Share

2. Pertemuan Keluarga

Author: Aksara Ocean
last update Last Updated: 2022-02-16 01:02:20

Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas

2. Pertemuan Keluarga

"Ada apa, Kak?" tanyaku pada Kak Ambar, kakaknya Bang Galuh.

Dialah sosok orang yang sedari tadi memanggil Bang Galuh, mau apa dia ke sini? Soalnya Kak Ambar tidak akan menginjakkan kaki di rumahku, jika tidak memiliki keperluan.

"Mana Galuh?" ketusnya padaku.

"Pergi," jawabku singkat.

"Bilang padanya, nanti malam Ibu menyuruh kalian untuk datang ke rumah." Kak Ambar memainkan bibirnya.

"Iya, nanti akan aku sampaikan," tukasku cepat.

"Ya udah, Kakak pulang dulu." Dia beranjak pergi dan berjalan menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan, pantas saja aku tidak mendengar suara motornya datang.

Sembari masuk kedalam rumah, aku bertanya-tanya dalam hati. Ada apakah gerangan, sehingga Ibu menyuruh kami ke rumahnya? 

~Aksara Ocean~

Tepat jam tujuh malam, aku dan Bang Galuh sampai di rumah Ibu dengan selamat. Walaupun tadi siang aku sangat marah, tetapi di luar rumah aku tetap harus menjaga marwah suamiku.

Kami bersikap biasa saja, sehingga tidak akan ada satu orang pun yang menyadari kalau kami sedang bertengkar saat ini.

"Assalamualaikum!" Bang Galuh mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam!" Terdengar beberapa orang yang menyahuti salam kami.

Berarti di dalam sana terdapat banyak orang, apa mungkin Ibu mengundang semua anaknya? Berarti Kak Dewi dan suaminya juga datang ke sini. Karena memang diantara tiga orang anak Ibu, hanya Kak Ambar lah yang tinggal bersama beliau.

Kak Dewi dan suaminya tinggal di desa sebelah, sedangkan aku dan Mas Galuh tinggal di rumah pemberian orang tuaku.

Karena memang orang tuaku tidak mau aku tinggal bersama mertua, sehingga mereka memberikan rumah untuk kami tempati semenjak kami baru pertama menikah.

"Apa kabar, Bu?" Aku menyalami tangan Ibu mertuaku dan mencium tangan beliau dengan takzim.

Tak sengaja mataku melirik tangannya, perhiasannya kembali bertambah. Memang sedari dulu, Ibu selalu tampil bak toko emas berjalan. Baik di rumah ataupun di luar, Ibu akan memakai koleksi emas-emasnya. 

"Baik, kalian apa kabar?" tanya Ibu sambil tersenyum.

"Baik kok, Bu!" jawab Bang Galuh sambil merangkul bahuku. "Iya, kan, Dek?" tanyanya padaku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum, Bang Galuh tambah pintar dalam berakting. Setelah berbasa-basi sebentar, Ibu memulai pembicaraan yang sukses membuatku menganga.

Membeli sawah Pak Mukidi, itulah topik utama pembahasan alam ini. Dan apakah ujungnya akan seperti yang aku bayangkan? Kita lihat saja nanti.

"Ibu mau membeli sawah Pak Mukidi?" tanya Kak Dewi lagi.

"Iya, dia jual murah. Karena anaknya mau menjadi tentara," jelas Ibu.

"Memangnya beliau  mau menjual berapa, Bu?" Bang Abdul ikut bertanya.

Suami Kak Dewi ini sepengetahuanku adalah orang yang pendiam dan tidak pernah mau ikut campur urusan orang. Dia cuek, namun juga perhatian. 

"Seratus tiga puluh dua juta," jawab Ibu santai.

"Lah, apa Ibu punya uang segitu banyak?" tanya Kak Dewi heran. "Bukannya kemarin Ibu baru beli perhiasan baru? Dan tidak mungkin juga Ibu mau mengambil uang di bank, kan Ibu selalu bilang kalau uang yang sudah masuk ke bank tidak akan keluar jika tidak ada keperluan darurat!" lanjut Kak Dewi pedas.

Aku juga ikut heran, uang seratus tiga puluh dua juta bukan lah sedikit. Apalagi saat mendengar ucapan Kak Dewi barusan, berarti memang penglihatanku tidak salah. Ibu memang baru membeli perhiasan baru.

Dan sekarang mau membeli sawah? Wah, aku tahu sih, kalau mertuaku ini adalah orang kaya raya. Tapi, kalau mengeluarkan uang terus menerus dalam waktu yang singkat, memangnya dia punya?

