Beranda / Rumah Tangga / Menantu Terbuang dipinang Sultan / bab 3 Terpaksa pindah ke rumah mertua

Share

bab 3 Terpaksa pindah ke rumah mertua

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 21:48:58

"Bu, kenapa ibu gendut itu melempar barang kita keluar? Itu kan rumah kita," Kania menatapku sambil berlinang airmata.

"Itu bukan rumah kita, Nia. Ayok bantu ibu beresin ini semua," jawabku pelan. Sakit rasanya diusir seperti binatang seperti sekarang ini. Apalagi kalau melihat Kania memeluk boneka berbi kesayangannya sambil terus terisak, "Setelah ini kita mau tidur dimana, Bu?"

"Kita akan ke rumah nenek," jawabku pasti. Meskipun aku sendiri nggak yakin mertuaku itu mau menerima kehadiranku dan Kania atau tidak.

"Tapi nenek galak sama nia, Bu!" Kania menundukkan kepalanya. Raut sedih makin tergambar jelas di wajah cantiknya.

"Insyaallah nenek sayang kok sama Nia. Nia hanya perlu menuruti apa kata nenek nanti ya!" aku berusaha membesarkan hati Kania, meskipun hati kecilku menjerit. Aku sadar, ucapanku hanya penghibur keraguan. Bahkan dari pertama aku menjadi menantu di keluarga itu, tak sedikitpun ibu mertua memperlakukanku dengan baik.

Menjelang magrib semua barang-barang ku selesai dikemas. Aku melaksanakan solat magrib di mushola tak jauh dari situ. Alhamdulillah, pak ustadz yang menjadi imam di mushola menawarkan bantuan menggunakan mobil pick up miliknya.

"Bu, kalau melihat Mas Roni pulang tolong bilangin saya pindah ke rumah orangtuanya, ya." pesanku pada salah satu tetangga kontrakan. Biarlah aku menitipkan pesan kepada orang lain, karena berapa kali dihubungi nomor Mas Roni tidak aktif.

Butuh sepuluh menit akhirnya mobil pickup yang mengantar aku dan Kania tiba di halaman rumah mertua. Terdengar tawa berderai dari dalam rumah. Sepertinya mereka sedang kumpul-kumpul. Tapi anehnya tak ada satu orangpun yang keluar menghampiri kami, mungkin suara mobil pick up ini kurang terdengar mereka yang sedang diliputi kebahagiaan.

"Terimakasih bantuannya, Pak Ustadz," aku tak enak hati saat pak ustadz membantuku menurunkan semua barang dan menaruhnya di teras.

"Sama-sama, Mbak Laras. Saya pamit pulang ya, semoga Mbak Laras dan keluarga senantiasa ada dalam lindungan Allah SWT," jawab pak ustadz ramah.

Aku tersenyum melihat kepergian mobil pickup dariku. Ku mantapkan hati menuntun Kania mengetuk pintu rumah.

"Assalamualaikum," aku mengucap salam dengan keras karena ketukan pintu tak ada yang menghiraukan.

"Aneh, masa mereka tak mendengar aku sama sekali," gumamku. Perlahan ku putar gagang pintu, dan ceklek, ternyata mereka tak mengunci pintu rumah.

Suara tawa dari dalam makin jelas terdengar. Bahkan aku mendengar suara tawa mas Roni disini.

"Laras? Ngapain kamu kesini?" Ibu mertua menatap kami nggak suka.

"Aku mencari suamiku," jawabku menahan kecewa di hati. Apalagi saat melihat mereka tengah menikmati aneka hidangan yang lezat beraneka ragam.

"Mencari suami? Istri macam kamu yang nggak pernah ngasih makan yang layak untuk suami masih pantas mencari keberadaan suami? Heh, Laras! Kalau nggak be cus ngelayani anakku ngomong dong! Biar aku suruh si Roni kaw1n lagi sama wanita lain yang bisa melayaninya dengan baik!"

"Daripada punya istri kayak kamu. Lagak aja guru, tapi memperlakukan suami begitu. Membiarkan suami kel4p4ran memangnya pantas, hah?" dada Ibu mertua naik turun saat memarahi aku.

"Tapi, Bu. Bagaimana Laras mau nyiapin makanan, vang buat beli beras aja nggak ada. Ibu tau sendiri kan kalau Mas Roni nggak kerja," jawabku pelan, berusaha menghargai beliau.

"Itu urusanmu, Laras! Siapa suruh menikah dengan Roni. Lagian kalau kamu pandai menyenangkan hati Roni, pasti dia mau kok kerja keras buat kamu dan Kania," Ibu mertua menjawab sengit.

"Cepat pulang sekarang ke kontrakan bu tutmu! Merusak suasana aja," sungut ibu mertua lagi.

"Jangan nangis disini!" Ibu mertua malah menunjuk Kania yang meneteskan airmata ketakutan. Sementara Mas Roni bersikap cuek menyantap makanan di depannya tanpa menoleh ke arah Kania, putrinya.

