Arnita yang sedang memejamkan matanya terkejut mendengar suara dobrakan pintu yang dipaksa dibuka dari luar. Terlihat Mawar berjalan cepat menghampiri brankar Cintya dengan wajah panik yang sedikit berlebihan.
"Mama kenapa kok bisa masuk rumah sakit?" tanya Mawar dengan suara yang mendayu-dayu."Overdosis obat tidur." balas Cintya."Aku bawakan mama lasagna kesukaan mama." Mawar menunjukkan paper bag di tangannya."Mama tadi sudah makan masakan rumah sakit mbak, lasagnanya mungkin bisa dimakan mama nanti karena takutnya mama kekenyangan." ujar Arnita sambil tersenyum tipis.Mawar memutar bola matanya malas mendengar ceramah Arnita yang membuat telinganya pengang. "Mama masih lapar, biar lasagnanya mama makan." Cintya meraih paper bag ditangan Mawar dan mulai memakan lasagna yang Mawar bawakan. Mawar menatap Arnita dengan tersenyum puas karena ibu mertuanya memihaknya daripada Arnita. Sedangkan Arnita tetap menunjukkan senyum tipisnya meski pendapatnya tidak didengar oleh ibu mertuanya. Sejak pagi Arnita yang menemani Cintya di rumah sakit. Sedangkan Arman harus pergi ke kantor karena meeting penting dan Imel harus mengantar anak-anaknya ke sekolah. Mawar bahkan baru menampakkan dirinya hari ini. Padahal Arman sudah memberitahu keadaan Cintya sedari kemarin, entah kemana saja kakak iparnya itu."Mama mau aku bantu mandi atau mau bilas air hangat saja?" tanya Arnita."Saya bisa mandi sendiri, saya cuman overdosis obat bukannya lumpuh." sarkas Cintya.Arnita hanya diam tidak memasukkan kalimat ibu mertuanya kedalam hati. Ia hanya bisa berharap jika suatu hari nanti ibu mertuanya bisa menganggapnya sebagai seorang menantu seperti menantunya yang lain. Arnita terus mengamati setiap gerakan ibu mertuanya yang berjalan pelan ke arah kamar mandi. Saat Arnita ingin membantunya, Cintya malah menolaknya dan mengibaskan tangannya seperti menyuruh Arnita untuk tidak mendekatinya. "Kamu pulang saja biar saya yang jaga mama." ujar Mawar tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya."Tapi mbak…." Mawar mengangkat jari telunjuknya menyuruh Arnita untuk diam dan tidak banyak bicara."Kamu dengarkan apa yang saya bilang, mendingan kamu pulang bantuin bi Ira bersih-bersih rumah daripada disini cuman leyeh-leyeh." ujar Mawar dengan nada sinisnya.Arnita memilih mengalah, ia tidak ingin terjadi keributan karena ia tahu ini di rumah sakit. Arnita mengambil tas nya dan berpamitan kepada ibu mertuanya setelah ibu mertuanya menyelesaikan mandinya. Saat melewati lorong rumah sakit Arnita tidak sengaja bertemu Arman yang sepertinya baru ingin menuju ruangan ibu mamanya."Mau kemana?" tanya Arman begitu ia sudah berdiri dihadapan Arnita."Mau pulang, sudah ada mbak Mawar yang jagain mama." ujar Arnita."Tunggu disini sebentar, saya masuk ke ruangan mama sebentar setelah itu kita pulang bareng." Arman melangkahkan kakinya masuk ke lorong ruangan mamanya.Sesuai perintah Arman, Arnita menunggu Arman di tempatnya tadi bertemu Arman. Sekitar lima belas menit Arman kembali menghampirinya setelah dari ruang inap mamanya. "Mbak Mawar bilang sesuatu sama kamu?" tanya Arman begitu mereka sudah berada di dalam mobil.Arnita yang sedari tadi sibuk memainkan ponselnya mengalihkan tatapannya ke arah Arman. Ia sedikit terkejut mendengar Arman tiba-tiba bertanya mengenai mbak Mawar. "Kenapa memangnya?" tanya Arnita bertanya balik."Enggak papa cuman tanya aja. Mbak Mawar nggak bilang sesuatu yang aneh-aneh kan?" mobil mereka berhenti tepat di lampu merah. Arman menatap Arnita dengan pandangan menyelidik."Mbak Mawar nggak bilang apa-apa." Arnita gugup ditatap sangat intens oleh Arman.Arman memandang Arnita dengan pandangan tidak percaya. Ia sangat tahu betul bagaimana sikap kakak iparnya itu. Tapi Arman tidak ingin memaksa Arnita untuk mengatakan yang sebenarnya, takutnya Arnita malah tidak nyaman dengannya."Kata dokter besok mama sudah boleh pulang." ujar Arman memberitahu.Arnita ikut senang mendengar perkataan Arman. