Menantu Tegas, ipar Panas, mertua Lemas
1. Amarah Ellena
"Nggak kerja, Bang?" tanyaku pada Bang Galuh.
"Enggak, lagi males!" ucapnya santai.
"Loh, bukannya kemarin Bang Usman ngajak Abang bantuin dia panen sawit, ya?" Aku bertanya heran.
Kemarin Bang Usman memang datang ke rumahku, dan mengajak suamiku untuk membantunya memanen sawit miliknya. Karena pekerja yang biasa, sedang izin menemani istrinya melahirkan di rumah sakit.
Bang Usman adalah Abang kandungku, namun kehidupannya terlihat jauh lebih baik daripada kehidupanku. Wajar saja, sih, Bang Usman terkenal sangat ulet dan juga rajin, sehingga dia sekarang bisa memiliki beberapa hektar kebun sawit yang sudah bisa dipanen saat ini.
Sedangkan aku? Suamiku? Jangan ditanya, dia hanya bekerja serabutan. Padahal kami juga mempunyai bagian kebun sawit yang diberi oleh orang tuaku dulu. Karena Bang Usman dan juga aku mendapatkan masing-masing satu hektar kebun kosong saat menikah. Hitung-hitung untuk modal.
Saat Bang Usman menanami kebun kosongnya dengan tanaman kelapa sawit, suamiku masih ongkang-ongkang kaki. Saat Bang Usman bekerja di kebun sawitnya, suamiku juga masih belum beranjak dari dunia nyamannya.
Saat Bang Usman Sudah memanen kebun sawitnya, suamiku masih duduk santai di teras dengan secangkir teh. Bahkan saat sekarang ini Bang Usman sudah mempunyai beberapa hektar kebun sawit yang dibelinya sendiri, dan menjadi tuan tanah, suamiku masih ongkang-ongkang kaki dan menyia-nyiakan kebun pemberian orang tuaku hingga sekarang sudah menjadi semak belukar.
Padahal sudah sangat sering aku ingatkan, tanah kosong itu juga bisa menjadi kebun kelapa sawit, kebun kelapa, kebun durian, dan kebun-kebun lainnya, yang tentunya bisa menghasilkan. Kalau Bang Galuh niat untuk menanaminya.
Tapi dia selalu mempunyai banyak alasan untuk menolak, yang sukses membuatku muak bukan kepalang.
"Aku males," ucap Bang Galuh dengan santai.
"Tapi, bukannya lumayan ya, Bang? Dalam minggu ini Abang kan, belum ada kerja loh," jawabku mengingatkan dirinya, kalau-kalau dia lupa ingatan.
"Alah, uang kamu kan, masih ada, Dek!" tukasnya santai.
Aku mengelus dadaku, menahan amarah yang siap membuncah keluar. Di mana tanggung jawabnya sebagai seorang suami, sih? Bang Galuh memang benar-benar semakin keterlaluan.
"Bang, Abang itu kepala keluarga. Lupa?" ucapku mengingatkan.
"Loh, kamu kok, ngomong gitu sih, Dek?" Bang Galuh berucap tidak terima, dia duduk tegak menghadap ku. "Abang baru minggu ini tidak bekerja, ya! Kamu sudah ngomong begitu!" lanjutnya lagi.
"Ya Allah, Bang! Sadar!" teriakku dengan gemas. “Abang kerja serabutan, kadang seminggu dapat lima ratus ribu, atau bisa juga hanya dapat lima puluh ribu. Mana cukup, Bang!” lanjutku dengan ketus.
Dia memang mempunyai keahlian di bidang elektronik, makanya dia bekerja menunggu panggilan dari orang-orang desa yang barang elektroniknya rusak atau bermasalah. Entah itu televisi, parabola, ataupun laptop.
Tapi jelas saja pekerjaan itu tidak bisa diharapkan, karena tidak setiap hari barang elektronik orang rusak. Apalagi di desa ini ada beberapa orang juga yang mempunyai keahlian yang sama dengan Bang Galuh. Jadi persaingannya sedikit sengit.
Bang Usman pernah menawarkan pekerjaan menjaga dan merawat salah satu kebun miliknya, dengan gaji bulanan yang lumayan. Tapi Bang Galuh menolak, dia selalu bilang kalau tidak cocok kerja berat.
