"Bu, apa yang Ibu lakukan?!" jeritku tertahan.
Arumi sudah tergeletak di lantai dan ibu mematung di dekatnya.Disatu sisi dalam kondisi apapun aku tak berhak meneriaki wanita yang telah melahirkanku. Namun, di sisi lain aku terkejut dengan apa yang ku lihat. Arumi sudah tak sadarkan diri."Ibu, gak tahu Raga. Ibu datang dia berdiri, belum sempat berdiri dengan benar dia udah terjatuh." keterangan ibu panjang dengan wajah syok dan masih tak beranjak dari tempat semula beliau berdiri.Di tangannya, ibu memegang novel yang Arumi baca tadi. Novel itu lumayan tebal.Aku bingung, harus percaya ibu atau tidak. Segera aku bopong Arumi ke atas sofa dan berusaha membangunkannya."Sayang ... sayang, bangun sayang." aku berusaha membangunkan dengan menepuk-nepuk pelan pipinya dan sesekali menggoyangkan pundaknya, Arumi bergeming.Aku bangkit mengambil minyak kayu putih dan menggosokkkan ke sekitar hidung Arumi, masih tak ada hasil.Masih terus berusaha membangunkan Arumi, ku memandang sekilas pada ibu. Dari wajahnya pun kelihatan cemas memandang Arumi, Ibu masih terdiam duduk di kursi tak jauh dari kami. Entah apa yang ada dalam pikiran beliau sekarang. Novel yang tadinya di tangan berpindah kepangkuannya.Mungkin karena ibu juga panik melihat keadaan Arumi, hingga ibu lupa untuk meletakkan novel itu di meja dan tak sadar sedari tadi memegang dan memangku novel.Sedikit heran kenapa Arumi pingsan, tetapi ibu malah memegang novel yang Arumi baca, sedari tadi. Kapan juga novel itu berpindah dari tangan Arumi ke tangan Ibu.Karena heran, sempat-sempatnya kubertanya, "Bu, Arumi pingsan kenapa malah Ibu pegang novel yang Arumi baca dari tadi.""E--eh iya, tadi Arumi jatuh dengan bukunya, jadi ibu pungut bukunya yang tergeletak di lantai."Aku merasa ada yang janggal, Arumi jatuh pingsan masa ibu malah reflek nyelamatin dan nolong bukunya duluan."Hahh...!" tak sadar aku aku ber 'hah' panjang, dan mengernyitkan kening mendengar jawaban ibu. Aku merasa ada yang salah. Entah kenapa melihat ekspresiku begitu, ibu tergagap."He--e iya begitu ... saking paniknya ibu liat dia tiba-tiba pingsan"Masa, sih! sepanik-paniknya orang, kayaknya pasti reflek nolongin orang yang jatuh di depan mata. Bukan malah nyelamatin buku yang dipegang orang yang jatuh pingsan. "Liat Arumi pingsan, ibu jadi gak sadar kali, malah bukunya yang dipungut bukan nolong Arumi" jawab ibu sambil buru-buru meletakkan novel itu di meja. Jawaban ibu seperti tahu arah pikiranku.Apa bunyi 'Bug' tadi yang ku dengar adalah bunyi yang berasal dari--? Hahh, apakah ibu memukul Arumi dengan nov---'Ah, sudahlah' pikiranku malah kemana-mana berprasangka yang bukan-bukan.Karena Arumi tak bangun-bangun sekitar sepuluh menit kemudian aku memutuskan membawa Arumi ke rumah sakit."Bu, tunggu Arumi sebentar aku siapkan mobil dulu." Ibu pun hanya mengangguk dan pindah tempat duduk ke dekat Arumi.Sementara aku mempersiapkan mobil, mengeluarkan dari garasi. Mobil terparkir di belakang motorku karena sudah beberapa bulan ini tak pernah di pakai.Aku pun menggeser motor kemudian masuk mobil memundurkannya sampai depan rumah.Kendaraan roda empat itu dari mertuaku dan biasa di pakai Arumi waktu gadis dulu. Sudah tiga bulan di sini hampir tak pernah dipakai.Selama tiga bulan di sini. Mobil itu hanya di pakai waktu kami mudik ke rumah ibu ini, karena harus mambawa barang banyak.Kemudian sekali lagi dipakai waktu hujan lebat dan aku harus ke kantor.Sedangkan kalau untuk kerja dan sehari-hari aku memakai motorku sendiri. Selain karena memang lebih cepat nyampai pakai motor ke kantor degan kondisi jalan daerah kami. Alasan utamanya aku tak mau memanjakan diri dengan barang bawaan dari istriku.Dengan