"Mas, kalaupun kamu nggak menganggap aku, seenggaknya lihat Kania!" aku meninggikan suaraku karena emosi.

"Maaf, Bu! Aku dan Kania tidak bisa pulang ke kontrakan kami lagi. Karena kami di vsir dari sana. Dan satu-satunya tempat berteduh sekarang hanya rumah ini, karena bagaimanapun aku masih istri sah dari Mas Roni," ujarku berapi-api.

"Kalian divsir?" Mas Roni akhirnya mau melihat ke arah kami.

"Iya, Mas! Puas kamu, andai saja vang setoran kontrakan nggak kamu ambil, saat ini aku dan Kania masih bertahan disana," jawabku lantang.

"Memangnya berapa u4ng yang Roni ambil, Laras? B3lagu sekali kamu. Berapa cepat katakan? Biar aku ganti dua kali lipat!" Ibu mertuaku kembali tak terima.

"Tiga r4tus ribu," jawabku.

"Tiga r4tus ribu kamu permasalahkan? Kirain vang berapa jut4 gitu! Dasar wanita pelit sama suami," Ibu mertua mencebik.

"Sudahlah, Bu! Jangan berdebat terus. Malu sama tetangga. Biarkan mereka tinggal disini, toh mereka istri dan anakku juga," Mas Roni berkata lembut kepada ibunya.

"Terserah kamu deh, Ron! Tapi ingat, jangan tempatin kamar kamu dulu. Biarkan Laras dan Kania tidur di kamar belakang," Ibu mertua mendengus kesal.

"Astaghfirullah," aku menguatkan diri mendengar perkataan wanita yang jadi mertuaku itu. Tak ada pilihan untuk saat ini, biarlah aku menempati gudang asalkan ada tempat buat Kania berteduh.

"Dengar ya Laras! Jangan ada bantahan lagi. Sudah untung aku mau menampung kalian disini. Cepat bawa barang-barang mu kedalam!" Ibu mertua berlalu ke dalam kamar diikuti ayah mertua dan ipar.

Aku dibantu Mas Roni membawa barang-barang kami ke kamar paling ujung. Untungnya kamar ini kosong meskipun pengap dan berbau. Hanya butuh sapu dan pel, dalam sekejap kamar yang disebut gudang ini bersih kembali.

Aku pun mengajak Kania untuk tidur. Nggak tega lihatnya dari tadi menahan kantuk karena kelelahan.

Sementara Mas Roni memilih tidur di kamarnya dulu. Tanpa mempedulikan aku dan Kania. Aku sendiri tak mempermasalahkan itu, karena jujur aku juga sudah lelah menghadapi sikapnya. Aku memilih mengunci pintu lalu merebahkan tubuh disamping Kania. Biarlah membereskan barang yang lain aku kerjakan esok hari.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 17 Rasa yang Mulai Bersemi

    "Kamu itu terlalu keras kepala, Laras!" Suara Nilam menggema di dalam kafe kecil yang sepi. Laras menatap sahabatnya dengan alis bertaut. Matanya menyipit, jelas tidak suka dengan nada menekan yang digunakan Nilam."Aku nggak keras kepala," Laras membalas datar. "Aku cuma tahu batasanku."Nilam mendengus. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan kasar di meja. "Batasan? Laras, kamu udah terlalu lama ngebatasin diri sendiri! Sampai kapan mau terus begini?"Laras menghela napas. Pembicaraan ini lagi. Setiap kali mereka bertemu, topik ini selalu muncul. Seolah-olah ada magnet yang menarik mereka ke arah yang sama, ke arah yang penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan."Kalau ini soal Arman, aku nggak mau bahas.""Tapi aku mau!" Nilam menyela cepat. "Dengar ya, Ras. Nggak gampang ketemu laki-laki baik di dunia ini. Apalagi yang mau bantu kamu tanpa pamrih. Kamu tahu sendiri Arman itu bukan orang sembarangan. Dia punya segalanya. Tapi tetap aja dia peduli sama kamu. Masa kamu nggak ngerasain

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 16 Kenangan di rumah lama

    "Kamu harus ngerti keadaan, Laras! Ini bukan buat Roni aja, tapi buat keluarga kita juga!"Suara Erlin menggema di ruang tamu rumahnya yang sempit. Matanya menatap tajam ke arah Laras, yang berdiri tegak dengan wajah pucat. Rasa cemas dan marah berkumpul di dadanya, membuatnya sulit bernapas."Apa maksud Ibu?" Laras menahan gemetar di suaranya, tapi kedua tangannya sudah mengepal di sisi tubuhnya. Ia berusaha menahan emosi yang ingin meledak."Roni itu butuh istri yang bisa ngurus keluarga ini, bisa bantu ekonomi, bisa—"Laras tertawa sinis, memotong ucapan mertuanya. "Bisa nyenengin kalian semua, maksudnya?"Plak!Tangan Erlin melayang cepat, menampar pipi Laras dengan keras. Suaranya memecah keheningan, dan Laras tertegun dengan rasa sakit yang mendalam."Kamu jangan kurang ajar, ya!" Erlin melotot, napasnya memburu. "Selama ini keluarga kita udah cukup sabar sama kamu! Ngasih makan kamu, nerima kamu! Sekarang, Roni mau nikah lagi, kamu harus ngerti! Kalau nggak mau, silakan pergi d

