Jihan membalikkan badannya dan melihat Arsenio yang melihat kearahnya.
Pandangan Arsenio memperhatikan Jihan dari kaki hingga kepalanya. Jihan terlihat sangat menyedihkan. Wajahnya penuh dengan keringat. Tidak hanya itu saja. Penampilannya juga degil dengan mata panda. Komplit sudah penampilan Jihan yang sangat buruk di mata Arsenio.
"Pasti semalam dia tidak tidur, dan melaksanakan perintahku," bisiknya.
Arsenio mengedarkan pandangannya. Rumahnya yang tadinya penuh dengan debu dan sarang laba-laba. Kini terlihat bersih dan indah. Arsenio kembali melihat Jihan yang diam di depannya.
"Biarkan saja. Ini tugasnya karena numpang di rumahku," bisiknya kembali.
"Ada apa Kak Arsenio memanggilku?"
"Buatkan aku sarapan. Saat aku ke dapur. Makanan itu sudah harus terhidang di atas meja makan."
"Baik Kak."
Brakkkk
Arsenio membanting pintu kamarnya. Meski saat itu Jihan masih berdiri di depan pintu.
Perhatian Arsenio tertuju pada amplop putih itu. Arsenio membalik amplop tadi, dan saat itu Arsenio langsung terkejut.
"Pengadilan Agama?"
Buru-buru Arsenio membuka amplop itu. Arsenio yang tidak sabar langsung mengeluarkan isinya.
Deg
Arsenio terkejut melihat namanya terpampang di sana bersama Dyra.
"Dyra mengajukan gugatan cerai padaku?"
Arsenio marah. Rahangnya mengeras. Mata elangnya pun tak hentinya membidik surat itu. Bukannya Arsenio tidak terima. Tapi Arsenio tidak menyangka. Secepat ini Dyra mengajukan gugatan cerai padanya.
"Rupanya kamu tidak sabar ingin segera menikah dengan laki-laki pilihan mamamu ya?"
Arsenio meremas surat tadi. Arsenio melemparnya sembarangan. Hati Arsenio panas. Meski mulutnya berulangkali mengatakan ingin melupakan Dyra. Tapi tetap saja Arsenio tidak bisa membohongi perasaannya. Masih terbesit rasa cinta untuk Dyra di hati Arsenio. Dan itu sangat mengganggu Arsenio.
"Lebih baik aku mandi untuk mendinginkan pikiranku."
Arsenio menyambar handuk, dan langsung melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Di bawah guyuran air. Arsenio mendinginkan pikiran dan juga tubuhnya. Meski Arsenio tidak lagi mencintai Dyra. Tapi mendapatkan surat gugatan cerai darinya. Membuat Arsenio ingin marah. Rasanya Arsenio tidak rela. Dibuang Dyra begitu saja.
"Kenapa kamu begitu tega denganku, Dyra? Apakah rasa cinta di hatimu sudah mati untukku? "
Pyarrr
Arsenio memukul kaca yang ada di dekatnya. Tangannya yang mulus. Seketika penuh dengan darah. Arsenio memejamkan matanya. Perih, tapi tak seperih hatinya saat ini. Arsenio membiarkan darah di tangannya bercampur dengan guyuran air. Arsenio menangis dan membiarkan air matanya bercampur dengan air.
Arsenio menarik handuk setelah ia selesai dengan ritualnya. Arsenio merobek kain di dekatnya. Setelahnya ia melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar mandi.
Deg
Arsenio terkejut saat melihat Jihan ada di dalam kamarnya. Saat itu Jihan juga melihat kearahnya. Pandangan Arsenio beralih pada badannya yang hanya memakai handuk dibagian bawahnya.
"Aaaaaaa."
Arsenio dan juga Jihan teriak bersamaan. Arsenio yang panik langsung masuk ke dalam kamar mandi lagi.
"Ngapain kamu di kamarku?" tanya Arsenio yang hanya memperlihatkan kepalanya di balik pintu.
"I-itu Kak, tadi aku dengar Arlo nangis."
Saat itu Arsenio baru menyadari jika putra kesayangannya tengah menangis di dalam gendongan Jihan. Pasti itu karena Arsenio terlalu lama di kamar mandi tadi.
