MasukBastian tak kuasa menahan pikirannya yang carut-marut memikirkan ini dan itu.
"Buka pintu? Jangan kebanyakan mimpi! Kamu keluar dari sini sekarang!" seru Alexandra ketus. Bak baru saja disiram oleh seember air dingin, fantasi panas Bastian langsung padam. Dia menghela napas kemudian berkata, "Oke, aku keluar sekarang. Aku sudah letakkan pakaian dalammu di pintu." Setelah keluar dari kamar, Bastian masih saja terus memikirkan surel yang aneh tadi. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya dia menghubungi orang yang telah ditugaskan oleh ayahnya untuk membantu. "Halo, dengan Charlie di sini!" sapa seorang pria dari ujung telepon. Bastian terdiam sejenak, terkejut karena nomor itu benar milik Charlie. "Jadi kamu benar Charlie?" "Ya." Bastian menghela napas panjang. Lalu, dia berkata, "Aku adalah Bastian Dominic. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Apa boleh?" "Akhirnya Anda menghubungi juga," kata Charlie dengan embusan napas yang menunjukkan kalau dia sangat lega. "Silakan, Tuan Dominic. Apa yang ingin Anda tanyakan?" lanjutanya. "Aku baru saja menerima email sebuah video. Di dalamnya terdapat seorang pria tua yang mengaku-ngaku sebagai papaku. Aku rasa kalau dia sudah salah alamat email. Aku nggak punya papa. Dari bayi aku tinggal di panti asuhan," ucap Bastian dengan cepat. "aku pikir kamu harus memberitahu pria tua itu secepatnya, kalau dia sudah salah mengirim email." "Bastian Dominic. Lahir 26 tahun yang lalu. Memiliki tanda lahir di bagian tengah punggung. Sejak bayi tinggal di Panti Asuhan Harapan Kasih. Menikah dengan seorang wanita bernama Alexandra Winata. Hobi membaca dan bermain sepakbola. Makanan kesukaan pasta," ucap Charlie "apa itu Anda?" Bastian terlonjak. Pria itu mengenal dirinya dengan cukup detail. "B-be-benar." "Kalau begitu, email itu memang dikirim untukmu," ucap Charlie dengan suara yang begitu lugas. Namun terdengar lembut. Belum sempat Bastian membuka mulutnya, Charlie melanjutkan, "Papa Tuan Dominic adalah Sectio Dominic. Dia adalah salah satu pengusaha tersukses di dunia dengan Big Dom Corporation sebagai bisnis inti. Saat ini tuan Dominic sedang sakit cukup parah. Video yang Anda saksikan adalah kondisi tuan Sectio Dominic sebelum sakitnya bertambah parah. Itu dilakukan sekitar 2 bulan yang lalu." Bastian mendengarkan tanpa ada niatan untuk menyela maupun mengakhiri percakapan ini. "Saat ini Big Dom Corporation sangat membutuhkan seorang presiden direktur dan juga komisaris utama. Jika tidak, perusahaan akan hancur. Oleh sebab itu, saya sarankan untuk Tuan Dominic pergi ke Jerman untuk mengambil alih Big Dom Corporation," ujar Charlie. "Aku nggak mau ke sana!" tolak Bastian dengan tegas tanpa berpikir panjang. "Kenapa? Dengan perusahaan itu, Tuan Dominic bisa membeli seisi dunia dan membahagiakan istri Anda. Bukankah itu impian Anda sekarang?" "Dia yang bilang kalau dia nggak menginginkanku. Dia pula yang membuang aku. Jadi, untuk apa aku menerimanya?" Bastian sungguh sangat kesal mengingat kembali apa yang diucapkan oleh ayahnya. Lalu, dia pun mengakhiri panggilan suara itu. Ketika Bastian keluar dari dapur, dia melihat sebuah mobil Porsche terparkir di dalam pagar rumah. Bastian marah. Dia tahu kalau mobil itu adalah mobil milik James. "Mau apa lagi orang ini! Aku nggak akan membiarkan dia mengganggu Alexa!" Walau pernikahanya dengan Alexandra tidak berlandaskan cinta, namun waktu yang berlalu dan kebaikan Alexandra selama ini, membuat Bastian tidak rela ada pria lain yang menggoda istrinya. Terlebih pria itu adalah seorang James yang hobi gonta-ganti wanita dan hanya melihat wanita sebagai objek fantasi semata. James memang pandai merayu. Itulah sebab lain dirinya memiliki banyak