Bukan menjengkali keuangan Ibu, jelas dia punya banyak uang. Tapi masalahnya seperti yang Kak Dewi bilang, Ibu itu bukan tipe orang yang mempunyai banyak uang di rumah. 

Dan jika uang sudah masuk ke dalam Bank, maka hanya keadaan darurat lah yang akan bisa membuat Ibu mengambil uangnya.

"Mbar, kemarin Ibu beli perhiasan berapa?" Kak Dewi bertanya pada Kak Ambar, sedangkan yang ditanya hanya memutar bola matanya bosan.

"Sepuluh buah gelang baru, dengan total 50 gram. Dan juga beberapa cincin, habis empat puluh tujuh juta, Kak," jelas Kak Ambar.

Banyak sekali! Aku menganga kecil, begitupun Kak Dewi. Terlihat jelas dia terkejut mendengar ucapan Kak Ambar, dan seketika dia memutar kepalanya untuk melihat Ibu.

"Bu, bukannya perhiasaan Ibu sudah banyak? Kenapa beli lagi?" tanya Kak Dewi dengan heran.

"Alah, ini masih sedikit. Kamu kan tahu, badan Ibu pegal-pegal kalau tidak pakai emas!" tegas Ibu.

"Ya Allah, Bu!" Kak Dewi menggeleng pelan.

"Sudahlah Dewi, jangan lebay begitu. Toh, kalau Ibu mati nanti perhiasan-perhiasan ini akan menjadi milikmu dan Ambar!" ucap Ibu dengan sangat santai.

Deg…

Apakah berlebihan jika aku merasakan sakit hati saat ini? Hatiku sangat sakit mendengar ucapan Ibu, kenapa dia tidak menganggapku sama sekali? Kenapa dia hanya mengatakan kalau perhiasan itu hanyalah untuk Kak Dewi dan Kak Ambar? 

Bukankah aku juga anaknya? Walau hanya berstatus sebagai seorang menantu, tapi aku menganggap beliau sebagai orang tuaku sendiri. 

Atau … apa hanya aku yang menggap dia sebagai Ibuku? Sedangkan beliau sama sekali tidak menganggapku sebagai anaknya.

Bukan masalah perhiasannya, tetapi hatiku yang sakit karena aku merasa tidak dianggap oleh beliau. Sedangkan Bang Galuh hanya tersenyum seperti orang bodoh di sampingku, dia sama sekali tidak berguna untuk membela istrinya yang diperlakukan tidak adil oleh ibunya sendiri.

"Bukannya begitu, Bu. Kalau niat Ibu memang untuk simpanan, aku mengerti. Tapi, jangan Ibu pakai banyak-banyak. Aku takut akan terjadi tindak kriminal, apalagi sekarang kasus perampokan dan pencurian sedang marak-maraknya!" Kak Dewi berucap lembut, namun tegas.

Memang di keluarga ini, hanya Kak Dewi lah yang ku rasa waras dan juga normal. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai Kakak dan tentunya dengan netral, dia tidak pernah membeda-bedakan antara aku dan Kak Ambar yang merupakan adik kandungnya, dia jugalah yang sering menasehati suamiku yang merupakan adik bungsunya.

Namun sayangnya, Kak Dewi yang tinggal di desa sebelah sangat jarang ke sini. Apalagi ditambah suami Kak Dewi yang sering keluar kota, dan mengajak Kak Dewi ikut serta, membuat kami sangat jarang bertemu. Paling sesekali, hanya sekedar bertukar kabar melalui telepon dan pesan.

"Eleh, untuk apa emas-emas itu Ibu beli, kalau tidak dipakai? Jangan ngawur kamu, ya mubazir namanya!" Ibu beralasan sambil mengibaskan tangannya yang penuh dengan emas.

"Sudahlah, Dek," Bang Abdul menahan Kak Dewi yang kembali hendak mendebat Ibu.

"Dengarkan suamimu, Dewi! Surgamu ada padanya!" ketus Ibu.

Aku menganga kembali, ternyata memang istilah buah tidak jauh jatuh dari pohonnya memang benar adanya. Persis seperti yang diucapkan Bang Galuh padaku tadi, kini Ibu juga mengucapkan kalimat yang sama. Sekarang aku paham, ternyata itu turunan dari Ibu.

"Iya, Bu," Kak Dewi nampak malas menjawab ucapan Ibu, mungkin dia segera mengiyakan saja agar cepat selesai.

Sepengetahuanku, Ibu memang tidak suka dinasehati apalagi dibantah. Apalagi dengan pekerjaan Ibu, dia memang biasa berdebat dan juga adu argumen. Dan walau kami tinggal di satu desa yang sama, tapi aku sangat jarang bertemu Ibu. 

