Semalam sebelum tidur Arnita menyempatkan diri mengemasi pakaian-pakaian yang akan mereka bawa selama berada di Bali nantinya. Semalam juga Arnita dan Arman sudah mengambil keputusan jika mereka akan tetap pergi ke Bali. Lagian Arman juga sudah terlanjur mengambil cuti dari kantor dan juga merasa tidak enak jika tidak memakai pemberian mas Rehan dan mbak Imel.
"Udah semuanya? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Arman memastikan."Udah semua mas." balas Arnita yakin. Tentu saja ia yakin karena ia sudah mengecek semua barang bawaan beberapa kali karena takut ada yang ketinggalan. Jadwal pesawat mereka pukul delapan pagi jadi mereka akan berangkat dari rumah satu jam sebelum take off. Jarak bandara dari rumah tidak terlalu jauh, mungkin butuh waktu dua puluh lima menit untuk sampai. Dan untungnya ini hari minggu jalanan pagi ini tidak terlalu macet seperti hari biasa. Tok….tok "Den Arman!" Suara panggilan bi Ira membuat perhatian Arnita dan Arman yang sedang menyiapkan koper teralihkan. Suara bi Ira terdengar seperti sedang panik. Jadilah Arman buru-buru membuka pintu kamar. Dan benar saja wajah bi Ira terlihat sangat panik seperti baru saja terjadi sesuatu yang besar."Ada apa bi?" tanya Arman."Itu den, nyonya besar pingsan di kamarnya." ujar bi Ira dalam sekali tarikan nafas.Setelah mendengar itu Arman langsung berlari ke kamar mamanya yang berada di lantai satu. Arman sangat panik karena dirumah ini cuman ada tiga pembantu, dirinya, dan Arnita. Sedangkan Dewa pastinya sudah berada di kantor dan Mawar ia tidak tahu kemana kakak iparnya itu. "Ma, mama." Arman menepuk pelan pipi mamanya tetapi tidak mendapat respon sama sekali dari mamanya.Arnita langsung ikut berjongkok di samping Arman begitu masuk kedalam kamar ibu mertuanya. Arnita mengusap-usap telapak tangan ibu mertuanya berusaha membangunkan ibu mertuanya."Kita bawa mama ke rumah sakit sekarang." Arman langsung menggendong tubuh mamanya setelah berusaha membangunkan mamanya dengan segala cara namun tetap tidak berhasil juga.Arnita yang dengan sigap mengikuti suaminya dari belakang."Bi Ira tolong jaga rumah sebentar ya bi. Nanti saya kabari tentang keadaan mama." ujar Arnita pada bi Ira."Baik non, tolong kabari bibi segera ya non tentang kondisi nyonya besar." Arnita menganggukkan kepalanya dengan cepat. Dalam sekejap Arnita dan Arman melupakan rencana mereka untuk bulan madu ke Bali setelah melihat kondisi Cintya yang tidak sadarkan diri. "Tunggu disini sebentar, saya mau telepon mbak Imel sama mas Dewa." Arman menyuruh Arnita untuk tetap berada di depan ruangan Cintya sampai ia selesai memberi kabar kakak-kakaknya tentang kondisi mamanya. Arnita menganggukkan kepalanya patuh. Arnita kemudian teringat jika ia juga harus memberitahu orang rumah tentang kondisi ibu mertuanya sekarang. Pasti orang dirumah juga khawatir dengan kondisi ibu mertuanya saat ini. Arnita segera menelpon bi Ira dan menceritakan kondisi ibu mertuanya yang harus dirawat dirumah sakit untuk beberapa hari.Setelah memberitahu kabar tentang mamanya, Arman kembali menghampiri Arnita. "Maaf kita harus membatalkan rencana bulan madunya. Padahal saya tahu kamu sangat ingin pergi ke Bali." ujar Arman dengan wajah menyesal karena sudah menghancurkan impian Arnita untuk pergi ke Bali. Arman tahu Arnita sangat ingin pergi ke Bali