LOGINDua bulan setelah Hari Tanpa Kemarin tayang di beberapa bioskop komunitas di lima kota, dunia Bumi dan Sita beralih ke panggung lain.
Shadow Rift: An Austro-Orient Intelligence File akhirnya tayang perdana di Amerika Serikat.Poster film itu muncul di sudut-sudut kota besar: Los Angeles, New York, San Francisco.Huruf putih tegas di atas latar hitam pekat menonjol di antara lampu neon dan arus manusia:“From Anthony Donner — SHADOW RIFT.”Di bawahnya, tulisan kecil menandai sesuatu yang istimewa:Screenplay by Bumi Aria Wangsa & Sita Respati.Cinematography by William Lewis.Gala premiere diadakan di Walter Reade Theater, Lincoln Center, New York.Bangunan kaca itu dipenuhi cahaya dan suara kamera yang berkilat tanpa henti. Para undangan berdesakan, jurnalis berebut posisi di tepi karpet merah.Anthony Donner berdiri di tengah rombongan, mengenakan jas hitam dan dasi marun. Di sampingnya, Bumi dan Sita berjalan berdamp“Wah… jarang ada jawaban seperti itu,” komentarnya pelan. “Saya rasa, kamera pun menyukai kejujuran Anda berdua.” Tari menunduk sopan. “Saya dan Mas Radit berbincang, dan kami merasa bahwa kami masih sangat butuh bimbingan Bumi dan Sita.” Kalimat itu membuat studio kembali hening, sebelum akhirnya tepuk tangan terdengar lagi—lebih tulus, hangat, dan panjang. Host lalu berputar ke sisi lain sofa, tersenyum kepada dua tamu berikutnya. “Mbak Kinanti dan Mas Panca,” ujarnya, “kalian juga menuai banyak pujian. Bagaimana ceritanya bisa ikut bermain di film itu?” Kinanti spontan menoleh pada Panca. Panca mengangguk pelan, mempersilakannya menjawab. Kinanti tersenyum, lalu berkata, “Sama seperti Mas Radit dan Teh Tari. Kami sudah lama akrab dengan Kang Bumi dan Sita. Jadi waktu tiba-tiba diajak terlibat, ya… kami juga ikut kaget.” Ia tertawa sebentar sebelum melanjutkan, “Bahkan Kang Rio dan Teh Mutia, yang kemudian jadi produser, sama terkejutnya saat ditawari.” “Bagaimana tidak kaget,
“Tentu tidak,” jawab Tari sambil tersenyum tipis, duduk anggun di kursi studio televisi yang diterangi lampu sorot. Jemarinya menggenggam tangan Radit di pangkuan, seolah kehadirannya di acara itu bukan untuk membela diri, tetapi hanya mengklarifikasi sesuatu yang seharusnya sederhana. Host perempuan itu menatap Tari dengan ekspresi profesional namun penuh rasa ingin tahu. Kamera utama bergeser pelan menangkap wajah Tari. “Jadi sama sekali tidak pernah ada KDRT?” tanya sang host, nada suaranya masih berhati-hati, seperti sedang menggali wilayah yang rentan tetapi penting. Tari menghela napas ringan, bukan lelah—lebih seperti baru saja diberi pertanyaan yang tidak perlu dijawab, namun tetap harus dijawab. Ia melirik Radit, lalu tersenyum kecil. “Bumi orang yang sangat baik,” ujarnya pelan, namun jelas. “Saya sebenarnya tidak menyangka pertanyaan ini muncul di sini. Saya pikir… topik seperti ini tidak akan dibahas di tempat publik.” Sang host menanggapi dengan tawa kecil, mencoba m
