Arnita baru saja turun dari taksi yang ia tumpangi dari rumah sakit. Sebuah kebetulan tak lama mobil milik mas Dewa memasuki halaman rumah. Setelah membayar, Arnita melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Sebenarnya Arman memberikan Arnita mobil untuk membantu Arnita saat bepergian sendirian. Tapi Arnita tidak bisa menyetir jadilah mobil yang Arman beri dipakai oleh Arnita ke sekolah.
Arnita berjalan menuju dapur untuk menghilangkan rasa hausnya. Dari pagi sampai sore Arnita menemani ibu mertuanya di rumah sakit. Dan tadi ibu mertuanya menyuruhnya untuk pulang dan meminta Mawar untuk datang ke rumah sakit.Begitu sampai di depan kamar Mawar dan Dewa, Arnita langsung mengetuk pintu. Tak lama pintu kamar di depannya terbuka menampilkan Dewa dengan wajah lelahnya. Arnita dapat merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi dingin. Bulu kuduk Arnita merinding melihat tatapan Dewa yang terlihat begitu dingin kepadanya. Mata Arnita tidak sengaja menangkap Mawar yang berada di belakang Dewa. Sepertinya Arnita mengetuk pintu di waktu yang salah. "Ada apa?" tanya Dewa dengan wajah datarnya."Emm itu, mbak Mawar di minta mama untuk ke rumah sakit." cicit Arnita.Mawar langsung meraih tas nya dan melenggang begitu saja melewati Dewa dan Arnita. Arnita tersenyum canggung ke Dewa sebelum melangkahkan kakinya pergi dari sana.Arnita terduduk di meja makan seorang diri. Ia bingung kenapa Arman belum juga pulang, sudah lewat lima belas menit dari jam biasa laki-laki itu pulang. Bahkan mas Dewa saja sudah pulang. Kemana Arman? Bukannya Arnita merindukan Arman, tapi ia lebih ke khawatir karena biasanya jika lembur Arman selalu memberitahukannya.Baru saja Arnita memikirkannya, Arman sudah berjalan menghampirinya. Arnita mengerutkan keningnya melihat wajah Arman yang terlihat berseri-seri. Jauh berbeda dari wajah mas Dewa yang tadi ia lihat. Entah kenapa Arman terlihat sangat tampan saat mood laki-laki itu sedang baik seperti ini."Kok jam segini baru pulang?" tanya Arnita."Iya tadi mampir ke rumah sakit dulu jenguk mama sama mau sekalian jemput kamu. Nggak taunya udah pulang duluan." "Kelihatannya mas lagi senang." sindir Arnita sambil memberikan minum ke Arman.Arman hanya membalasnya dengan tersenyum sok misterius."Malam ini kita makan malam di luar ya, kita belum pernahkan makan malam di luar." ujar Arman.Tanpa curiga sedikitpun Arnita menganggukkan kepalanya dengan antusias."Yaudah aku mau ke kamar dulu." ujar Arman.Malam harinya Arnita sudah bersiap dengan dress warna lilac yang Arman berikan sebagai mahar pernikahan. Dress yang Arman berikan begitu pas dengan tubuhnya. Arnita memoleskan lipstik tipis ke bibirnya. "Udah siap?" tanya Arman yang sudah siap sedari tadi."Udah," balas Arnita sambil menganggukkan kepalanya.Arnita tidak tahu kemana Arman akan mengajaknya untuk makan malam. Tunggu...tunggu, ini Arman bukan mengajaknya untuk berkencan romantis ala anak muda kan? Arnita langsung menatap ke arah Arman. Arman terlihat santai sambil menyetir mobil. Pakaian Arman juga biasa, hanya memakai kaos hitam yang dilapisi jaket bomber. Arnita sudah gila karena sudah berpikiran sejauh itu. Baru beberapa hari Arman mengatakan akan mulai membuka hatinya untuk Arnita dan sekarang Arnita sudah besar kepala. Mobil yang mereka naiki berhenti di salah satu tenda makanan di pinggir jalan. Loh, Arnita pikir Arman akan mengajaknya makan ke restoran. Tidak tahunya Arman mengajaknya ke tenda makan sate madura."Nggak papa kan kita makan malam disini?" tanya Arman meminta persetujuan Arnita."Iya," Ana menganggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak keberatan karena memang biasanya ia selalu makan di tenda warung pinggir jalan."Eh!" Arnita terkejut saat Arman menyampirkan jaket ke bahunya. Arnita yang diperlakukan semanis itu menjadi gugup seketika. "Supaya tidak kedinginan." ujar Arman dengan wajah tanpa senyum. Meskipun tanpa senyum, suara lembut Arman bahkan sudah mampu membuat hati Arnita menghangat."Terimakasih," "Selamat untuk kemenangan tim mu." ujar Arnita mengucapkan selamat atas tender yang berhasil Arman dapatkan."Terimakasih. Kau ingin tambah satenya?" tanya Arman menawarkan."Tidak, aku sudah kenyang." "Baiklah, kalau sudah selesai kita pulang sekarang." Sepertinya Arman memang tidak main-main dengan perkataannya yang ingin membuka hatinya untuk Arnita. Apa Arnita juga harus melakukan hal yang sama untuk mulai menerima Arman sebagai suaminya. Mungkin tidak ada salahnya Arnita juga mencobanya. Ia juga ingin menikah sekali seumur hidup. Jadi mulai sekarang ia akan berjuang mempertahankan pernikahannya.