Arnita mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar. Ia merasakan seperti ada beban berat yang menimpa perutnya. Arnita menundukkan pandangannya, ternyata lengan Armanlah yang sedang memeluk perutnya. Arnita menggerakkan badannya dengan pelan, kemudian ia menyingkirkan lengan Arman dari atas perutnya. Arnita memandangi wajah Arman yang terlihat sangat damai saat sedang tidur. Arnita tidak tahu sejak kapan Arman tidur menghadap ke arahnya dan memeluknya semalam. Seingatnya semalam mereka tertidur saling membelakangi. Tiba-tiba tubuh Arman bergerak, Arnita segera mengalihkan pandangannya ke arah lain."Jam berapa?" tanya Arman dengan suara serak khas bangun tidur."Jam tujuh mas." Arnita beranjak dari tempat tidur. "Mas mau mandi sekarang?" tanya Arnita yang di angguki oleh Arman.Arnita membantu menuntun Arman ke kamar mandi. "Kalau sudah selesai mas panggil aku ya." pesan Arnita sebelum keluar dari kamar.Arnita mulai melakukan aktivitasnya seperti bi
Arnita tersenyum melihat Arman yang begitu gigih melatih kakinya untuk berjalan. Setiap pagi laki-laki itu selalu berjalan-jalan santai di halaman rumah untuk melatih kakinya agar tidak terlalu kaku. Semakin hari keadaan kaki Arman semakin membaik. Laki-laki itu juga mulai membiasakan untuk tidak memakai kruk nya. "Nit bisa tolong buatkan minum." "Mas mau minum apa? Jus, susu, teh?" "Apa aja." Arnita membuatkan secangkir jus jeruk untuk Arman dan secangkir susu coklat untuk dirinya. Ia ikut bergabung duduk di sebelah Arman. Mereka menikmati minuman mereka sambil berjemur di bawah sinar matahari. "Mas kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" Arnita menjadi salah tingkah saat ia memergoki Arman tengah menatap ke arahnya."Kamu cantik." ujar Arman dengan senyum tulus."Wajah kamu merah Nit, kayaknya kamu udah kepanasan." ujar Arman menggoda Arnita. Padahal laki-laki itu tahu alasan wajah Arnita memerah adalah karena dirinya. Tin tinArnita tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah Al
Arnita masih tetap berdiri di sisi Arman sambil menunggu Arman membuka surat itu. Ia merasa deg deg-an melihat isi di dalam surat itu. Arman terlihat membaca isi laporan kepolisian itu dengan kening mengernyit. "Sebenarnya itu surat apa mas?" tanya Arnita."Surat investigasi tentang kecelakaan kemarin." balas Arman. "Apa hasilnya? Apa kata polisi?" mata Arnita berkedip beberapa kali menunggu jawaban dari Arman yang tak kunjung bersuara."Polisi mengatakan kalau ini bukan kecelakaan, tetapi disengaja. Rem mobilnya sengaja dipotong oleh orang." jelas Arman dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan.Mata Arnita terbelalak mendengarnya. Kenapa ada orang yang begitu jahat ingin menyakiti suaminya? Arnita menolehkan wajahnya untuk melihat reaksi Arman. Laki-laki itu tidak terlihat marah atau kesal sedikitpun. Arnita merasa masih ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Arman. "Apa pelakunya sudah diketahui mas?" pertanyaan Arnita membuat Arman diam seribu bahasa.Arman diam, tatapa
Arman memasuki restoran, matanya menjelajah ke sekitar restoran. Ia tidak menemukan keberadaan mamanya di dalam restoran, itu berarti mamanya belum datang. Arman memilih duduk di bangku paling ujung yang dirasa tidak terlalu bising. "Mau pesan apa mas?" seorang pelayan restoran mendekat ke meja Arman."Saya pesan es americano satu, saya akan pesan lagi nanti." ujar Arman.Arman menatap keluar restoran, sebuah mobil yang tidak asing baru saja memasuki area parkir restoran. Itu adalah mobil yang biasa mamanya pakai sehari-hari. Satu menit kemudian Arman melihat mamanya keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam restoran."Kamu sudah dari tadi Ar? Maaf ya mama agak telat soalnya tadi mama mampir dulu ke toko kue." Cintya mendudukan dirinya di hadapan Arman."Nggak lama kok ma, Arman juga baru aja datang." "Mama pesan makanan dulu aja dulu." lanjut Arman. Arman memberikan buku menu ke mamanya. "Kamu kelihatan agak kurusan Ar, istri kamu tuh bisa nggak sih menjaga kamu!" ujar Cintya
