Share

2. Pertemuan Keluarga

Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas

2. Pertemuan Keluarga

"Ada apa, Kak?" tanyaku pada Kak Ambar, kakaknya Bang Galuh.

Dialah sosok orang yang sedari tadi memanggil Bang Galuh, mau apa dia ke sini? Soalnya Kak Ambar tidak akan menginjakkan kaki di rumahku, jika tidak memiliki keperluan.

"Mana Galuh?" ketusnya padaku.

"Pergi," jawabku singkat.

"Bilang padanya, nanti malam Ibu menyuruh kalian untuk datang ke rumah." Kak Ambar memainkan bibirnya.

"Iya, nanti akan aku sampaikan," tukasku cepat.

"Ya udah, Kakak pulang dulu." Dia beranjak pergi dan berjalan menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan, pantas saja aku tidak mendengar suara motornya datang.

Sembari masuk kedalam rumah, aku bertanya-tanya dalam hati. Ada apakah gerangan, sehingga Ibu menyuruh kami ke rumahnya? 

~Aksara Ocean~

Tepat jam tujuh malam, aku dan Bang Galuh sampai di rumah Ibu dengan selamat. Walaupun tadi siang aku sangat marah, tetapi di luar rumah aku tetap harus menjaga marwah suamiku.

Kami bersikap biasa saja, sehingga tidak akan ada satu orang pun yang menyadari kalau kami sedang bertengkar saat ini.

"Assalamualaikum!" Bang Galuh mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam!" Terdengar beberapa orang yang menyahuti salam kami.

Berarti di dalam sana terdapat banyak orang, apa mungkin Ibu mengundang semua anaknya? Berarti Kak Dewi dan suaminya juga datang ke sini. Karena memang diantara tiga orang anak Ibu, hanya Kak Ambar lah yang tinggal bersama beliau.

Kak Dewi dan suaminya tinggal di desa sebelah, sedangkan aku dan Mas Galuh tinggal di rumah pemberian orang tuaku.

Karena memang orang tuaku tidak mau aku tinggal bersama mertua, sehingga mereka memberikan rumah untuk kami tempati semenjak kami baru pertama menikah.

"Apa kabar, Bu?" Aku menyalami tangan Ibu mertuaku dan mencium tangan beliau dengan takzim.

Tak sengaja mataku melirik tangannya, perhiasannya kembali bertambah. Memang sedari dulu, Ibu selalu tampil bak toko emas berjalan. Baik di rumah ataupun di luar, Ibu akan memakai koleksi emas-emasnya. 

"Baik, kalian apa kabar?" tanya Ibu sambil tersenyum.

"Baik kok, Bu!" jawab Bang Galuh sambil merangkul bahuku. "Iya, kan, Dek?" tanyanya padaku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum, Bang Galuh tambah pintar dalam berakting. Setelah berbasa-basi sebentar, Ibu memulai pembicaraan yang sukses membuatku menganga.

Membeli sawah Pak Mukidi, itulah topik utama pembahasan alam ini. Dan apakah ujungnya akan seperti yang aku bayangkan? Kita lihat saja nanti.

"Ibu mau membeli sawah Pak Mukidi?" tanya Kak Dewi lagi.

"Iya, dia jual murah. Karena anaknya mau menjadi tentara," jelas Ibu.

"Memangnya beliau  mau menjual berapa, Bu?" Bang Abdul ikut bertanya.

Suami Kak Dewi ini sepengetahuanku adalah orang yang pendiam dan tidak pernah mau ikut campur urusan orang. Dia cuek, namun juga perhatian. 

"Seratus tiga puluh dua juta," jawab Ibu santai.

"Lah, apa Ibu punya uang segitu banyak?" tanya Kak Dewi heran. "Bukannya kemarin Ibu baru beli perhiasan baru? Dan tidak mungkin juga Ibu mau mengambil uang di bank, kan Ibu selalu bilang kalau uang yang sudah masuk ke bank tidak akan keluar jika tidak ada keperluan darurat!" lanjut Kak Dewi pedas.

