"Kamu itu terlalu keras kepala, Laras!" Suara Nilam menggema di dalam kafe kecil yang sepi. Laras menatap sahabatnya dengan alis bertaut. Matanya menyipit, jelas tidak suka dengan nada menekan yang digunakan Nilam."Aku nggak keras kepala," Laras membalas datar. "Aku cuma tahu batasanku."Nilam mendengus. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan kasar di meja. "Batasan? Laras, kamu udah terlalu lama ngebatasin diri sendiri! Sampai kapan mau terus begini?"Laras menghela napas. Pembicaraan ini lagi. Setiap kali mereka bertemu, topik ini selalu muncul. Seolah-olah ada magnet yang menarik mereka ke arah yang sama, ke arah yang penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan."Kalau ini soal Arman, aku nggak mau bahas.""Tapi aku mau!" Nilam menyela cepat. "Dengar ya, Ras. Nggak gampang ketemu laki-laki baik di dunia ini. Apalagi yang mau bantu kamu tanpa pamrih. Kamu tahu sendiri Arman itu bukan orang sembarangan. Dia punya segalanya. Tapi tetap aja dia peduli sama kamu. Masa kamu nggak ngerasain
"Kamu harus ngerti keadaan, Laras! Ini bukan buat Roni aja, tapi buat keluarga kita juga!"Suara Erlin menggema di ruang tamu rumahnya yang sempit. Matanya menatap tajam ke arah Laras, yang berdiri tegak dengan wajah pucat. Rasa cemas dan marah berkumpul di dadanya, membuatnya sulit bernapas."Apa maksud Ibu?" Laras menahan gemetar di suaranya, tapi kedua tangannya sudah mengepal di sisi tubuhnya. Ia berusaha menahan emosi yang ingin meledak."Roni itu butuh istri yang bisa ngurus keluarga ini, bisa bantu ekonomi, bisa—"Laras tertawa sinis, memotong ucapan mertuanya. "Bisa nyenengin kalian semua, maksudnya?"Plak!Tangan Erlin melayang cepat, menampar pipi Laras dengan keras. Suaranya memecah keheningan, dan Laras tertegun dengan rasa sakit yang mendalam."Kamu jangan kurang ajar, ya!" Erlin melotot, napasnya memburu. "Selama ini keluarga kita udah cukup sabar sama kamu! Ngasih makan kamu, nerima kamu! Sekarang, Roni mau nikah lagi, kamu harus ngerti! Kalau nggak mau, silakan pergi d
"Bu Laras, tolong revisi laporan ini. Ada beberapa data yang kurang sesuai." Suara sekretaris kantor, Bu Rini, terdengar tegas. Laras menatap berkas yang baru saja ia serahkan, lalu mengangguk cepat. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil kembali kertas itu. Rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. "Baik, Bu. Saya perbaiki sekarang." Bu Rini mengangguk tanpa senyum, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Laras menelan ludah, menatap layar komputer dengan cemas. Ini baru hari ketiga ia bekerja sebagai asisten pribadi Arman, dan rasanya ia masih sangat jauh dari kata terbiasa. Setiap detik di kantor ini terasa seperti pertaruhan, dan ia tidak ingin mengecewakan atasan barunya. Ia memang sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi dunia kerja kantoran jauh berbeda dengan dunia mengajarnya dulu. Ada banyak istilah baru yang harus ia pahami, banyak prosedur yang belum ia kuasai. Rasa nostalgia melanda saat ia mengingat kelas-kelas yang pernah ia ajar, di mana ia bisa ber
"Kamu pikir gampang, Laras?! Dunia ini kejam, nggak ada yang bantu orang tanpa pamrih!"Laras terdiam, tangannya mengepal di balik meja kayu tua di warung kecil tempat ia dan Nilam duduk. Suara Heri masih terngiang di telinganya, meski lelaki itu sudah pergi beberapa menit lalu. Kata-kata Heri itu seperti belati yang menusuk jiwanya, menyisakan perasaan ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya."Nanti juga kamu bakal tahu sendiri, Laras. Orang kaya tuh nggak ada yang benar-benar tulus," lanjut Heri tadi, dengan senyum meremehkan sebelum ia berlalu. Kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu dalam diri Laras, membuatnya merenungkan kembali semua yang telah terjadi dalam hidupnya.Laras menarik napas panjang. Matanya mengarah ke Kania yang duduk di ujung meja, sibuk memainkan sedotan di gelas plastik kosongnya. Bocah itu tampak lelah, tapi tidak mengeluh. Laras mengagumi semangat Kania yang tak kunjung padam, meski mereka telah melalui banyak kesulitan. Ia ingin sekali memberika
"Nggak ada lagi tempat buat kamu di sini, Laras! Kamu sama anakmu pergi sekarang juga!" Suara Erlin menggema di halaman depan rumah. Wajahnya memerah, penuh kemarahan, sementara tangannya menunjuk gerbang dengan tegas.Laras menggenggam erat tangan Kania yang berdiri di sampingnya. Gadis kecil itu menunduk, memeluk boneka lusuhnya dengan wajah ketakutan. "Bu Erlin, tolong... ini udah malam. Kami nggak punya tempat tujuan. Kasihan Kania," kata Laras dengan suara bergetar."Itu bukan urusan saya! Kamu pikir saya mau ngurusin kamu sama anakmu terus? Udah, pergi aja ke mana kek! Jangan ganggu hidup kami lagi!"Erlin melambaikan tangannya seperti mengusir lalat, sementara di belakangnya, Roni hanya berdiri diam tanpa sepatah kata. "Ron, tolong bilangin ibu kamu. Ini anakmu juga, Kania butuh tempat tinggal," Laras mencoba mencari belas kasihan dari lelaki yang dulu pernah ia panggil suami.Tapi Roni hanya menggaruk kepala, menunduk seolah-olah tak ingin terlibat. "Udah, Ras. Jangan bikin ri
"Kalau kamu memang enggak mau terima perempuan itu, Laras, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" Erlin berdiri sambil menunjuk pintu depan dengan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di ruang tamu yang kecil, membuat dinding terasa bergetar. Laras menatap ibu mertuanya dengan mata berkilat. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Di sampingnya, Kania berdiri memegang ujung bajunya erat-erat, wajah kecilnya bingung melihat pertengkaran itu. "Bu, ini rumah saya juga. Saya sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kalau saya pergi, di mana saya dan Kania harus tinggal?" Laras berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Erlin memutar bola matanya, lalu mendekat dengan langkah cepat. "Jangan sok drama, Laras! Rumah ini dibangun oleh keluarga kami. Kamu itu cuma numpang! Kalau enggak mau nurut sama keputusan keluarga, ya silakan angkat kaki!""Keputusan keluarga?" Laras mendengus, lalu menatap Erlin tajam. "Keluarga mana, Bu? Dari awal saya menikah dengan Roni, say