Baru saja Arman menginjakkan kakinya di kantor, Arman langsung mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah dari karyawan-karyawan di kantor. Arman mengernyitkan keningnya merasa bingung dengan situasi yang sedang ia alami sekarang.
"Ada apa ini?" tanya Arman kepada semua karyawan yang terlihat sangat gembira."Selamat ya pak untuk kemenangan tender kemarin." ujar salah satu karyawan laki-laki.Ah Arman ingat sekarang. Jadi karyawannya sudah pada mengetahui tentang tender yang dimenangkan perusahaan."Saya juga mengucapkan selamat untuk kalian, perusahaan kita bisa memenangkan tender juga karena usaha dan kerja keras kalian semua." ujar Arman dengan merendah. "Sama-sama pak, tapi pak Arman yang paling kerja keras untuk tender perusahaan." puji salah satu karyawan perempuan.Memang benar Arman bekerja lebih keras untuk memenangkan tender ini. Ia bahkan harus beberapa hari lembur di kantor untuk mengecek seluruh persiapan untuk tender perusahaan. Tapi Arman bersyukur usahanya tidaklah sia-sia. Kerja kerasnya beberapa hari ini dan kekompakan seluruh karyawan bisa membuat perusahaan memenangkan tender besar ini. "Bagaimana kalau kita makan-makan sebagai perayaan atas kemenangan perusahaan?" usul salah satu karyawan yang dibalas antusias oleh karyawan lainnya."Boleh, saya yang akan traktir kalian. Tapi maaf saya tidak bisa ikut makan dengan kalian karena saya sudah ada janji dengan istri saya." ujar Arman yang mendapat senyuman jail dari karyawannya.Arman memang berniat untuk mengajak Arnita makan malam diluar hari ini setelah ia mendapat kabar perusahaan memenangkan tender. Hitung-hitung bisa membuat mereka saling mengenal satu sama lain. Ia juga belum pernah mengajak Arnita makan malam diluar setelah menikah."Ah iya bapakkan sudah punya istri sekarang. Pasti pengen cepat-cepat pulang untuk ketemu istrinya." goda karyawan perempuan berambut sebahu."Namanya juga pengantin baru masih anget-angetnya." goda karyawan laki-laki yang langsung mendapat siulan."Ada apa ini? Kenapa malah membuat keributan disini? Bukannya kerja malah asyik ngerumpi!" sindir Dewa kepada semua karyawan.Seketika semua karyawan diam tak berkutik saat Dewa memarahi mereka. "Cepat kembali bekerja!" bentak Dewa. Semua karyawan langsung membubarkan diri dan masuk ke dalam kubikelnya masing-masing.Dewa melirik sekilas ke arah Arman sebelum melangkahkan kakinya kembali ke ruangannya. ***Brukk"Baru pulang mas?" Mawar yang sedang bermalas-malasan diatas tempat tidur sedikit terkejut dengan kehadiran Dewa yang tiba-tiba datang dengan membanting pintu kamar dengan keras.Dewa mengabaikan pertanyaan Mawar. Ia lebih memilih melepaskan jasnya dan mengendurkan dasi di lehernya yang seperti sedang mencekiknya. Suasana hati Dewa hari ini benar-benar sangat buruk. Seharian ia selalu mendengar semua karyawan memuji Arman adiknya yang telah berhasil memenangkan tender."Menurut gue kinerja pak Arman nggak perlu diragukan deh, udah keliatan kinerjanya tuh bagus banget daripada pak Dewa. Tapi kenapa malah yang jadi CEO pak Dewa ya?" "Yaelah pak Dewa cuman menang status anak pertama doang. Dia punya saham yang lebih besar di perusahaan daripada pak Arman.""Bener, apalah daya saham bisa mengalahkan kinerja."Begitulah paling tidak yang Dewa dengar dari karyawan yang membicarakannya dari diam-diam. Seharian Dewa mati-matian menahan emosinya. Mawar menarik lengan Dewa dengan kasar sampai Dewa membalikkan badannya menghadap Mawar."Mas kenapa sih? Aku tanya baik-baik loh." ujar Mawar ikut emosi karena sikap dingin Dewa kepadanya."Sudahlah jangan ganggu dulu. Aku lagi pusing ini!" Dewa menarik tangannya kasar dari cekalan Mawar. Mawar mendengus kesal dengan sikap suaminya yang melampiaskan amarahnya kepadanya. Selalu begitu, setiap ada masalah dikantor selalu dibawa pulang ke rumah."Besok aku mau pergi ke Bogor. Aku menginap selama tiga hari, kamu bisakan jagain Kenzo?" tanya Mawar.Arman membalikkan badannya menatap istrinya. Arman memutar bola matanya dan berdecak kesal. "Kamu kalau mau pergi, pergi aja! Mana pernah kamu ngurusin Kenzo!" sindir Dewa dengan suara yang meninggi.Mawar menatap Dewa dengan tajam. "Mas pikir aku nggak ngurusin Kenzo? Huh! Selama ini aku ya yang selalu datang mengambil rapor Kenzo! Mas yang nggak pernah merhatiin Kenzo!" "Nyesel aku nikahin kamu." ujar Dewa lirih yang masih dapat didengar oleh Mawar."Mas pikir aku nggak nyesel nikah sama mas? Selama ini mas itu nggak bisa diandelin. Bahkan mama selalu mempercayakan semua urusan perusahan kepada Arman daripada mas yang padahal pemimpin perusahaan." ujar Mawar mencurahkan semua rasa kesalnya selama ini. Perkataan Mawar membuat hati Dewa tertohok. Lagi-lagi nama Arman yang ia dengar. "Tutup mulut kamu!" tangan Dewa hampir melayangkan tamparan kepada Mawar sebelum pintu kamarnya diketuk.