wanita, selain uang yang dia miliki tentunya. "Tante itu hebat banget, loh! Kata Tante, umur tante 45 tahun, Tapi kok, aku ngeliatnya, Tante seperti umur 30 tahun, ya? Pasti perawatannya nggak murah ya, Tan?" James tidak segan-segan menggoda Amy. Hal ini dia lakukan untuk menyenangkan hati mamanya Alexandra itu. Dengan begitu, dia bisa dengan mudah mendapat dukungan dari Amy untuk mendapatkan Alexandra. "Ah, kamu bisa saja! Terlalu jauh kalau bilang Tante umurnya 30 tahun." Amy tersipu malu. "Benar Tante. Kalau Tante belum menikah, aku juga mau sama Tante," kata James, mencoba meyakinkan. Di titik ini, Bastian masuk ke dalam rumah. Dia pun langsung mengusir James, "Kamu benar-benar nggak tahu diri, ya. Lebih baik kamu keluar dari sini sebelum aku bertindak kasar sama kamu! Alexa nggak pernah mau ketemu sama kamu. Mengerti!" "Heh! Enak aja kamu main usir-usir James begitu! Memangnya kamu pikir ini rumah kamu? Yang pantas pergi dari sini itu kamu!" hardik Amy sambil menunjuk wajah Bastian. James menyeringai sambil menatap wajah Bastian. Dengan sikapnya ini, walau tanpa bicara sudah membuat Bastian kesal. "Ma, Alexa bukannya sudah berulang kali bilang kalau dia nggak mau ketemu sama James? Kasihan Alexa kalau si playboy ini masih tetap di sini," kata Bastian. James yang duduk dengan kaki menyilang, berkata, "Siapa yang bilang Alexa nggak mau ketemu aku? Malam ini saja aku mau makan malam sama dia di Red Light Club dan menghabiskan malam bersama." "Mana mungkin Alexa mau! Selama ini dia selalu menolak bunga yang kamu berikan. Bahkan dia juga memiliki beribu alasan untuk tidak menatap wajahmu " Bastian begitu percaya diri kalau Alexa tidak mungkin makan malam bersama dengan James, Tetapi kemudian, dadanya seperti dihantan oleh benda tumpul dengan sangat keras tatkala dia melihat Alexandra berjalan menghampiri dengan gaun merah yang sangat anggun. Alexa? "Kamu lihat sendiri. Dia berdandan dengan sangat cantik khusus untuk makan malam bersama denganku," kata James dengan senyum penuh kemenangan. Bastian tidak menghiraukan perkataan James. Dia menatap kedua mata istrinya dan berkata, "Kamu mau makan malam dengan James? Bukannya kamu sangat membenci dia?" Alexandra menghela napas panjang. Sebenarnya dia tidak mau melakukan ini. Tapi desakan dari seluruh keluarganya, termasuk sang mama, membuat dia terpaksa menerima ajakan makan malam dari James. "Aku ada pertemuan dengan seorang investor. Kebetulan investor itu kenalan James. Jadi sudah pasti aku pergi sama dia," jelas Alexa. "Tapi apa harus pertemuan ini diadakan di Red Light Club?” "Bukan aku yang menentukan. Lagipula aku nggak punya pilihan." Bastian merasa sedih. Hanya demi perusahaan, Alexa sampai rela melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia pun mulai menyalahkan dirinya sendiri. "Sudah sana kalian berangkat. Jangan pedulikan pria nggak berguna ini. Tahu apa dia tentang Red Light Club? Orang-orang kelas atas dan golongan terbatas saja yang bisa masuk ke sana. Bahkan Keluarga Winata saja belum mendapatkan member itu sampai saat ini," ujar Amy. Memang benar. Red Light Club hanya bisa dikunjungi oleh orang yang memiliki member. Paling tidak satu di antara dua orang yang akan berkunjung, harus memilikinya. Perihal membuat member di sana, bukan hanya uang pendaftaran yang mahal, tapi juga diseleksi berdasarkan kasta keluarga. Sekelas Keluarganya James, Warren, yang memiliki harta ratusan Miliar, hanya mendapatkan member Bronze, yang mana itu adalah member terendah. Di atasnya, ada member Silver, Gold, dan Platinum. Khusus untuk member Platinum, hanya dimiliki oleh 3 keluarga terkaya di Jakarta. Klub malam itu lebih dari sekedar tempat refreshing. Namun, sebagai ajang untuk menunjukkan