"Bawa Arlo keluar. Aku akan ganti baju."
"I-iya Kak."
Buru-buru Jihan melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar Arsenio. Melihat itu, Arsenio langsung keluar dari dalam kamar mandi. Langkah Arsenio menuju lemari. Arsenio mengambil baju yang ingin ia pakai.
Langkah Jihan berderap menjauhi kamar Arsenio. Pikiran Jihan masih mengingat kejadian tadi. Ini pertama kalinya Jihan melihat Kakak iparnya tanpa busana. Hanya handuk kecil yang melilit bagian bawahnya. Sebagai wanita normal. Jihan mengagumi badan Kakak iparnya yang sangat bagus. Apalagi perutnya yang tercetak roti sobek. Membuat Jihan gemas dan ingin menyentuhnya.
"Ya Tuhan, apa aku pikirkan ini."
Jihan menggelengkan kepalanya. Menyadari yang dipikirkannya tidak benar.
Arsenio melihat pantulan dirinya di kaca. Sudah sangat lama Arsenio tidak memakai baju kebesarannya. Yah, kemeja yang ia padukan dengan jas dan juga dasi. Arsenio terlihat sangat tampan dan gagah. Sama persis saat ia muda dulu.
Semua wanita pasti akan terpikat dengan paras tampannya. Tapi........ Lagi-lagi Arsenio mengepalkan tangannya mengingat kejadian malam itu. Yang dengan mudahnya mampu membuat suasana hatinya berantakan.
"Kamu harus bisa melewati semua ini Arsenio. Jangan sampai membuat hidupmu berantakan."
Tap tap tap
Arsenio melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamarnya. Ia mendekati Jihan yang saat ini ada di ruang makan.
Langkah Arsenio terhenti di depan pintu. Arsenio melihat Jihan yang tengah menyuapi putranya. Arsenio memperhatikan Jihan yang begitu telaten menyuapi putranya.
Pyarrr
Arsenio tersadar dari lamunannya saat suara piring terjatuh mengagetkannya. Arsenio melihat Jihan yang kesusahan membersihkan piring yang ia jatuhkan sembari menggendong Arlo. Arsenio pun langsung berjalan mendekatinya.
"Hati-hati."
"I-iya Kak."
Arsenio melihat kegugupan yang terlihat jelas pada Jihan. Aneh, tidak biasanya Jihan seperti itu.
"Apa mungkin gara-gara kejadian tadi ya?" bisiknya.
"Ehemzzzzzz."
Arsenio berdehem, menyadarkan Jihan dari pandangannya. Jihan memalingkan wajahnya, dan dia terlihat semakin gugup.
"Aku akan keluar. Kamu jaga Arlo. Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya."
Arsenio membalikkan badannya. Baru beberapa Arsenio melangkahkan kakinya. Arsenio langsung membalikkan badannya lagi. Arsenio melihat meja makan. Di atas sana ada beberapa makanan. Arsenio terkejut dan melihat Jihan.
"Bagaimana kamu bisa menyiapkan semua ini?"
"I-itu Kak, aku pakek uang tabunganku."
"Oh, begitu. Kamu simpan. Aku tidak jadi sarapan. Aku harus segera pergi."
Arsenio membalikkan badannya dan langsung berjalan keluar dari dalam ruang makan.
Hari masih pagi. Arsenio mulai melangkahkan kakinya menjauhi rumahnya. Arsenio tidak berhenti mengumpat. Pasalnya dia tidak punya uang sepeserpun untuk naik kendaraan. Dengan terpaksa. Arsenio harus jalan kaki seperti ini.
"Dasar b*doh. Dulu mau-maunya aku menyerahkan semuanya pada wanita sialan itu. Sekarang aku tidak punya apa-apa. Bahkan aku tidak punya uang sepeserpun untuk naik ojek."
Sepanjang perjalanan. Arsenio terus menggerutu. Meski ada banyak sekali kendaraan yang lewat di samping kanannya. Arsenio tak memperdulikan itu. Rasa kesalnya. Mematikan rasa malunya.
Tiiiiiiinnnnnnnnnnn
Arsenio terkejut saat mendengar suara klakson yang sangat keras di belakangnya.
"Enggak nyangka bisa ketemu gembel di sini."
