, awas kalau kamu menggagalkan pertemuan ini. Aku tidak akan memaafkanmu!" pekik Amy.

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Menantu Tak Ternilai   Kamulah Pewarisku!

    Aula utama keluarga Dominic dipenuhi oleh bayangan orang-orang besar malam itu. Lampu gantung berkilau dingin, memantulkan cahaya pada wajah-wajah yang tegang. Di kursi panjang bagian depan, duduk para pewaris, pengurus, dan keluarga inti, sementara di belakang, para penasihat dan penjaga menunggu dengan napas tertahan.Suasana begitu kaku hingga suara jam dinding pun terdengar menyeramkan.Patrick duduk diam, tangannya mengepal di bawah meja. Nico menunduk, sementara Bernard, dengan jas hitamnya yang rapi dan mata penuh perhitungan, berdiri di tengah aula seolah itu miliknya.“Jadi, semua sudah sepakat,” ujar Bastian dengan suara tenang, memecah keheningan. “Kepemimpinan Dominic Group akan kembali pada garis utama keluarga. Bukan pada dewan bayangan yang memanfaatkan nama Dominic demi keuntungan pribadi.”Beberapa kepala menunduk, yang lain berbisik tak berani menatapnya. Tapi Bernard hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan.“Sepakat? Kau bicara seolah dunia ini tunduk padamu

  • Menantu Tak Ternilai   Pertemuan Besar

    Langit sore di atas kediaman besar keluarga Dominic berwarna kelabu, seolah ikut menunduk menyambut hari yang akan menorehkan sejarah baru. Angin membawa aroma hujan, berdesir lembut di antara pepohonan tua yang mengelilingi halaman batu.Satu per satu mobil hitam berhenti di depan tangga marmer megah. Dari mobil pertama keluar Patrick, mengenakan setelan armani gelap. Tatapannya kosong, tapi langkahnya pasti. Ia tahu, di balik pintu besar itu, masa depan seluruh dinasti Dominic sedang dipertaruhkan.Mobil berikutnya tiba tak lama kemudian. Dari dalam muncul Bernard Dominic, lelaki paruh baya dengan sorot mata tajam dan wajah dingin penuh percaya diri. Di tangannya tergenggam tongkat kepala singa simbol otoritas yang selama ini menandai siapa pengendali kekuasaan keluarga. Ia menatap langit sebentar, lalu berbisik pelan,“Sekarang waktunya, Sectio. Aku akan menuntut hakku.”Beberapa detik kemudian, Nico datang. Ia tampak canggung, langkahnya ragu-ragu di antara batu basah. Tak satu pu

  • Menantu Tak Ternilai   Api Dalam Bayangan

    “Bagaimana?” tanya Charlie dengan nada tegang begitu Noel kembali ke meja. Tatapannya tajam, menunggu laporan tentang dua pria berbaju hitam yang sejak tadi mereka curigai.Noel menarik napas pelan, menatap keluar jendela restoran. “Fix. Mereka anak buah Patrick. Aku yakin seratus persen. Dan aku khawatir, mereka sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengawasan.”Charlie mengernyit. “Maksudmu?”“Mereka ingin menggunakan Amber sebagai umpan,” ucap Noel dingin. “Memaksa Tuan Dominic menyerahkan kekuasaan kepada Bernard.”Ucapan itu menggantung berat. Patrick bukan orang yang bergerak tanpa rencana—dan jika Bernard turun tangan, berarti ini bukan sekadar persaingan keluarga, tapi perang terbuka.“Kita harus bertindak,” kata Charlie akhirnya.Noel mengangguk. “Tangkap mereka sebelum mereka sempat menyentuh Amber. Tapi setelah itu, kita bungkam mereka. Kalau Bernard tahu Patrick menemui Amber, reputasi keluarga Dominic bisa hancur sebelum Bastian sempat bergerak.”Charlie

  • Menantu Tak Ternilai   Pertemuan

    Patrick memacu mobilnya menuju restoran yang telah disepakati. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya sejak tadi, terbayang Amber dengan gaun merah yang ia minta semalam.Namun di belakang mobilnya, dua anak buah Bernard membuntuti. Kamera mereka terus aktif, mengirimkan foto dan video ke ponsel sang tuan.“Patrick menuju restoran,” laporan singkat masuk.Bernard memijat pelipisnya di dalam mobil. Wajahnya mengeras.“Terus pantau. Aku ingin tahu siapa yang ia temui sampai berani berbohong soal sakitnya.”Beberapa menit kemudian, ia menerima video baru, Patrick tampak sehat dan bersemangat, jauh dari pura-pura lemas yang ia tunjukkan tadi pagi. Bernard mendesis pelan.“Kalau kau berkhianat padaku, Patrick… aku sendiri yang akan menguburmu.”Patrick sampai di restoran dan mencari-cari sosok Amber. Sekilas panik, takut gadis itu sudah pulang karena menunggu terlalu lama. Tapi suara lembut dari arah kanan membuatnya menoleh.“Di sini,” sapa Amber sambil melambaikan tangan.Gaun merah itu m

  • Menantu Tak Ternilai   Tidak Benar-benar Percaya

    Patrick menggigit bibir setelah panggilan Bernard terputus. Ia segera menghubungi Amber, menunda kencan pertama yang sudah direncanakan. Rasanya sial: rencana yang manis harus tertunda karena gangguan besar.“Halo, Amber,” sapanya saat sambungan tersambung. “Maaf, aku hampir sampai, tapi ada urusan mendesak. Aku harus putar balik dulu.”Amber panik. “Ada apa? Kamu tidak kecelakaan, kan? Atau banmu pecah?”“Tidak. Hanya ada masalah yang harus segera kuselesaikan. Daripada kepikiran waktu bertemu, lebih baik aku urus dulu.” Patrick berbohong tipis, menutup fakta: Bernard akan datang ke rumahnya.“Kalau begitu aku panggil montir saja, ya? Bisa ganti ban di situ.” Amber mencoba membantu.“Ide bagus. Maaf sudah janji menjemputmu, tunggu sebentar, aku akan segera kembali.” Setelah memutus, Patrick menyetel napas, memacu mobil ke arah rumah.Di jalan ia melajukan mobil, menerabas lampu merah; fokusnya hanya satu: sampai lebih dulu di rumah sebelum Bernard tiba. Di kepala berputar skenario ba

  • Menantu Tak Ternilai   Permainan Yang Berawal Dari Kebohongan

    Mereka tengah membicarakan Amber ketika pintu ruang kerja terbuka. Wanita itu muncul tergesa, belum berganti pakaian, namun sudah mengenakan make up. Wajahnya terlihat berseri, seolah menahan antusias yang tak bisa disembunyikan.“Ada apa lagi?” tanya Bastian heran. “Kau sudah dua kali ke sini hari ini.”Amber tersenyum canggung. “Hanya ingin memastikan kalau aku benar-benar diizinkan menemui Patrick.”Charlie dan Bastian saling pandang. Tatapan mereka berkata hal yang sama: ada sesuatu yang berubah dari Amber.“Tentu saja,” jawab Bastian akhirnya. “Kau sudah mendapat izin. Kenapa bertanya lagi?”Amber mengangkat bahu ringan. “Hanya ingin memastikan. Aku akan merasa lebih tenang kalau dengar langsung.”Ia tersenyum manis sebelum keluar ruangan.Begitu pintu tertutup, Bastian menarik napas panjang. “Sikapnya benar-benar aneh. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.”Charlie mengangguk. “Apa aku perlu membuntutinya?”Bastian sempat ragu. “Kalau dia tahu, bisa-bisa marah.”“Lalu bagaimana

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status