Perasaan tidak nyaman selalu menggelayuti relung hatiku, karena ya seperti ini … aku selalu dibedakan. Padahal sampai saat ini, aku belum pernah menyusahkan Ibu sama sekali. Walau anak lelaki kesayangannya itu tidak bekerja pun, aku tidak pernah mengeluh padanya.

Bukankah seorang wanita yang sudah menikah merupakan tanggung jawab suami, tapi untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan-ku saja anaknya belum sanggup. Dan Ibu menutup mata akan hal itu!

Padahal aku lihat, Ibu sangat loyal pada anaknya yang lain. Hanya pada suamiku lah Ibu nampak berbeda, dia pelit dan perhitungan. Apa hanya perasaanku saja?

Suamiku pernah mengeluh capek mencari kerja dengan cara berkeliling, dan meminjam uang pada Ibu untuk modal usaha mendirikan bengkel reparasi alat-alat elektronik sendiri. 

Tapi kalian tahu? Ibu mengatakan, kalau dia tidak punya uang. Tapi yang membuat Bang Galuh sakit hati adalah, seminggu kemudian dia membelikan Kak Ambar motor baru dengan cara cash.

"Jadi, maksud Ibu meminta kalian datang kesini adalah untuk membicarakan sawah Pak Mukidi yang hendak dijual itu," Ibu memulai pembicaraan.

Kami yang semula sibuk dengan pikiran masing-masing, sontak menegakkan tubuh dan menyimak semua ucapan Ibu dengan baik dan juga hati-hati. Karena bagaimanapun juga, jika Ibu mengundang kami ke sini, berarti dia memang mempunyai sesuatu yang ingin belia sampaikan.

"Maksud Ibu apa?" Bang Galuh bertanya heran.

Dan bisa kulihat semua orang mengerutkan kening karena memang kami belum tahu apapun, ya kecuali Kak Ambar dan suaminya. Karena mereka terlihat santai-santai saja.

"Ibu minta kalian ikut menyumbangkan uang, Dewi dua puluh juta, Ambar dua puluh juta, dan Galuh lima puluh juta!" ujar Ibu sambil tersenyum lebar.

Sedangkan aku? Jangan ditanya, aku kembali menganga. Hampir robek mulutku, karena terlalu banyak menganga malam ini. Rasanya darahku sudah mulai naik ke ubun-ubun. Apa yang harus kulakukan?

~Aksara Ocean~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   235. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian B)

    235. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian B)“Bang Usman?”Usman menghentikan langkahnya seketika, panggilan yang baru saja di dengarnya berhasil menarik atensinya agar berhenti sebentar dari kegiatannya.“Ya?” tanyanya sopan.Usman belum pernah melihat wanita ini, cantik, muda, dan juga terlihat sangat lembut. Dan wanita ini juga terlihat cukup ramah, entah kenapa Usman seperti pernah melihatnya.“Apa Ellena ada di rumah?” tanyanya pelan.“Ellena?” Usman mengulang pertanyaan wanita itu.Dia mengernyit heran dan kemudian langsung menatap wanita itu dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik, berusaha kembali mengingat siapa sebenarnya wanita ini.Namun nihil, Usman sama sekali tidak mendapatkan secuil pun ingatan tentangnya.“Maaf, anda siapa?” tanya Usman ingin tahu.“Oh, maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Veya, saya adalah suster yang akan menjaga Ellena!” katanya tegas. “Apa Ellena di rumah?” tanyanya lagi.Suster? Apakah wanita ini adalah suster yang dikatakan Indra? Sust

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   234. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas234. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian A)POV ELLENA Aku sudah banyak berpikir, dan memikirkan hal ini berulang-ulang kali. Dan aku sudah memutuskan kalau berpisah dengan Bnag Galuh adalah keputusan yang tepat.Dia adalah penerus keluarga Dirga, dan jika kami kekeh untuk bersama maka kemungkinan besarnya adalah darah keluarga Dirga akan terputus hanya di Bang Galuh saja.Aku tidak bisa memberinya keturunan, dan mungkin lebih baik kalau dia menikah dengan orang lain dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya.Taraf paling tinggi dalam mencintai adalah ikhlas, dan aku akan mencoba mengikhlaskan Bang Galuh dan berusaha melepaskannya dengan dada yang lapang.Mencintainya, bukan berarti mengikatnya dengan duri yang terlilit hingga mengeluarkan darah. Definisi cinta bagiku adalah, membiarkan dia menemukan kebahagiaannya yang lain.Jika aku bukanlah pelabuhan terakhirnya, maka aku akan membantu angin agar meniup layarnya hingga menemukan pelabuhan y