Deg
Arsenio langsung mengalihkan pandangannya. Arsenio terkejut melihat Dyra ada di dalam mobil itu. Kaca mobil yang terbuka. Memperlihatkan Dyra tak sendirian. Ada seorang laki-laki yang tengah menyetir di dalam sana.
"Udah gembel, tapi sok-sokan pakek jas lagi. Aku pengen ketawa melihat kamu."
"Mungkin dia sedang bermimpi jadi bos, sayang," sahut David.
"Iya sayang, mungkin saja. Kasian banget ya lihatnya."
"Iya sayang, kasian banget gembel satu ini."
“Lepaskan aku!!!!!!”“Kami tidak akan membiarkan anda bunuh diri.”Arsenio memberontak, mencoba melepaskan dirinya dari kurungan mereka, namun usaha Arsenio berakhir sia-sia.“Aku bilang lepaskan aku!!!!! Biarkan aku mati!!!!!”“Ikat pasein di atas tempat tidurnya.”“Baik dok.”Mereka menarik Arsenio, dan membaringkannya dengan paksa di atas tempat tidur. Mereka bekerja sama untuk mengikat Arsenio.“Aku tidak mau diikat. Lepaskan aku!!!!!”Arsenio tidak berhenti berteriak dan juga memberontak, namun dokter dan juga perawat tadi terus menahannya.Dari balik pintu yang tertutup. Jihan berdiri di depan pintu ruangan Arsenio, dan melihat keadaan di dalamnya dari kaca. Jihan merasa kasian melihat Arsenio. Terlihat jelas dari sikap dan wajah Arsenio. Jika saat ini ia tengah depresi berat.“Sejak tadi pagi sampai sekarang. Dia terus mencoba melakukan percobaan bunuh diri,” kata polisi yang berdiri di samping Jihan. Jihan melihat polisi itu. Darinya Jihan mendapatkan laporan apapun tentang Ar
Deg“Lihat siapa yang datang Ma.”Jihan terkejut dan langsung menghentikan langkahnya. Saat itu Jihan melihat Dyra bersama Mama tirinya berjalan keluar dari dalam rumah sakit.“Kamu datang untuk menjenguk laki-laki miskin itu? Wah, sepertinya kalian berdua ada hubungan istimewa,” kata Dyra yang tersenyum mengejek, namun Jihan memilih diam.“Kalian berdua cocok kok. Yang satunya laki-laki miskin, dan satunya laki wanita gembel. Kenapa tidak dari dulu saja kalian bersama?” sambungnya, namun Jihan tetap memilih untuk diam. Menanggapi ucapan Dyra. Sama saja menginginkan masalah di hidupnya.“Kamu tuli ya!!!!!!” bentak Dyra yang mulai kesal.“Maaf, aku tidak ada urusan dengan kamu.”Jihan melangkahkan kakinya kembali, namun Dyra langsung menarik tangannya.“Kamu berani denganku?”“Aku tidak ingin mencari masalah. Lebih baik kamu biarkan aku pergi.”“Kau!!!!!!”Dyra tidak lagi bisa mengontrol emosinya. Dyra mengepalkan tangannya. Saat Dyra hendak melayangkan tangannya. Mamanya langsung meng
PyarrrrrrArsenio membanting gelas yang ada di dekat nakas. Arsenio marah. Jika dia tidak selemah ini. Pasti Dyra tidak akan pergi dengan tanda tangannya.“Kamu memang laki-laki tak berguna Arsenio.”Arsenio kesal. Arsenio marah pada dirinya dan juga takdir Tuhan yang tidak pernah berpihak kepadanya. Baru saja Arsenio kehilangan putranya, dan sekarang Arsenio harus menerima kenyataan pahit lainnya. Arsenio harus kehilangan wanita yang sangat ia cintai. Arsenio benar-benar tidak sanggup menjalani hidupnya yang penuh dengan luka ini.“Ambil saja nyawaku, Tuhan. Ambil saja. Aku sudah tidak sanggup dengan hidupku yang menyedihkan ini.”Tanpa diundang. Air mata Arsenio berjatuhan. Arsenio benar-benar berada di titik terendahnya. Tidak ada lagi gairah bagi Arsenio untuk hidup. Arsenio menyerah, dan memilih menyusul putranya.“Tidak ada alasan lagi untuk aku hidup. Semua orang yang aku cintai. Pergi meninggalkan aku sendirian.”Arsenio mengalihkan pandangannya. Arsenio melihat serpihan gelas