***"Biar bibi aja non yang buatin minumnya." ujar bi Ira yang merasa tidak enak karena pekerjaannya harus dilakukan oleh Arnita."Nggak papa bi, biar aku aja. Lagian nggak ada kerjaan lain yang bisa aku lakuin." ujar Arnita sambil mengaduk minuman didalam gelas.Sore ini teman-teman ibu mertuanya sedang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Cintya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Suara tawa mereka bahkan sampai terdengar sampai ke dapur. Ada sekitar enam orang perempuan yang menjenguk Cintya. Selesai menata minuman dan makanan ringan di atas nampan, Arnita membawanya ke ruang tamu. Bi Ira mengikuti Arnita dari belakang dengan membawa makanan ringan lainnya. Arnita menunjukkan senyum ramahnya kepada para tamu ibu mertuanya. Setelah mengantar makanan Arnita kembali ke dapur. "Dia siapa Cin? Pembantu baru?" tanya perempuan berkonde dan berpakaian kebaya tersebut. Gayanya terlihat sangat anggun dan seperti layaknya orang keraton."Lho jeng nggak tahu? Dia kan istrinya Arman." perempuan
Hari minggu yang seharusnya menjadi hari libur untuk bersantai dan mencari ketenangan dari penatnya pekerjaan berubah menjadi ketegangan. Dua jam yang lalu seorang pengacara dari almarhum ayah Arman datang ke rumah. Pengacara itu memberitahu pembagian harta warisan yang ayah Arman tinggalkan untuk keluarganya. Setiap anak dari keluarga itu mendapatkan saham perusahaan.Awalnya semua orang terlihat tidak sabar saat nama mereka disebut oleh pengacara untuk memberitahu mengenai hak warisan yang diperoleh. Tetapi setelah pengacara tersebut selesai mengumumkan hak waris, suasana yang sebelumnya terlihat antusias berubah menjadi ketegangan saat Mawar menyatakan ketidaksetujuan mengenai hak waris yang didapat oleh suaminya.Mawar bersikeras menginginkan rumah yang sudah menjadi hak waris Arman untuk diberikan kepada suaminya Dewa. Dan Mawar ingin menukar apartemen yang suaminya dapat dengan rumah yang Arman dapat. Mawar berpikir jika Dewa lah yang berhak atas rumah tersebut karena Dewa lebih
Arnita sudah bersiap dengan dress polkadot panjang. Wajahnya terlihat sangat fresh ketika memakai pakaian yang berwarna cerah. Arnita sedang menunggu Arman pulang dari kantor untuk pergi ke rumah orang tuanya. Hampir setiap hari ibunya meneleponnya menanyakan kabarnya. Dan ibunya juga sering memintanya untuk berkunjung ke rumah. "Mas!" Arnita terkejut mendengar suara nyaring itu. Karena merasa khawatir terjadi sesuatu, Arnita langsung keluar dari kamarnya. Arnita melihat mas Dewa dan mbak Mawar yang sedang bertengkar. Sepertinya mas Dewa baru saja pulang dari kantor, terlihat dari pakaiannya yang masih mengenakan pakaian kerja."Mas aku nggak mau tahu aku ingin rumah yang ada di Anggrek itu!" teriak mbak Mawar dengan wajah yang sudah emosi.Sedangkan mas Dewa terlihat diam tidak menyahut satupun ucapan mbak Mawar. Tapi jelas terlihat wajah mas Dewa yang sudah memerah seperti sedang menahan emosinya."Aku nggak mau apartemen itu, pokoknya aku mau rumah yang di Anggrek! Aku nggak mau
Mobil Arman terparkir di depan rumah sederhana satu lantai. Rumah orang tua Arnita memang sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur. Kehidupan Arnita sangat berbeda jauh dengan kehidupan Arman. Rumah besar dan memiliki dua lantai dan juga halaman yang luas yang bisa untuk parkir sekitar sepuluh mobil. Mungkin rumah Arman bisa sepuluh kali lipat dari rumah Arnita, atau mungkin bisa lebih dari itu."Biar saya yang bawa." Arman mengambil alih kantong plastik berisi buah-buahan dan sembako. Ibu nya Arnita selalu menolak jika Arman memberinya uang, jadi Arman menggantikannya dengan membelikan kebutuhan dapur. Setiap bulan Arman juga selalu rutin membelikan satu sak beras, meskipun beras sebanyak itu akan habis untuk dua sampai tiga bulan. Arman dan Arnita berjalan bersisian. Arnita mengetuk pintu rumah orang tuanya. Halaman rumahnya terlihat sepi, ia tidak melihat motor ayahnya yang biasanya terparkir dide