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   233. BERCERAI (Bagian B)

    233. BERCERAI (Bagian B)“Besok di cek aja, Dek. Takutnya ada yang kurang atau ada yang harus dibeli,” ujar Bang Usman memberi saran. “Oke,” sahutku cepat.“Rumah kalian gimana?” tanya Bang Usman tiba-tiba.Aku dan Bang Galuh terdiam, kami memang belum ada pembahasan tentang ini. Aku sebenarnya juga bingung, jujur saja aku berat meninggalkan rumah lamaku, tapi aku juga berat meninggalkan rumah ini kosong.Bukan karena rumah ini lebih nyaman ataupun lebih besar dan mewah, yang membuat aku berat meninggalkannya adalah memori Bapak dan Ibu yang ada di sini. Jika aku di rumah ini, setidaknya aku bisa selalu mengenang mereka.“Aku sih, ikut Ellen saja, Bang,” ujar Bnag Galuh bijak. “Di mana dia bisa merasa nyaman dan aman, maka di situ kami akan tinggal,” katanya lagi sambil tersenyum.“Nah, Dek … kamu mau di mana?” kata Bang Usman sambil menghadap ke arahku. “Kalau di sini, rumah kalian di kontrakkan saja, daripada rusak,” lanjutnya memberi usul.Aku terdiam dan menimbang, bagaimanapun j

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   232. BERCERAI (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas232. BERCERAI (Bagian A)Setelah perdebatan yang cukup alot dan juga lama, akhirnya Wak Nurma dan juga Bang Diky serta Kak Nuri sepakat untuk pulang besok. Walaupun sebenarnya, Wak Nurma dan juga Bang Diky terlihat masih keberatan akan permintaan yang diberikan oleh Kak Nuri. Karena memang, yang sangat ngotot untuk pulang adalah Kak Nuri.Entah karena bentakan Bang Galuh tadi, atau karena dia memang sudah sadar kalau selama ini sudah menjadi benalu di rumahku.Yah, yang manapun tidak menjadi masalah. Yang penting mereka tidak di sini, bukannya aku kejam ataupun tidak tidak punya hati, tapi memang aku tidak tahan akan kelakuan mereka yang seenak jidat dan juga keterlaluan.Sekarang berhutang pada Bu Saodah dan juga Mpok Lela, tapi besok-besok bisa saja mereka mengulangi perbuatan mereka ini pada orang lain dan kembali mengatasnamakan aku.Bang Diky dan juga Kak Nuri memang keterlaluan, bahkan mereka sama sekali tidak ada mengeluarkan kata maaf k

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   231. EMOSI BANG GALUH (Bagian B)

    231. EMOSI BANG GALUH (Bagian B)"Salahnya adalah … kalian yang terlalu sok tahu! Tutup mulut kalian, jangan sampai aku mendengar hal-hal seperti ini lagi. Atau aku bersumpah, akan merobek mulut kalian!" ujar bang Galuh dengan tajam."Galuh, kami hanya bercanda!" sahut Bang Diky sambil terkekeh kecil."Kalian keterlaluan, Diky, Nuri!" ujar Bulek Rosma pelan. "Masalah keturunan bukanlah hal yang bisa dijadikan candaan!" lanjutnya dengan tajam."Bulek, mereka saja yang terlalu sensitif!" sahut Bang Diky cepat, senyumnya hilang berganti rengutan kesal."Sensitif? Jika kalian bercanda, dan hanya kalian yang merasa itu adalah hal lucu dan hanya kalian yang tertawa. Berarti ada kesalahan di dalam candaan kalian!" sahut Bulek Rosma. "Jangan berlindung dibalik kata 'terlalu sensitif', karena bisa jadi yang kalian tertawakan adalah sesuatu yang mereka perjuangkan!" lanjutnya lagi.War Nurma dan keluarganya terdiam, walau aku yakin kalau mereka masih gatal ingin membalas tapi mereka memilih pi

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   230. EMOSI BANG GALUH (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas230. EMOSI BANG GALUH (Bagian A)BRAK!Meja kokoh yang terbuat dari kayu jati itu sukses bergetar dengan kuat, dan ….Prang!Asbak cantik yang terbuat dari kristal itu pun jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping hingga menjadi butiran kecil.Semua orang tersentak kaget, dan semuanya sontak melotot kaget dan menatap si pelaku yang tak lain dan tak bukan adalah Bang galuh.Wajahnya memerah menahan amarah, dan nafasnya memburu dengan kuat. Dadanya naik turun berusaha menormalkan detak jantungnya, aku tahu benar kalau lelaki kesayanganku itu tengah sangat marah saat ini."Jaga mulutmu!" desisnya tajam.Kak Nuri tergagap, instingnya sebagai wanita pasti mengatakan padanya untuk menjauh. Dia beringsut mundur ke belakang tubuh Bang Diky, badannya bergetar pelan dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.Ditekan oleh aura mendominasi sekuat ini, jelas membuat siapapun menjadi gentar. Apalagi dia adalah seorang wanita, bahkan Bang Diky saja belu