karena sebelumnya perempuan itu belum pernah pergi kesana. "Nggak papa mas, kita bisa pergi lain kali. Kondisi mama yang terpenting saat ini." ujar Arnita dengan senyum tulusnya."Apa kondisi mama sangat buruk sampai harus dirawat inap selama beberapa hari di rumah sakit?" tanya Arnita dengan nada khawatir.Arman menganggukkan kepalanya, "Kata dokter memang lebih baik untuk beberapa hari ini mama dirawat inap di rumah sakit. Mama terlalu banyak mengkonsumsi obat tidur hingga melebihi dosis.""Saya bahkan tidak tahu sejak kapan mama mulai mengonsumsi obat tidur. Mama juga tidak pernah cerita kalau dia kesulitan dalam tidurnya." Arman mengurut pangkal hidungnya. Ia kecewa pada dirinya sendiri karena sebagai anak ia tidak mengetahui masalah yang dihadapi oleh mamanya."Gimana keadaan mama?" tanya Imel dengan wajah khawatir dan suara yang ngos-ngosan karena habis berlari. "Kata dokter mama butuh istirahat, dokter juga nyaranin mama untuk olahraga yoga supaya pelan-pelan bisa menghilangkan penyakit insomnia nya." jelas Arman."Kalau gitu nanti mbak cariin instruktur yoga buat mama." ujar Imel memberi solusi."Mama udah bangun." ujar Rehan yang membuat semua orang langsung menatap jendela ruang inap Cintya.Satu persatu semua orang masuk kedalam ruang inap dan mendekati brankar Cintya. "Mama ada yang sakit? Ada keluhan? Mau aku panggilkan dokter?" tanya Imel dengan sederet pertanyaan.Cintya menggelengkan kepalanya. "Mama mau minum dulu?" Arnita mengulurkan segelas air putih ke arah ibu mertuanya.Cintya terlihat menatap enggan air putih yang di ulurkan Arnita. Imel langsung mengambil alih air putih di tangan Arnita dan memberikannya kepada Cintya. Tentu saja Cintya menerima air putih yang Imel berikan. "Kamu ajak Arman cari makan, kalian pasti belum sarapan dari tadi pagi kan?" bisik Imel ke Arnita.Arnita menganggukkan kepalanya. Ia memandang suaminya yang pasti juga sedang kelaparan tapi tak dirasakan karena terlalu mengkhawatirkan kondisi ibu mertuanya.***Arnita yang sedang memejamkan matanya terkejut mendengar suara dobrakan pintu yang dipaksa dibuka dari luar. Terlihat Mawar berjalan cepat menghampiri brankar Cintya dengan wajah panik yang sedikit berlebihan."Mama kenapa kok bisa masuk rumah sakit?" tanya Mawar dengan suara yang mendayu-dayu."Overdosis obat tidur." balas Cintya."Aku bawakan mama lasagna kesukaan mama." Mawar menunjukkan paper bag di tangannya."Mama tadi sudah makan masakan rumah sakit mbak, lasagnanya mungkin bisa dimakan mama nanti karena takutnya mama kekenyangan." ujar Arnita sambil tersenyum tipis.Mawar memutar bola matanya malas mendengar ceramah Arnita yang membuat telinganya pengang. "Mama masih lapar, biar lasagnanya mama makan." Cintya meraih paper bag ditangan Mawar dan mulai memakan lasagna yang Mawar bawakan. Mawar menatap Arnita dengan tersenyum puas karena ibu mertuanya memihaknya daripada Arnita. Sedangkan Arnita tetap menunjukkan senyum tipisnya meski pendapatnya tidak didengar oleh ibu mertuan