***Arnita baru saja turun dari taksi yang ia tumpangi dari rumah sakit. Sebuah kebetulan tak lama mobil milik mas Dewa memasuki halaman rumah. Setelah membayar, Arnita melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Sebenarnya Arman memberikan Arnita mobil untuk membantu Arnita saat bepergian sendirian. Tapi Arnita tidak bisa menyetir jadilah mobil yang Arman beri dipakai oleh Arnita ke sekolah. Arnita berjalan menuju dapur untuk menghilangkan rasa hausnya. Dari pagi sampai sore Arnita menemani ibu mertuanya di rumah sakit. Dan tadi ibu mertuanya menyuruhnya untuk pulang dan meminta Mawar untuk datang ke rumah sakit.Begitu sampai di depan kamar Mawar dan Dewa, Arnita langsung mengetuk pintu. Tak lama pintu kamar di depannya terbuka menampilkan Dewa dengan wajah lelahnya. Arnita dapat merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi dingin. Bulu kuduk Arnita merinding melihat tatapan Dewa yang terlihat begitu dingin kepadanya. Mata Arnita tidak sengaja menangkap Mawar yang berada di belakang Dewa. Se
"Biar bibi aja non yang buatin minumnya." ujar bi Ira yang merasa tidak enak karena pekerjaannya harus dilakukan oleh Arnita."Nggak papa bi, biar aku aja. Lagian nggak ada kerjaan lain yang bisa aku lakuin." ujar Arnita sambil mengaduk minuman didalam gelas.Sore ini teman-teman ibu mertuanya sedang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Cintya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Suara tawa mereka bahkan sampai terdengar sampai ke dapur. Ada sekitar enam orang perempuan yang menjenguk Cintya. Selesai menata minuman dan makanan ringan di atas nampan, Arnita membawanya ke ruang tamu. Bi Ira mengikuti Arnita dari belakang dengan membawa makanan ringan lainnya. Arnita menunjukkan senyum ramahnya kepada para tamu ibu mertuanya. Setelah mengantar makanan Arnita kembali ke dapur. "Dia siapa Cin? Pembantu baru?" tanya perempuan berkonde dan berpakaian kebaya tersebut. Gayanya terlihat sangat anggun dan seperti layaknya orang keraton."Lho jeng nggak tahu? Dia kan istrinya Arman." perempuan
Hari minggu yang seharusnya menjadi hari libur untuk bersantai dan mencari ketenangan dari penatnya pekerjaan berubah menjadi ketegangan. Dua jam yang lalu seorang pengacara dari almarhum ayah Arman datang ke rumah. Pengacara itu memberitahu pembagian harta warisan yang ayah Arman tinggalkan untuk keluarganya. Setiap anak dari keluarga itu mendapatkan saham perusahaan.Awalnya semua orang terlihat tidak sabar saat nama mereka disebut oleh pengacara untuk memberitahu mengenai hak warisan yang diperoleh. Tetapi setelah pengacara tersebut selesai mengumumkan hak waris, suasana yang sebelumnya terlihat antusias berubah menjadi ketegangan saat Mawar menyatakan ketidaksetujuan mengenai hak waris yang didapat oleh suaminya.Mawar bersikeras menginginkan rumah yang sudah menjadi hak waris Arman untuk diberikan kepada suaminya Dewa. Dan Mawar ingin menukar apartemen yang suaminya dapat dengan rumah yang Arman dapat. Mawar berpikir jika Dewa lah yang berhak atas rumah tersebut karena Dewa lebih
Arnita sudah bersiap dengan dress polkadot panjang. Wajahnya terlihat sangat fresh ketika memakai pakaian yang berwarna cerah. Arnita sedang menunggu Arman pulang dari kantor untuk pergi ke rumah orang tuanya. Hampir setiap hari ibunya meneleponnya menanyakan kabarnya. Dan ibunya juga sering memintanya untuk berkunjung ke rumah. "Mas!" Arnita terkejut mendengar suara nyaring itu. Karena merasa khawatir terjadi sesuatu, Arnita langsung keluar dari kamarnya. Arnita melihat mas Dewa dan mbak Mawar yang sedang bertengkar. Sepertinya mas Dewa baru saja pulang dari kantor, terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan pakaian kerja."Mas aku nggak mau tahu aku ingin rumah yang ada di Anggrek itu!" teriak mbak Mawar dengan wajah yang sudah emosi.Sedangkan mas Dewa terlihat diam tidak menyahut satupun ucapan mbak Mawar. Tapi jelas terlihat wajah mas Dewa yang sudah memerah seperti sedang menahan emosinya."Aku nggak mau apartemen itu, pokoknya aku mau rumah yang di Anggrek! Aku nggak mau
