Share

BAB 2 Menanantu Rasa Pembantu

"Berapa banyak sih? uang yang kamu butuhkan untuk berpisah dengan adik saya?" tanya Mbak Jeni dengan raut wajah menghina padaku.

"Ma-maksud Mbak, apa ya?"

Mbak Jeni memutar bola matanya malas. "Kamu itu bodoh, atau sok polos sih? saya tanya, berapa banyak uang yang kamu mau untuk meninggalkan Rey?" ucap ulang wanita berambut pirang itu lagi padaku.

"Saya ga akan meninggalkan Mas Rey Mbak! dia adalah suami saya," ucap ku dengan penuh penekanan.

"Halah! bilang aja kamu mau ngeruk harta adik saya, saya tau betul wanita-wanita modelan sepertimu Mar," hinanya padaku, membuat hatiku bak tertusuk oleh jarum.

"Astagfirullah, Mbak! ga ada aku niat sedikit pun untuk berpikiran seperti itu!" ujar ku dengan nada bergetar, tak kuasa aku membendung air mata di depan kakak iparku ini.

Bisa-bisanya Mbak Jeni mengatai aku seperti demikian, bahkan aku tak pernah memiliki pemikiran seperti itu sekalipun!

Tak peduli dengan pembelaan yang aku ucapkan, Mbak Jeni melenggang pergi dengan tatapan sinisnya padaku.

Aku mengusap air mata di pipi ku, kemudian mematikan kompor, air yang aku rebus telah mendidih sedari tadi.

Aku tuang air panas itu perlahan, menambahkan gula dan mengaduknya hati-hati. Setelahnya aku antar segelas teh itu kepada suamiku yang tengah duduk di ruang keluarga.

"Mas, ini tehnya." Aku meletakkan segelas teh itu dengan mengembangkan senyuman di hadapan Mas Rey.

"Makasih, Dek," ucapnya, dan aku balas dengan anggukan.

Lelaki itu melihat wajahku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ada apa, Mas?"

"Adek ... habis nangis?" Suamiku memegang pipiku perlahan.

Aku menggelengkan kepala. "Ndak Mas, aku gak nangis kok!" ucapku berdusta, tak mungkin aku mengadu dan membuat hubungan antara kakak dan adik renggang bukan?

"Ga bohong, kan?" tanyanya sekali lagi, seperti kurang percaya padaku.

Aku meneguk saliva, rasanya tertekan sekali jika harus berdusta berulang kali di hadapan suamiku.

"Iya Mas, beneran!" ucapku, menyakinkan Mas Rey.

Akhirnya lelaki di depanku ini mengangguk percaya, aku menghela napas lega. Kami sedikit mengobrol dengan santai, hingga akhirnya suamiku pamit untuk berangkat bekerja.

Mas Rey bekerja sebagai CEO di perusahaan milik keluarganya, lebih tepatnya milik mendiang ayahnya.

Sebenarnya aku tak heran jika kakak ipar menuduhku menikah dengan suamiku ini karena ingin meraup hartanya, karena memang benar jika Mas Rey itu lelaki idaman, tak hanya tampan, ia juga seseorang yang mapan.

Tapi bukan itu yang membuat aku menerima suamiku, tapi memang karena perasaan kagum dan cinta ini telah ada sejak dulu.

Dari mulai cara ia berbicara, sifatnya yang perhatian dan tutur kata yang sopan, meski dari keluarga berada, ia tak pernah menyombongkan dirinya.

Perasaan ini awalnya hanya sebatas kagum semata, tak pernah sekalipun aku berpikiran bisa berjodoh dengan lelaki sebaik Mas Rey.

Tapi suatu keajaiban terjadi, lelaki yang aku kagumi itu malah menyatakan perasaannya duluan terhadapku.

Jujur aku bahagia bukan main, tapi tak aku sangka cobaan pernikahan kami ada pada keluarga suamiku sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin aku melepas hubungan ini begitu saja.

Satu-satunya milikku hanya Mas Rey, kakek dan nenek telah tiada satu tahun yang lalu. Kini aku hanyalah seorang sebatang kara, yang beruntung mendapatkan cinta dari lelaki sebaik suamiku, tak akan aku sia-siakan keluarga baru yang berharga ini.

Saat melihat mobil yang dikendarai suamiku telah menjauh dari rumah, aku bergegas untuk membereskan pakaian kotor kami yang ada di kamar.