Aku juga ikut heran, uang seratus tiga puluh dua juta bukan lah sedikit. Apalagi saat mendengar ucapan Kak Dewi barusan, berarti memang penglihatanku tidak salah. Ibu memang baru membeli perhiasan baru.

Dan sekarang mau membeli sawah? Wah, aku tahu sih, kalau mertuaku ini adalah orang kaya raya. Tapi, kalau mengeluarkan uang terus menerus dalam waktu yang singkat, memangnya dia punya?

Bukan menjengkali keuangan Ibu, jelas dia punya banyak uang. Tapi masalahnya seperti yang Kak Dewi bilang, Ibu itu bukan tipe orang yang mempunyai banyak uang di rumah. 

Dan jika uang sudah masuk ke dalam Bank, maka hanya keadaan darurat lah yang akan bisa membuat Ibu mengambil uangnya.

"Mbar, kemarin Ibu beli perhiasan berapa?" Kak Dewi bertanya pada Kak Ambar, sedangkan yang ditanya hanya memutar bola matanya bosan.

"Sepuluh buah gelang baru, dengan total 50 gram. Dan juga beberapa cincin, habis empat puluh tujuh juta, Kak," jelas Kak Ambar.

Banyak sekali! Aku menganga kecil, begitupun Kak Dewi. Terlihat jelas dia terkejut mendengar ucapan Kak Ambar, dan seketika dia memutar kepalanya untuk melihat Ibu.

"Bu, bukannya perhiasaan Ibu sudah banyak? Kenapa beli lagi?" tanya Kak Dewi dengan heran.

"Alah, ini masih sedikit. Kamu kan tahu, badan Ibu pegal-pegal kalau tidak pakai emas!" tegas Ibu.

"Ya Allah, Bu!" Kak Dewi menggeleng pelan.

"Sudahlah Dewi, jangan lebay begitu. Toh, kalau Ibu mati nanti perhiasan-perhiasan ini akan menjadi milikmu dan Ambar!" ucap Ibu dengan sangat santai.

Deg…

Apakah berlebihan jika aku merasakan sakit hati saat ini? Hatiku sangat sakit mendengar ucapan Ibu, kenapa dia tidak menganggapku sama sekali? Kenapa dia hanya mengatakan kalau perhiasan itu hanyalah untuk Kak Dewi dan Kak Ambar? 

Bukankah aku juga anaknya? Walau hanya berstatus sebagai seorang menantu, tapi aku menganggap beliau sebagai orang tuaku sendiri. 

Atau … apa hanya aku yang menggap dia sebagai Ibuku? Sedangkan beliau sama sekali tidak menganggapku sebagai anaknya.

Bukan masalah perhiasannya, tetapi hatiku yang sakit karena aku merasa tidak dianggap oleh beliau. Sedangkan Bang Galuh hanya tersenyum seperti orang bodoh di sampingku, dia sama sekali tidak berguna untuk membela istrinya yang diperlakukan tidak adil oleh ibunya sendiri.

"Bukannya begitu, Bu. Kalau niat Ibu memang untuk simpanan, aku mengerti. Tapi, jangan Ibu pakai banyak-banyak. Aku takut akan terjadi tindak kriminal, apalagi sekarang kasus perampokan dan pencurian sedang marak-maraknya!" Kak Dewi berucap lembut, namun tegas.

Memang di keluarga ini, hanya Kak Dewi lah yang ku rasa waras dan juga normal. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai Kakak dan tentunya dengan netral, dia tidak pernah membeda-bedakan antara aku dan Kak Ambar yang merupakan adik kandungnya, dia jugalah yang sering menasehati suamiku yang merupakan adik bungsunya.