Itu juga salah satu alasannya, dia tidak mau mengolah tanah pemberian orang tuaku sampai saat ini. Sedangkan aku? Tidak mungkin aku mampu mengolahnya sendirian, mau diupahkan pada orang lain pun, aku tidak punya uang.
"Itukan juga uang, Dek! Kamunya aja yang kurang bersyukur!" sungutnya tak mau kalah.
"Kurang bersyukur?!" Suaraku naik beberapa oktaf.
Ku elus dadaku lagi, menenangkan debaran jantung yang mulai meronta-ronta seolah hendak lepas dari tempatnya. Tiga tahun kami menikah, sepertinya batas kesabaran ku sudah mulai terkikis habis.
"Sudah kubilang berulang kali, tanami tanah pemberian orang tuaku, Bang. Tapi Abang tidak mau, setidaknya kalau dari pertama kali kita menikah Abang tanami kelapa sawit, sekarang kita sudah tinggal menunggu hasilnya," geramku.
"Itu-itu saja yang kamu bahas, Dek! Muak aku mendengarnya," ucapnya sambil beranjak ke dapur. "Sudah Abang bilang, kan? Abang tidak cocok bekerja berat," lanjutnya emosi.
Lah? Kenapa pula dia yang emosi?
"Lalu, menurut Abang aku harus bagaimana?" Ku kejar langkahnya dengan cepat. "Gas sudah mau habis, beras habis, dan meteran listrik sudah berbunyi. Aku harus bagaimana Bang?" lanjutku lagi.
"Ya beli, lah!" ucapnya santai, dia membuka kulkas dan menenggak air dingin yang selalu aku sediakan di sana. "Jangan macam orang susah!" katanya lagi.
Aku menganga lebar kali ini, jangan macam orang susah katanya? Sialan, padahal kalau matanya bisa melek sedikit saja, dia akan tahu bagaimana susahnya kehidupan kami sekarang ini.
Yang hanya hidup mengandalkan gajiku sebagai seolah penjahit, dan gajinya yang pas-pasan. Bahkan sering kali gajinya tidak nampak hilalnya, akibat tertutup awan gelap yang bernama malas.
"Aku memang susah, Bang! Karena aku harus bekerja sendiri, dan menafkahi diriku sendiri, juga turut menafkahi suamiku yang tidak ada gunanya!" Emosiku naik.
Sambil terengah-engah, aku menatapnya tajam. Tapi jujur saja, aku merasa sangat amat lega saat ini karena sudah berhasil mengeluarkan unek-unek ku, yang selama ini aku pendam dalam-dalam.
"ELLEN!" Bang Galuh membentakku, dia terlihat tak terima dengan ucapanku.
"APA!?" Kubalas bentakannya, apa dia mengira aku takut padanya? "APA GALUH? APA?!" tanyaku menantang.
Dia tersentak kaget, tiga tahun kami menikah baru kali ini aku melawan dan meninggikan ucapanku padanya. Selama ini aku diam dan juga mengalah, agar rumah tanggaku baik-baik saja. Agar keluargaku taunya aku bahagia dengan pilihanku.
"Kamu membentak Abang, Dek?" tanyanya seolah tak percaya.
"Iya! Kenapa? Kamu tidak terima? Jangan karena selama ini aku diam, kamu jadi seenaknya." Aku sudah tidak memanggilnya Abang lagi, biar dia tau kalau aku tengah sangat marah saat ini.
Memangnya dia saja yang bisa marah? Hanya dia yang bisa membentak? Lah, aku juga bisa. Malah sangat jago sekali!
"Jangan marah, Dek!" Bang Galuh nyengir salah tingkah. "Kamu tambah cantik kalau kamu marah begini." Tangannya menjawil dagu ku.
"Kali ini Abang maafkan, tapi jangan diulangi lagi ya. Nanti kamu tidak bisa masuk surga loh. Ingat, Dek! Surga seorang istri ada pada suaminya." Dia berucap sok bijak.
Salah satu kebiasaan buruknya, dia selalu bercanda tidak tahu waktu dan tempat. Aku sedang sangat marah saat ini, jangan dia pikir aku akan luluh seperti biasanya.
Big no!
"Aku tahu!" jawabku singkat. "Tidak kurang didikan agama yang kuterima dari orang tuaku, tidak seperti seseorang yang sepertinya tidak diajari ilmu agama," lanjutku menantang.
Apa dia kira hanya dengan pujian, maka aku akan luluh? Tidak bisa Ferguso, kali ini aku akan menyadarkan dia hingga terbangun dari mimpi panjangnya.