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   229. ELLENA YANG PERKASA (Bagian B)

    229. ELLENA YANG PERKASA (Bagian B)"Aku tidak bercanda!" balasku tegas. "Aku tidak mau menampung benalu, dan aku tidak mau menjual tanahku!" kataku lagi."Sombong sekali kamu, Ellen!" ujar Kak Nuri marah."Iya, dong. Sombong adalah nama tengahku!" kataku cuek.Wajah mereka terlihat memerah, mungkin mereka tidak terima dengan apa yang aku katakan. Tapi biarlah, memang sekali sekali mereka wajib diberi pelajaran.“Kamu juga, Luh. Tidak bisa tegas sebagai seorang suami!” kata Kak Nuri tiba-tiba.“Maksud Kakak apa?” tanya Bang Galuh heran. “Ya iya, kana kata Kakakmu itu, kamu banyak warisan. punya harta dan tidak mengharapkan punya Ellen. Kalau gitu, ya suruh istrimu ini ngasih tanahnya buat kami, dong!’ katanya santai.Bang Galuh sontak menganga lebar, sedangkan aku mala menahan mulutku agar tidak tertawa. Ngadi-ngadi ni, Kak Nuri … mau mengatur harta orang dia.“Loh, mana bisa begitu, Kak. Milik Ellen adalah sepenuhnya punya dia, aku mana ada hak untuk mengatur-aturnya!” kata Bang Gal

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   228. ELLENA YANG PERKASA (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas228. ELLENA YANG PERKASA (Bagian A)"Woah, tunggu dulu!" Aku memotong ucapan Bang Diky, dengan cara mengangkat tanganku di depan dada. Dia terlihat langsing terdiam, namun matanya menatapku dengan tajam."Asal? Asal apa? Kalian mengajukan syarat padaku? Begitu?" tanyaku santai. "Lucu sekali," lanjutku sambil menatapnya.Bang Diky dan Wak Nurma sontak saling berpandangan, dan tak sengaja aku melihat kalau Kak Nuri sedang mencubit kecil tangan suaminya itu."Kalau begitu kami tidak akan pergi!" kata Bang Diky tegas."Lah, aku yang punya rumah sudah tidak mau kalian tumpangi. Apa tidak malu? Kok betah banget menjadi benalu?" sindirku kepada mereka."Dek!" Bang Galuh kembali menegur, dan dia menggeleng pelan.Aku mendengus, kesal sekali rasanya dengan mereka. Bukannya mendapat pencerahan, dan kemudian sadar, eh, malah sok mengajukan syarat padaku.Memangnya mereka siapa? Saudara boleh saudara, tapi saudara yang baik dan sopan lah yang akan aku angg

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   228. PENGUSIRAN KELUARGA WAK NURMA (Bagian B)

    228. PENGUSIRAN KELUARGA WAK NURMA (Bagian B)"Dan sekarang, saat mereka datang ke sini untuk menagih perbuatan kalian, kalian berdua malah berpura-pura tidak tahu dan melimpahkan semuanya pada Wak Nurma!" kataku panjang lebar. "Manusia namanya itu?" tanyaku lagi dengan ketus.Semua orang di sini terdiam dan mendengarkan ucapanku, aku yang emosi adalah yang terburuk."Dia Ibu kalian, dan Kakak dari Ibuku! Itu artinya dia juga adalah Ibuku, pengganti orang tuaku! Aku tidak terima kalian melakukan hal itu pada beliau!" kataku lagi. "Tapi kalian malah bersikap seenaknya, apa kalian memikirkan Wak Nurma, hah?" tanyaku lagi."Bila kalian tidak bisa memberi, setidaknya jangan menyusahkan!" kataku dengan nafas terengah.Wak Nurma yang mendengar ucapanku terlihat terdiam, sedangkan Kak Nuri dan Bang Diky masih menatapku marah."Apa kalian tahu rasanya tidak mempunyai orang tua lagi? Aku bahkan rela melakukan apapun, asal Ibu dan Bapak kembali," kataku lirih."Lebay!" Aku menatap Kak Nuri den

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status