Namun sayangnya, Kak Dewi yang tinggal di desa sebelah sangat jarang ke sini. Apalagi ditambah suami Kak Dewi yang sering keluar kota, dan mengajak Kak Dewi ikut serta, membuat kami sangat jarang bertemu. Paling sesekali, hanya sekedar bertukar kabar melalui telepon dan pesan.

"Eleh, untuk apa emas-emas itu Ibu beli, kalau tidak dipakai? Jangan ngawur kamu, ya mubazir namanya!" Ibu beralasan sambil mengibaskan tangannya yang penuh dengan emas.

"Sudahlah, Dek," Bang Abdul menahan Kak Dewi yang kembali hendak mendebat Ibu.

"Dengarkan suamimu, Dewi! Surgamu ada padanya!" ketus Ibu.

Aku menganga kembali, ternyata memang istilah buah tidak jauh jatuh dari pohonnya memang benar adanya. Persis seperti yang diucapkan Bang Galuh padaku tadi, kini Ibu juga mengucapkan kalimat yang sama. Sekarang aku paham, ternyata itu turunan dari Ibu.

"Iya, Bu," Kak Dewi nampak malas menjawab ucapan Ibu, mungkin dia segera mengiyakan saja agar cepat selesai.

Sepengetahuanku, Ibu memang tidak suka dinasehati apalagi dibantah. Apalagi dengan pekerjaan Ibu, dia memang biasa berdebat dan juga adu argumen. Dan walau kami tinggal di satu desa yang sama, tapi aku sangat jarang bertemu Ibu. 

Perasaan tidak nyaman selalu menggelayuti relung hatiku, karena ya seperti ini … aku selalu dibedakan. Padahal sampai saat ini, aku belum pernah menyusahkan Ibu sama sekali. Walau anak lelaki kesayangannya itu tidak bekerja pun, aku tidak pernah mengeluh padanya.

Bukankah seorang wanita yang sudah menikah merupakan tanggung jawab suami, tapi untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan-ku saja anaknya belum sanggup. Dan Ibu menutup mata akan hal itu!

Padahal aku lihat, Ibu sangat loyal pada anaknya yang lain. Hanya pada suamiku lah Ibu nampak berbeda, dia pelit dan perhitungan. Apa hanya perasaanku saja?

Suamiku pernah mengeluh capek mencari kerja dengan cara berkeliling, dan meminjam uang pada Ibu untuk modal usaha mendirikan bengkel reparasi alat-alat elektronik sendiri. 

Tapi kalian tahu? Ibu mengatakan, kalau dia tidak punya uang. Tapi yang membuat Bang Galuh sakit hati adalah, seminggu kemudian dia membelikan Kak Ambar motor baru dengan cara cash.

"Jadi, maksud Ibu meminta kalian datang kesini adalah untuk membicarakan sawah Pak Mukidi yang hendak dijual itu," Ibu memulai pembicaraan.

Kami yang semula sibuk dengan pikiran masing-masing, sontak menegakkan tubuh dan menyimak semua ucapan Ibu dengan baik dan juga hati-hati. Karena bagaimanapun juga, jika Ibu mengundang kami ke sini, berarti dia memang mempunyai sesuatu yang ingin belia sampaikan.

"Maksud Ibu apa?" Bang Galuh bertanya heran.

Dan bisa kulihat semua orang mengerutkan kening karena memang kami belum tahu apapun, ya kecuali Kak Ambar dan suaminya. Karena mereka terlihat santai-santai saja.

"Ibu minta kalian ikut menyumbangkan uang, Dewi dua puluh juta, Ambar dua puluh juta, dan Galuh lima puluh juta!" ujar Ibu sambil tersenyum lebar.

Sedangkan aku? Jangan ditanya, aku kembali menganga. Hampir robek mulutku, karena terlalu banyak menganga malam ini. Rasanya darahku sudah mulai naik ke ubun-ubun. Apa yang harus kulakukan?

~Aksara Ocean~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status