"Apa maksudmu, Ellen?" Bang Galuh kembali emosi.
"Kenapa? Kamu marah? Pikir pakai otak, lah!" Aku menyeringai meremehkan.
"Surgamu ada pada kakiku, Ellen!" pekik Bang Galuh. "Jangan sampai kau durhaka padaku dan masuk neraka." lanjutanya naik pitam.
"Kamu juga harus tau! Suami tidak akan masuk surga, jika tidak bisa memuliakan istrinya!" balasku lagi. "Jangan mengecewakan aku, Bang! Aku memang memilihmu saat itu, tapi aku juga bisa memilih membuangmu saat ini." Aku mendesis pelan.
Aku berniat memberikan dia sedikit shock terapi, dan sepertinya berhasil karena dia terdiam. Kata-kataku tadi berhasil membuatnya tercengang, dan menatapku tak percaya.
"Berubah, Bang! Atau kalau tidak, kamu akan menyesal!" ketusku sekali lagi sebelum beranjak.
Aku melangkah meninggalkan dapur, dan segera masuk kedalam kamar. Setelah mengunci pintunya aku segera merebahkan diriku di tempat tidur besar milikku.
Ah, nyamannya ….
Lelah di tubuh dan juga di otakku, menjadi sedikit berkurang. Semoga setelah beristirahat sebentar, aku kembali bugar.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu terdengar bersahutan, aku melengos tak peduli dan malah berubah haluan dengan berbaring menghadap dinding. Lelah sekali rasanya, ya Allah.
"Dek, buka pintunya!" Suara Mas Galuh terdengar. "Dek, buka!" katanya lagi.
"Dek, maafkan Abang!" Suaranya yang memelas, hanya aku anggap angin berlalu.
Aku tak peduli dan memejamkan mataku. Dan setelahnya aku bisa mendengar suara motor yang menjauhi rumahku, pertanda Mas Galuh sudah pergi dari sini. Aku menghela nafas, dan berusaha untuk tidur.
Kepalaku mendadak sakit, sedangkankan Bang Galuh sudah pasti tidak. Aku hafal sekali, dia akan selalu pergi dari rumah dan berkumpul dengan teman-temannya jika kami sedang cekcok.
Baru saja aku terlelap, telingaku mendengar suara seseorang yang memanggil nama suamiku. Siapa lagi, sih? Tapi mau tidak mau aku harus membuka pintu, karena bisa saja yang memanggil adalah orang yang membutuhkan jasa Bang Galuh.
Kan, lumayan, uangnya bisa digunakan untuk membeli gas dan juga beras.
"GALUH, GALUH, buka pintunya!" pekik suara di luar sana.
Aku beranjak, dan melangkahkan kakiku untuk membuka pintu kamar yang tadi kukunci. Sambil berjalan menuju pintu aku menerka-nerka siapa yang sedang berteriak di depan rumahku.
Apa memang orang yang mau membetulkan alat-alat elektroniknya? Atau ada hal lainnya?
Dan saat membuka pintu, mataku langsung menyipit heran. Kenapa dia ada di sini?