tergesa aku memolong Arumi masuk ke dalam mobil. Kemudian ibu mengikuti dari belakang dan duduk di sampingnya. Arumi yang masih belum sadarkan diri kepalanya ibu baringkan ke pangkuan beliau. Ibu masih diam dan semakin cemas.Aku pun meluncurkan mobil ke rumah sakit. Dalam diam aku lega karena dari sikap ibu. Sepertinya kejadian ini membuat ibu berubah menyayangi Arumi lagi. Namun, masih sangat penasaran, apa benar Arumi tidak di apa-apakan sama ibu, bukan suudzon sama ibu sendiri, tetapi ... ah tak tahulah. Aku tak mau berpikir macam-macam. Yang penting segera sampai rumah sakit.Dalam perjalanan dan pikiran yang kalut aku bertanya lagi pada ibu. Untuk meyakinkan diri dan menghilangkan swak wasangka."Ibu serius gak ngapa-ngapain, Arumi?" tanyaku padanya.Sebenarnya tak tega aku menanyakan pertanyaan yang menuduh seperti itu. Aku merasa berdosa kata-kata itu bisa keluar dari mulut."Ya Ampun, Raga! Kamu gak percaya sama ibu. Ibu gak ngapa-ngapain dia, semuanya seperti yang ibu bilang tadi. Ibu datang dia segera berdiri dan langsung jatuh, tetapi sempat ibu melihatnya seperti memegang kepalanya, pingsan karena kurang darah kali dia.""Iya, Bu." Aku iyakan segera jawaban ibu.Rasa bersalah menghampiri dan aku merasa jadi anak yang tak tahu diri menuduh ibu yang bukan-bukan.Aku bingung Arumi kenapa. Kutambah kecepatan agar cepat sampai ke rumah sakit.***(POV Kia)Mau aja Arumi dan Arya aku bodohi, padahal mah bukan Ibu pingsan itu hanya ideku biar Raga dan Arumi segera pulang agar tak survei rumah.Enak aja dia mau pindah dari sini kalau mereka pindah'kan urusan rumah bisa repot aku'kan gak pernah beres-beres lagi semenjak menikah.Itu pun tadi telat idenya muncul, mungkin mereka dah keburu liat rumah tadi.uuh.Unthng Ibu mau aja aku bawa untuk merealisasikan ideku yang cemelang seperti cemerlangnya iklan sabun cucian piring.Kalau ini tak berhasil tenang aku udah ada siasat kedua yang di cadangkan buat diluncurkan biar tak jadi mereka pindah.Dikiranya aku maubbikin perut sendiri lapar. Sebelum lapar aja tahu Arumi gak masak untuk makan siang hari ini. Sudah buru-buru aku ke tempat Bik Sumi tetangga Ibu. Aku sudah hafal kegiatan tetangga satu itu kalau pagi dia selalu ke pasar, setiap hari. Karena sering kulu lihat waktu nyantai pagi hari di depan rumah sambil makan roti isi. Jadi otakku cepat mutar apa yang harus dilakukan.Ent
"Hah! Iya aku akan segera pulang."Ada apa lagi sih, baru juga di tinggal dua jam Ibu sama kak Kia udah begini."Apa, sayang?" tanya Arumi."Ibu pingsan, ayo kita pulang." Arumi melongo mungkin dia heran karena perasaan ketika kami pergi tadi Ibu baik-baik saja, segar-bugar, sehat walafiat bahkan bisa ngomel-ngomel. Kalau misal Arumi berpikiran begitu. Sama, aku juga. Walau panik mendengar telepon Kak Kia barusan, tapi sedikit heran juga, sih!Terburu kami melaju. Sampai di rumah melihat Ibu terbaring lemah di ruang tengah.Belum sempat kami duduk kami sudah di semprot Kak Kia, "kalian darimana sih lama banget.""Survei rumah kak, Ibukan juga udah tahu tadi. Emang Ibu kenapa?"Ini gegara istrimu yang tak tahu diri itu melawan Ibu. Tadi'kan ibu jadi kepikiran. Jangan-jangan tensi Ibu naik sampai pingsan begini." "Ibu sudah makan belum kak," tanyaku."Makan pakai apa memang ada istrimu masak bukan makan siang tadi.""Nasi goreng yang dia buat sarapan kan sudah habis. Mau makan pakai a