“Ketika Radit memotong bawang untuk Tari, ia sama sekali tidak sedang bermain karakter. Ia sedang menjadi seseorang yang tidak punya bahasa, sehingga memilih menemani. Adegan itu terlalu jujur untuk dibuat ulang.” — Raya Lesmana, Film TempoTari pun disebut sebagai kehadiran yang tidak mungkin diajari:> “Tari tidak menangis untuk film. Ia menangis karena bawang, dan karena hidupnya ikut masuk ke gambar. Untuk itu, ia tidak perlu berlatih. Ia hanya perlu berani berada di depan kamera, dan itu sudah cukup.” — Kinan Savira, Tirai FajarLalu Angga, yang jarang bicara selama syuting, justru menjadi aktor pendatang yang dianggap punya masa depan serius.> “Kita tak tahu bagaimana Angga memproduksi ekspresi. Saya sangat ingin melihatnya lagi di film lain.” — Tirta Mahardika, Festival ArisenaDan tentu saja, para aktor profesional yang membimbing mereka juga dipuji, bukan karena menciptakan karakter, tapi karena memberi ruang bagi orang lain un
Rio tidak mengira perjalanan itu akan sampai sejauh ini. Tidak Mutia, tidak Panca dan Kinanti, tidak pula Radit, Tari, Angga dan Ryan. Rio nemang punya tujuan, tetapi bukan komersil atau sorotan. Ia hanya merasa punya uang dan ingin mencicipi kesenangan produksi film selain juga agar Bumi tak dianggap tak mau bekerja sama dengan production house lokal.Namun, ternyata Rio memaksa orang yang tepat. Bumi—bersama Sita, yang bahkan dari kesederhanaan ceritanya pun—keduanya menghadirkan sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan.Film itu menyabet banyak Piala Citra.---Bumi naik ke panggung Citra sebagai Sutradara Terbaik. Sita berdiri di sebelahnya sebagai Penulis Skenario Terbaik bersama Bumi. Namun, keduanya terlihat bukan seperti penerima Oscar dan Pulitzer, melainkan seperti orang yang benar-benar baru pertama kali mendapatkan penghargaan. Rio, yang dipanggil sebagai produser, melangkah setengah ragu, tidak yakin harus berdiri di sebelah siapa.
Hari pertama berjalan tenang. Hujan tipis turun sejak pagi, meninggalkan aroma tanah basah yang meresap sampai ke dalam gedung tua. Kru sibuk menyiapkan lensa, membersihkan mic, merapikan kabel-kabel panjang seperti akar yang hendak tumbuh. Adegan berikutnya sederhana: sarapan. Tidak ada musik dramatis, tidak ada dialog untuk menghakimi perasaan. Rio menyajikan telur dadar: ujungnya gosong, tengahnya setengah matang. Mutia memandang telur itu, lalu memandang Rio, kemudian mereka tertawa tanpa tahu apa yang lucu. “Cut!” Bumi berseru. Sadewo mencondongkan kepala. “Telur apa tuh? Sengaja dibikin gosong?” Rio menjawab polos. “Aku memang masaknya selalu gini.” Mahesa sampai menutup wajah sambil tertawa. “Kalau produser sih... bebas.” Mutia menepuk bahu suaminya. “Seharusnya aku yang masak, tapi naskah bicara lain.”
“Aku? Main sama Kang Panca?” Kinanti melongo seperti baru saja mendengar kabar bumi mau pindah planet. Ia menepuk paha Sita yang duduk di sampingnya, lalu bersandar di bahunya sambil terkikik seperti anak kecil yang mendadak diajak manggung. “Sita… apa Kang Bumi salah minum obat?” bisiknya dramatis, matanya membesar seakan meminta konfirmasi medis. Bumi hanya menghela napas sambil menahan tawa. “Pokoknya harus,” jawabnya. Sita menimpali dengan mencubit lengan Kinanti. “Aku juga main kok. Jadi kita gila bareng-bareng.” Kinanti langsung mematung. “Kalau aku main film, terus siapa yang nyeduhin kopi buat Kang Panca di rumah?” “Ya Panca ikut main juga,” kata Bumi santai. “Tenang… ada adegan minum kopi kok.” “Hah?!” Panca, yang baru masuk memb