"Mas tadi dari mana?" Arnita menghadang Arman yang ingin masuk ke dalam kamar. Tadi pagi Arman ijin pada Arnita jika ingin keluar sebentar. Tetapi Arman keluar begitu lama hampir tiga jam. Bahkan laki-laki itu tidak menghubunginya sama sekali dan saat Arnita menghubungi panggilan teleponnya tidak diangkat. Arnita khawatir setengah mati menunggu kabar dari Arman. Ia takut terjadi apa-apa pada suaminya itu. Ditambah keadaan kaki Arman yang masih sakit."Ketemu temen." balas Arman.Arnita menyipitkan matanya, ia tidak akan mudah percaya begitu saja dengan alasan Arman. "Mas habis ketemu sama perempuan lain kan?" tuduh Arnita. Jarinya menunjuk ke arah Arman dengan wajah kesal.Bukannya marah Arman malah dibuat ketawa dengan tingkah Arnita. Tidak biasanya Arnita bersikap se ekspresif ini jika mengingat mereka lebih sering diam. Arnita juga selalu bersikap sopan dan jarang menunjukkan emosinya. Dan kali ini Arman dibuat tertegun sekaligus tertawa oleh tingkah Arnita. Arnita bertingkah seo
"Mas hari ini belum latihan kan?" tanya Arnita mengingatkan.Terakhir merek mengontrolkan kaki Arman, dokter mengatakan keretakan kaki Arman sudah delapan puluh lima persen membaik. Tetapi dokter menyarankan agar Arman tetap menerapi kakinya dengan melakukan jalan ringan setiap hari agar tidak kaku. "Sudah." balas Arman sekenanya."Kapan? Aku belum lihat." ujar Arnita dengan dahi mengernyit."Tadi jalan dari kamar kesini." ujar Arman enteng yang langsung mendapat pelototan dari Arnita."Jalan dari kamar kesini kan nggak nyampe satu menit mas Arman." ujar Arnita dengan gemas."Dokter kan udah bilang dibuat jalannya selama sepuluh menit. Sekarang berdiri, ayo mas pakai kakinya buat jalan." Arnita menarik lengan Arman, tetapi laki-laki itu tak kunjung juga bangkit dari duduknya."Mager Nit." rengek Arman yang masih nyaman menonton acara tv kesukaannya."Nanti bisa dilanjut lagi nonton tv nya mas." "Keburu habis acaranya." balas Arman tak mau kalah."Yaudah terserah mas aja!" Arnita mel
"Wa, setelah makan temui mama di kamar, ada yang mau mama bicarakan." ujar Cintya sebelum beranjak pergi dari meja makan."Ada apa ya mas? Aku ngerasa sikap mama beberapa hari ini dingin banget sama kita." ujar Mawar dengan perasaan tidak enak."Kamu antar Kenzie ke sekolah, mas mau bicara dulu sama mama." Dewa menyelesaikan makanannya. Ia meneguk minumannya sebelum pergi menemui mamanya.Tok tokDewa mengetuk kamar mamanya yang sedikit terbuka. Tidak biasanya mamanya mengajaknya berbicara hanya empat mata, kecuali ada hal yang sangat penting untuk dikatakan oleh mamanya. Hal penting apa yang ingin mamanya katakan padanya? Perasaan Dewa merasa resah, apalagi ditambah bagaimana sikap mamanya yang tidak biasa padanya."Masuk." Dewa melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mamanya. Disana mamanya sedang duduk di sofa single yang dulu biasanya dipakai oleh papanya bersantai karena menghadap ke arah balkon teras kamar. "Mama ingin bicara sama Dewa?" "Hmm, duduk." Cintya menyerongkan ba
"Mas, mama tadi pagi bicara apa sama mas?" tanya Mawar sambil melihat Dewa dari pantulan kaca meja riasnya. Tangannya terus bergerak menghapus make up di wajahnya."Cuman bicara tentang perusahaan." balas Dewa singkat."Mas, aku minta dua ratus juta dong, aku mau beli tas Smes keluaran terbaru." ujar Mawar. Seketika Dewa berdecak malas. Tangannya memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Mawar selalu saja menghambur-hamburkan uang banyak hanya untuk hal-hal yang tidak penting. Meski sudah memiliki banyak koleksi tas branded, tetapi perempuan itu sama sekali tidak pernah merasa puas dan selalu ingin membeli lagi dan lagi."Aku cuman bisa transfer lima puluh juta." ujar Dewa.Mawar membanting pelan kapas yang ada di tangannya. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah Dewa. Terlihat raut wajahnya tidak terima jika suaminya hanya memberikan lima puluh juta untuknya."Mas, harga tasnya dua ratus juta loh masa kamu cuman kasih lima puluh juta." rengek Mawar.Dewa menghela nafasnya pan