kekayaan dan pengaruh yang dimiliki. "Ayo kita berangkat, Cantik!" ucap James, begitu lembut. Alexandra muak mendengarnya. Tapi dia tetap melangkahkan kakinya keluar rumah. "Alexa, jangan! Sangat berbahaya kalau kamu ke sana. Kamu pasti wanita satu-satunya." Bastian melarang Alexa karena dia tidak mau istrinya kenapa-kenapa. Namun, kedua orang itu tetap berjalan menuju ke mobil mewah milik James. Bastian akan mengejarnya. Namun, Amy menahan tangan Bastian. "Diam kamu! Jangan ikut campur dengan urusan Alexa. Pertemuan dia dengan investor malam ini sangat penting. Setidaknya kalau kamu nggak bisa membantu, kamu diam saja di sini. Lagi pula di sana ada James yang akan melindunginya," kata Amy, suaranya serius. "Tapi Ma. Justru sumber masalahnya ada pada James. Aku bisa melihat niat busuk dari tatapan matanya," "Jangan mengada-ada kamu! James itu dari keluarga terhormat. Tidak mungkin dia bertindak macam-macam!” Bastian merasa harus tetap menjaga Alexandra. Jika dia tidak bisa membatalkan pertemuan itu, paling tidak dia harus memastikan istrinya aman. Dia pun menarik tangannya dengan sangat keras hingga genggaman tangan sang mertua terlepas. Bastian tidak berani menunda barang sedetik pun Tatapan matanya menegas, dia tidak lagi ingin terikat dengan Amy, segera mengendarai sepeda motornya dan melaju pergi ke Red Light Club "Bastian, awas kalau kamu menggagalkan pertemuan ini. Aku tidak akan memaafkanmu!" pekik Amy."Benarkah? Tapi jika punya masalah keluarga, kenapa dia tidak memberitahuku? Setidaknya kita bisa ikut membantu menyelesaikannya," tanya Bastian, berbicara lebih pada dirinya sendiri.Mey menjawab, "Mungkin Livy tak mau merepotkan kita, Tuan Dominic. Saya hanya menyarankan dia segera pulang.""Aku merasa masalah Livy bukan sekadar masalah keluarga. Mungkin lebih berat," ucap Bastian, kecemasan menguasainya.Kenapa pemikiran Tuan Dominic sama persis dengan Noel? batin Mey, menatap Bastian aneh.Bastian tak lagi memedulikan Mey. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel. Setelah menemukan kontak Livy, ia mencoba menghubungi."Sial! Kenapa tak diangkat," gerutu Bastian saat panggilan pertamanya gagal. Panggilan kedua pun tak terjawab. Raut wajahnya berubah gelap."Ada apa, Tuan Dominic?" tanya Mey khawatir."Livy. Sudah dua kali kuhubungi, tak dijawab," jawab Bastian."Bukankah dia pulang ke rumahnya?""Tidak. Perasaanku sangat tidak enak. Aku yakin Livy sedang dalam bahaya."Saat itu, Ch
"Aku tidak selingkuh, Noel! Kenapa kamu masih saja tak percaya!" seru Livy, keputusasaan bercampur kesal yang membakar tenggorokannya. Ia tahu mustahil menjelaskan masalah Wagner yang sedang ia hadapi tanpa membongkar seluruh kebohongannya."Kalau begitu, berikan ponselmu!" Noel bersikukuh, matanya menuntut. "Aku mau lihat, kamu benar-benar berselingkuh atau tidak?"Livy begitu kesal sekaligus ketakutan. Memberikan ponsel berarti menyerahkan bukti perselingkuhannya dengan Bastian, dan itu akan meledakkan segalanya. Pesan ancaman Wagner masih ada di sana."Berikan ponselmu!" seru Noel, tangannya bergerak cepat, berusaha merebut benda pipih itu.Livy mencengkeram ponselnya sekuat tenaga. Wajahnya memucat. Aku tak bisa di sini terus. Akan berbahaya jika Noel bisa merebut ponselku. Aku harus segera pergi.Di ruang tengah, Mey samar mendengar teriakan dan suara gaduh dari kamar Noel. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan untuk menghampiri. "Biar saja mereka berpikir aku ikut campur," g