Begitu aku hendak memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci, ibu mertua datang menghampiri dengan raut wajah tak suka padaku.

"Mau apa kamu?" tanyanya dengan menatapku sinis.

"Marya mau mencuci baju kotor ini, Bu," jawabku dengan sopan.

Dengan cepat ia berbalik meninggalkan aku, entah apa yang ibu mertua hendak lakukan. Dalam hitungan menit, ia kembali membawa sekeranjang tumpukan baju kotor yang aku kenali siapa pemiliknya, itu adalah baju-baju ibu mertua dan kakak-kakak iparku.

ibu mertua menyodorkan keranjang berisi tumpukan baju kotor itu ke arahku.

"Cuci semua baju-baju ini!" titahnya padaku.

Aku mengangguk pelan, dan baru saja aku hendak memasukkan baju-bajunya ke dalam mesin cuci. Ibu mertua menepis tanganku dengan kasar, rasanya lumayan sakit.

"Siapa yang suruh kamu pake mesin cuci?! kamu kan punya kedua tangan yang masih berfungsi, gunakanlah biar ada manfaatnya sedikit!" titahnya dengan angkuh padaku.

Aku terlonjak kaget, bukan karena tak bisa mencuci menggunakan tangan atau tak mau melakukannya! tapi karena jumlah baju-baju ini sangatlah banyak, satu keranjang besar yang penuh sampai menumpuk seperti gunung.

Aku mencoba untuk mengajukan protes padanya.

"Tapi Buk-" ucapan ku terputus olehnya.

"Di dunia ini ga ada yang gratis! kamu numpang di sini juga harus tau diri Mar, sumbangkan tenaga kamu itu di rumah ini, meski tidak seberapa," tuturnya dengan penuh penekanan.

"Mbok!" panggil Ibu mertua dengan sedikit berteriak.

Mbok Yem yang sedang sibuk di dapur menyiapkan acara tahlil nanti malam untuk mendiang bapak mertua, berlari tergopoh-gopoh menghampiri sumber suara yang memanggilnya.

"Iya Nya, ada apa ya?" ujarnya.

"Mbok, saya peringatkan sama Mbok Yem, dan semua pembantu yang ada di rumah ini, jangan ada yang membantu wanita satu ini untuk mengerjakan tugas yang saya beri, ngerti?!" titah wanita paruh baya yang berwajah angkuh tersebut.

Atensi Mbok Yem tertuju padaku, dari ekspresi yang aku tangkap, sepertinya Mbok Yem terkejut dan juga prihatin terhadapku, tapi tentu ia tak akan berani melawan perintah sang majikan yang lebih berkuasa di rumah ini.

"I-iya Nya," jawab Mbok Yem terbata-bata. Hingga akhirnya ibu mertuaku, wanita tua dengan sanggul di kepalanya itu melenggang pergi begitu saja.

Mbok Yem mendekatiku dan ikut berjongkok, "maaf ya Non, mbok ga bisa bantu," ucapnya, sembari mengelus pundakku perlahan.

Aku tersenyum sambil mengangguk padanya, "Ndak papa Mbok, bukan salahnya Mbok juga," balasku.

"Mbok ke dapur dulu ya? masih banyak kerjaan untuk nanti malam," ujarnya, kemudian melangkah pergi menuju dapur.

Sudahlah tak apa, memang benar apa yang dikatakan ibu mertuaku, tak ada hidup yang gratis di dunia ini. Setidaknya aku mendapat tempat yang layak untuk aku berteduh.

Setelah lebih dua jam aku berkutat di tempat cucian akhirnya selesai juga, tanganku sudah sangat keriput dan memerah karena terlalu lama terkena air.

Padahal di tempat cuci ini terdapat dua mesin cuci yang berjejer rapih dan masih berfungsi, teganya ibu mertua menyuruhku mencuci ini semua sendirian secara manual.

Mau mengeluhkannya pun memangnya mau mengeluh dengan siapa? Mas Rey? bisa-bisa aku semakin dibenci oleh keluarganya dan tak akan diberikan ketenangan lebih dari ini.

Usai menjemur pakaian, aku lanjut menyapu dan mengepel lantai sesuai dengan perintah ibu mertuaku, saat hendak mengepel lantai tak sengaja tanganku menyenggol sesuatu.

Prangg!!

"Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status