"Saya punya alasan kenapa saya ingin mempertahankan rumah ini."Arman berjalan ke sebuah ruangan dengan diikuti oleh Arnita di belakangnya. Arnita berdecak kagum melihat barisan buku berjajar rapi di rak buku. Arman membawanya ke ruang perpustakaan pribadi."Ini alasan saya untuk mempertahankan rumah ini." ujar Arman seraya menatap dinding di depannya.Arnita mendongakkan kepalanya untuk melihat sebuah foto yang lumayan besar menggantung di dinding. Terlihat seorang pria paruh baya yang sedang tersenyum sambil memegang stik golf. Dan disampingnya ada Arman yang juga menunjukkan senyum lebarnya. Terlihat sekali seperti kedekatan seorang ayah dan putranya."Foto ini diambil sewaktu sebulan sebelum kepergian papa. Ini foto terakhir yang saya punya bersama papa. Dan yang membuat ini sangat berharga adalah karena papa dan saya sendiri yang menggantung foto itu disini." Arman menatap foto di depannya dengan mata berkaca-kaca."Saya tidak ingin foto ini sampai diturunkan dari sini." Ah Arni
"Akkkkhhh!"Arnita langsung berlari menuju asal suara. Ia membulatkan matanya melihat Mawar terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit. Segera Arnita ikut membantu Mawar untuk berdiri tetapi tangannya segera ditepis oleh ibu mertuanya. "Bibi gimana sih lantai basah kok nggak di keringin!" Mawar berdecak kesal mendapati lantai yang ia pijak ternyata basah. Ia ngilu merasakan bokongnya yang mendarat lebih dahulu mencium dinginnya lantai marmer. "Aku yang salah mbak, bukan bibi. Tadi aku baru aja ke dapur mau ambil kain kering untuk mengeringkan lantai." jelas Arnita. Ia tidak tega jika bi Ira yang disalahkan karena jujur ini adalah salahnya. Mata Mawar menatap Arnita dengan tajam, bibirnya berdecak mendengar pengakuan Arnita. "Oh jadi kamu yang sengaja bikin lantai basah? Kamu dendam sama aku Nit? Kamu nggak suka karena aku pengen rebut rumah warisan milik suamimu itu kan!" emosi Mawar semakin berkobar begitu mengetahui Arnita yang ternyata yang membuat lantai basah. "Enggak mba
Arnita mengusap dadanya yang berdebar lebih cepat. Ia merasa terkejut mendengar Kenzi membentaknya dan menutup pintu dengan keras tepat di depannya. Arnita tidak boleh berpikiran negatif. Mungkin saja Kenzi masih kesal dengan kejadian kemarin saat ia tidak sengaja membuat mbak Mawar jatuh. "Non bibi permisi." bi Ira menundukkan kepalanya dan pergi berlalu ke dapur."Ngapain kamu disini? Mau menghasut anak saya? Belum cukup kamu menghasut Arman?" Arnita membalikkan badannya begitu mendengar suara yang ia kenali. Mbak Mawar tengah berdiri di depannya dengan kedua tangan dilipat di depan. Jangan lupakan wajah mencemooh mbak Mawar yang selalu terlihat saat di depan Arnita. "Emm saya tadi cuman mau bantuin bi Ira untuk bangunin Kenzi mbak." Arnita mengulas senyum tipis meski ia mendapat tatapan sinis dari kakak iparnya itu."Nggak usah sok perhatian sama anak saya! Urusin aja hidup kamu!" Mawar berjalan melewati Arnita. Saat bersisian dengan Arnita, Mawar menyenggol pelan bahu Arnita hi
Arnita menatap Imel yang juga sama khawatir dengannya. Setelah Kenzi tidak sengaja menumpahkan minuman di baju Mawar, Mawar langsung menarik Kenzi masuk ke dalam kamar. "Mbak gimana kalau aku cek aja kamarnya mbak Mawar?" ujar Arnita memberi usulan. Ia khawatir jika mbak Mawar akan menyakiti Kenzi."Nggak perlu! Kamu nggak usah ikut campur! Mawar itu ibunya, nggak mungkin dia nyakitin anaknya sendiri. Lebih baik kamu bantuin bibi buat makan siang." ujar Cintya menghentikan niat Arnita yang ingin pergi ke kamar Mawar."Ma, Arnita kan cuman khawatir tentang keadaannya Kenzi." Imel menepuk pelan bahu mamanya yang sudah berbicara keterlaluan ke Arnita."Kamu ini selalu belain dia, kamu sama Arman sama aja!" Cintya menunjukkan wajah tidak sukanya karena kedua anaknya lebih membela Arnita daripada dirinya. Cintya melenggang pergi meninggalkan Imel dan Cintya begitu saja."Yaudah mbak, aku mau bantuin bibi nyiapin makan siang dulu." ujar Arnita."Mbak juga mau bantu." Imel menarik lengan Ar