~Aksara Ocean~
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 2. Pertemuan Keluarga "Ada apa, Kak?" tanyaku pada Kak Ambar, kakaknya Bang Galuh. Dialah sosok orang yang sedari tadi memanggil Bang Galuh, mau apa dia ke sini? Soalnya Kak Ambar tidak akan menginjakkan kaki di rumahku, jika tidak memiliki keperluan. "Mana Galuh?" ketusnya padaku. "Pergi," jawabku singkat. "Bilang padanya, nanti malam Ibu menyuruh kalian untuk datang ke rumah." Kak Ambar memainkan bibirnya. "Iya, nanti akan aku sampaikan," tukasku cepat. "Ya udah, Kakak pulang dulu." Dia beranjak pergi dan berjalan menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan, pantas saja aku tidak mendengar suara motornya datang. Sembari masuk kedalam rumah, aku bertanya-tanya dalam hati. Ada apakah gerangan, sehingga Ibu menyuruh kami ke rumahnya? ~Aksara Ocean~ Tepat jam tujuh malam, aku dan Bang Galuh sampai di rumah Ibu dengan selamat. Walaupun tadi siang aku sangat marah, tetapi di luar rumah aku tetap harus menjaga marwah suamiku. Kami ber
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 3. Menyumbang "I–-Ibu, bercanda, kan?" tanya Bang Galuh tergagap, keringat dingin menetes di keningnya. Oh, yah. Aku tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku itu saat ini, lima puluh juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang segitu banyaknya coba? "Apa Ibu kelihatan lagi bercanda?" tanya Ibu balik. "Bukan begitu, Bu. Tapi dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu? Lima puluh juta itu, tidak sedikit, Bu?" lirih Bang Galuh di akhir kalimat. Sedangkan aku, aku hanya diam dan mengamati situasi. Masih agak bingung dengan situasi yang terjadi di sini. Apa Ibu kira uang lima puluh juta itu sedikit? Lagipula, kenapa suamiku yang lebih banyak menyumbang? "Ya mana Ibu tau, Luh. Itukan urusan kalian, yang penting minggu depan uang itu sudah ada. Karena Ibu sudah bilang pada Pak Mukidi, kalau keluarga kita yang akan membayari sawahnya." Ibu mengangkat bahu tak peduli. "Bu, apa tak sebaiknya Ibu batalkan saja?" Kak Dewi berucap pelan dan hati-hati, beru
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS 4. Aib "Ajari istrimu itu sopan santun, Galuh!" Ibu menatapku dengan sinis. "Suka sekali memfitnah suami! Ibu tidak suka, anak Ibu diperlakukan seperti ini," ketusnya lagi. "Loh, kok fitnah?" Aku bertanya heran, mengabaikan sinar-sinar laser dari mata mereka. "Anakku itu bekerja tidak tahu siang tidak tahu malam, kok, ya kamu bilang dia tidak menafkahi. Itu fitnah namanya, Ellen. Lebih kejam daripada pembunuhan!" ucap Ibu sok bijak, demi membela anak lanangnya. "Bu, kalau hanya lima puluh ribu dalam satu minggu, itu bukan nafkah namanya!" ucapku tak mau kalah. "Bahkan untuk membeli rokoknya saja, harus dari uang hasil aku menjahit!" tegasku lagi. "Lah, ya harus itu. Namanya juga suami istri, uang istri uang suami. Lah, uang anakku saja diberikan untukmu. Aku ibunya saja, tidak pernah meminta walau satu sen pun. Padahal aku yang melahirkan dan membesarkan suamimu sampai segini besarnya!" sungut Ibu makin ngaco. "Ya Allah, Bu. Aku ini istrin
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS 5. Kebenaran "Kenapa suamiku ikutan kena, Kak?" Kak Ambar protes. "Ambar, sadar kamu! Bukannya sudah dikatakan oleh Bang Abdul tadi? Kodrat suami, adalah menafkahi istrinya. Bukan meminta nafkah pada mertuanya!" tegas Kak Dewi lagi. "Kamu dengar, Gery?" tanya Kak Dewi pada Bang Gery yang menunduk segan. "Iya, Kak," lirihnya hampir tak terdengar. " Dan untuk kamu, Galuh!" Sekarang giliran Bang Galuh yang dipanggil, oleh Kak Dewi. "I-iya, Kak," jawabnya pelan. "Kerja! Jangan hanya bergantung pada uang istrimu!" tegas Kak Dewi. "Laki-laki kok, mengharap uang istri, tidak malu kamu dengan mertuamu? Janjimu dulu waktu menikahi Ellen adalah untuk membahagiakannya, kok, ya, sekarang anak orang kamu peras keringatnya. Malu, Galuh, Malu!" Kak Dewi menggeleng lemah. "Tapi, Kak …." Bang Galuh seolah ragu melanjutkan ucapannya. "Apa? Bicara saja," jawab Kak Dewi. "Bukannya aku tidak mau bekerja, tetapi memang tidak ada pekerjaan, Kak! Kakak, kan,