Baru saja Arman menginjakkan kakinya di kantor, Arman langsung mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan meriah dari karyawan-karyawan di kantor. Arman mengernyitkan keningnya merasa bingung dengan situasi yang sedang ia alami sekarang. "Ada apa ini?" tanya Arman kepada semua karyawan yang terlihat sangat gembira."Selamat ya pak untuk kemenangan tender kemarin." ujar salah satu karyawan laki-laki.Ah Arman ingat sekarang. Jadi karyawannya sudah pada mengetahui tentang tender yang dimenangkan perusahaan."Saya juga mengucapkan selamat untuk kalian, perusahaan kita bisa memenangkan tender juga karena usaha dan kerja keras kalian semua." ujar Arman dengan merendah. "Sama-sama pak, tapi pak Arman yang paling kerja keras untuk tender perusahaan." puji salah satu karyawan perempuan.Memang benar Arman bekerja lebih keras untuk memenangkan tender ini. Ia bahkan harus beberapa hari lembur di kantor untuk mengecek seluruh persiapan untuk tender perusahaan. Tapi Arman bersyukur usahanya t
Arnita baru saja turun dari taksi yang ia tumpangi dari rumah sakit. Sebuah kebetulan tak lama mobil milik mas Dewa memasuki halaman rumah. Setelah membayar, Arnita melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Sebenarnya Arman memberikan Arnita mobil untuk membantu Arnita saat bepergian sendirian. Tapi Arnita tidak bisa menyetir jadilah mobil yang Arman beri dipakai oleh Arnita ke sekolah. Arnita berjalan menuju dapur untuk menghilangkan rasa hausnya. Dari pagi sampai sore Arnita menemani ibu mertuanya di rumah sakit. Dan tadi ibu mertuanya menyuruhnya untuk pulang dan meminta Mawar untuk datang ke rumah sakit.Begitu sampai di depan kamar Mawar dan Dewa, Arnita langsung mengetuk pintu. Tak lama pintu kamar di depannya terbuka menampilkan Dewa dengan wajah lelahnya. Arnita dapat merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi dingin. Bulu kuduk Arnita merinding melihat tatapan Dewa yang terlihat begitu dingin kepadanya. Mata Arnita tidak sengaja menangkap Mawar yang berada di belakang Dewa. Se
"Biar bibi aja non yang buatin minumnya." ujar bi Ira yang merasa tidak enak karena pekerjaannya harus dilakukan oleh Arnita."Nggak papa bi, biar aku aja. Lagian nggak ada kerjaan lain yang bisa aku lakuin." ujar Arnita sambil mengaduk minuman didalam gelas.Sore ini teman-teman ibu mertuanya sedang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Cintya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Suara tawa mereka bahkan sampai terdengar sampai ke dapur. Ada sekitar enam orang perempuan yang menjenguk Cintya. Selesai menata minuman dan makanan ringan di atas nampan, Arnita membawanya ke ruang tamu. Bi Ira mengikuti Arnita dari belakang dengan membawa makanan ringan lainnya. Arnita menunjukkan senyum ramahnya kepada para tamu ibu mertuanya. Setelah mengantar makanan Arnita kembali ke dapur. "Dia siapa Cin? Pembantu baru?" tanya perempuan berkonde dan berpakaian kebaya tersebut. Gayanya terlihat sangat anggun dan seperti layaknya orang keraton."Lho jeng nggak tahu? Dia kan istrinya Arman." perempuan
Hari minggu yang seharusnya menjadi hari libur untuk bersantai dan mencari ketenangan dari penatnya pekerjaan berubah menjadi ketegangan. Dua jam yang lalu seorang pengacara dari almarhum ayah Arman datang ke rumah. Pengacara itu memberitahu pembagian harta warisan yang ayah Arman tinggalkan untuk keluarganya. Setiap anak dari keluarga itu mendapatkan saham perusahaan.Awalnya semua orang terlihat tidak sabar saat nama mereka disebut oleh pengacara untuk memberitahu mengenai hak warisan yang diperoleh. Tetapi setelah pengacara tersebut selesai mengumumkan hak waris, suasana yang sebelumnya terlihat antusias berubah menjadi ketegangan saat Mawar menyatakan ketidaksetujuan mengenai hak waris yang didapat oleh suaminya.Mawar bersikeras menginginkan rumah yang sudah menjadi hak waris Arman untuk diberikan kepada suaminya Dewa. Dan Mawar ingin menukar apartemen yang suaminya dapat dengan rumah yang Arman dapat. Mawar berpikir jika Dewa lah yang berhak atas rumah tersebut karena Dewa lebih