'Wagner, aku sudah bertanya, hal penting apa? Jawab, atau ini buang-buang waktu.'Livy mendengus kesal. Pria itu sungguh menyebalkan.'Waahhh … sudah berani kamu padaku, Livy? Aku bisa saja menghancurkanmu dalam waktu sekejap.'Apa yang dia punya sampai berani-beraninya mengancamku? pikir Livy, jarinya berhenti di atas layar.'Punya apa kamu sampai mengancamku? Menghancurkanku dalam sekejap? Jangan mimpi, Wagner.'Di seberang sana, Wagner tertawa. 'Kamu terlalu percaya diri, Livy. Aku benar-benar akan menghancurkanmu jika tak menuruti perkataanku. Apa kamu tak tahu jika aku tahu tentang skandalmu dengan Bastian?''Apa maksudmu?' Livy membalas cepat.'Menarik, ya?' Wagner memancing.'Tak perlu berbasa-basi, Wagner. Katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku di hotel!''Oke, akan aku katakan padamu. Aku ingin membicarakan masalah skandalmu dengan Bastian.'Akhirnya Wagner memberitahukan tujuannya.'Satu lagi, jangan beritahu siapapun kalau aku dan kamu akan bertemu di hotel. Ka
"Kita kembali ke markas sekarang!" tegas Diego.Para pasukan serentak menjawab, "Baik, Tuan." Mereka segera masuk ke mobil yang sudah menunggu. Kewaspadaan mereka tak berkurang; ancaman serangan Bernard terasa dekat. Mereka tahu, kelengahan sekecil apa pun bisa menjadi celah bagi musuh.Sementara Diego dalam perjalanan, di markas, seseorang tengah didera kekesalan. Bastian, duduk di kursi ruang tengah, terlihat sangat geram. Ia baru saja memutuskan sambungan telepon."Sial! Ternyata dia tak semudah itu untuk disingkirkan," ucap Bastian lirih, memijat keningnya yang berdenyut pusing.Master Lee, Antoine, dan yang lainnya duduk tegang di ruangan yang sama."Ada apa, Bastian? Masalah apa?" tanya Master Lee, melihat raut wajah Bastian menahan amarah."Anak buah Bernard mengikuti Brigit saat keluar dari Big Dom Corp," jawab Bastian, raut kekhawatiran terlihat jelas."Lalu, apa yang terjadi, Tuan Dominic?" kali ini Antoine yang bertanya."Aku mengirimkan pasukan tambahan satu mobil untuk me
Setelah keluar dari ruangan Bernard, Brigit langsung menuju ruangan Amber. Di sana, ia melihat Amber asyik berbincang dengan Patrick di ruangan dekat Bernard. Brigit merasakan hawa tegang yang membuatnya ingin segera pergi."Amber!" seru Brigit, berjalan mendekat, memasang wajah cemas.Brigit terlihat agak canggung. Amber, meski menyadarinya, tetap mengikuti skenario. "Ya, Brigit. Apa urusanmu dengan Bernard sudah selesai?""Sudah, tapi belum tuntas," jawab Brigit, berusaha setenang mungkin. Jantungnya berdebar kencang."Kalau belum selesai, kenapa harus buru-buru? Sebaiknya selesaikan saja sekarang," usul Amber, pura-pura tidak mengerti."Tidak bisa, Amber. Tiba-tiba aku ada urusan mendadak yang tidak bisa ditunda sedetikpun." Brigit menolak cepat.Ada apa, Brigit? Kenapa dia tergesa-gesa sekali? batin Amber, menyadari kegugupan temannya."Cepat, Amber!" seru Brigit, mendesak.Patrik tidak suka melihat Brigit mengajak Amber pergi terburu-buru. Wajahnya mengeras. "Kenapa buru-buru, Br
Setelah keluar dari ruangan Bernard, Brigit langsung menuju ruangan Amber. Di sana, ia melihat Amber asyik berbincang dengan Patrik di ruangan dekat Bernard."Amber!" seru Brigit, berjalan mendekat.Brigit terlihat agak canggung. Amber, meski menyadarinya, tetap mengikuti skenario. "Ya, Brigit. Apa urusanmu dengan Bernard sudah selesai?""Sudah, tapi belum tuntas," jawab Brigit, berusaha setenang mungkin."Kalau belum selesai, kenapa harus buru-buru? Sebaiknya selesaikan saja sekarang," usul Amber."Tidak bisa, Amber. Tiba-tiba aku ada urusan mendadak." Brigit menolak cepat.Ada apa, Brigit? Kenapa dia tergesa-gesa sekali? batin Amber."Cepat, Amber!" seru Brigit, kembali mendesak.Patrik tidak suka melihat Brigit mengajak Amber pergi terburu-buru. "Kenapa buru-buru, Brigit? Aku dan Amber belum selesai mengobrol.""Iya, Brigit. Kenapa tergesa-gesa?" tanya Amber, sambil memberi kode bahwa ia sedang mendekati Patrick."Amber saja belum ingin cepat-cepat pergi. Kenapa justru kamu yang me