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS6. Lima Puluh Juta"Ibu yakin akan mengabulkannya?" tanyaku sambil tersenyum manis."Sudah, cepat katakan! Jangan bertele-tele. Tapi, jangan kamu ungkit-ungkit lagi masalah motor Abang iparmu," kata Ibu dengan sewot.Ibu memijit pelipisnya dengan lembut, yang aku yakini pasti sedang nyut-nyutan saat ini.Tidak sengaja mataku melirik Bang Galuh, matanya meredup saat mendengar kata-kata Ibu. Itu motor Bang Gery, tanpa sadar Ibu mengungkapkannya sendiri tanpa dipinta walaupun tadi mereka berusaha untuk menutupinya. Yang namanya bangkai pasti akan tercium juga. Toh, seluruh desa ini pun bahkan sudah sangat tahu, bagaimana timpangnya kasih sayang Ibu. Beliau memang menyayangi suamiku, tapi entah kenapa Ibu sangat pelit padanya."Ya, tidak bisa begitu, dong, Bu!" kataku santai, dan aku masih menunjukkan senyum semanis madu. "Kan, tadi Ibu sendiri yang bilang, kalau itu motor Ibu. Kami juga berhak memakainya, dong! Iya, kan, Kak?" Aku bertanya pada Kak
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS7. Ide dan Terkejut Kami segera bergegas menghampiri suara tersebut, terlihatlah Kak Ambar dan Bang Gery yang sedang panik, mereka saling menutupi sesuatu di belakang tubuh mereka.Kamar Ibu terlihat sedikit berantakan, dan Ibu segera mendekat sambil mengecek kamarnya. Beliau berjalan mondar mandir mengecek laci, meja, dan juga lemari. Sebelum matanya tertumbuk pada sesuatu yang ada di lantai."Ya Allah Ambar, kenapa ini bisa pecah?" tanya Ibu dengan sangat keras."Maaf, Bu! Aku tidak sengaja," jawab Kak Ambar dengan pelan, sekilas aku melihat penyesalan di matanya."Kenapa bisa begini? Ini mahal Ambar! "Pekik Ibu dengan kuat.Dia pasti merasa sangat sayang pada guci kecil miliknya yang diakui Ibu sudah dimilikinya saat beliau masih kecil, jadi sejarahnya tidak main-main. Konon, Wak Yani, Kakak nya Ibu pernah bilang, guci itu peninggalan zaman Majapahit. Peninggalan dari zaman kerajaan cuy, wajar saja Ibu panik dan histeris."Maafkan aku, Bu, a
Menantu TEGAS, Ipar PANAS, Mertua LEMAS 8. Kepahitan Galuh "Kok, bisa, Dek?" tanya Bang Galuh pelan dan juga dengan penuh keraguan.Matanya menatap mataku dengan pandangan heran dan juga penasaran, sedangkan aku hanya tersenyum lebar dan mengedipkan mataku dengan manja. Aku menunjukkan saldo tabungan di rekening dengan menggunakan ponsel melalui M-banking. Terlihat jelas tertulis di sana, isi saldo ku ada sebanyak enam puluh tujuh juta rupiah."Bisa, dong!" Aku langsung nyengir demi menggoda nya."Jawab Abang, Dek. Darimana uang sebanyak itu? Ibu kan cuma ngasih lima puluh juta. Kamu punya simpanan?" Bang Galuh mendesak aku agar bicara, terlihat sekali kalau dia tidak sabar ingin mendengar jawabanku perihal uang itu."Dari Kak Dewi dan Bang Abdul, Bang," tukasku cepat sambil merebahkan tubuh di ranjang, masih dengan posisi kaki yang menjuntai ke bawah."Yang bener, Dek?" tanyanya lagi seolah tak yakin."Iya, lima puluh juta dari Ibu, lima belas juta dari Kak Dewi. Sedangkan yang dua
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS 9. Terharu "Assalamualaikum." Aku dan Bang Galuh mengucap salam dengan kompak. Aku dan Bang Galuh saat ini sedang berada di rumah Bang Gitok, Bang Gitok adalah salah seorang tukang bangunan yang sudah diakui kualitasnya oleh orang-orang di desa ini. Selain cepat, Bang Gitok juga sangat efisien. Sehingga tidak banyak barang yang terbuang ataupun tercuri, karena ada sebagian tukang bangunan disini terkadang menyuruh tuan rumah untuk membeli bahan bangunan seperti semen dengan jumlah banyak dan melebihi dari yang dibutuhkan. Lalu mereka akan menjualnya ke orang lain yang hendak membeli barang-barang tersebut dengan harga murah, dan pemilik rumah akan merugi. Tapi Bang Gitok tidak seperti itu, dia akan merinci pengeluaran dan juga bahan bangunan yang memang dibutuhkan sehingga tidak akan ada kelebihan maupun kekurangan. "Waalaikumussalam!" terdengar suara seorang wanita yang menjawab salam kami. Pasti itu Kak Munah, istrinya Bang Gitok. Benar