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. "Tetap seperti ini jangan berubah. Maaf jika sudah membuatmu harus merasakan semua rasa sakit yang keluargaku berikan." Arman memandang Arnita dengan tatapan bersalah. Ia sudah melibatkan perempuan sebaik Arnita dalam keluarganya yang sangat membenci Arnita.Mobil mereka kini sudah terparkir rapi di halaman rumah sejak tiga menit yang lalu. Tapi mereka masih terdiam di dalam mobil tanpa ada yang mau keluar.Arnita terdiam cukup lama, ia tidak tahu bagaimana harus merespon ucapan Arman karena ia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Sedih mungkin, ia selalu merasa sedih saat keluarga Arman selalu merendahkannya. Terasingkan, ia juga merasakannya saat keluarga Arman seperti tidak memperdulikannya dan menganggapnya layaknya orang asing. Tapi tanpa ia sadari ia juga mulai merasa nyaman dengan Arman dan mulai terbiasa dengan sikap keluarga Arman kepadanya. Secara perlahan Arnita mulai menerima takdir yang harus ia jalani. Ia hanya butuh sedikit bersabar dan selalu berusaha untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik."Saya akan mencoba membuka hati saya untuk kamu, dan saya harap kamu juga bisa melakukan sebaliknya." ujar Arman yang membuat Arnita membeku di tempatnya.***Baru saja Arman menginjakkan kakinya di kantor, Arman langsung mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah dari karyawan-karyawan di kantor. Arman mengernyitkan keningnya merasa bingung dengan situasi yang sedang ia alami sekarang. "Ada apa ini?" tanya Arman kepada semua karyawan yang terlihat sangat gembira."Selamat ya pak untuk kemenangan tender kemarin." ujar salah satu karyawan laki-laki.Ah Arman ingat sekarang. Jadi karyawannya sudah pada mengetahui tentang tender yang dimenangkan perusahaan."Saya juga mengucapkan selamat untuk kalian, perusahaan kita bisa memenangkan tender juga karena usaha dan kerja keras kalian semua." ujar Arman dengan merendah. "Sama-sama pak, tapi pak Arman yang paling kerja keras untuk tender perusahaan." puji salah satu karyawan perempuan.Memang benar Arman bekerja lebih keras untuk memenangkan tender ini. Ia bahkan harus beberapa hari lembur di kantor untuk mengecek seluruh persiapan untuk tender perusahaan. Tapi Arman bersyukur usahanya t
Arnita baru saja turun dari taksi yang ia tumpangi dari rumah sakit. Sebuah kebetulan tak lama mobil milik mas Dewa memasuki halaman rumah. Setelah membayar, Arnita melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Sebenarnya Arman memberikan Arnita mobil untuk membantu Arnita saat bepergian sendirian. Tapi Arnita tidak bisa menyetir jadilah mobil yang Arman beri dipakai oleh Arnita ke sekolah. Arnita berjalan menuju dapur untuk menghilangkan rasa hausnya. Dari pagi sampai sore Arnita menemani ibu mertuanya di rumah sakit. Dan tadi ibu mertuanya menyuruhnya untuk pulang dan meminta Mawar untuk datang ke rumah sakit.Begitu sampai di depan kamar Mawar dan Dewa, Arnita langsung mengetuk pintu. Tak lama pintu kamar di depannya terbuka menampilkan Dewa dengan wajah lelahnya. Arnita dapat merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi dingin. Bulu kuduk Arnita merinding melihat tatapan Dewa yang terlihat begitu dingin kepadanya. Mata Arnita tidak sengaja menangkap Mawar yang berada di belakang Dewa. Se
"Biar bibi aja non yang buatin minumnya." ujar bi Ira yang merasa tidak enak karena pekerjaannya harus dilakukan oleh Arnita."Nggak papa bi, biar aku aja. Lagian nggak ada kerjaan lain yang bisa aku lakuin." ujar Arnita sambil mengaduk minuman didalam gelas.Sore ini teman-teman ibu mertuanya sedang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Cintya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Suara tawa mereka bahkan sampai terdengar sampai ke dapur. Ada sekitar enam orang perempuan yang menjenguk Cintya. Selesai menata minuman dan makanan ringan di atas nampan, Arnita membawanya ke ruang tamu. Bi Ira mengikuti Arnita dari belakang dengan membawa makanan ringan lainnya. Arnita menunjukkan senyum ramahnya kepada para tamu ibu mertuanya. Setelah mengantar makanan Arnita kembali ke dapur. "Dia siapa Cin? Pembantu baru?" tanya perempuan berkonde dan berpakaian kebaya tersebut. Gayanya terlihat sangat anggun dan seperti layaknya orang keraton."Lho jeng nggak tahu? Dia kan istrinya Arman." perempuan
Hari minggu yang seharusnya menjadi hari libur untuk bersantai dan mencari ketenangan dari penatnya pekerjaan berubah menjadi ketegangan. Dua jam yang lalu seorang pengacara dari almarhum ayah Arman datang ke rumah. Pengacara itu memberitahu pembagian harta warisan yang ayah Arman tinggalkan untuk keluarganya. Setiap anak dari keluarga itu mendapatkan saham perusahaan.Awalnya semua orang terlihat tidak sabar saat nama mereka disebut oleh pengacara untuk memberitahu mengenai hak warisan yang diperoleh. Tetapi setelah pengacara tersebut selesai mengumumkan hak waris, suasana yang sebelumnya terlihat antusias berubah menjadi ketegangan saat Mawar menyatakan ketidaksetujuan mengenai hak waris yang didapat oleh suaminya.Mawar bersikeras menginginkan rumah yang sudah menjadi hak waris Arman untuk diberikan kepada suaminya Dewa. Dan Mawar ingin menukar apartemen yang suaminya dapat dengan rumah yang Arman dapat. Mawar berpikir jika Dewa lah yang berhak atas rumah tersebut karena Dewa lebih