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 15 Penyesuaian diri

    "Bu Laras, tolong revisi laporan ini. Ada beberapa data yang kurang sesuai." Suara sekretaris kantor, Bu Rini, terdengar tegas. Laras menatap berkas yang baru saja ia serahkan, lalu mengangguk cepat. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil kembali kertas itu. Rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. "Baik, Bu. Saya perbaiki sekarang." Bu Rini mengangguk tanpa senyum, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Laras menelan ludah, menatap layar komputer dengan cemas. Ini baru hari ketiga ia bekerja sebagai asisten pribadi Arman, dan rasanya ia masih sangat jauh dari kata terbiasa. Setiap detik di kantor ini terasa seperti pertaruhan, dan ia tidak ingin mengecewakan atasan barunya. Ia memang sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi dunia kerja kantoran jauh berbeda dengan dunia mengajarnya dulu. Ada banyak istilah baru yang harus ia pahami, banyak prosedur yang belum ia kuasai. Rasa nostalgia melanda saat ia mengingat kelas-kelas yang pernah ia ajar, di mana ia bisa ber

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 14 Memulai Kehidupan Baru

    "Kamu pikir gampang, Laras?! Dunia ini kejam, nggak ada yang bantu orang tanpa pamrih!"Laras terdiam, tangannya mengepal di balik meja kayu tua di warung kecil tempat ia dan Nilam duduk. Suara Heri masih terngiang di telinganya, meski lelaki itu sudah pergi beberapa menit lalu. Kata-kata Heri itu seperti belati yang menusuk jiwanya, menyisakan perasaan ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya."Nanti juga kamu bakal tahu sendiri, Laras. Orang kaya tuh nggak ada yang benar-benar tulus," lanjut Heri tadi, dengan senyum meremehkan sebelum ia berlalu. Kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu dalam diri Laras, membuatnya merenungkan kembali semua yang telah terjadi dalam hidupnya.Laras menarik napas panjang. Matanya mengarah ke Kania yang duduk di ujung meja, sibuk memainkan sedotan di gelas plastik kosongnya. Bocah itu tampak lelah, tapi tidak mengeluh. Laras mengagumi semangat Kania yang tak kunjung padam, meski mereka telah melalui banyak kesulitan. Ia ingin sekali memberika

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 13 Pertemuan dengan Arman

    "Nggak ada lagi tempat buat kamu di sini, Laras! Kamu sama anakmu pergi sekarang juga!" Suara Erlin menggema di halaman depan rumah. Wajahnya memerah, penuh kemarahan, sementara tangannya menunjuk gerbang dengan tegas.Laras menggenggam erat tangan Kania yang berdiri di sampingnya. Gadis kecil itu menunduk, memeluk boneka lusuhnya dengan wajah ketakutan. "Bu Erlin, tolong... ini udah malam. Kami nggak punya tempat tujuan. Kasihan Kania," kata Laras dengan suara bergetar."Itu bukan urusan saya! Kamu pikir saya mau ngurusin kamu sama anakmu terus? Udah, pergi aja ke mana kek! Jangan ganggu hidup kami lagi!"Erlin melambaikan tangannya seperti mengusir lalat, sementara di belakangnya, Roni hanya berdiri diam tanpa sepatah kata. "Ron, tolong bilangin ibu kamu. Ini anakmu juga, Kania butuh tempat tinggal," Laras mencoba mencari belas kasihan dari lelaki yang dulu pernah ia panggil suami.Tapi Roni hanya menggaruk kepala, menunduk seolah-olah tak ingin terlibat. "Udah, Ras. Jangan bikin ri

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 12 Keputusan yang Sulit

    "Kalau kamu memang enggak mau terima perempuan itu, Laras, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" Erlin berdiri sambil menunjuk pintu depan dengan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di ruang tamu yang kecil, membuat dinding terasa bergetar. Laras menatap ibu mertuanya dengan mata berkilat. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Di sampingnya, Kania berdiri memegang ujung bajunya erat-erat, wajah kecilnya bingung melihat pertengkaran itu. "Bu, ini rumah saya juga. Saya sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kalau saya pergi, di mana saya dan Kania harus tinggal?" Laras berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Erlin memutar bola matanya, lalu mendekat dengan langkah cepat. "Jangan sok drama, Laras! Rumah ini dibangun oleh keluarga kami. Kamu itu cuma numpang! Kalau enggak mau nurut sama keputusan keluarga, ya silakan angkat kaki!""Keputusan keluarga?" Laras mendengus, lalu menatap Erlin tajam. "Keluarga mana, Bu? Dari awal saya menikah dengan Roni, say

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status