Mobil Arman terparkir di depan rumah sederhana satu lantai. Rumah orang tua Arnita memang sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur. Kehidupan Arnita sangat berbeda jauh dengan kehidupan Arman. Rumah besar dan memiliki dua lantai dan juga halaman yang luas yang bisa untuk parkir sekitar sepuluh mobil. Mungkin rumah Arman bisa sepuluh kali lipat dari rumah Arnita, atau mungkin bisa lebih dari itu."Biar saya yang bawa." Arman mengambil alih kantong plastik berisi buah-buahan dan sembako. Ibu nya Arnita selalu menolak jika Arman memberinya uang, jadi Arman menggantikannya dengan membelikan kebutuhan dapur. Setiap bulan Arman juga selalu rutin membelikan satu sak beras, meskipun beras sebanyak itu akan habis untuk dua sampai tiga bulan. Arman dan Arnita berjalan bersisian. Arnita mengetuk pintu rumah orang tuanya. Halaman rumahnya terlihat sepi, ia tidak melihat motor ayahnya yang biasanya terparkir dide
"Saya punya alasan kenapa saya ingin mempertahankan rumah ini."Arman berjalan ke sebuah ruangan dengan diikuti oleh Arnita di belakangnya. Arnita berdecak kagum melihat barisan buku berjajar rapi di rak buku. Arman membawanya ke ruang perpustakaan pribadi."Ini alasan saya untuk mempertahankan rumah ini." ujar Arman seraya menatap dinding di depannya.Arnita mendongakkan kepalanya untuk melihat sebuah foto yang lumayan besar menggantung di dinding. Terlihat seorang pria paruh baya yang sedang tersenyum sambil memegang stik golf. Dan disampingnya ada Arman yang juga menunjukkan senyum lebarnya. Terlihat sekali seperti kedekatan seorang ayah dan putranya."Foto ini diambil sewaktu sebulan sebelum kepergian papa. Ini foto terakhir yang saya punya bersama papa. Dan yang membuat ini sangat berharga adalah karena papa dan saya sendiri yang menggantung foto itu disini." Arman menatap foto di depannya dengan mata berkaca-kaca."Saya tidak ingin foto ini sampai diturunkan dari sini." Ah Arni
"Akkkkhhh!"Arnita langsung berlari menuju asal suara. Ia membulatkan matanya melihat Mawar terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit. Segera Arnita ikut membantu Mawar untuk berdiri tetapi tangannya segera ditepis oleh ibu mertuanya. "Bibi gimana sih lantai basah kok nggak di keringin!" Mawar berdecak kesal mendapati lantai yang ia pijak ternyata basah. Ia ngilu merasakan bokongnya yang mendarat lebih dahulu mencium dinginnya lantai marmer. "Aku yang salah mbak, bukan bibi. Tadi aku baru aja ke dapur mau ambil kain kering untuk mengeringkan lantai." jelas Arnita. Ia tidak tega jika bi Ira yang disalahkan karena jujur ini adalah salahnya. Mata Mawar menatap Arnita dengan tajam, bibirnya berdecak mendengar pengakuan Arnita. "Oh jadi kamu yang sengaja bikin lantai basah? Kamu dendam sama aku Nit? Kamu nggak suka karena aku pengen rebut rumah warisan milik suamimu itu kan!" emosi Mawar semakin berkobar begitu mengetahui Arnita yang ternyata yang membuat lantai basah. "Enggak mba
Arnita mengusap dadanya yang berdebar lebih cepat. Ia merasa terkejut mendengar Kenzi membentaknya dan menutup pintu dengan keras tepat di depannya. Arnita tidak boleh berpikiran negatif. Mungkin saja Kenzi masih kesal dengan kejadian kemarin saat ia tidak sengaja membuat mbak Mawar jatuh. "Non bibi permisi." bi Ira menundukkan kepalanya dan pergi berlalu ke dapur."Ngapain kamu disini? Mau menghasut anak saya? Belum cukup kamu menghasut Arman?" Arnita membalikkan badannya begitu mendengar suara yang ia kenali. Mbak Mawar tengah berdiri di depannya dengan kedua tangan dilipat di depan. Jangan lupakan wajah mencemooh mbak Mawar yang selalu terlihat saat di depan Arnita. "Emm saya tadi cuman mau bantuin bi Ira untuk bangunin Kenzi mbak." Arnita mengulas senyum tipis meski ia mendapat tatapan sinis dari kakak iparnya itu."Nggak usah sok perhatian sama anak saya! Urusin aja hidup kamu!" Mawar berjalan melewati Arnita. Saat bersisian dengan Arnita, Mawar menyenggol pelan bahu Arnita hi