“Aku ada di mana?”“Kamu ada di rumah sakit.”Mendengar suara seseorang. Arsenio langsung mengalihkan pandangannya.DegArsenio terkejut. Pasalnya saat itu Arsenio melihat Dyra dan mamanya ada di sampingnya. Arsenio ingat malam itu dia ada di dalam tahanan. Tapi Dyra dan mamanya? Arsenio pun dibuat bingung bercampur terkejut.“Apa Dyra datang untuk menjengukku?” bisiknya. Arsenio mengukir senyuman. Yah, Arsenio sangat senang dengan kehadiran Dyra. Pasti Dyra menjenguknya karena dia masih mencintainya. Bagaikan angin segar. Arsenio kembali bersemangat.“Tidak kusangka. Setelah kamu tidak bersamaku lagi. Hidupmu semakin berantakan.” Ucap Dyra dengan tersenyum mengejek.“Maksud kamu apa Dyra? Bukannya kamu datang untuk menjengukku?” “Aku datang untuk menjengukmu? Mimpi kamu. Mana mungkin aku membuang-buang waktuku hanya untuk laki-laki miski sepertimu.”DegSenyuman Arsenio langsung lenyap. Dia salah. Arsenio pikir Dyra datang untuk menjenguknya. Tapi malah sebaliknya.“Ini.”Arsenio me
CklekDyra membuka pintu mobilnya. Saat dia sampai di depan alamat yang dia tuju. Dyra langsung turun dari dalam mobil bersama mamanya.Dyra mengedarkan pandangannya. Rumah yang ada di depannya sangat besar dan terlihat mewah dari depan. Rasanya Dyra tidak percaya jika Arsenio pemilik rumah itu. Pasalnya Dyra sangat hapal jika Arsenio laki-laki miskin yang tidak mungkin bisa membeli rumah sebagus itu.“Ini benar rumahnya Arsenio Ma?”“Dari alamat yang dikirimkan orang suruhan Mama sih benar Dyra. Kalau ini rumahnya Arsenio.”“Tapi kok rumahnya Arsenio bisa sebagus dan semewah ini sih Ma? Mama tahu kan kalau Arsenio itu laki-laki miskin?”“Iya juga sih Dyra. Mama juga berpikiran seperti itu. Tapi orang suruhan Mama tidak mungkin membohongi Mama kan Dyra?”“Daripada kita terus-terusan menduga-duga. Lebih baik kita samperin rumah itu deh Ma.”“Iya Dyra.”Dyra dan juga mamanya langsung melangkahkan kakinya berjalan mendekati rumah itu. Dari luar. Dyra melihat rumah itu sangat sepi.“Coba
“Apa?”Dyra terkejut dan langsung membalikkan badannya. Dyra melihat mamanya yang kini duduk di depannya.“Mama serius dengan kabar yang Mama sampaikan tadi?”“Iya, serius. Mama mendapatkan kabar ini dari orang yang terpercaya.”Dyra diam, dan melihat mamanya dengan tatapan dalam. Tapi tidak lama setelahnya. Gelak tawa terdengar keras memenuhi kamarnya.“Kamu kenapa Dyra? Kamu tidak gila kan karena anak kamu meninggal?”Mama Shellin langsung beranjak dari duduknya. Mama Shellin panik melihat putrinya yang tertawa seperti ini. Mama Shellin menyadarkan putrinya yang tidak berhenti tertawa.“Dyra, kamu jangan gila dong sayang. Mama tahu kamu sedih, tapi bukan berarti kamu sampai seperti ini,” sambung Mama Shellin yang semakin panik.“Ihhhhh, apa sih Ma. Siapa juga yang gila,” balas Dyra. Dyra yang risih menyingkirkan tangan mamanya dari wajahnya.“Terus kenapa kamu tertawa seperti ini?”“Bagaimana aku tidak tertawa. Kalau Arlo meninggal. Secara otomatis hidup Arsenio akan semakin menderi