Arnita sudah bersiap dengan dress polkadot panjang. Wajahnya terlihat sangat fresh ketika memakai pakaian yang berwarna cerah. Arnita sedang menunggu Arman pulang dari kantor untuk pergi ke rumah orang tuanya. Hampir setiap hari ibunya meneleponnya menanyakan kabarnya. Dan ibunya juga sering memintanya untuk berkunjung ke rumah. "Mas!" Arnita terkejut mendengar suara nyaring itu. Karena merasa khawatir terjadi sesuatu, Arnita langsung keluar dari kamarnya. Arnita melihat mas Dewa dan mbak Mawar yang sedang bertengkar. Sepertinya mas Dewa baru saja pulang dari kantor, terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan pakaian kerja."Mas aku nggak mau tahu aku ingin rumah yang ada di Anggrek itu!" teriak mbak Mawar dengan wajah yang sudah emosi.Sedangkan mas Dewa terlihat diam tidak menyahut satupun ucapan mbak Mawar. Tapi jelas terlihat wajah mas Dewa yang sudah memerah seperti sedang menahan emosinya."Aku nggak mau apartemen itu, pokoknya aku mau rumah yang di Anggrek! Aku nggak mau
Mobil Arman terparkir di depan rumah sederhana satu lantai. Rumah orang tua Arnita memang sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur. Kehidupan Arnita sangat berbeda jauh dengan kehidupan Arman. Rumah besar dan memiliki dua lantai dan juga halaman yang luas yang bisa untuk parkir sekitar sepuluh mobil. Mungkin rumah Arman bisa sepuluh kali lipat dari rumah Arnita, atau mungkin bisa lebih dari itu."Biar saya yang bawa." Arman mengambil alih kantong plastik berisi buah-buahan dan sembako. Ibu nya Arnita selalu menolak jika Arman memberinya uang, jadi Arman menggantikannya dengan membelikan kebutuhan dapur. Setiap bulan Arman juga selalu rutin membelikan satu sak beras, meskipun beras sebanyak itu akan habis untuk dua sampai tiga bulan. Arman dan Arnita berjalan bersisian. Arnita mengetuk pintu rumah orang tuanya. Halaman rumahnya terlihat sepi, ia tidak melihat motor ayahnya yang biasanya terparkir dide
"Saya punya alasan kenapa saya ingin mempertahankan rumah ini."Arman berjalan ke sebuah ruangan dengan diikuti oleh Arnita di belakangnya. Arnita berdecak kagum melihat barisan buku berjajar rapi di rak buku. Arman membawanya ke ruang perpustakaan pribadi."Ini alasan saya untuk mempertahankan rumah ini." ujar Arman seraya menatap dinding di depannya.Arnita mendongakkan kepalanya untuk melihat sebuah foto yang lumayan besar menggantung di dinding. Terlihat seorang pria paruh baya yang sedang tersenyum sambil memegang stik golf. Dan disampingnya ada Arman yang juga menunjukkan senyum lebarnya. Terlihat sekali seperti kedekatan seorang ayah dan putranya."Foto ini diambil sewaktu sebulan sebelum kepergian papa. Ini foto terakhir yang saya punya bersama papa. Dan yang membuat ini sangat berharga adalah karena papa dan saya sendiri yang menggantung foto itu disini." Arman menatap foto di depannya dengan mata berkaca-kaca."Saya tidak ingin foto ini sampai diturunkan dari sini." Ah Arni
"Akkkkhhh!"Arnita langsung berlari menuju asal suara. Ia membulatkan matanya melihat Mawar terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit. Segera Arnita ikut membantu Mawar untuk berdiri tetapi tangannya segera ditepis oleh ibu mertuanya. "Bibi gimana sih lantai basah kok nggak di keringin!" Mawar berdecak kesal mendapati lantai yang ia pijak ternyata basah. Ia ngilu merasakan bokongnya yang mendarat lebih dahulu mencium dinginnya lantai marmer. "Aku yang salah mbak, bukan bibi. Tadi aku baru aja ke dapur mau ambil kain kering untuk mengeringkan lantai." jelas Arnita. Ia tidak tega jika bi Ira yang disalahkan karena jujur ini adalah salahnya. Mata Mawar menatap Arnita dengan tajam, bibirnya berdecak mendengar pengakuan Arnita. "Oh jadi kamu yang sengaja bikin lantai basah? Kamu dendam sama aku Nit? Kamu nggak suka karena aku pengen rebut rumah warisan milik suamimu itu kan!" emosi Mawar semakin berkobar begitu mengetahui Arnita yang ternyata yang membuat lantai basah. "Enggak mba