"Apaan sih, Bu. Belum apa-apa langsung nuduh Arumi lagi. Ini kesepakatan kami berdua. Lagian sebaiknya anak yang sudah berumah tangga sebaiknya'kan tinggal sendiri, Bu. Lagipula Ibu sangat berubah sikap pada Arumi semenjak satu rumah. Tak seperti waktu kami masih tinggal sendiri di kota Arumi dulu. Itu menandakan lebih bagus tak satu atap'kan Bu.""Iya, memang semenjak kamu menikah dengan perempuan ini kamu selalu bela orang lain daripada Ibu.""Ya Allah, Ibu! Arumi itu bukan orang lain dia itu istriku." "Iya ... 'kan memang orang luar yang masuk ke keluarga kita!""Astaghfirullahal'ajim, bisa Ibu menyebut dia orang luar yang masuk ke keluarga kita. Dengar ya Bu setelah ijab kabul gak ada lagi yang namanya orang luar. Aku harus bertanggung jawab penuh padanya karena semua itu akan aku pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Begitu juga dengan hati dan kebahagiaannya menjadi tanggung jawabku." "Halah! Kamu malah nyeramahi Ibu.""Bukan masalah nyeramahi, Bu. Aku hany
(POV Raga)Ternyata memang tidak ada yang boleh dirahasiakan dari istri, walau tujuan kita merahasian adalah untuk menjaga perasaannya. Rahasia yang ku tutupi tentang Diana. Berakibat seperti hari ini karena dia hanya tahu sepenggal, salah paham jadinya dan membawa bencana rumah tangga.Dirinya terlihat teramat sakit. Menurutku penyebab Arumi begitu, pertama karena salah paham dan dugaannya yang salah karena cuma tahu sepenggal, dua penggal. Kedua karena rahasia terbongkar bukan dari mulut suaminya sendiri. Jadi, dia bisa menyimpulkan kalau aku menyembunyikan sesuatu darinya dan tak jujur. Ketiga, hal yang paling penting adalah dia merasa dikhianati. Dikhianati aku dan adik iparnya --Arya. Karena seolah kami menutupi sesuatu mengenai perempuan lain di hadapannya.Padahal tak sedikit pun aku mengkhianatinya. Rupanya hari ini dia ke kantor dan kemungkinan besar dia mendengar pembicaraan aku dan Arya. Aku yang sedari sore panik mencarinya karena pergi tak berkabar yang kata Asti hanya b
"Kamu kenapa Dek kenapa kau diam saja dari tadi memannya dari siang tadi kau kemana?" cerca Bang Raga melihatku datang sudah sangat sore, hampir Maghrib.Bang Raga masih memakai pakaian kantornya ketika dia berangkat tadi pagi. Kemeja biru dan dasinya sudah kelihatan tak beraturan dan dari raut wajahnya terlihat Bang Raga sangat cemas. Ah, apa benar cemas atau hanya akting belaka?Seperti yang tak terduga olehku selama ini. Tenyata Bang Raga menyimpan rahasia tentang wanita lain yang tak ku tahu. Bahkan Arya juga tahu. Apa yang dia sembunyikan dariku? Apa hanya itu? Atau banyak lagi rahasia yang lainnya?Bukankah suami istri itu satu tubuh. Yang berarti menyatu dan tidak ada yang harus dirahasiakan. Apabila yang satu ada rahasia yang lainnya juga harus tahu?Ada kecewa di hatiku pada Bang Raga. Aku berlalu begitu saja. Menyahutnya hanya dengan tatapan mata. "Aku kelimpungan dan sampai lelah mencarimu. Aku juga baru pulang ini. Karena kau keluar tak pulang-pulang tanpa kabar. Asti, ak
Bang Rendi menelfon ibu. Aku mendengar karena ibu kalau menerima telfon pasti suaranya di loudspeaker.Sebelum Bang Rendi sempat berbicara Ibu sudah memberondong dengan pertanyaan."Kenapa kalian, kok, gak main ke sini? Terus kenapa Kia gak dijemput udah lama juga dia nginap di sini." Ibu seperti curiga ada apa-apa diantara mereka. Feeling seorang ibu seperti alaram.Ya, siapa yang tak curiga Kak Kia yang biasa menginap selalu nunggu Bang Rendi cuti. Ini datang sendiri bahkan tanpa Intan anaknya. Bawa pakaiannya banyak lagi."Aku sudah yakin dia belum cerita sama Ibu, makanya sekarang aku telfon Ibu. Kia pergi sendiri dari rumah Bu, kenapa saya yang harus jemput? Hari itu kami bertengkar. Aku menegurnya terlalu boros sangat suka foya-foya, mengahabiskan uang dengan yang tidak jelas. Hanya untuk pamer. Apa salah aku sebagai suami menegurnya. Dia langsung marah dan mengamuk ambil koper membereskan pakaian dan pergi. Aku gak akan menjemputnya, Bu kalau dia sendiri tak pulang."Ooh terny