Arnita sudah bersiap dengan dress polkadot panjang. Wajahnya terlihat sangat fresh ketika memakai pakaian yang berwarna cerah. Arnita sedang menunggu Arman pulang dari kantor untuk pergi ke rumah orang tuanya. Hampir setiap hari ibunya meneleponnya menanyakan kabarnya. Dan ibunya juga sering memintanya untuk berkunjung ke rumah. "Mas!" Arnita terkejut mendengar suara nyaring itu. Karena merasa khawatir terjadi sesuatu, Arnita langsung keluar dari kamarnya. Arnita melihat mas Dewa dan mbak Mawar yang sedang bertengkar. Sepertinya mas Dewa baru saja pulang dari kantor, terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan pakaian kerja."Mas aku nggak mau tahu aku ingin rumah yang ada di Anggrek itu!" teriak mbak Mawar dengan wajah yang sudah emosi.Sedangkan mas Dewa terlihat diam tidak menyahut satupun ucapan mbak Mawar. Tapi jelas terlihat wajah mas Dewa yang sudah memerah seperti sedang menahan emosinya."Aku nggak mau apartemen itu, pokoknya aku mau rumah yang di Anggrek! Aku nggak mau
Mobil Arman terparkir di depan rumah sederhana satu lantai. Rumah orang tua Arnita memang sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur. Kehidupan Arnita sangat berbeda jauh dengan kehidupan Arman. Rumah besar dan memiliki dua lantai dan juga halaman yang luas yang bisa untuk parkir sekitar sepuluh mobil. Mungkin rumah Arman bisa sepuluh kali lipat dari rumah Arnita, atau mungkin bisa lebih dari itu."Biar saya yang bawa." Arman mengambil alih kantong plastik berisi buah-buahan dan sembako. Ibu nya Arnita selalu menolak jika Arman memberinya uang, jadi Arman menggantikannya dengan membelikan kebutuhan dapur. Setiap bulan Arman juga selalu rutin membelikan satu sak beras, meskipun beras sebanyak itu akan habis untuk dua sampai tiga bulan. Arman dan Arnita berjalan bersisian. Arnita mengetuk pintu rumah orang tuanya. Halaman rumahnya terlihat sepi, ia tidak melihat motor ayahnya yang biasanya terparkir dide
"Saya punya alasan kenapa saya ingin mempertahankan rumah ini."Arman berjalan ke sebuah ruangan dengan diikuti oleh Arnita di belakangnya. Arnita berdecak kagum melihat barisan buku berjajar rapi di rak buku. Arman membawanya ke ruang perpustakaan pribadi."Ini alasan saya untuk mempertahankan rumah ini." ujar Arman seraya menatap dinding di depannya.Arnita mendongakkan kepalanya untuk melihat sebuah foto yang lumayan besar menggantung di dinding. Terlihat seorang pria paruh baya yang sedang tersenyum sambil memegang stik golf. Dan disampingnya ada Arman yang juga menunjukkan senyum lebarnya. Terlihat sekali seperti kedekatan seorang ayah dan putranya."Foto ini diambil sewaktu sebulan sebelum kepergian papa. Ini foto terakhir yang saya punya bersama papa. Dan yang membuat ini sangat berharga adalah karena papa dan saya sendiri yang menggantung foto itu disini." Arman menatap foto di depannya dengan mata berkaca-kaca."Saya tidak ingin foto ini sampai diturunkan dari sini." Ah Arni